-- Hardi Hamzah
KECELAKAAN kebudayaan kita, sesungguhnya telah dimulai sejak kita tidak lagi bisa membedakan budaya dan tradisi. Kalau dalam elemen budaya ada istilah strategi kebudayaan. Demikian pula, seharusnya kita menyikapi strategi tradisi.
Tradisi pada dasarnya juga mempunyai strategi sehingga ia mampu menyikapi kebudayaan futuristik. Tidak demikian halnya di Indonesia, justru tradisi menjebak kita dalam paraksisme, bahkan kita kemudian menjadi tourism permisiv yang cenderung menambah-nambahi tradisi pertunjukan dengan memberi gincu modernis sehingga kita katakan, ini kesenian post modernisme.
Padahal, tradisi seharusnya disosialisasikan sebagai model spontan dari suatu perilaku, ini kemudian yang tidak nyaman bagi bangsa ini, setidaknya ketika Balai Pustaka berdiri pada awal abad 20. Ia merupakan lembaga tradisi membaca? pertama di Hindia Belanda yang bersamaan dengan politik etis sehingga bahasa Melayu, Jawa, Bali, dan Madura terserap oleh tradisi kaum sekolahan. Balai Pustaka yang dimaksudkan sebagai bacaan rakyat itu, satu sisi kita mulai mengenal bahasa Melayu, Jawa, Bali, dan Madura secara baik. Tetapi di sisi lain, coba kita buka kliping lama, dus tradisi lebih pada sastra politik kebangsaan ketimbang mengintroduksi tradisi rakyat, seperti foklor, tayuban, ronggeng, pisaan, warahan dan lain-lain yang antisipatif terhadap kebudayaan Indonesia.
Balai Pustaka, yang kemudian menjadi pertimbangan strategis Hindia Belanda, justru menguatkan budaya politik kolonialisme, bersamaan dengan itu pula politik etis lebih mengintroduksi napas kognitif ketimbang motorik anak bangsa. Kurang dari dua puluh tahun Balai Pustaka berdiri, kita dikejutkan oleh polemik kebudayaan, di mana muaranya mencari eksistensi ?Ideologi Indonesia?.
Hal ini yang kemudian menggeser tradisi kerakyatan, yang tadinya tradisi itu kita harapkan mampu menjadi fundamen budaya Indonesia, mengingat Kraton ketika itu, jarang sekali memuat tradisinya di Balai Pustaka. Dan hal ini diikuti oleh kerajaan dan kesultanan lain di Indonesia.
Kita bahkan, dari Balai Pustaka, bangga dengan novel-novel estetis dikemas secara jujur, misalnya saja Siti Nurbaya. Padahal, seyogianya politik etis, ?kita sambar? dengan introduksi tradisi yang tidak bertabrakan dengan budaya. Padahal Wali Songo sendiri jutru memagari religi melalui tradisi untuk kemudian tampil dalam bentuk kebudayaan yang religi dan populis.
Dalam konteks ini pakem kebudayaan kita, ditarik melalui ?kebanggaan normatif? lewat jargon, kebudayaan Indonesia adalah puncak-puncak dari kebudayaan daerah. Maka, terjadilah bipolarisasi yang tegar antara tradisi yang temporer dan budaya yang bermakna hakiki, kita kemudian larut dengan menaikkan dunia wisata melalui ?kebudayaan plastik? bergincu tebal untuk kesemrawutan budaya yang sangat minimal sekali apek kultural edukatif, psikomotorik dan kognitif moving yang mampu mengkristalkan antara tradisi dan budaya, dus bukan terjebak dalam nilai-nilai politik an sich.
Reformasi yang menyimpan segudang politisi yang kemudian menjadi elite-elite hipokrit, tampil dalam bentuk moralitas ganda. Ini yang kemudian juga patut disadarkan pada masyarakat, bahwa pemikiran model apa pula yang membuat partai-partai menjemput artis untuk membodohi rakyat sebagai wakil kita untuk meracik kesenian, tradisi, dan kebudayaan di parlemen.
Celakanya, pada saat yang sama, kita harus melakukan suatu, yakni mulai memaknai betul pakem pakem tradisi, kebudayaan dalam artian bahwa anak anak republik terlegitimasi oleh UU yang dibuat oleh para wakil rakyat yang leberitis itu. Padahal, di era global dewasa ini, untuk menjadi negara bangsa (nation state) melalui pemahaman budaya dan tradisi, dus wakil kita harus memaknai betul wilayah dan atau pakem kebudayaan dan tradisi sehingga tidak hanya sekadar menggembar-gemborkan UU Pornografi.
Beranjak dari ?tradisi versus kebudayaan? setidaknya terdapat lima hal penting yang patut diformulasikan. Pertama, para wakil rakyat yang ngurusi kesenian dan kebudayaan bukan selebritas dadakan. Kedua, pekem-pakem kebudayaan dalam tradisi pada dasarnya bersifat populis, meski ia juga bukan hal yang tidak mengandung hakikat. Ketiga, Islam sebagai agama terbesar di negeri ini, kenyataannya tidak memberikan kontribusi banyak terhadap tradisi dan kebudayaan. Bahkan, ironinya tradisi musrik kerap diikuti oleh Islam puritan. Keempat, rekonsiliasi agama dalam menonjolkan foklor bagi upaya menguatkan tradisi dan kebudayaan, harus terus-menerus diberi titik api yang nyata. Kelima, kita terpaksa harus berhenti menjadi negara-bangsa, kalau kita memang terus-menerus menyediakan arena tempat ?berkelahinya? tradisi versus kebudayaan.
Hardi Hamzah, Peneliti Madya Mahar Indonesia Foundation
Sumber: Lampung Post, Minggu, 14 Oktober 2012
KECELAKAAN kebudayaan kita, sesungguhnya telah dimulai sejak kita tidak lagi bisa membedakan budaya dan tradisi. Kalau dalam elemen budaya ada istilah strategi kebudayaan. Demikian pula, seharusnya kita menyikapi strategi tradisi.
Tradisi pada dasarnya juga mempunyai strategi sehingga ia mampu menyikapi kebudayaan futuristik. Tidak demikian halnya di Indonesia, justru tradisi menjebak kita dalam paraksisme, bahkan kita kemudian menjadi tourism permisiv yang cenderung menambah-nambahi tradisi pertunjukan dengan memberi gincu modernis sehingga kita katakan, ini kesenian post modernisme.
Padahal, tradisi seharusnya disosialisasikan sebagai model spontan dari suatu perilaku, ini kemudian yang tidak nyaman bagi bangsa ini, setidaknya ketika Balai Pustaka berdiri pada awal abad 20. Ia merupakan lembaga tradisi membaca? pertama di Hindia Belanda yang bersamaan dengan politik etis sehingga bahasa Melayu, Jawa, Bali, dan Madura terserap oleh tradisi kaum sekolahan. Balai Pustaka yang dimaksudkan sebagai bacaan rakyat itu, satu sisi kita mulai mengenal bahasa Melayu, Jawa, Bali, dan Madura secara baik. Tetapi di sisi lain, coba kita buka kliping lama, dus tradisi lebih pada sastra politik kebangsaan ketimbang mengintroduksi tradisi rakyat, seperti foklor, tayuban, ronggeng, pisaan, warahan dan lain-lain yang antisipatif terhadap kebudayaan Indonesia.
Balai Pustaka, yang kemudian menjadi pertimbangan strategis Hindia Belanda, justru menguatkan budaya politik kolonialisme, bersamaan dengan itu pula politik etis lebih mengintroduksi napas kognitif ketimbang motorik anak bangsa. Kurang dari dua puluh tahun Balai Pustaka berdiri, kita dikejutkan oleh polemik kebudayaan, di mana muaranya mencari eksistensi ?Ideologi Indonesia?.
Hal ini yang kemudian menggeser tradisi kerakyatan, yang tadinya tradisi itu kita harapkan mampu menjadi fundamen budaya Indonesia, mengingat Kraton ketika itu, jarang sekali memuat tradisinya di Balai Pustaka. Dan hal ini diikuti oleh kerajaan dan kesultanan lain di Indonesia.
Kita bahkan, dari Balai Pustaka, bangga dengan novel-novel estetis dikemas secara jujur, misalnya saja Siti Nurbaya. Padahal, seyogianya politik etis, ?kita sambar? dengan introduksi tradisi yang tidak bertabrakan dengan budaya. Padahal Wali Songo sendiri jutru memagari religi melalui tradisi untuk kemudian tampil dalam bentuk kebudayaan yang religi dan populis.
Dalam konteks ini pakem kebudayaan kita, ditarik melalui ?kebanggaan normatif? lewat jargon, kebudayaan Indonesia adalah puncak-puncak dari kebudayaan daerah. Maka, terjadilah bipolarisasi yang tegar antara tradisi yang temporer dan budaya yang bermakna hakiki, kita kemudian larut dengan menaikkan dunia wisata melalui ?kebudayaan plastik? bergincu tebal untuk kesemrawutan budaya yang sangat minimal sekali apek kultural edukatif, psikomotorik dan kognitif moving yang mampu mengkristalkan antara tradisi dan budaya, dus bukan terjebak dalam nilai-nilai politik an sich.
Reformasi yang menyimpan segudang politisi yang kemudian menjadi elite-elite hipokrit, tampil dalam bentuk moralitas ganda. Ini yang kemudian juga patut disadarkan pada masyarakat, bahwa pemikiran model apa pula yang membuat partai-partai menjemput artis untuk membodohi rakyat sebagai wakil kita untuk meracik kesenian, tradisi, dan kebudayaan di parlemen.
Celakanya, pada saat yang sama, kita harus melakukan suatu, yakni mulai memaknai betul pakem pakem tradisi, kebudayaan dalam artian bahwa anak anak republik terlegitimasi oleh UU yang dibuat oleh para wakil rakyat yang leberitis itu. Padahal, di era global dewasa ini, untuk menjadi negara bangsa (nation state) melalui pemahaman budaya dan tradisi, dus wakil kita harus memaknai betul wilayah dan atau pakem kebudayaan dan tradisi sehingga tidak hanya sekadar menggembar-gemborkan UU Pornografi.
Beranjak dari ?tradisi versus kebudayaan? setidaknya terdapat lima hal penting yang patut diformulasikan. Pertama, para wakil rakyat yang ngurusi kesenian dan kebudayaan bukan selebritas dadakan. Kedua, pekem-pakem kebudayaan dalam tradisi pada dasarnya bersifat populis, meski ia juga bukan hal yang tidak mengandung hakikat. Ketiga, Islam sebagai agama terbesar di negeri ini, kenyataannya tidak memberikan kontribusi banyak terhadap tradisi dan kebudayaan. Bahkan, ironinya tradisi musrik kerap diikuti oleh Islam puritan. Keempat, rekonsiliasi agama dalam menonjolkan foklor bagi upaya menguatkan tradisi dan kebudayaan, harus terus-menerus diberi titik api yang nyata. Kelima, kita terpaksa harus berhenti menjadi negara-bangsa, kalau kita memang terus-menerus menyediakan arena tempat ?berkelahinya? tradisi versus kebudayaan.
Hardi Hamzah, Peneliti Madya Mahar Indonesia Foundation
Sumber: Lampung Post, Minggu, 14 Oktober 2012
No comments:
Post a Comment