-- Garin Nugroho
MINGGU ini, waktu terasa begitu padat, bersama rekan-rekan Indonesia Memilih bertemu Syafii Maarif hingga Megawati Soekarnoputri, dan nonton pentas Legendary Journey untuk 50 tahun Hotel Indonesia. Beruntung saya lalu punya waktu untuk melihat pembukaan Festival Salihara keempat, 24 September 2012. Festival ini dibuka dengan karya bertajuk Glimpse: Music for Drum and Mixed karya Aksan Syuman.
Yang terjadi kemudian, saya dibawa oleh keindahan sederhana sekaligus rinci oleh komposisi Aksan dalam pengembaraan perasaan serta pikiran ke berbagai kehidupan negeri ini. Salihara, tempat pertunjukan ini berlangsung, terasa menjadi ruang alternatif menyapa negeri ini.
Sesungguhnya, setiap kali saya datang ke Salihara, saya selalu merasa takzim, kantong kebudayaan yang didirikan tahun 2008 ini, menjadi satu dari sedikit kantong budaya yang terus hidup dan menghidupi negeri ini. Ia memiliki theatre gallery serta ruang diskusi, bahkan menjadi kantong budaya pertama yang memiliki black box theatre.
Maka berbagai aktivitas dilakukan: pentas, workshop, diskusi sastra, teater, musik, tari, filsafat hingga public lecturer. Di sisi lain, menjadi ruang dialog global terus-menerus, sebutlah dalam Festival Salihara, beberapa negara berpartisipasi, dari Belanda, Australia, hingga Finlandia.
Lalu untuk apa kantong kebudayaan tersebut harus kita beri takzim yang dalam?
Setiap hadir di Salihara, saya selalu teringat perjalanan saya ke Amerika tahun 1992, melihat organisasi budaya, baik film, teater, musik, tari, stasiun televisi, hingga museum dan institusi kebudayaan, dari New York, San Fransisco, Washington, sampai Los Angeles.
Ada yang selalu tersimpan dalam ingatan, yakni uraian dari salah satu institusi teater: ”Mendorong generasi muda melihat teater, film, tari hingga musik dan sastra, bukanlah semata mengharuskan menjadi seniman. Tetapi, ketika anak-anak muda melihat teater akan menyadari perlunya kemampuan ekspresi dan komunikasi serta narasi dalam ruang beragam. Kalau generasi muda melihat tari, musik hingga rupa, setelah jadi pemimpin akan menyadari perlunya ruang publik serta arsitektural yang tepat bagi tubuh kultural bangsa. Maka hal-hal kecil yang menghidupkan masyarakat akan dijaga, sebutlah trotoar, taman, hingga pusat kegiatan remaja.”
”Demikian juga hak warga melihat dan menikmati tata ruang serta musikal, misal lanskap pantai yang tidak boleh tertutup semua oleh bangunan bisnis. Yang juga penting, sekiranya generasi muda menyukai sastra, maka akan menjadi pemimpin yang susastra, yang tergerak oleh perasaan halus yang muncul dari kehidupan, mendengar suara rakyat hingga persoalan suara minoritas. Lebih dari itu, ia akan menjadi bagian dari perawat bahasa, yang berarti menjadi perawat sejarah dan filsafat bangsa itu sendiri.”
Setiap kali melihat Salihara, ingatan saya terbawa pada kenyataan sejarah, bahwa para bapak bangsa perumus Pancasila adalah negarawan yang budayawan, politikus yang tubuhnya adalah pencinta rupa, musik, sastra, tari hingga teater. Sebutlah sosok Soekarno, atau Muhamad Yamin, yang disebut sebagai bapak Soneta.
Bahkan saya sering berolok terhadap diri saya sendiri, berandai-andai: mampukah kita merumuskan Pancasila, sekiranya harus terjadi pada kondisi dan situasi ketokohan politik seperti sekarang ini?
Oleh karena itu, seusai menyaksikan Aksan Syuman, saya merasa lega, bahwa di tengah hiruk-pikuk pragmatisme yang kalah oleh konsumerisme industri tanpa etika, masih ada ruang yang membuat saya menjadi warga negara, bukan warga konsumen yang tereksploitasi. Pada kantong-kantong budaya semacam ini, saya memberi rasa takzim.
Sumber: Kompas, Senin, 1 Oktober 2012
MINGGU ini, waktu terasa begitu padat, bersama rekan-rekan Indonesia Memilih bertemu Syafii Maarif hingga Megawati Soekarnoputri, dan nonton pentas Legendary Journey untuk 50 tahun Hotel Indonesia. Beruntung saya lalu punya waktu untuk melihat pembukaan Festival Salihara keempat, 24 September 2012. Festival ini dibuka dengan karya bertajuk Glimpse: Music for Drum and Mixed karya Aksan Syuman.
Yang terjadi kemudian, saya dibawa oleh keindahan sederhana sekaligus rinci oleh komposisi Aksan dalam pengembaraan perasaan serta pikiran ke berbagai kehidupan negeri ini. Salihara, tempat pertunjukan ini berlangsung, terasa menjadi ruang alternatif menyapa negeri ini.
Sesungguhnya, setiap kali saya datang ke Salihara, saya selalu merasa takzim, kantong kebudayaan yang didirikan tahun 2008 ini, menjadi satu dari sedikit kantong budaya yang terus hidup dan menghidupi negeri ini. Ia memiliki theatre gallery serta ruang diskusi, bahkan menjadi kantong budaya pertama yang memiliki black box theatre.
Maka berbagai aktivitas dilakukan: pentas, workshop, diskusi sastra, teater, musik, tari, filsafat hingga public lecturer. Di sisi lain, menjadi ruang dialog global terus-menerus, sebutlah dalam Festival Salihara, beberapa negara berpartisipasi, dari Belanda, Australia, hingga Finlandia.
Lalu untuk apa kantong kebudayaan tersebut harus kita beri takzim yang dalam?
Setiap hadir di Salihara, saya selalu teringat perjalanan saya ke Amerika tahun 1992, melihat organisasi budaya, baik film, teater, musik, tari, stasiun televisi, hingga museum dan institusi kebudayaan, dari New York, San Fransisco, Washington, sampai Los Angeles.
Ada yang selalu tersimpan dalam ingatan, yakni uraian dari salah satu institusi teater: ”Mendorong generasi muda melihat teater, film, tari hingga musik dan sastra, bukanlah semata mengharuskan menjadi seniman. Tetapi, ketika anak-anak muda melihat teater akan menyadari perlunya kemampuan ekspresi dan komunikasi serta narasi dalam ruang beragam. Kalau generasi muda melihat tari, musik hingga rupa, setelah jadi pemimpin akan menyadari perlunya ruang publik serta arsitektural yang tepat bagi tubuh kultural bangsa. Maka hal-hal kecil yang menghidupkan masyarakat akan dijaga, sebutlah trotoar, taman, hingga pusat kegiatan remaja.”
”Demikian juga hak warga melihat dan menikmati tata ruang serta musikal, misal lanskap pantai yang tidak boleh tertutup semua oleh bangunan bisnis. Yang juga penting, sekiranya generasi muda menyukai sastra, maka akan menjadi pemimpin yang susastra, yang tergerak oleh perasaan halus yang muncul dari kehidupan, mendengar suara rakyat hingga persoalan suara minoritas. Lebih dari itu, ia akan menjadi bagian dari perawat bahasa, yang berarti menjadi perawat sejarah dan filsafat bangsa itu sendiri.”
Setiap kali melihat Salihara, ingatan saya terbawa pada kenyataan sejarah, bahwa para bapak bangsa perumus Pancasila adalah negarawan yang budayawan, politikus yang tubuhnya adalah pencinta rupa, musik, sastra, tari hingga teater. Sebutlah sosok Soekarno, atau Muhamad Yamin, yang disebut sebagai bapak Soneta.
Bahkan saya sering berolok terhadap diri saya sendiri, berandai-andai: mampukah kita merumuskan Pancasila, sekiranya harus terjadi pada kondisi dan situasi ketokohan politik seperti sekarang ini?
Oleh karena itu, seusai menyaksikan Aksan Syuman, saya merasa lega, bahwa di tengah hiruk-pikuk pragmatisme yang kalah oleh konsumerisme industri tanpa etika, masih ada ruang yang membuat saya menjadi warga negara, bukan warga konsumen yang tereksploitasi. Pada kantong-kantong budaya semacam ini, saya memberi rasa takzim.
Sumber: Kompas, Senin, 1 Oktober 2012
No comments:
Post a Comment