-- Isbedy Stiawan Z.S.
TEMU Sastrawan Mitra Praja Utama (MPU) yang digagas sastrawan dan pegiat sastra di Banten 8 tahun silam, belakangan ini kian merosot, baik kualitas acara atau penyelenggaraan maupun pesertanya.
Banten menggagas event ini berniat agar munculnya dialog tentang pertumbuhan sastra(wan) dari masing-masing provinsi yang tergabung dalam MPU: Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, dan NTT.
Selain itu, berlangsungnya dialog ihwal perkembangan/pertumbuhan kehidupan bersastra serta permasalahannya di 10 provinsi ini. Misalnya, bagaimana saat "berhadapan" dengan pemerintah. Atau bagaimana pandangan pemerintah pada seniman.
Dari gagasan ini, digelar Temu Sastrawan MPU. Lalu dijabarkan di Bali dengan sangat apik, serta "dipatenkan" di Jawa Barat. Inilah masa ideal dari event Disbudpar se-MPU.
Banten mengawali kegiatan ini sebagai milik sastrawan yang difasilitasi pemerintah, lalu dicoba di Bali dan dilanjutkan di Jawa Barat. Ternyata berhasil, meskipun tarik-menarik "kepentingan" masih terjadi.
Tarik-menarik yang saya maksud adalah satu sisi satrawan ingin event ini murni sebagai panggung ekspresi, sementara bilah lain dari pemerintah bagaimana kegiatan ini mesti sepenuhnya ditangani sendiri: dari penguasaan-pengeluaran anggaran, pemilihan sastrawan, sampai menyusun tema dan merancang penampilan.
Akibat dari cara itu, Temu Sastra MPU sejak Jawa Tengah mulai berubah. Lalu di Jawa Timur, event ini benar-benar milik Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, dan sastrawan seakan menjadi pengantin/penggembira.
Lebih parah lagi, peran sastrawan lebih sedikit dibanding kuantitas dari pihak pemerintah. Terutama, apabila event tandang, kadang sastrawan hanya seorang dan dari birokrat bisa lebih empat orang. Tegasnya, birokrat justru menguasai event ini.
Pada akhirnya, pertemuan ini menjadi kendaraan pesiar bagi sebagian birokrat, sementara sastrawan adalah alat dari kendaraan tersebut. Sungguh menyedihkan: maksud hati menabur dan menyuburkan kehidupan bersastra, silaturahmi antarsastrawan, tetapi ?salah asuh? oleh tangan yang salah.
Tampaknya Temu Sastrawan MPU yang sudah berjalan ketujuh kalinya ini, semakin merosot, baik dari penyelenggaraan sampai penyampaian materi (performance art) para penampil. Tidak bisa dipungkiri, banyak penampil yang belum paham ruang dan suasana pangggung. Hal ini disebabkan karena bukan ?ahlinya? melainkan pemilihan peserta yang asal comot.
Menyedihkan, misalnya saat Temu Sastrawan MPU VII di Yogyakarta yang berlangsung 15?17 Oktober 2012, di Hotel Brongto, tidak satu pun sastrawan Yogyakarta dilibatkan. Tengoklah bunga rampai yang diterbitkan dengan pencetakan lumayan bagus, tak ada sastrawan semisal Raudal Tanjung Banua, Joko Pinurbo, Mustofa W. Hasyim, Boedi Ismanto S.A., Iman Budi Santosa, Sunlie Thomas Alexander, Mahwi Tawar, Indrian Koto, Komang Ira, Dyah Merta, dan banyak lagi.
Begitu pula dari Jawa Tengah, tanpa hadirnya Triyanto Triwikromo, Wijhan Warekh, Sosiawan Leak, dan sebagainya. Masih baik dari Jawa Timur: ada Tjahyono Widarmanto. Begitu pula DKI Jakarta, selain Zeffry Alkatiri, Chairil Gibran Ramadhan, Ahmadun Yosi Herfanda, dan Sihar Ramses Simatupang, munculnya Masyarakat Sastra Jakarta benar-benar menyita waktu penampilan dari tim yang selalu membawa ?pasukan? terbanyak ini.
Pada putaran ketujuh ini juga, tanpa kehadiran tiga provinsi: Bali, NTB, dan NTB semakin kuat indikasi bahwa Temu Sastrawan MPU ini sudah pantas dihabiskan saja. Ini memang pilihan paling ekstrem. Kecuali pada pergelaran- pergelaran berikutnya, format acara dan undangan peserta yang akan hadir mesti diperbaiki kembali.
Sebab, acara ini adalah pertemuan sastrawan, sastrawan di sini adalah individu. Jadi bukan kelompok atau grup yang untuk penampilan pun harus bersama-sama di panggung. Akibat format seperti ini, sastra akhirnya dimusikalisasikan ataupun diteaterikalkan.
Ke depannya, penampilan sastrawan di panggung Temu Sastrawan MPU ini kembalikan kepada asalnya. Biarkan sastrawan hadir sebagai individu dengan kekuatannya masing-masing. Biarkan karya sastra menemui publiknya melalui hantaran sang sastrawannya.
Kemudian kalau dari pertemuan ini menghendaki sastra dapat dinikmati atau dibaca di kalangan lebih luas?semisal pelajar atau mahasiswa?maka semestinya pihak tuan rumah sudah jauh-jauh hari mengabarkan di media-media. Ataupun sebarkan undangan ke sekolah maupun kampus.
Jangan menyembunyikan kegiatan ini dari publik, sekiranya dari penyelenggaraan ini kita berniat memasyarakatkan sastra, ?menularkan? kehendak menjadi sastrawan kepada masyarakat umum dalam hal ini pelajar dan mahasiswa. Inilah yang terjadi di Yogyakarta, alih-alih sastrawan bahkan kalangan media pun tidak menahu ada kegiatan ini.
Sungguh ironi bukan? Kita selalu menuding bahwa pembaca sastra minim, tak ada orang yang menyukai membaca sastra. Tetapi, kita tak pernah melakukan publikasi atas peristiwa sastra. Karena yang menyelenggarakan ini adalah pemerintah, mestinya mereka yang menyebarkan informasi ini baik lewat selebaran, baliho, spanduk, dan berita di media cetak/elektronik.
Sayang kalau kegiatan ini hanya dari dan untuk sastrawan. Saya melihat ini yang terjadi dalam beberapa event Temu Sastrawan MPU. Sastrawan yang bicara, ditanggapi oleh sastrawan lagi. Sastrawan yang tampil di panggung, ditonton oleh sastrawan lainnya. Laiknya beronani: perkawinan inses.
Lalu, soal nama kegiatan. Seingat saya di Banten sebagai penyelanggara perdana, kegiatan ini tanpa ada kata ?nusantara? di tengah-tengah Temu Sastrawan MPU. Begitu pula di Bali dan Jawa Barat. Tetapi begitu masuk Jawa Tengah sebagai penyelenggara mulai ada tambahan ?nusantara? sehingga berbunyi Temu Sastrawan Nusantara MPU. Entah di Jawa Timur, tapi di Lampung dalam berbagai pemberitaan telah dihilangkan. Dan muncul lagi di Yogyakarta.
Benar jika pertanyaan aneh dari peserta, ihwal kata nusantara. Nusantara berarti dari Sabang-Merauke, bahkan negara jiran, seperti Malaysia, Singapura (yang Melayu), Brunei, dan Thailand (yang Melayu) acap menggunakan Nusantara untuk beberapa acara sastra.
Beberapa kegiatan sastra yang menggunakan nusantara, seperti Pertemuan Sastrawan Nusantara (PSN) yang diikuti Indonesia, Malaysia, Brunei, Singapura, dan Thailand (yang melayu). Lalu Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) yang melibatkan Indonesia, Malaysia, Brunei, Singapura, dan Thailand (melayu). Satu lagi yang digelontorkan oleh sastrawan Malaysia, yakni Pertemuan Sastrawan Nusantara Melayu Raya (Numera).
Apakah Mitra Praja Utama (MPU) yang hanya melibatkan 10 provinsi?Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, dan NTT?layak disebut Nusantara. Apatah lagi ada pertanyaan ngelantur MPU itu apa dan kenapa hanya tidak lebih dari 10 provinsi yang mengikuti kegiatan ini?
Dia lupa, MPU adalah suatu wadah yang diinisiasi para gubernur di 10 provinsi ini, untuk bekerja sama dalam bidang ekonomi, sosial, pembangunan, pariwisata, kebudayaan, dan sebagainya.
Oleh sebab itu, pada pergelaran tahun depan nama ini pertama-tama mesti dipertegas. Kemudian jumlah sastrawan yang diundang, apakah masih 5 orang setiap provinsi dan 1 (atau 2) dari birokrat. Sehingga setiap kontingen berjumlah 7 orang. Selama ini terbalik: sastrawannya cukup 2 orang, sementara dari birokrat adalah 5 orang atau 3 sastrawan 4 birokrat, bahkan Provinsi Lampung tahun ini mengirim 2 sastrawan, tapi birokratnya 3 orang; 2 sastrawan lagi ditanggung oleh Dewan Kesenian Lampung (DKL).
Sialnya beberapa acara ini, saya hanya berangkat seorang dan didanai oleh DKL?bukan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Lampung. Sampai pada Temu Sastrawan MPU di Jawa Timur yang mengirim seorang Alexander G.B., dan 2 orang dari birokrat.
Ini boleh jadi terjadi juga dengan provinsi lain. Malah lebih memprihatinkan, event di Yogyakarta kali ini tanpa 3 provinsi: Bali, NTB, dan NTT.
Semoga Temu Sastrawan MPU berikutnya, dapat dikembalikan ke format yang lebih ideal. Akhir kata, ?kembalikan Temu Sastrawan MPU kepada sastrawan!? untuk memelesetkan ?kembalikan Indonesia kepadaku!? Tabik.
Isbedy Stiawan Z.S., sastrawan
Sumber: Lampung Post, Minggu, 21 Oktober 2012
TEMU Sastrawan Mitra Praja Utama (MPU) yang digagas sastrawan dan pegiat sastra di Banten 8 tahun silam, belakangan ini kian merosot, baik kualitas acara atau penyelenggaraan maupun pesertanya.
Banten menggagas event ini berniat agar munculnya dialog tentang pertumbuhan sastra(wan) dari masing-masing provinsi yang tergabung dalam MPU: Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, dan NTT.
Selain itu, berlangsungnya dialog ihwal perkembangan/pertumbuhan kehidupan bersastra serta permasalahannya di 10 provinsi ini. Misalnya, bagaimana saat "berhadapan" dengan pemerintah. Atau bagaimana pandangan pemerintah pada seniman.
Dari gagasan ini, digelar Temu Sastrawan MPU. Lalu dijabarkan di Bali dengan sangat apik, serta "dipatenkan" di Jawa Barat. Inilah masa ideal dari event Disbudpar se-MPU.
Banten mengawali kegiatan ini sebagai milik sastrawan yang difasilitasi pemerintah, lalu dicoba di Bali dan dilanjutkan di Jawa Barat. Ternyata berhasil, meskipun tarik-menarik "kepentingan" masih terjadi.
Tarik-menarik yang saya maksud adalah satu sisi satrawan ingin event ini murni sebagai panggung ekspresi, sementara bilah lain dari pemerintah bagaimana kegiatan ini mesti sepenuhnya ditangani sendiri: dari penguasaan-pengeluaran anggaran, pemilihan sastrawan, sampai menyusun tema dan merancang penampilan.
Akibat dari cara itu, Temu Sastra MPU sejak Jawa Tengah mulai berubah. Lalu di Jawa Timur, event ini benar-benar milik Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, dan sastrawan seakan menjadi pengantin/penggembira.
Lebih parah lagi, peran sastrawan lebih sedikit dibanding kuantitas dari pihak pemerintah. Terutama, apabila event tandang, kadang sastrawan hanya seorang dan dari birokrat bisa lebih empat orang. Tegasnya, birokrat justru menguasai event ini.
Pada akhirnya, pertemuan ini menjadi kendaraan pesiar bagi sebagian birokrat, sementara sastrawan adalah alat dari kendaraan tersebut. Sungguh menyedihkan: maksud hati menabur dan menyuburkan kehidupan bersastra, silaturahmi antarsastrawan, tetapi ?salah asuh? oleh tangan yang salah.
Tampaknya Temu Sastrawan MPU yang sudah berjalan ketujuh kalinya ini, semakin merosot, baik dari penyelenggaraan sampai penyampaian materi (performance art) para penampil. Tidak bisa dipungkiri, banyak penampil yang belum paham ruang dan suasana pangggung. Hal ini disebabkan karena bukan ?ahlinya? melainkan pemilihan peserta yang asal comot.
Menyedihkan, misalnya saat Temu Sastrawan MPU VII di Yogyakarta yang berlangsung 15?17 Oktober 2012, di Hotel Brongto, tidak satu pun sastrawan Yogyakarta dilibatkan. Tengoklah bunga rampai yang diterbitkan dengan pencetakan lumayan bagus, tak ada sastrawan semisal Raudal Tanjung Banua, Joko Pinurbo, Mustofa W. Hasyim, Boedi Ismanto S.A., Iman Budi Santosa, Sunlie Thomas Alexander, Mahwi Tawar, Indrian Koto, Komang Ira, Dyah Merta, dan banyak lagi.
Begitu pula dari Jawa Tengah, tanpa hadirnya Triyanto Triwikromo, Wijhan Warekh, Sosiawan Leak, dan sebagainya. Masih baik dari Jawa Timur: ada Tjahyono Widarmanto. Begitu pula DKI Jakarta, selain Zeffry Alkatiri, Chairil Gibran Ramadhan, Ahmadun Yosi Herfanda, dan Sihar Ramses Simatupang, munculnya Masyarakat Sastra Jakarta benar-benar menyita waktu penampilan dari tim yang selalu membawa ?pasukan? terbanyak ini.
Pada putaran ketujuh ini juga, tanpa kehadiran tiga provinsi: Bali, NTB, dan NTB semakin kuat indikasi bahwa Temu Sastrawan MPU ini sudah pantas dihabiskan saja. Ini memang pilihan paling ekstrem. Kecuali pada pergelaran- pergelaran berikutnya, format acara dan undangan peserta yang akan hadir mesti diperbaiki kembali.
Sebab, acara ini adalah pertemuan sastrawan, sastrawan di sini adalah individu. Jadi bukan kelompok atau grup yang untuk penampilan pun harus bersama-sama di panggung. Akibat format seperti ini, sastra akhirnya dimusikalisasikan ataupun diteaterikalkan.
Ke depannya, penampilan sastrawan di panggung Temu Sastrawan MPU ini kembalikan kepada asalnya. Biarkan sastrawan hadir sebagai individu dengan kekuatannya masing-masing. Biarkan karya sastra menemui publiknya melalui hantaran sang sastrawannya.
Kemudian kalau dari pertemuan ini menghendaki sastra dapat dinikmati atau dibaca di kalangan lebih luas?semisal pelajar atau mahasiswa?maka semestinya pihak tuan rumah sudah jauh-jauh hari mengabarkan di media-media. Ataupun sebarkan undangan ke sekolah maupun kampus.
Jangan menyembunyikan kegiatan ini dari publik, sekiranya dari penyelenggaraan ini kita berniat memasyarakatkan sastra, ?menularkan? kehendak menjadi sastrawan kepada masyarakat umum dalam hal ini pelajar dan mahasiswa. Inilah yang terjadi di Yogyakarta, alih-alih sastrawan bahkan kalangan media pun tidak menahu ada kegiatan ini.
Sungguh ironi bukan? Kita selalu menuding bahwa pembaca sastra minim, tak ada orang yang menyukai membaca sastra. Tetapi, kita tak pernah melakukan publikasi atas peristiwa sastra. Karena yang menyelenggarakan ini adalah pemerintah, mestinya mereka yang menyebarkan informasi ini baik lewat selebaran, baliho, spanduk, dan berita di media cetak/elektronik.
Sayang kalau kegiatan ini hanya dari dan untuk sastrawan. Saya melihat ini yang terjadi dalam beberapa event Temu Sastrawan MPU. Sastrawan yang bicara, ditanggapi oleh sastrawan lagi. Sastrawan yang tampil di panggung, ditonton oleh sastrawan lainnya. Laiknya beronani: perkawinan inses.
Lalu, soal nama kegiatan. Seingat saya di Banten sebagai penyelanggara perdana, kegiatan ini tanpa ada kata ?nusantara? di tengah-tengah Temu Sastrawan MPU. Begitu pula di Bali dan Jawa Barat. Tetapi begitu masuk Jawa Tengah sebagai penyelenggara mulai ada tambahan ?nusantara? sehingga berbunyi Temu Sastrawan Nusantara MPU. Entah di Jawa Timur, tapi di Lampung dalam berbagai pemberitaan telah dihilangkan. Dan muncul lagi di Yogyakarta.
Benar jika pertanyaan aneh dari peserta, ihwal kata nusantara. Nusantara berarti dari Sabang-Merauke, bahkan negara jiran, seperti Malaysia, Singapura (yang Melayu), Brunei, dan Thailand (yang Melayu) acap menggunakan Nusantara untuk beberapa acara sastra.
Beberapa kegiatan sastra yang menggunakan nusantara, seperti Pertemuan Sastrawan Nusantara (PSN) yang diikuti Indonesia, Malaysia, Brunei, Singapura, dan Thailand (yang melayu). Lalu Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) yang melibatkan Indonesia, Malaysia, Brunei, Singapura, dan Thailand (melayu). Satu lagi yang digelontorkan oleh sastrawan Malaysia, yakni Pertemuan Sastrawan Nusantara Melayu Raya (Numera).
Apakah Mitra Praja Utama (MPU) yang hanya melibatkan 10 provinsi?Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, dan NTT?layak disebut Nusantara. Apatah lagi ada pertanyaan ngelantur MPU itu apa dan kenapa hanya tidak lebih dari 10 provinsi yang mengikuti kegiatan ini?
Dia lupa, MPU adalah suatu wadah yang diinisiasi para gubernur di 10 provinsi ini, untuk bekerja sama dalam bidang ekonomi, sosial, pembangunan, pariwisata, kebudayaan, dan sebagainya.
Oleh sebab itu, pada pergelaran tahun depan nama ini pertama-tama mesti dipertegas. Kemudian jumlah sastrawan yang diundang, apakah masih 5 orang setiap provinsi dan 1 (atau 2) dari birokrat. Sehingga setiap kontingen berjumlah 7 orang. Selama ini terbalik: sastrawannya cukup 2 orang, sementara dari birokrat adalah 5 orang atau 3 sastrawan 4 birokrat, bahkan Provinsi Lampung tahun ini mengirim 2 sastrawan, tapi birokratnya 3 orang; 2 sastrawan lagi ditanggung oleh Dewan Kesenian Lampung (DKL).
Sialnya beberapa acara ini, saya hanya berangkat seorang dan didanai oleh DKL?bukan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Lampung. Sampai pada Temu Sastrawan MPU di Jawa Timur yang mengirim seorang Alexander G.B., dan 2 orang dari birokrat.
Ini boleh jadi terjadi juga dengan provinsi lain. Malah lebih memprihatinkan, event di Yogyakarta kali ini tanpa 3 provinsi: Bali, NTB, dan NTT.
Semoga Temu Sastrawan MPU berikutnya, dapat dikembalikan ke format yang lebih ideal. Akhir kata, ?kembalikan Temu Sastrawan MPU kepada sastrawan!? untuk memelesetkan ?kembalikan Indonesia kepadaku!? Tabik.
Isbedy Stiawan Z.S., sastrawan
Sumber: Lampung Post, Minggu, 21 Oktober 2012
No comments:
Post a Comment