DUNIA kesusastraan Sulawesi Selatan tengah berduka. Muhammad Salim, transliterator atau penerjemah dan penafsir Sureq Galigo atau hikayat Bugis Kuno yang sudah diakui sebagai salah satu karya sastra terpanjang di dunia, meninggal dunia. Salim meninggal dalam usia 74 tahun di kediamannya, Jalan Adipura I Lorong 3C Nomor 31, Makassar, setelah menunaikan Salat Maghrib.
Di mata orang-orang yang terlibat dalam proyek transliterasi dan penerjemahan Sureq Galigo, Salim memiliki dua teladan dalam pekerjaan besar itu. Pertama, beliau orang yang konsisten dalam bidangnya dan kedua, beliau disiplin dalam waktu dan pekerjaan.
Selain sebagai penerjemah, Salim adalah penafsir yang sangat bagus. Sayangnya, hingga saat-saat terakhir, Salim belum memberikan nama murid yang akan meneruskan keahliannya tersebut. Murid yang bisa membaca Sureq Galigo banyak. Tapi sulit menemukan penafsir seperti beliau. Tak aneh jika selama ini para peneliti dari berbagai perguruan tinggi di dalam maupun luar negeri menemui dan belajar kepada Salim.
Salim lahir di Sidenreng Rappang (Sidrap), Sulawesi Selatan, pada 4 Mei 1936. Pengalaman menulis dan menerjemahkan dalam aksara lontarak ke huruf latin terasah sejak Salim duduk di bangku pesantren di Allakuang, Sidrap. Di sana, ia terbiasa menerjemahkan naskah berbahasa Arab ke dalam bahasa Bugis dengan huruf lontarak.
Semasa hidupnya, Salim pernah bekerja sebagai Kepala Dinas Kebudayaan Sidrap, anggota staf Dinas Permuseuman dan Kepurbakalaan, dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin dan peneliti di Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan. Karya yang sudah lahir dari tangannya adalah transliterasi dan terjemahan 12 jilid Sureq Galigo karya Arung Pancana Toa, Lontarak Sidenreng, Lontarak Soppeng/Luwu, Budhistihara, Pappaseng dan Lontarak Enrekang. Naskah yang disebutkan terakhir tengah dikerjakan sebelum Salim berpulang.
Salim juga berperan penting sebagai penasihat teks untuk produksi teater internasional ‘’I La Galigo’’, yang pentas di beberapa negara. Dalam rangkaian acara teater ‘’I La Galigo’’, yang akan pentas di Makassar sebelum kepergiannya, direncanakan Salim berbicara dalam seminar dan memberikan kuliah umum. Sayang, rencana ini tak bisa terwujud. Salim dikebumikan di tanah kelahirannya, Sidrap.
M Salim adalah bukti hidup bahwa penghargaan datang bukan karena gelar dan jabatan, tetapi karena karya berkelanjutan. Hampir sepanjang hidup ia menekuni ‘’lontarak’’, naskah kuno beraksara Bugis-Makassar. Dia menghidupkan dan memaknainya kendati ini kerja sunyi tanpa banyak imbalan.
Lontarak adalah kehidupan Salim. Aktivitas menyalin lontarak ke huruf Latin (transliterasi) lalu menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia (translasi) ibarat menu hariannya. Dalam sehari ia menghabiskan dua hingga tiga jam untuk menyalin lontarak, termasuk Lontarak Enrekang, proyek yang baru dia mulai.
Meski demikian, yang membuat nama Salim diperhitungkan hingga mancanegara tentulah Sureq Galigo. Dia terpilih dalam Proyek Transliterasi dan Terjemahan Sureq Galigo yang digagas Universitas Leiden, Belanda, tahun 1987. Ia mulai bekerja tahun 1988 dan membutuhkan waktu 5 tahun 2 bulan untuk menerjemahkan hikayat penciptaan peradaban manusia di Sulsel itu.
Naskah ‘’I La Galigo’’ di Universitas Leiden memiliki tebal sekitar 6.000 halaman. Arung Pancana Toa-lah yang memberikan naskah ini kepada orang Belanda, BF Matthes. Naskah di Leiden termasuk kisah paling lengkap kendati belum sepenuhnya selesai. Sebenarnya masih banyak lontarak yang terserak dan belum ditemukan.
Tidak mudah menerjemahkan ‘’I La Galigo’’, karya sastra terpanjang yang berabad-abad ‘tertidur’. Salim tak sekadar membaca teks, tetapi juga konteksnya. Galigo merupakan karya sastra yang khas dengan pola pengejaan lima-lima, seperti: i-la-ga-li-go dan sa-we-ri-ga-ding. Melalui pergulatannya, Salim menemukan Sureq Galigo juga menggunakan bahasa Bugis klasik dan Sanskerta, contohnya pada Sangiangserri yang artinya Dewi Padi. ‘’Dalam Sanskerta, dikenal Sang Hyang Sri, yang juga Dewi Padi.’’
Dalam penerjemahan, ia membutuhkan tiga kamus sekaligus, yakni bahasa Bugis-bahasa Belanda lama, bahasa Belanda lama-bahasa Melayu lama, dan bahasa Melayu lama-bahasa Indonesia. Penerjemahan Galigo memang melelahkan. Ruang kerja di rumah panggungnya berupa bilik. Sejak pukul 08.00 hingga 17.00 ia menekuni aksara kuno. Di sebelah meja kerja, ada kasur untuk Salim beristirahat sewaktu-waktu.
Nama Salim ikut mendunia bersama ‘terbangunnya’ I La Galigo. Mata dunia memandangnya seakan dia baru muncul. Padahal, jauh sebelumnya ia sudah tenggelam dalam dunia lontarak. Lahir dan besar di Pangkajene, Sidenreng Rappang, Sulsel, ia terbiasa membaca lontarak.
Pada masa lalu masyarakat menuliskan kisah dalam aksara lontarak. Apa pun bisa diceritakan; ilmu perbintangan, hubungan suami-istri, silsilah keluarga, pantangan, doa-doa, hingga nyanyian. Salim kecil belajar membaca lontarak dari neneknya. Kemampuan ini terasah saat ia masuk pesantren di Allakuang, Sidenreng Rappang (Sidrap). Dia bergurukan KH Muhammad Yafie dan Muhammad Abduh Pabbajah. Murid-murid di sini terbiasa menerjemahkan Al Quran dalam bahasa Arab ke bahasa Bugis. Semuanya ditulis dalam huruf lontarak. (fed)
Sumber: Riau Pos, Minggu, 21 Oktober 2012
Di mata orang-orang yang terlibat dalam proyek transliterasi dan penerjemahan Sureq Galigo, Salim memiliki dua teladan dalam pekerjaan besar itu. Pertama, beliau orang yang konsisten dalam bidangnya dan kedua, beliau disiplin dalam waktu dan pekerjaan.
Selain sebagai penerjemah, Salim adalah penafsir yang sangat bagus. Sayangnya, hingga saat-saat terakhir, Salim belum memberikan nama murid yang akan meneruskan keahliannya tersebut. Murid yang bisa membaca Sureq Galigo banyak. Tapi sulit menemukan penafsir seperti beliau. Tak aneh jika selama ini para peneliti dari berbagai perguruan tinggi di dalam maupun luar negeri menemui dan belajar kepada Salim.
Salim lahir di Sidenreng Rappang (Sidrap), Sulawesi Selatan, pada 4 Mei 1936. Pengalaman menulis dan menerjemahkan dalam aksara lontarak ke huruf latin terasah sejak Salim duduk di bangku pesantren di Allakuang, Sidrap. Di sana, ia terbiasa menerjemahkan naskah berbahasa Arab ke dalam bahasa Bugis dengan huruf lontarak.
Semasa hidupnya, Salim pernah bekerja sebagai Kepala Dinas Kebudayaan Sidrap, anggota staf Dinas Permuseuman dan Kepurbakalaan, dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin dan peneliti di Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan. Karya yang sudah lahir dari tangannya adalah transliterasi dan terjemahan 12 jilid Sureq Galigo karya Arung Pancana Toa, Lontarak Sidenreng, Lontarak Soppeng/Luwu, Budhistihara, Pappaseng dan Lontarak Enrekang. Naskah yang disebutkan terakhir tengah dikerjakan sebelum Salim berpulang.
Salim juga berperan penting sebagai penasihat teks untuk produksi teater internasional ‘’I La Galigo’’, yang pentas di beberapa negara. Dalam rangkaian acara teater ‘’I La Galigo’’, yang akan pentas di Makassar sebelum kepergiannya, direncanakan Salim berbicara dalam seminar dan memberikan kuliah umum. Sayang, rencana ini tak bisa terwujud. Salim dikebumikan di tanah kelahirannya, Sidrap.
M Salim adalah bukti hidup bahwa penghargaan datang bukan karena gelar dan jabatan, tetapi karena karya berkelanjutan. Hampir sepanjang hidup ia menekuni ‘’lontarak’’, naskah kuno beraksara Bugis-Makassar. Dia menghidupkan dan memaknainya kendati ini kerja sunyi tanpa banyak imbalan.
Lontarak adalah kehidupan Salim. Aktivitas menyalin lontarak ke huruf Latin (transliterasi) lalu menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia (translasi) ibarat menu hariannya. Dalam sehari ia menghabiskan dua hingga tiga jam untuk menyalin lontarak, termasuk Lontarak Enrekang, proyek yang baru dia mulai.
Meski demikian, yang membuat nama Salim diperhitungkan hingga mancanegara tentulah Sureq Galigo. Dia terpilih dalam Proyek Transliterasi dan Terjemahan Sureq Galigo yang digagas Universitas Leiden, Belanda, tahun 1987. Ia mulai bekerja tahun 1988 dan membutuhkan waktu 5 tahun 2 bulan untuk menerjemahkan hikayat penciptaan peradaban manusia di Sulsel itu.
Naskah ‘’I La Galigo’’ di Universitas Leiden memiliki tebal sekitar 6.000 halaman. Arung Pancana Toa-lah yang memberikan naskah ini kepada orang Belanda, BF Matthes. Naskah di Leiden termasuk kisah paling lengkap kendati belum sepenuhnya selesai. Sebenarnya masih banyak lontarak yang terserak dan belum ditemukan.
Tidak mudah menerjemahkan ‘’I La Galigo’’, karya sastra terpanjang yang berabad-abad ‘tertidur’. Salim tak sekadar membaca teks, tetapi juga konteksnya. Galigo merupakan karya sastra yang khas dengan pola pengejaan lima-lima, seperti: i-la-ga-li-go dan sa-we-ri-ga-ding. Melalui pergulatannya, Salim menemukan Sureq Galigo juga menggunakan bahasa Bugis klasik dan Sanskerta, contohnya pada Sangiangserri yang artinya Dewi Padi. ‘’Dalam Sanskerta, dikenal Sang Hyang Sri, yang juga Dewi Padi.’’
Dalam penerjemahan, ia membutuhkan tiga kamus sekaligus, yakni bahasa Bugis-bahasa Belanda lama, bahasa Belanda lama-bahasa Melayu lama, dan bahasa Melayu lama-bahasa Indonesia. Penerjemahan Galigo memang melelahkan. Ruang kerja di rumah panggungnya berupa bilik. Sejak pukul 08.00 hingga 17.00 ia menekuni aksara kuno. Di sebelah meja kerja, ada kasur untuk Salim beristirahat sewaktu-waktu.
Nama Salim ikut mendunia bersama ‘terbangunnya’ I La Galigo. Mata dunia memandangnya seakan dia baru muncul. Padahal, jauh sebelumnya ia sudah tenggelam dalam dunia lontarak. Lahir dan besar di Pangkajene, Sidenreng Rappang, Sulsel, ia terbiasa membaca lontarak.
Pada masa lalu masyarakat menuliskan kisah dalam aksara lontarak. Apa pun bisa diceritakan; ilmu perbintangan, hubungan suami-istri, silsilah keluarga, pantangan, doa-doa, hingga nyanyian. Salim kecil belajar membaca lontarak dari neneknya. Kemampuan ini terasah saat ia masuk pesantren di Allakuang, Sidenreng Rappang (Sidrap). Dia bergurukan KH Muhammad Yafie dan Muhammad Abduh Pabbajah. Murid-murid di sini terbiasa menerjemahkan Al Quran dalam bahasa Arab ke bahasa Bugis. Semuanya ditulis dalam huruf lontarak. (fed)
Sumber: Riau Pos, Minggu, 21 Oktober 2012
No comments:
Post a Comment