Friday, October 19, 2012

Media Massa, Berbangsa, dan Spirit Kebudayaan

-- Sihar Ramses Siamtupang


SENI dan kebudayaan di Indonesia belum diimbangi dengan ruang di media massa.

"Mereaktualisasi, merevitalisasi rubrik kebudayaan agar rubrik kebudayaan yang sudah ada lebih menarik, bergizi, dan berkualitas, agar bisa turut mengawal tegaknya kebudayaan Indonesia di tengah perkembangan zaman yang mengglobal."

Barisan kalimat di atas adalah keputusan yang mengemuka dalam forum Temu Redaktur Kebudayaan Se-Indonesia 2012, di Jakarta, tanggal 9-11 Oktober 2012 yang diikuti oleh utusan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang dan para redaktur kebudayaan dari 33 cabang di 32 provinsi.

Para peserta berhasil membeberkan persoalan antara lain halaman yang memadai untuk media massa, dari yang memiliki halaman budaya, peristiwa kebudayaan yang hanya mendapat porsi kecil di koran atau pun majalah, hingga yang mampu mengisi halaman utama, misalnya dimuat di halaman satu koran harian.

Problem seni dan kebudayaan di Indonesia hingga sekarang nyatanya belum diimbangi dengan keberadaan dan ruang di media massa, baik media cetak maupun elektronik.

Padahal, peristiwa kebudayaan semisal adat istiadat, tradisi, ranah kearifan lokal dalam arti luas, serta peristiwa kebudayaan dalam artian kesenian berbagai dimensi dan genre seperti tari, seni rupa, kesusastraan dan beragam genre seni rupa kontemporer lainnya, memerlukan media untuk disampaikan ke masyarakat.

Perspektif insan pers terhadap peristiwa kebudayaan, termasuk "mengakalinya", menjadi penting dihadirkan di tengah gelanggang arena politik, sosial, hingga kemanusiaan dan kebangsaan yang aktual.

Peristiwa orasi kebudayaan, pementasan teater, peluncuran puisi, kerap kali berhubungan dengan kondisi aktual yang ada di masyarakat. Hal yang menarik adalah bahwa banyak kearifan tema dari teks-teks kesenian masih berguna untuk tema aktual kebangsaan dari masalah hak asasi manusia, antikorupsi, bahkan memerangi kemiskinan.

Sekadar menyebutkan peristiwa kesenian yang masih aktual, pementasan Teater Syahid di Gedung Kesenian Jakarta memberikan perspektif lain untuk isu di masyarakat luas. Sinar Harapan pada tulisan terbitan tanggal 5 Oktober, misalnya, mengangkat judul "Cerita Para Nelayan" yang 'kalah'.

Nusantara yang katanya kaya hasil alam nyatanya tak dirasakan manfaatnya oleh nelayan. Hidup mereka tergambarkan miskin. Nelayan-nelayan tradisional beberapa minggu tidak bisa melaut akibat ketiadaan solar dan cuaca yang buruk—sebuah potret realitas nelayan Indonesia yang dihadirkan dalam panggung teater.

Dalam dimensi yang lebih luas, sebagaimana yang diungkapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M Nuh dalam orasi pembukanya, tren peradaban ada tiga skenario, yaitu pertempuran peradaban, benturan peradaban sebagaimana dinyatakan oleh Samuel Huntington dalam teorinya Clash of Civilizations, dan terakhir adalah converse peradaban, seperti spektrum cahaya warna pelangi (warna merah-jingga-kuning-hijau-biru-nila-ungu) yang bila digabungkan justru akan menghasilkan warna cahaya putih. Kebudayaan dunia memberikan spektrum kepada kebudayaan lokal di belahan bumi.

Menangkap fenomena dan visi kebudayaan lokal, media massa juga memegang peranan penting di tengah arus global. Menyuarakannya, menyosialisasikannya, dan memublikasikannya ke masyarakat luas. Dengan demikian, kehadiran seorang Rasinah atau komunitas bissu di Sulawesi Selatan, dapat hadir tak hanya di Taman Ismail Marzuki tapi juga di dunia.

Bahkan "Sureq Galigo" atau "La Galigo" kembali aktual, dari sebuah kitab dari masyarakat di wilayah Sulawesi Selatan kuno.

Bukan hanya sebatas dipentaskan oleh sutradara Amerika Robert Wilson, diadaptasi oleh Rhoda Grauer, tapi juga memberikan narasi baru tentang sebuah sumbangan kosmologi lain dari masyarakat tradisi yang dibeberkan oleh media massa.

Acara yang diprakarsai oleh kerja sama Kemendikbud dan PWI Pusat ini, selain memprogramkan peningkatan kualitas wartawan kebudayaan, juga mengusahakan adanya sekolah jurnalisme kebudayaan.

Salah satu poin rekomendasi pertemuan lainnya adalah memberikan arahan tentang sikap media massa, bahwa "Sikap membabi buta dan silau terhadap kebudayaan asing di sembarang tempat dan waktu, hanya akan menjadikan masyarakat Indonesia kehilangan martabat kebudayaannya. Mencintai kebudayaan Indonesia dengan cara mengamalkan nilai-nilai kegunaan dan nilai-nilai luhurnya secara rasional merupakan cara kita menyelamatkan Tanah Air Indonesia dan seisinya."

Simbol dan Definisi Seni

Sebagaimana dikatakan salah satu penyaji dalam acara ini, budayawan Radhar Panca Dahana tentang apa yang dilakukan para pelaku seni dan kebudayaan adalah usaha membongkar dan memperbarui simbol.

Lebih jauh dia ungkapkan bahwa kehidupan manusia sebagai homo ludens dan homo faber (makhluk bermain dan makhluk berkarya) adalah usaha memperjuangkan simbol. Simbol-simbol inilah yang menyatukan komunitas manusia dalam identitas kebangsaan, lebih jauh identitas kesukuan, bahkan identitas dalam bentuk lagu, bendera, bahkan dasar negara.

Di konteks lain, Temu Redaktur Kebudayaan ini mendapat sumbangan dari kehadiran budayawan Goenawan Mohamad yang menawarkan pembebasan definisi kesenian. Seni, sebagaimana yang dianut di periode romantisme, kerap dikaitkan dengan dulce et utile - pendapat Horace.

Anggapan itu dibebaskan atau dibongkar, salah satunya oleh Marchel Duchamp yang berasal dari Prancis dan penggerak aliran dadais, juga pergerakan surealisme yang menghasilkan karya “Fountain” (atau "Air Mancur" berupa media urinoir berbubuh tanda tangannya.

Karya yang mulanya ditolak dalam sebuah kurasi pameran itu, kemudian menjadi salah satu tawaran lain tentang medium seni yang dapat dipungut dari berbagai objek untuk sebuah permaknaan kesenian.

Sumber: Sinar Harapan, Jumat, 19 Oktober 2012

No comments: