Sunday, October 28, 2012

Teater, Tiga Karya Satu Cinta

-- W Halim

DUNIA teater banyak memberikan sumbangsih kepada kemerdekaan ekspresi dan aktualisasi nilai-nilai budaya. Di tiap pengadaban jaman, teater selalu memerankan fungsinya sebagai media akulturasi kebudayaan. Dan sejak lama berlangsung pada masanya, orang-orang berkerumun memasuki bandar-bandar dan kampung tempatan guna menyaksikan pertunjukkan teater seperti Wayang Parsi, Drama Keliling, Abdoel Moeloek, Komedie Stamboel, Makyong dan sebagainya. Bahasa Melayu menjadi bahasa populer (lingua franca) di Nusantara. Catatan sejarah juga menyebutkan cikal bakal perkembangan teater modern berangkat dari pertunjukkan tradisi rumpun Melayu. Meski eksistensi teater Melayu sempat tergerus bianglala perkembangan seni tetapi semangat kreatif ber-teater masih tetap akan berlanjut. 

Hingga pertengahan tahun ini, pementasan teater dan pertunjukan seni seolah bergiliran menghadirkan konsep dan kemasannya menarik minat perhatian. Dalam seni teater, setidaknya terdapat tiga karya menyeruak tentang kebaruan eksplorasi tema adaptasi cerita rakyat ataupun hikayat tradisi. Ketiga karya teater yang memperlihatkan tafsir ulang Hikayat tradisi menurut konteks kekinian dan berikut eksplorasi kreatif pada karya teater Melayu Riau.

Hikayat Puyu-puyu
Adaptasi mantra ‘’Syair Ikan Terubuk’’ disutradarai oleh Hang Kafrawi disulam menjadi karya yang mengangkat problem sosial masyarakat, khususnya permasalahan di Pulau Padang, Teluk Meranti. Dalam syair alegori (kiasan) ‘Terubuk’ memiliki kekuasaan yang besar sedangkan ‘Puyu-puyu’ dikiaskan hanya memiliki kekuasaan kecil. Disebutkan terubuk mewakili kerajaan Melaka dan Johor sedangkan Puyu-puyu mewakili Siak (dikisahkan berada di Teluk Meranti). Pada intisari pementasan akhirnya terjadi penolakan Puyu-puyu terhadap Terubuk, dikarenakan hidup di dua alam berbeda. Naskah dan pertunjukan ini memilih teater adalah ruang penyadaran. Karya sastra selalu berbuah disembarang musim. ‘’Karya sastra dapat dijadikan rujukan sepanjang zaman. Seorang seniman atau pun sastrawan, menciptakan karya-karyanya berdasarkan tanda-tanda peritiwa yang terjadi di lingkungannya’’ (Hang Kafrawi: 2012).

Pola pertunjukkan yang ditaja Teater MARA berlangsung di teater tertutup Anjung Seni Idrus Tintin. Dikemas segar dan menarik lewat plot-plot adegan tragedi berikut parodi. Menyampaikan muatan peristiwa sosial melalui adaptasi naskah tradisi menurut konteks kekinian. Garapan dengan 11 orang pemain teater muda berbakat, didukung oleh tata lampu dan musik ritmik (RnB). Tujuan pementasan disuguhkan secara kreatif sebagai penawar dalam sengkarutnya kompleksitas persoalan sosial. Dan berdasarkan keterangan di pasca pertunjukan tercatat sekitar 700-800 penonton telah menikmati suguhan yang ditawarkan Teater Mara (sekarang telah berubah Teater Matan).
   
Melodi Pengakuan    
Adaptasi legenda ‘’Lancang Kuning’’ disutradarai oleh Rina Nazaruddin Entin ini menempatkan perempuan ke dalam narasi berikut sublimasi penokohan di dalam legenda Melayu Riau. Menceritakan seorang perempuan bernama Zubaidah. Perempuan lugu yang  setia kepada suami, dan pada akhirnya (menjadi) korban kekejaman tokoh panglima (nakhoda kapal). Masing-masing tokohnya memberikan kesaksian; Zubaidah (Rehulina Sinuhaji), Panglima Umar (Ekky Gurin Andika), Panglima Hasan (Fedli Azis), Datuk Laksemana (Rian Harahap), Bomo (Rinaldi) dan Inang (Mimi Suriani). Kesaksian-kesaksian yang bermula dikisahkan seperti dongeng pengantar tidur seorang ibu kepada anaknya (Wirna sari dan Della Pratiwi). Pengakuan kesaksian diri Zubaidah, ketika dijadikan tumbal dari peluncuran kapal Lancang Kuning ditafsirkan bahwa tokoh perempuan Zubaidah berpaling dari cinta Panglima Hasan ke Panglima Umar dan bersetia rela berkorban demi maklumat negerinya atas tenggelamnya kapal ‘Lancang Kuning’. ‘’Ini hanya sebuah tawaran dan tafsir Saya tentang legenda Lancang Kuning. Lancang Kuning tidak menginginkan darah, tapi manusia jahatlah yang menginginkannya, dalam hal ini Panglima Hasan yang bersubahat dengan Bomo,’’ (Rina NE: 2012).

Produksi pentas kedua (TBY Lampung; 2011 dan Idrus Tintin: 2012) ditaja oleh Teater Selembayung ini berlangsung di Teater Tertutup Anjung Seni Idrus Tintin. Dalam Melodi Pengakuan; para aktor memerankan penghayatan tokoh-tokohnya secara maksimal lewat monolog di atas trap-trap terpisah dengan koreografi gerak teatrikal. Panggung terasa penuh kesaksian pengakuan tokoh. Panggung di tata menjauhi kesan artifisial dan dramatik. Artistik bersifat multi set menerjemahkan setting alur cerita (kekinian dan lampau). Tata Musik mengawal emosi tokoh secara teatrikal. Kerja keras produksi dalam tiga hari pertunjukannya telah berhasil mendatangkan kurang lebih mencapai 1500 orang turut menyaksikan Melodi Pengakuan.

Peri Bunian
Adaptasi kumpulan naskah Peterakna pada episode ‘’Peri Bunian’’ disutradarai oleh Kunni Masrohanti ini menuturkan cikal bakal munculnya Raja Kecil, sebagai pendiri dan Sultan pertama kerajaan Siak Seri Indrapura. Menghadirkan kisah asal muasal  lahirnya Raja Kecil dan Dewi Menohra yang menjalin hubungan asmara mistis dengan Sultan Johor bergelar Marhum Mangkat Dijulang Mansyur Syah II. Melalui perantaraan ‘Cik Apong’ dalam melalui persetubuhan dua alam berbeda maka terlahirlah Raje Kecik.   ‘’Inilah karya seni dan pertunjukkan yang dapat menghibur penonton, bila ada perbedaan pemaknaan tentu akan membuatnya terus dibicarakan sepanjang masa’’. (Kunni: 2012).

Produksi pentas ditaja oleh Komunitas Rumah Sunting ini memberikan ex-trance mendalam kepada penonton melalui trik pemanggungan, tata rias serta talenta karakter pemainnya yang kuat. Produksi dipersiapkan dengan matang dari waktu yang panjang. Naskah berat mengenai Peri Bunian diolah secara ringan sedemikian mungkin dalam gaya set panggung hampir mendekati gaya panggung teater tradisi konvensional. Dilengkapi tata sound dan tata lampu menurut acuan standar boardcast. Pertunjukan ini mampu meraih jumlah penonton sebanyak 800 orang dari berbagai pelosok daerah.

Ketiga karya berkehendak mengurai gumpalan tafsir-tafsir lampau demi menguatkan indentitas hikayat legenda Melayu Riau ke dalam karya seni. Selama ini manifestasi nilai dan penggalian budaya melewati Seni Teater cenderung dimanfaatkan sebagai alat medium prasyarat pelestarian seni budaya.. Dikarenakan Teater mengandung ragam bentuk seni seperti gerak, bahasa, tanda, lambang-lambang, kostum, irama/musik berikut naskah pertunjukan. Sesungguhnya dunia teater sejatinya adalah ruang gerak kreatif tanpa melalui prasyarat-prasyarat mengikat. Menghadirkan teater memerlukan pengayaan dan kepekaan. Tiga karya tersebut telah mencoba menuangkan alternatif dengan membingkai pertunjukkan melalui pengulangan tafsir atas mitos dan hikayatnya.

Mengkaji terlebih dahulu tentang posisi perbedaan antara suatu mitos dan suatu legenda. Suatu mitos adalah suatu cerita yang diciptakan, yang tengah coba mencari penjelasan tentang bagaimananya sesuatu. Suatu legenda tidak seluruhnya cerita yang dicipta, Ia adalah sejenis sejarah. Tentu saja ada banyak penciptaan dan mitos yang bercampur dengan suatu legenda, namun pada intinya suatu legenda selalu mengandung sekilas kebenaran historis. Yang paling adil untuk mitos ialah menempatkannya in brackets (di antara dua tanda kurung); in between, di antara fiksi dan fakta, sampai ada bukti di kemudian hari yang meniscayakan kebenaran historisnya. Sama seperti mitos ‘Kota Troy’, yang dulu dianggap hanya sebagai kota mitis buatan Homer (sek.800 SM) dalam karyanya yang terkenal Illiad & Odyssey, sampai tiba saatnya Heinrich Schliemann, seorang arkeolog Jerman, menemukan bukti historis dari reruntuhan kota itu di Negara Turki Modern pada akhir abad 19 M.

Adapun orang modern yang merevitalisasi mitos-mitos primitif lewat novel-novel, cerita-cerita pendek, atau pamflet-pamflet politik tidak dapat dikatakan bahwa mereka ‘hidup’ dalam mitos (living a mythical life), melainkan sebatas ‘meminjam’ mitos (borrowing myth). Mereka sesungguhnya tidak akan pernah mengapresiasi makna mitos, kecuali jika itu melayani kepentingan mereka. Jika seseorang gagal menemukan bukti kesejarahan dari suatu mitos, bukan berarti bahwa mitos itu lantas gagal mengada, atau tidak mengada. Kegagalan menemukan jejak historis mitos membuktikan bahwa kita saja yang gagal menemukannya. Tidak soal apakah ada atau tidak ada bukti kesejarahan, suatu mitos sungguh-sungguh mengada sebagai mitos, dan mitos itu memiliki kekuatan dan hakikatnya tersendiri, yang tidak tergantung pada eksistensi material yang mungkin dipunyainya.

Hikayat menurut Rahman (Arasyid, dkk, 2008:19) menyatakan beberapa pengkaji dan budayawan Melayu kerap menyatakan bahwa wujudnya perubahan zaman, kepercayaan terhadap tradisi juga turut mengalami perubahan. Umpamanya, dari segi kosmologi kalau dahulu masyarakat Melayu lebih berpegang kepada tradisi mitos, kini ia digantikan oleh tradisi kosmologi yang bercorak material dan empiris. Namun, kenyataan dari pandangan para sarjana dan cendikia di atas tidak sepenuhnya berlaku di dalam realitas perkembangan dunia sastra Melayu tradisi.

Di dalam khazanah sastra Melayu tradisi, walaupun tidak dapat dikatakan terikat sepenuhnya, tetapi ia tidak pernah lepas secara mutlak dari arti dan fungsi makna filosofis wacana awal yang kerap menyertai karya-karya tradisi Melayu berkaitan hikayat sejarah, adab, dan perilaku kehidupan.

Satu di antara beberapa teks wacana itu adalah sebagai berikut: ‘’... Demikian bunyi titah yang mulia itu, bahwa ia merasakan rakyat minta agar bendahara perbuatkan hikayat serta sebarang karya seni kepada pujangga yang terlahir daripada masyarakat, bukan semata-mata peristiwa dan peraturan segala raja-raja, melainkan hendaklah segala peristiwa rakyat Melayu dengan istiadatnya sekali, supaya diketahui oleh segala anak cucu kita yang kemudian daripada kita, diingatkannya oleh mereka itu, syahdan beroleh faedah-lah ia daripadanya...’’ (SM).

Makna isi teks ini, di satu sisi menggambarkan keharmonisan hubungan penguasa, rakyat, dan cendikia dengan khazanah kesusastraan Melayu tradisi. Di sisi lain pula, petikan tersebut mengungkapkan betapa lihainya masyarakat Melayu menjaga budaya dan tradisi di sepanjang zaman melalui karya-karya tradisionalnya.

Pada tiga karya Hikayat Puteri Puyu-Puyu, Melodi Pengakuan dan Peri Bunian menjadi hasil resapan kreatornya guna mempertahankan satu sisi kecintaan mereka terhadap dunia Melayu dan tradisinya. Dan teater hanya sebagai alat penyampai semata;  setelah menyaksikan langsung pertunjukan ketiga karya, banyak hal bisa diserap dan menarik dari keseriusan para kreator yang mulai meninggalkan hal-hal konvensional. Fokus mereka terhadap eksplorasi karya sangat membanggakan, tapi kecintaan mereka untuk menunjukkan kemelayuannya sejati membuat para kreator gamang mengambil eksekusi terbaik bagi karyanya. Dalam Hikayat Puyu-puyu (Hang Kafrawi), konteks problem sosial yang aktual harus berakhir dengan ending cerita menggantung dan terasa sekali masih penuh kehati-hatian menjaga plot dan dialognya, tidak benar-benar lepas menjadi karya teater penyadaran. Melodi Pengakuan pun telah menjerumuskan kata untuk menerangkan banyak kisah-kisah kesaksian tokoh. Di Peri Bunian, kisah menarik tentang Raje Kecik terganggu dengan medium panggung tradisional, apabila dipentaskan pada teater arena (terbuka) pertunjukan ini pasti akan lebih menarik dan menantang.

Kecintaan kreator pada dunia teater melayu di Riau sudah sepatutnya mendapat apresiasi terbaik. Ditengah keringnya dukungan terhadap upaya-upaya produksi teater di Riau. Penonton juga telah merasakan cinta para kreator tersebut, apakah memang berbuah manis ataukah pahit. Khalayak publik harus tetap memberikan dukungan terbaik bagi karya-karya produksi Teater di Riau. Ibarat kita bersama-sama untuk memintal teater dan keragaman budaya berkesenian. Mengingat kembali sebuah pantun Melayu ‘’sehari selembar benang, lama-lama menjadi sehelai kain’’. n

W Halim, penulis lepas dan saat ini koordinator Kajian dan Advokasi Publik-Rupari dan aktif di komunitas Barupekan dan Metateater.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 28 Oktober 2012
 

No comments: