-- Yosi M. Giri*
SEBUAH karya sastra, dalam wujud apa pun memiliki kandungan yang selalu dibalut oleh unsur-unsur estetis. Tak peduli, siapa pun penulisnya, karya sastra akan dihadapkan pada muatan seni yang ditawarkan secara eksplisit atau sembunyi-sembunyi (implisit).
Di samping itu, unsur imajinatif dan keberbagaian tafsir adalah ciri yang melekat dan pastinya akan selalu ada. Jika tidak ada unsur-unsur fiktif inilah justru karya sastra patut dipertanyakan kesahihannya.
Sekitar tahun 1969, Goenawan Mohamad bersama Arief Budiman memperkenalkan metode Ganzheit, sebuah metode pembacaan terhadap karya sastra berkaitan dengan keberagaman makna sebagai produk penafsiran. Ketegasan akan tidak adanya makna tunggal pada suatu karya sejalan dengan Deskonstruksi Deridda, di sisi lain juga mempergunakan latar sosial seorang sastrawan sebagai grand naratif dalam pembacaan.
Seorang pengarang yang oleh peneliti sastra sufi Abdul Wachid B.S. disebut-sebut sebagai teks besar juga memiliki keterkaitan makna dengan produk kreatif yang berupa teks tertulis. Saat ia berhadapan dengan karya-karya Mustofa A. Bisri, misalnya, ia tidak mengambil kesimpulan dengan menutup satu mata kanan atau kiri. Ia tetap memosisikan teks sebagai otonomi yang kemunculannya berada di luar kekuatan pengarang. Hal ini memiliki kedekatan analisis dengan kajian Sigmund Freud tentang "ketaksadaran" seorang pengarang saat dirinya mengalami ketegangan yang kemudian disublimasikan dalam teks-teks naratif.
Kritik sastra, selama kurang lebih sepuluh tahun terakhir ini justru memunculkan pertanyaan, apakah yang sebenarnya tengah dikaji oleh para pemerhati sastra kita hari ini? Masing-masing justru mengedepankan praktik propagandis yang oleh Gramsci dikatakan sebagai afirmasi kekuasaan literer dalam upaya merebut hegemoni massa.
Saat hak-hak minoritas sastra dibelenggu secara geografis, dominasi kelompok intelektual sastra justru mengalami fase "ngambang". Mereka tak ubahnya kelompok-kelompok penyerang yang di tahun 1960-an meriah oleh Lekra dan Manikebu. Bersamanya pula, praktek kritik yang menyimpang terhadap laku menyerang pribadi seseorang atau pengarang terus saja diramaikan dan diamini (seolah-olah) sebagai bentuk penilaian yang sah dalam kesusastraan Indonesia.
Ketiadaan kritik sastra yang lebih memerhatikan nilai estetika dan kandungan isi ini tentu saja akan memberikan nilai-nilai yang tidak lebih dari penilaian yang didasarkan atas kekuasaan dan otoritas yang dilegitimasi oleh siapa yang berkuasa hari ini. Termasuk juga di dalamnya estetika, di mana Victor Shklovsky sebagai penganut formalisme dan lanjutan kaum Futuris, yang menyatakan bahwa seni adalah untuk memberikan penginderaan benda-benda sebagaimana dirasakan, dan bukan sebagaimana benda-benda itu diketahui.
Dalam pengertian ini, objektivitas tidak lebih penting daripada variasi persepsi terhadap karya itu sendiri. Demi kejelasan, sepenggal sajak berikut dapat dimaklumi jika ada ribuan tafsir tentangnya: Malam Lebaran//bulan di atas kuburan. Puisi ini ditulis Sitor Situmorang dalam kesadarannya akan fenomena alam saat ia hendak berkunjung ke rumah Pramoedya Ananta Toer. Puisi ini menjadi salah satu sumber kontroversi di majalah Zenith kala itu.
Genre lain, yakni cerpen Langit Makin Mendung karya Kipandjikusmin juga sempat memurubkan ketegangan dari pihak komunitas agama terbesar di kepulauan Nusantara, yakni Islam dan kelompok seniman yang secara sadar mendasarkan ideologinya pada "seni untuk seni". Seni yang tetap mengandung imajinasi pengarang terlepas dari tendensi atau unsur propaganda apa pun.
Tahun 1980, seorang profesor sastra berkebangsaan Belanda, A. Teeuw, menerbitkan buku kritik sajak berjudul Tergantung pada Kata, yang berisi tentang 10 kupasan sajak Indonesia modern. Pembacaan tersebut dia lakukan dari tahun 1977 sampai 1978. Selama kurang lebih satu tahun, A. Teeuw melakukan pembacaan, memilih, dan menilai secara komprehensif bagaimana perkembangan puisi modern di Indonesia. Kehendak untuk melakukan penilaian itu didasari pula oleh ungkapan Goenawan Mohammad bait terakhir dalam sajak Pada Sebuah Pantai: Interlude: mencoba memberi harga pada sesuatu yang sia-sia.
Rumusan ini merupakan ketegasan bagi pembaca karya sastra, bahwa dunia yang mungkin (imajiner) masih dapat diberi penilaian dengan harga apresiasi yang total. Totalitas tersebut hanya dapat dilakukan jika pembacaan dan penilaian itu dikembalikan pada hakikat karya sastra, di mana kandungan makna dan konsep estetis itu perlu "direbut" agar "sesuatu yang sia-sia" itu menghadirkan nilai bagi kehidupan (realitas).
Dengan demikian, jelas bahwa kritik sastra yang dilakukan bukan kritik impresionistik yang dominan dengan langkah-langkah kerja subjektif belaka. Di saat koran-koran lain enggan menghadirkan ulasan-ulasan karya sastra meskipun kerja tersebut penting bagi infus perkembangan sastra. Minggu Pagi sebagai koran lokal dengan label "Enteng Berisi" memberikan ruang untuk apresiasi sastra tersebut. Upaya yang cukup membanggakan bagi para kritikus sastra dalam mengapresiasi karya-karya sastra masa kini.
Dalam buku Berkenalan dengan Puisi karangan Suminto A. Sayuti, pada bagian lampiran dikutip ulasan-ulasan sajak yang pernah ia lakukan dan pernah diterbitkan di Minggu Pagi. Salah satu sajak itu milik Raudal Tanjung Banua, yang kini aktif mengelola Rumah Lebah dan menerbitkan Jurnal Puisi di Yogyakarta. Disadari atau tidak, upaya menyediakan ruang kerja menganalisis karya sastra ini masih merupakan hal yang minim dilakukan oleh media massa.
Jika persoalannya adalah pada orientasi pembaca sebagai objek pemasaran tulisan. Maka pertanyaannya, apakah karya-karya sastra mutakhir seperti sekarang ini tidak membutuhkan kerja analisis dari para kritikus? Lalu bagaimana cita-cita para pekerja sastra yang "berharap-harap cemas" akan hadirnya kritikus sewibawa H.B. Jassin, jika ruang untuk bagi lahirnya kritikus saja tidak ada? Lalu bagaimana pula pembaca (masyarakat) mengetahui kualitas dan pesan yang dikandung karya sastra masa kini tanpa bantuan dari pembaca ahli (kritikus sastra)?
Inilah persoalan-persoalan kritik sastra postmodern, yang sering tersandung pada kup antarkomunitas dan masalah-masalah personal yang tidak lebih dari kritik karakter kemanusiaan. Dan wilayah ini jelas tidak masuk dalam rangka pengejawantahan hakikat karya sastra. Oleh karena itu, kepedulian media massa terhadap kritik sastra yang lebih objektif dan mendekatkan karya sastra pada masyarakat masih dibutuhkan demi kemajuan sastra dan budaya pada umumnya.
* Yosi M. Giri, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Komunitas Sastra Bunga Pustaka.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 24 Mei 2009
1 comment:
thanxsssssssssss... brad.. atas ilmunya!!!!!!!!!!!!!!!
Post a Comment