Sunday, October 14, 2012

Hegemoni Kekuasaan dalam Novel

-- S Prasetyo Utomo
HEGEMONI kekuasaan dalam novel, dengan otoritas penguasa yang dicitrakan melalui mitos, ditulis sastrawan untuk menyingkap perilaku busuk yang terselubung karisma dan nafsu keserakahan manusia. Kekuatan simbol, sistem tanda, lambang, dan pilihan kata menjadi pertaruhan bagi sastrawan untuk mengekspresikan hegemoni kekuasaan di dalamnya.

Teks sastra serupa ini mengelupas luka kekuasaan melalui narasi terbingkai mitos. Teks sastra dicipta untuk mengekspresikan pembebasan hegemoni kekuasaan yang membangkitkan pencerahan hidup manusia, sekaligus mempertaruhkan estetika yang memberi kekuatan tafsir dan pemaknaan.

Tokoh-tokoh yang menjadi pusat kekuasaan, dengan kedok perilaku yang terhormat di tengah kekuasaan tanpa batas, disingkap selapis demi selapis oleh Putu Fajar Arcana dalam Gandamayu. Novel ini berbeda dengan Durga Umayi karya YB Mangunwijaya yang merefleksikan ambiguitas pemerintah Orba: mencitrakan simbol kemuliaan (Uma) sekaligus menampakkan keserakahan manusia (Durga) dalam kekuasaan. Dalam novel YB Mangunwijaya itu kita dapat menikmati mitos dalam tafsir hegemoni kekuasaan konteks zaman Orba—tentang penguasa yang terselubung kedok kesucian, karisma kepemimpinan, tetapi rakus duniawi.

Gandamayu merupakan novel yang menyingkap konteks sosial (politik), ditulis dengan napas biografis dan fantasi mitos, tanpa kehilangan simbol. Berlapis-lapis makna bisa kita tafsir dari jalinan cerita di dalamnya. Batari Durga menjadi simbol bagi nafsu yang menguasai jiwa manusia, bisa pula menjadi lambang hukuman bagi manusia yang mengingkari kesetiaan dan pengabdian pada pusat kekuasaan. Dewa Siwa mencitrakan tokoh dengan dominasi kekuasaan tak terlawan. Konflik batin Batari Durga beserta kebusukan nafsu, keserakahan, dan kekotoran jiwanya menjadi satir bagi tarik-menarik hegemoni kekuasaan. Tokoh yang disakralkan, dengan seluruh kewibawaan dan pencitraan, sebagaimana Dewa Siwa, menjadi daya tarik novel. Teks sastra menghamparkan kontemplasi pembaca yang terus-menerus dalam memberikan makna terhadap kehidupan manusia tatkala berhadapan dengan kekuasaan.

Bagaimanakah sastrawan menyingkap kedok hegemoni kekuasaan tokoh dalam sebuah novel? Ia bisa memanfaatkan biografi hidupnya sendiri dan kepopuleran mitos. Novel Gandamayu bermuatan nilai biografis, yang menyingkap tabir mitos. Novel ini justru mengalirkan narasi biografis, kisah penembang, yang berfungsi untuk memasuki ”kekuasaan mitos” yang membawa kita pada ketajaman perenungan, kedalaman nilai rasa, dan kejernihan katarsis mengenai hegemoni kekuasaan Dewa Siwa yang tak terlawan.

Tokoh-tokoh novel Gandamayu menyingkap kedok hegemoni kekuasaan, mengelupas hakikat konflik dengan pusat kekuasaan. Fokus cerita novel ini adalah perilaku tokoh Dewi Uma dan Sahadewa yang mengelupas hegemoni kekuasaan Dewa Siwa. Setidaknya ada empat hal yang bisa dimaknai dari tokoh Dewi Uma saat berhadapan dengan hegemoni kekuasaan Dewa Siwa untuk mencapai kesadaran humanis.

Pertama, novel ini mencitrakan kekuasaan yang memerlukan kesetiaan secara utuh. Sikap Dewa Siwa kepada Dewi Uma, istrinya, yang menuntut kesetiaan penuh, merupakan mitos pusat kekuasaan yang tak ingin dikhianati. Kesetiaan bersifat mutlak. Kesetiaan tak boleh dibagi dengan siapa pun, apalagi sampai membangkitkan perlawanan terhadap pusat hegemoni kekuasaan. Tiap titah yang diberikan Dewa Siwa kepada Dewi Uma bersifat mutlak, tak terlawan. Hegemoni kekuasaan mengekang keinginan-keinginan beroposisi dari kelompok bawah (grass root) dan penekan (pressure groups).

Kedua, bila tuntutan akan kesetiaan itu tak terpenuhi, jatuhlah kutukan atau hukuman. Dewa Siwa yang merasa tak memperoleh kesetiaan mutlak Dewi Uma melakukan dua kutukan sekaligus: Dewi Uma berubah wujud sebagai Batari Durga, raksasa perempuan yang buruk rupa dan angkara murka, yang kemudian diusir dari kahyangan.

Hegemoni merupakan konstruksi pusat kekuasaan (Dewa Siwa) terhadap pihak lain (Dewi Uma). Kutukan Dewa Siwa bersifat membungkam dan mengontrol makna kehidupan istrinya sendiri. Batari Durga kehilangan kedudukannya di kahyangan, tempat mulia para dewa, karena berselingkuh dengan penggembala sapi (jelmaan Dewa Siwa) dan mesti menjadi ratu para arwah di Setra Gandamayu.

Ketiga, pada waktunya nanti, hegemoni kekuasaan itu mencari wajahnya yang demokratis. Batari Durga diruwat Sahadewa, kembalilah pada wujud asalinya sebagai Dewi Uma yang cantik dan berbudi luhur. Pusat kekuasaan pemegang hegemoni, dalam hal ini Dewa Siwa, memerlukan pencitraan yang demokratis bahwa ia tokoh pemurah yang memberikan ampunan kepada Batari Durga, dengan cara menunjukkan bahwa kekuasaannya bukan merupakan tirani. Untuk menunjukkan Dewa Siwa bersifat arif—sebagai pusat hegemoni—Dewa Siwa meruwat Batari Durga dengan bantuan Sahadewa, seorang kesatria yang menjunjung tinggi kebenaran, kejujuran, dan melawan angkara murka.

Keempat, hegemoni kekuasaan Dewa Siwa sebenarnya bersifat mutlak ketika ia meruwat Batari Durga untuk kembali pada wujud asalinya Dewi Uma. Dewa Siwa hanya meminjam raga Sahadewa ketika kesatria itu mengembalikan kecantikan Dewi Uma agar bisa kembali ke kahyangan dan meninggalkan Setra Gandamayu. Kutukan dan ruwatan bermula pada satu pusat kekuasaan: Dewa Siwa. Kekuatan-kekuatan lain di luar pusat kekuasaan sia-sia turut menentukan konstruksi makna kekuasaan. Tak berkembang pluralitas dalam kekuasaan. Sistem berpikir, sistem berbicara, dan perilaku tokoh di luar pusat kekuasaan hanyalah merupakan cerminan dari kekuasaan yang dominan.

Betapa kuat hasrat Putu Fajar Arcana menghadirkan citra pusat kekuasaan yang dominan melalui mitos. Secara tak sadar kadang ia terseret hasrat mengeksplorasi bahasa esai. Bila YB Mangunwijaya dalam novel epik Durga Umayi mengekspresikan mitos sebagai lambang, simbol, dan sistem tanda yang bertautan dengan kekuasaan Orba, Putu Fajar Arcana mengekspresikan mitos sebagai cermin hegemoni kekuasaan secara universal.

Tersirat kerinduan Putu Fajar Arcana, sebagai novelis, membebaskan tokoh-tokohnya dengan melakukan dekonstruksi kekuasaan. Tokoh-tokoh novel diciptakannya untuk mempertanyakan: nilai-nilai, ideologi, kebenaran, dan tendensi yang tersirat dalam hegemoni kekuasaan. Tokoh-tokoh itu bergerak untuk melakukan penolakan terhadap satu pusat kekuasaan. Tokoh-tokoh novelnya—meminjam pengertian Derrida—berupaya menemukan pusat-pusat kekuasaan yang baru. Tokoh-tokoh dalam novelnya mengekspresikan kesadaran bahwa pusat itu plural, bukan tunggal. Tokoh-tokoh novel Putu Fajar Arcana berani membongkar sistem hierarki, sistem logika yang dianggap baku dalam memaknai pusat kekuasaan.

Kesadaran Putu Fajar Arcana mengeksplorasi hegemoni kekuasaan dalam mitos pewayangan membangkitkan kelebihan di luar style narasi. Ini berbeda dengan novel Di Batas Angin karya Yanusa Nugroho. Kedua novel itu sama-sama mengangkat mitos pewayangan dengan fokus hegemoni kekuasaan yang tak terlawan. Putu Fajar Arcana mengisahkan hegemoni kekuasaan yang berpusat pada Dewa Siwa, Yanusa Nugroho menarasikan hegemoni kekuasaan Sumantri atas adiknya sendiri yang buruk rupa dan sangat setia kepada kakaknya, Sokrasana.

Dalam novelnya, Putu Fajar Arcana melakukan kontekstualisasi hegemoni kekuasaan ke dalam kehidupan manusia masa kini. Karena itu, ia lebih mempertajam konflik antartokoh yang berbenturan dengan pusat kekuasaan. Kadang ia menggunakan bahasa esai untuk mengeksplorasi paradoks hegemoni kekuasaan itu. Yanusa Nugroho menghadirkan hegemoni kekuasaan dalam narasi yang tak memasuki kontekstualisasi kehidupan masa kini. Yanusa Nugroho lebih jernih dalam stilistika dan imaji untuk menyentuh empati pembaca. Putu Fajar Arcana memilih memanfaatkan peralihan narator sebagai ”orang ketiga” yang bisa berganti sebagai ”orang pertama” yang menegaskan kesan hegemoni kekuasaan itu bukan semata-mata sebagai mitos, melainkan juga melingkupi atmosfer kehidupan kita. Ia mencipta novel untuk menyingkap kesadaran pembaca yang belum terbebas dari pertarungan hegemoni kekuasaan.

S Prasetyo Utomo, Cerpenis; Dosen IKIP PGRI Semarang


Sumber: Kompas, Minggu, 14 Oktober 2012

No comments: