Saturday, October 20, 2012

Mengenang Sides Sudyarto DS (1942-2012)

-- Donny Anggoro

Sides terserap pada Rayakultura juga di Lesbumi yang merupakan wadah seniman NU.

Sides Sudyarto DS (dok/ist)

PUKUL 12 siang, penyair Shinta Miranda meneleponku. Mas Sides wafat, katanya. Aku tersentak. Segera kutanya beberapa kawan yang mungkin tahu dengan tepat alamatnya untuk melayat. Dapat. Aku bersiap.

Tapi aku teringat sedang mengawasi para tukang bangunan yang sebentar lagi sedang menyelesaikan renovasi rumahku. Tak jadi melayat, seperti kaset rekaman yang diputar kembali, pikiranku terkenang pada pertemuan bersama Sudiharto, nama asli Sides dalam diskusi “Meja Budaya“ di PDS HB Jassin TIM tiap Jumat sore.

Dari Shinta aku mendapat info pemakaman Sides tak banyak dikunjungi kawan sastrawan yang sempat datang, karena seperti aku tengah terjebak tugas masing-masing yang tak bisa ditinggal di tempat jauh. Yang kudengar, sahabat yang sempat datang Ahmadun Y Herfanda, Shinta Miranda, dan Naning Pranoto, rekan terdekat Sides yang selama enam tahun terakhir bersama menggerakkan komunitas Rayakultura.

Di media massa pemberitaan perihal kepergian Sides juga sepi. Kalau ada hanya tiga media online yang menulis, itu pun terlalu singkat tanpa menjelaskan sebab kepergiannya. Aku mendapat info Sides yang kukenal humoris sempat dirawat di rumah sakit karena paru-parunya terganggu.

Setelah pulih ia masih sempat ke sana-kemari mengadakan pertemuan sambil membagikan buku terbarunya, Kritik atas Puisi-Puisi Indonesia yang diterbitkan terbatas oleh Rayakultura. 9 Oktober, subuh, jantung penyair kelahiran Banjaranyar, Tegal, 14 Juli 1942 melemah dan ia pergi menghadap Sang Pencipta.

***

Aku mengenal Sides pertama kali pada tahun 2005 tatkala diajak bergabung ke “Mata Bambu” komunitas sastra yang beranggotakan Manaek Sinaga, Arie MP Tamba, Maroeli Simbolon, dan Henny Purnamasari. Ketika aktivitas “Mata Bambu” menyurut, kami masih sering bertemu di PDS HB Jassin menggiatkan gelaran diskusi “Meja Budaya” tiap Jumat bersama Martin Aleida, Endo Senggono, dan lainnya.

Tahun 2008 sampai pertengahan 2012 aku sudah jarang bertemu, terutama ketika aktivitas “Meja Budaya” mulai meredup. Di tengah kondisi fisiknya yang menyurut, Sides terserap pada Rayakultura juga di Lesbumi yang merupakan wadah seniman NU.

Sebagai penulis senior yang sudah berkiprah sejak 1970-an dengan menulis sajak, novelet, dan cerpen di berbagai media massa antara lain Sastra, Horison, Budaya Jaya, Ulumul Quran, Suara Pembaruan, Sinar Harapan dan Republika, Sides tak terlalu banyak menerbitkan karya tunggal.

Buku puisinya Sajak Tiang Gantungan (IndonesiaTera) malah terbit sekitar tahun 2003 dengan rentang yang sangat jauh dengan bukunya Kebatinan yang terbit di era 1980-an. Disusul kumpulan cerpen Salat Lebaran di Kamp Konsentrasi (Serambi, 2006) dan sebuah buku kiat menulis novel yang diterbitkan Yayasan Obor Indonesia pada 2009.

Enam tahun terakhir ia mendirikan Rayakultura bersama Naning Pranoto, karyanya mengalir deras walau diterbitkan terbatas, seperti Penyair dan Pemikir (Puisi dan Filsafat), Manusia dan Bahasa, Universitas dan Revolusi dan terakhir Kritik atas Puisi Puisi Indonesia.

Di sini ia giat menggelar lomba penulisan cerpen remaja dan seminar penulisan kreatif, selain sempat menerbitkan tabloid gratis pendidikan yang berumur pendek. Belum buku yang katanya masih dalam proses seperti tentang sastra Amerika Latin yang sampai kini belum sempat terbit. Esai lainnya ia publikasikan di laman internet Rayakultura.

Walau sampai kini kerap diembuskan banyak sastrawan terkemuka di pelbagai diskusi bahwa sastra Indonesia sedang krisis kritik, Sides seolah membantah dengan elegan, yaitu menerbitkan banyak buku kritik sehingga menguatkan dugaan bahwa asumsi sastrawan kita sendiri perihal minimnya kritik sastra sebenarnya akibat tak saling mengenal, sibuk dengan dunianya sendiri sehingga “malas” mengamati kondisi sastra di sekitarnya.

Dalam diskusi “Meja Budaya” ia pernah berujar, “Kritik harus ada karena masalah perbedaan pengalaman. Jika hendak dicari mengapa sastra kita jalan di tempat sebenarnya akibat ketiadaan kritik sastra. Anggapan bahwa kritik sastra adalah parasit karya kreatif sangat naif, padahal mereka lupa sebenarnya ada kritikus pertama bagi karya sastra, yaitu penulisnya sendiri.”

Perkataannya itu kemudian ia tuliskan kembali di pengantar buku terakhirnya Kritik atas Puisi Indonesia, sebuah buku tipis yang mengulas puisi penyair terkemuka seperti Rendra, Sitor Situmorang, Goenawan Mohamad, Ahmadun Y Herfanda, Chairil Anwar, sampai penyair yang nyaris jarang dibicarakan macam Armaya, Anas Ma’roef, Dharmadi, Elanda Rosi, dan Klara Akustia.

Di buku ini kritiknya begitu selektif dan tak ambisius bak “ensiklopedi sastra” ala Korrie Layun Rampan yang menurutku terlalu banyak membicarakan nama daripada karya di buku Angkatan Sastra 2000 sehingga buku itu menurutku gagal total sebagai telaah persis ujaran yang bergaung di seni musik, “the singer not the song”. Ya, kita akhirnya lebih mampu mengingat nama sastrawan daripada karya.

Ciri khas buku kritiknya selain analisis, cenderung fokus pada satu persoalan, tak berusaha mengumpulkan terlalu banyak hal, bak ujaran Remy Sylado di buku 123 Ayat Seni, Sides memahami menulis sebagai misi kenabian yaitu pewarta sekaligus sikap hidup sehingga ia sendiri tak jadi “manusia tanggung”, yaitu menulis semata untuk uang.

Sides yang juga menyukai wayang, sadar karyanya cenderung ditolak penerbit arus utama, seperti puisi dan esai kritik. Ia pernah berkata padaku dengan optimistis jika karya itu sudah selesai tulis, anggap sajalah sudah terbit.

Bertahun lalu ia pernah bertandang ke PDS HB Jassin sambil membawa manuskrip novelnya setebal 1.000 halaman! Dedikasi Sides di dunia sastra sangat tinggi karena selain tetap menulis karya kreatif, buku esainya seolah mengingatkan kembali pentingnya kritik sastra.

Walau pengalamannya di media massa cukup banyak, antara lain pernah jadi reporter seni budaya dan politik internasional di Kompas dan redaktur majalah anak, Bobo sosok Sides bak tokoh mini dalam sastra kita: ia dikenal, tapi banyak juga yang belum mengenalnya.

Ini mungkin disebabkan dirinya yang tak masuk poros komunitas budaya arus utama macam Salihara (d/h TUK) atau Bentara Kompas, di samping karyanya belakangan tak ia publikasi di media cetak arus utama. Ketika banyak sastrawan lainnya seperti komentar Budi Darma cenderung jadi “politikus ambisius” dengan terlalu sering “berkampanye” menguatkan diri sebagai “sastrawan”, sibuk ingin masuk atau “mencela” poros komunitas budaya tertentu, sosok Sides seolah menguatkan falsafah Mo Yan peraih Nobel Sastra kali ini yaitu “tugas penulis, ya, menulis”.

Selamat jalan, Sides.

Tangerang Selatan, Oktober 2012.

Donny Anggoro
, anggota Lembaga Bhinneka, Surabaya.

Sumber: Sinar Harapan, Sabtu, 20 Oktober 2012

No comments: