-- Fedli Azis
Panggil Aku Sakai menjadi sebuah karya yang tetap dibaca hingga hari ini. Roman itu mengilhami banyak seniman, bahkan seorang politisi Riau dalam karyanya. Karya terbaik almarhum Ediruslan Pe Amanriza itu kembali diungkap ke permukaan oleh secuil seniman/budayawan pada Rabu, 3 Oktober 2012. Hari itu, bertepatan pula dengan hari berpulangnya si sastrawan Riau itu menghadap Sang Khaliq.
Alazhar mengulas Ediruslan Pe Amanriza pada malam peringatan wafatnya sastrawan Riau tersebut, di Gerai Teselet, Komplek Bandar Serai, Rabu (3/10/2012). (Foto: foto: fedli azis/riau pos)
SAJAK-sajaknya kembali dibacakan. Karya-karyanya kembali dikenang dan dibahas. Bahkan kiprahnya dalam dunia tulis-menulis serta politik kembali diungkap ke permukaan lewat bual-bual lintas generasi. Sosok satu ini memberi pengaruh besar dalam dunia sastra masa kini, terutama di Riau.
Hujan turun dengan derasnya. Sekumpulan kecil seniman/budayawan, bahkan seorang birokrat yakni orang nomor dua di negeri ini, duduk bersila dalam sebuah lingkaran di atas tikar pandan. Berbagai penganan ringan dan kopi panas dirasa cukup mengusir kesejukan dan kegelepan, yang malam itu kebetulan lampu padam. Satu persatu, penyair yang didominasi anak-anak muda membacakan puisi-puisi buah tangan Ediruslan Pe Amanriza. Malam itu mereka beri nama ‘’Panggil Aku Ediruslan Pe Amanriza’’, Upaya Mengenang Kembali Karya-karyanya, 1947-2001. Tulisan itu tertera jelas di sebuah spanduk yang menjadi latar acara dengan gambar almarhum sedang tersenyum simpul.
Berturut-turut para seniman membaca sajak almarhum, diawali A Amesa Aryana, TM Sum, DM Ningsing, Kunni Masrohanti, Hang Kafrawi, Kabut Azis, Yoserizal Zen, Syaukani al Karim, dan sebuah karya musisi Beni Riaw yang juga berjudul sama ‘’Panggil Aku Sakai’’. Selain itu, tiga orang lainnya mengulas kembali tentang kiprah dan tindak tanduk almarhum seperti budayawan Riau Alazhar serta dua tokoh masyarakat Riau drh Chaidir MM dan HR Mambang Mit MM dalam dunia dunia yakni kebudayaan dan seni. Mereka seperti melupakan halangan karena hanya berteduh di bawah tenda ukuran 6X6 meter dalam hujan dan mati lampu. Helat yang sederhana dan terasa akrab itu berlangsung hingga larut malam, diakhiri dengan bual-bual sekitar perkembangan seni.
Alazhar, malam itu kembali menuturkan tentang Ediruslan semasa hidupnya yang memang tidak banyak pilihan. Beliau berkiprah dalam dunia dunia sekaligus yakni mimpi kebudayaan dan politik di sisi lainnya. Ulasan singkatnya, Alazhar menjelaskan, anak Jati Rokan Hilir itu termasuk salah satu tokoh yang turut memindahkan Dewan Kesenian Riau (DKR) dari komplek Dang Merdu (sekarang komplek Bank Riau) ke komplek Bandar Serai pada 1 April 2000. DKR yang awalnya diupayakan almarhum Wan Ghalib sejak awal 1980-an, sebagai efek positif dari kesuksesan pembentukan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada pertengahan dan akhir 1970 kandas akibat negeri ini dipimpin orang yang menganggap kebudayaan tidak penting, bahkan kerap melecehkan penguasa masa itu. Namun mimpi itu terwujud di masa Soeripto (mantan Gubernur Riau). Soeripto yang memang tertarik dengan dunia musik pop yang diwujudkannya lewat sebuah grup band ‘69’. Orang nomor satu di negeri berjuluk Lancang Kuning itu menyetujui pembentukan dewan kesenian namun harus melalui kontrol ketat pemerintah. Maka terpilihlah almarhum Rustam S Abrus (cerpenis sekaligus birokrat Riau). Setelah itu dilanjutkan Tengku Lukman Jafar dan Ediruslan Pe Amanriza dengan ketua harian almarhum Idrus Tintin. Banyak kawasan yang ditawarkan pada pemerintah namun kawasan purna MTQ disetujui sebagai laman bermain bagi para seniman hingga hari ini.
Dalam sekali pertemuan dengan almarhum, kata Alazhar, Ediruslan pernah berujar, ‘’Saya bayangkan usia saya tak lama lagi dan semakin dekat dengan kematian. Semakin dekat saya dengan sajak saya berjudul ‘’Nisan’’. Saya akan berangkat ke Jakarta dan saya inginkan suatu hari nanti di usia saya kurang dari 80 tahun, mungkin saya menjadi orang tua bertongkat dan terbungkuk-bungkuk, melihat dari gerbang komplek ini bangunan-bangunan permanen untuk kesenian dengan maraknya aktivitas dan kreativitas di dalamnya.’’
Alazhar mengajak semua orang yang berkumpul malam itu untuk memahatkan sajak berjudul ‘’Nisan’’ pada nisan Ediruslan. Inilah sajaknya: - kepada anak-anakku Muhammad Guntur dan Adek/kalau kumati nanti tolong pahatkan sajak ini di batu nisanku/ini rumahku yang terakhir/tak bertiang/tak bertangga/tak berpintu/penuh jelaga/inilah rumahku yang terakhir/ladang mimpiku yang nisbi/sunyi/dari hari ke hari. Semua yang hadir setuju dan akan meminta persetujuan pula pada pihak keluarga, terutama kepada dua anak almarhum yang disebut dalam karya itu.
‘’Di akhir masa hidupnya, Ediruslan Pe Amanriza memilih untuk merekam tentang masyarakat negeri ini dan menuliskannya dalam diskursus sastra nasional. Karyanya berjudul Dikalahkan Sang Sapurba terpilih sebagai pemenang kedua nasional dan dimuat bersambung di Kompas sebelum dibukukan oleh Yayasan Pusaka Riau. Inilah contoh yang baik, bahwa karya sastra adalah karya fiksi yang menarik dan dekat pada realita di sekitar kita. Karya-karyanya menjadi arus perdana bagi karya-karya sastra masa kini, di Riau bahkan Indonesia,’’ ujar Alazhar.
Sementara itu, drh Chaidir mengingat kembali masa-masa mengenal Ediruslan dari cerita-cerita seniman, hingga kenal karena sama-sama di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Riau dan pengaruh karya Ediruslan pada karyanya berjudul ‘’Panggil Aku Oshama’’ yang telah dibukukan beberapa tahun lalu. Menurut mantan ketua DPRD Riau dua periode itu, dirinya justru mencari-cari karya Ediruslan ketika beliau telah wafat dan mengakui bahwa karya ‘’Panggil Aku Sakai’’ yang paling disukainya.
Pembangunan yang telah tercerabut dari akarnya tidak akan menentramkan penghuninya. Inilah yang coba ditangkap Ediruslan tentang Sakai, suku asli di Riau dalam karya terbaiknya. Karya lain yang disenangi Chaidir tentu saja sajaknya berjudul ‘’Akan Berpisah Jua Kita Akhirnya Jakarta’’.
‘’Mudah-mudahan acara mengenang Ediruslan Pe Amanriza ini menjadi kenangan bagi kita untuk lebih dekat pada semangatnya untuk memberontak pada ketidakadilan di negeri ini,’’ tambah Chaidir berfilosofi.
Di akhir acara, Wakil Gubernur Riau HR Mambang Mit yang datang secara tiba-tiba di acara itu mengatakan, dirinya tidak pernah bicara langsung dengan Ediruslan namun sering mendengar bahwa beliau memiliki kepribadian menarik dan idealis pada kebudayaan. Baginya, Ediruslan berbeda dengan seniman/budayawan Riau umumnya yang selalu tampil apa adanya bahkan terkesan terlalu santai. Sedang Ediruslan selalu tampak berpenampilan necis dan elegan. Beliau mampu mengkombinasikan kebudayaan dan politik secara baik sehingga namanya menjadi populer hingga saat ini.
‘’Namun secara umum saya melihat, Ediruslan sama dengan seniman lainnya. Panjang akal dan tak pernah putus asa. Makanya saya salut pada seniman, bahkan tambah menderita karyanya menjadi lebih baik. Tekanan tidak membuat mereka mati langkah bahkan kian kreatif,’’ akunya sembari melepas tawa.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 7 Oktober 2012
Panggil Aku Sakai menjadi sebuah karya yang tetap dibaca hingga hari ini. Roman itu mengilhami banyak seniman, bahkan seorang politisi Riau dalam karyanya. Karya terbaik almarhum Ediruslan Pe Amanriza itu kembali diungkap ke permukaan oleh secuil seniman/budayawan pada Rabu, 3 Oktober 2012. Hari itu, bertepatan pula dengan hari berpulangnya si sastrawan Riau itu menghadap Sang Khaliq.
Alazhar mengulas Ediruslan Pe Amanriza pada malam peringatan wafatnya sastrawan Riau tersebut, di Gerai Teselet, Komplek Bandar Serai, Rabu (3/10/2012). (Foto: foto: fedli azis/riau pos)
SAJAK-sajaknya kembali dibacakan. Karya-karyanya kembali dikenang dan dibahas. Bahkan kiprahnya dalam dunia tulis-menulis serta politik kembali diungkap ke permukaan lewat bual-bual lintas generasi. Sosok satu ini memberi pengaruh besar dalam dunia sastra masa kini, terutama di Riau.
Hujan turun dengan derasnya. Sekumpulan kecil seniman/budayawan, bahkan seorang birokrat yakni orang nomor dua di negeri ini, duduk bersila dalam sebuah lingkaran di atas tikar pandan. Berbagai penganan ringan dan kopi panas dirasa cukup mengusir kesejukan dan kegelepan, yang malam itu kebetulan lampu padam. Satu persatu, penyair yang didominasi anak-anak muda membacakan puisi-puisi buah tangan Ediruslan Pe Amanriza. Malam itu mereka beri nama ‘’Panggil Aku Ediruslan Pe Amanriza’’, Upaya Mengenang Kembali Karya-karyanya, 1947-2001. Tulisan itu tertera jelas di sebuah spanduk yang menjadi latar acara dengan gambar almarhum sedang tersenyum simpul.
Berturut-turut para seniman membaca sajak almarhum, diawali A Amesa Aryana, TM Sum, DM Ningsing, Kunni Masrohanti, Hang Kafrawi, Kabut Azis, Yoserizal Zen, Syaukani al Karim, dan sebuah karya musisi Beni Riaw yang juga berjudul sama ‘’Panggil Aku Sakai’’. Selain itu, tiga orang lainnya mengulas kembali tentang kiprah dan tindak tanduk almarhum seperti budayawan Riau Alazhar serta dua tokoh masyarakat Riau drh Chaidir MM dan HR Mambang Mit MM dalam dunia dunia yakni kebudayaan dan seni. Mereka seperti melupakan halangan karena hanya berteduh di bawah tenda ukuran 6X6 meter dalam hujan dan mati lampu. Helat yang sederhana dan terasa akrab itu berlangsung hingga larut malam, diakhiri dengan bual-bual sekitar perkembangan seni.
Alazhar, malam itu kembali menuturkan tentang Ediruslan semasa hidupnya yang memang tidak banyak pilihan. Beliau berkiprah dalam dunia dunia sekaligus yakni mimpi kebudayaan dan politik di sisi lainnya. Ulasan singkatnya, Alazhar menjelaskan, anak Jati Rokan Hilir itu termasuk salah satu tokoh yang turut memindahkan Dewan Kesenian Riau (DKR) dari komplek Dang Merdu (sekarang komplek Bank Riau) ke komplek Bandar Serai pada 1 April 2000. DKR yang awalnya diupayakan almarhum Wan Ghalib sejak awal 1980-an, sebagai efek positif dari kesuksesan pembentukan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada pertengahan dan akhir 1970 kandas akibat negeri ini dipimpin orang yang menganggap kebudayaan tidak penting, bahkan kerap melecehkan penguasa masa itu. Namun mimpi itu terwujud di masa Soeripto (mantan Gubernur Riau). Soeripto yang memang tertarik dengan dunia musik pop yang diwujudkannya lewat sebuah grup band ‘69’. Orang nomor satu di negeri berjuluk Lancang Kuning itu menyetujui pembentukan dewan kesenian namun harus melalui kontrol ketat pemerintah. Maka terpilihlah almarhum Rustam S Abrus (cerpenis sekaligus birokrat Riau). Setelah itu dilanjutkan Tengku Lukman Jafar dan Ediruslan Pe Amanriza dengan ketua harian almarhum Idrus Tintin. Banyak kawasan yang ditawarkan pada pemerintah namun kawasan purna MTQ disetujui sebagai laman bermain bagi para seniman hingga hari ini.
Dalam sekali pertemuan dengan almarhum, kata Alazhar, Ediruslan pernah berujar, ‘’Saya bayangkan usia saya tak lama lagi dan semakin dekat dengan kematian. Semakin dekat saya dengan sajak saya berjudul ‘’Nisan’’. Saya akan berangkat ke Jakarta dan saya inginkan suatu hari nanti di usia saya kurang dari 80 tahun, mungkin saya menjadi orang tua bertongkat dan terbungkuk-bungkuk, melihat dari gerbang komplek ini bangunan-bangunan permanen untuk kesenian dengan maraknya aktivitas dan kreativitas di dalamnya.’’
Alazhar mengajak semua orang yang berkumpul malam itu untuk memahatkan sajak berjudul ‘’Nisan’’ pada nisan Ediruslan. Inilah sajaknya: - kepada anak-anakku Muhammad Guntur dan Adek/kalau kumati nanti tolong pahatkan sajak ini di batu nisanku/ini rumahku yang terakhir/tak bertiang/tak bertangga/tak berpintu/penuh jelaga/inilah rumahku yang terakhir/ladang mimpiku yang nisbi/sunyi/dari hari ke hari. Semua yang hadir setuju dan akan meminta persetujuan pula pada pihak keluarga, terutama kepada dua anak almarhum yang disebut dalam karya itu.
‘’Di akhir masa hidupnya, Ediruslan Pe Amanriza memilih untuk merekam tentang masyarakat negeri ini dan menuliskannya dalam diskursus sastra nasional. Karyanya berjudul Dikalahkan Sang Sapurba terpilih sebagai pemenang kedua nasional dan dimuat bersambung di Kompas sebelum dibukukan oleh Yayasan Pusaka Riau. Inilah contoh yang baik, bahwa karya sastra adalah karya fiksi yang menarik dan dekat pada realita di sekitar kita. Karya-karyanya menjadi arus perdana bagi karya-karya sastra masa kini, di Riau bahkan Indonesia,’’ ujar Alazhar.
Sementara itu, drh Chaidir mengingat kembali masa-masa mengenal Ediruslan dari cerita-cerita seniman, hingga kenal karena sama-sama di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Riau dan pengaruh karya Ediruslan pada karyanya berjudul ‘’Panggil Aku Oshama’’ yang telah dibukukan beberapa tahun lalu. Menurut mantan ketua DPRD Riau dua periode itu, dirinya justru mencari-cari karya Ediruslan ketika beliau telah wafat dan mengakui bahwa karya ‘’Panggil Aku Sakai’’ yang paling disukainya.
Pembangunan yang telah tercerabut dari akarnya tidak akan menentramkan penghuninya. Inilah yang coba ditangkap Ediruslan tentang Sakai, suku asli di Riau dalam karya terbaiknya. Karya lain yang disenangi Chaidir tentu saja sajaknya berjudul ‘’Akan Berpisah Jua Kita Akhirnya Jakarta’’.
‘’Mudah-mudahan acara mengenang Ediruslan Pe Amanriza ini menjadi kenangan bagi kita untuk lebih dekat pada semangatnya untuk memberontak pada ketidakadilan di negeri ini,’’ tambah Chaidir berfilosofi.
Di akhir acara, Wakil Gubernur Riau HR Mambang Mit yang datang secara tiba-tiba di acara itu mengatakan, dirinya tidak pernah bicara langsung dengan Ediruslan namun sering mendengar bahwa beliau memiliki kepribadian menarik dan idealis pada kebudayaan. Baginya, Ediruslan berbeda dengan seniman/budayawan Riau umumnya yang selalu tampil apa adanya bahkan terkesan terlalu santai. Sedang Ediruslan selalu tampak berpenampilan necis dan elegan. Beliau mampu mengkombinasikan kebudayaan dan politik secara baik sehingga namanya menjadi populer hingga saat ini.
‘’Namun secara umum saya melihat, Ediruslan sama dengan seniman lainnya. Panjang akal dan tak pernah putus asa. Makanya saya salut pada seniman, bahkan tambah menderita karyanya menjadi lebih baik. Tekanan tidak membuat mereka mati langkah bahkan kian kreatif,’’ akunya sembari melepas tawa.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 7 Oktober 2012
No comments:
Post a Comment