Sunday, October 07, 2012

Novel dan Spiritualisasi Politik

-- Bandung Mawardi

DEMOKRASI modern adalah kalkulasi rasionalitas atas kausalitas untuk klaim penguasaan rakyat. Demokrasi pun mereduksi nilai-nilai spiritualitas sebagai fondasi atau kontrol untuk selebrasi politik sebagai agenda memartabatkan manusia.

Politik pun menjauh dari basis spiritualitas. Politik justru jadi monster dan hantu bagi rakyat. Refleksi atas antagonisme pemimpin dalam lakon politik diungkapkan secara liris dalam novel Perjalanan ke Timur garapan Hermann Hesse. Novel ini mengisahkan perjalanan orang-orang Barat untuk menengok kembali khazanah lama sebagai bibliografi penemuan diri. Spiritualitas mungkin mencerahkan tapi juga melenakan. Spiritualitas bisa menjadikan politik itu terang dan kudus.

Hermann Hesse melalui tokoh Leo mengajukan refleksi mengenai sosok pemimpin dalam tegangan profan dan sakral: ?Hukum tentang pengabdian. Dia yang berharap hidup lama harus mengabdi, namun dia yang berharap untuk mengatur tidak akan hidup lama.? Untaian kata ini kentara mengingatkan pembaca tentang makna politik: mengabdi dan mengatur.

Politik sebagai pengabdian menjadi realisasi kepentingan memberi dan mendermakan diri dalam laku politik. Politik sebagai model pengaturan mengandung maksud kesanggupan merealisasikan kompetensi memimpin atau memerankan diri sebagai suluh. Etos-spiritualitas jadi dasar dari praktek pengaturan agar politik bermartabat.

Sosok pemimpin jadi bab penting dalam lakon politik. Refleksi Herman Hesse pun dilanjutkan dengan pembacaan makna pemimpin. Tokoh Leo mengungkapkan: ?... Hanya sedikit orang yang terlahir untuk menjadi pemimpin. Mereka bakal bahagia dan sehat selamanya. Tapi bagi orang lain yang hanya menjadi pemimpin melalui usaha keras, berakhir dalam kehampaan.?

Pemimpin dalam refleksi ini seperti menjadi pembeda jelas antara kodrat dan pemaknaan ikhtiar politik. Pemimpin lahir dari lambaran spiritualitas untuk memenuhi hak dan kewajiban demi diri sendiri dan publik. Nilai keabadian jadi janji sakral. Pemahaman politik kodrat itu berbeda dengan praktek politik berpamrih menjadi pemimpin. Politik profan memang kadang selesai dengan hampa karena sekadar jadi pertaruhan modal dan pamer kuasa melalui mekanisme demokrasi.

Keberakhiran dalam kehampaan? Tokoh Leo memberi jawaban bahwa kehampaan itu terjelaskan melalui kehadiran pemimpin dalam rumah sakit. Narasi ?rumah sakit? sebagai terminal terakhir bagi pemimpin politik profan mengandung jejak-jejak luka. Pemimpin kerap didera oleh depresi, sakit, obsesi, atau ekstase tapi menyeret dalam kehampaan makna.

Politik jadi selebrasi atas hasrat-hasrat menampik spiritualitas. Rumah sakit adalah tanda pemimpin perlu menjalani pengobatan, penyembuhan, atau pembersihan diri. Rumah sakit juga jadi tanda seru: Pemimpin tanpa spiritualisasi politik bakal lekas sekarat atau mati. Rumah sakit jadi tempat pembaringan atas lakon pemimpin sakit dan lakon politik tanpa spiritualitas.

Novel Herman Hesse bukan risalah politik, tapi bisa jadi pengingat mengenai kondisi politik mutakhir. Demokrasi memang kencang digerakkan dengan berbagai mesin dan modal. Demokrasi pun dipahami sebagai cara menyelamatkan manusia dari kebiadaban dan kekerasan.

Idealitas dengan jalan politik ternyata tidak menimbulkan optimisme karena para pemimpin tak sanggup menjadi lokomotif dari janji penyelamatan. Pemimpin justru jadi pelaku dari despiritualisasi politik.

Para pemimpin lalu luput dari kesucian. Mereka cenderung jadi sosok dari keserakahan dan arogansi. Pemimpin melucuti nilai-nilai spiritualitas untuk membenarkan pelbagai tindakan mengotori politik dan membuat demokrasi jadi sakit.

Lakon politik di Indonesia dengan sekian gelagat para pemimpin mungkin sudah membuat publik merasa mabuk dalam cemas. Pemimpin jadi momok meski mereka menuntut pengesahan melalui konstitusi dan mekanisme demokrasi. Modal membuat mereka jadi pemimpin. Penumpukkan modal dan pamer kekuasaan jadi sasaran mereka untuk mengesahkan diri sebagai pemimpin.

Sakralitas sekadar instrumen atau aksesori dalam permainan simbol dan pencitraan. Imaji politik dalam pola klise ini terus terjadi dan dipertontonkan tanpa malu.

Novel susah jadi alat perubahan tapi masih mungkin jadi referensi refleksi politik. Spiritualisasi politik mungkin jadi idealitas dalam selebrasi profanisasi politik dalam kehampaan dan nasib sekarat. Novel berbeda dengan konstitusi. Novel mengingatkan dan konstitusi memerintahkan. Kesadaran untuk belajar politik dan menjadi pemimpin dengan acuan novel (sastra) mungkin bisa jadi jalan untuk menyelamatkan politik dari kutukan dan kehitampekatan. Begitu.

Bandung Mawardi, Pengelola Jagat Abjad Solo

Sumber: Lampung Post, Minggu, 7 Oktober 2012

No comments: