NASYAH Jamin, dilahirkan di Perbaungan, Sumatera Utara, 24 Desember 1924, meninggal di Jogjakarta, 4 Desember 1994. Pengarang yang juga pelukis ini menulis drama ‘’Sekelumit Nyanyian Sunda’’ (1962); ‘’Titik-titik Hitam’’ (1956); ‘’Jembatan Gondolayu’’, serta novel ‘’Hilanglah Si Anak Hilang’’ (1963) dan ‘’Gairah untuk Hidup dan untuk Mati’’ (1969). Nasyah yang cukup dekat dengan Chairil Anwar, menulis buku ‘’Hari-hari Terakhir Sang Penyair’’ (1962) semacam biografi pelopor Angkatan 45 itu.
Nasyah Jamin yang pernah memperdalam art and setting di Tokyo, menjadi redaktur majalah Budaya, Pendiri Angkatan Seni Rupa Indonesia, Gabungan Pelukis Indonesia, juga mengarang cernak ‘’Anak Si Pai Bengal’’ (1952), ‘’Hang Tuah’’ (1952), novel ‘’Helai-helai Sakura Gugur’’ (1964); ‘’Malam Kualalumpur’’ (1968); ‘’Dan Senja pun Turun’’ (1982); ‘’Bukit
Harapan’’ (1984); ‘’Tiga Puntung Rokok’’ (1985); ‘’Ombak dan Pasir’’ (1988); ‘’Ibu’’ (1988); kumpulan cerpen ‘’Di Bawah Kaki Pak Dirman’’ (1967) dan ‘’Sebuah Perkawinan’’ (1974).
Nasjah Djamin anak ketujuh dari delapan bersaudara. Nasjah Djamin mempunyai nama asli ‘Noeralamsyah’’. Kedua orangtuanya berasal dari Minangkabau, Padang. Ayahnya bernama Haji Djamin dan ibunya bernama Siti Sini. Orangtua Nasjah Djamin tidak mempunyai darah seni. Di antara saudara-saudara Nasjah Djamin, Nasjah Djamin saja yang mempunyai bakat seni. Bakat seni Nasjah Djamin yang muncul lebih dahulu adalah bakat melukis.
Orangtua Nasjah Djamin adalah pegawai rendah. Namun, hal itu tidak menjadikan Nasjah Djamin untuk berdiam diri. Ia berhasil menamatkan sekolah HIS (Hollandas Inlandse School). Ia juga berhasil melanjutkan sekolah Mulo pada 1941. Setelah keluar dari Mulo, Nasjah Djamin memutuskan bekerja. Ia mengawali bekerja sebagai kuli kasar di lapangan terbang Pulonia, Medan. Dengan bekal kepandaian melukis, kemudian Nasjah Djamin bekerja di kantor Bukaka, kantor propaganda Jepang. Selain bekerja, di tempat bekerjanya itu, Nasjah Djamin juga belajar melukis.
Pada 1947 Nasjah Djamin di Jakarta bergabung dengan para seniman di Jalan Garuda yang dipimpin oleh Pak Said. Kalangan pelukis yang hadir adalah Affandi dan Basuki Rosobowo, sedangkan kalangan sastrawan yang hadir adalah Chairil Anwar, HB Jassin, Rivai Apin, dan Sitor Situmorang. Di tempat itu, kemudian Nasjah Djamin berkenalan dengan para sastrawan dan mulai tertarik dalam tulis-menulis.
Pada 1949 Nasjah Djamin bekerja di Balai Pustaka sebagai ilustrator. Di kantor itu Nasjah Djamin sering mendengar diskusi antar pengarang, seperti Idrus dan Chairil Anwar. Keadaan itu membuat Nasjah tertarik pada kesastraan. Hal itu dibuktikan dengan tulisan yang diciptakannya selama ia bekerja di Balai Pustaka, seperti puisinya yang berjudul ‘’Pengungsi’’. HB Jassin memuat puisi itu ke dalam ‘’Gema Tanah Air’’. Karya lain yang diciptakan adalah cerita bergambar bagi anak-anak, yaitu ‘’Hang Tuah’’ (1952) dan ‘’Si Pai Bengal’’ (1952), dan telah diterbitkan oleh Balai Pustaka.
Setelah berhenti bekerja di Balai Pustaka, Nasjah Djamin kembali ke Jogjakarta. Pada 1952 Nasjah Djamin bekerja sebagai pegawai rendah pada Bagian Kesenian, Jawatan Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jogjakarta. Ia bekerja di bagian seni rupa. Di samping itu, ia juga menjadi anggota redaksi majalah Budaya (1953). Karya yang ditulisnya selama bekerja di majalah itu, antara lain, ‘’Titik-Titik Hitam’’ (1956), ‘’Sekelumit Nyanyian Sunda’’ (1957), dan ‘’Jembatan Gondolayu’’ (1957). Ketiganya merupakan drama.
Judul drama ‘’Sekelumit Nyanyian Sunda’’: memenangkan juara kedua sayembara menulis drama yang diadakan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1956. Pada 1953 Nasjah Djamin bersama-sama dengan Kirjomulyo mendirikan Teater Indonesia. Pada 1961-1964, atas biaya kantor tempat ia bekerja, Nasjah Djamin dikirim ke Jepang untuk memperdalam dekorasi panggung, dekorasi TV, pemroduksian TV cerita, dan pertunjukan.
Nasjah Djamin memulai menulis novel pada 1950. Novel yang dihasilkan pertama adalah Hilanglah Si Anak Hilang. Karya itu telah diterjemahkan oleh Farida Soemargono Labrousse ke dalam bahasa Prancis dengan judul Le Depart de L’entant Proddigue (1979).
Tempat kegiatan menulis selain di majalah Budaya, Nasjah melakukannya di majalah Minggu Pagi dan surat kabar Kedaulatan Rakyat. Salah satu novelnya Gairah untuk Hidup dan untuk Mati yang merupakan cerita bersambung dalam majalah Minggu Pagi nomor 124 tahun 1967 berhasil memperoleh Anugerah Seni dari pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1970.
Anugerah lain yang diterima Nasjah berasal dari Yayasan Buku Utama atas karya Ombak Parangtritis (1983) yang dinyatakan sebagai buku fiksi remaja terbaik tahun 1983 dan dari Dewan Kesenian Jakarta mendapatkan hadiah sastra atas novelnya Bukit Harapan (1984).(fed/berbagai sumber)
Sumber: Riau Pos, Minggu, 7 Oktober 2012
Nasyah Jamin yang pernah memperdalam art and setting di Tokyo, menjadi redaktur majalah Budaya, Pendiri Angkatan Seni Rupa Indonesia, Gabungan Pelukis Indonesia, juga mengarang cernak ‘’Anak Si Pai Bengal’’ (1952), ‘’Hang Tuah’’ (1952), novel ‘’Helai-helai Sakura Gugur’’ (1964); ‘’Malam Kualalumpur’’ (1968); ‘’Dan Senja pun Turun’’ (1982); ‘’Bukit
Nasjah Djamin anak ketujuh dari delapan bersaudara. Nasjah Djamin mempunyai nama asli ‘Noeralamsyah’’. Kedua orangtuanya berasal dari Minangkabau, Padang. Ayahnya bernama Haji Djamin dan ibunya bernama Siti Sini. Orangtua Nasjah Djamin tidak mempunyai darah seni. Di antara saudara-saudara Nasjah Djamin, Nasjah Djamin saja yang mempunyai bakat seni. Bakat seni Nasjah Djamin yang muncul lebih dahulu adalah bakat melukis.
Orangtua Nasjah Djamin adalah pegawai rendah. Namun, hal itu tidak menjadikan Nasjah Djamin untuk berdiam diri. Ia berhasil menamatkan sekolah HIS (Hollandas Inlandse School). Ia juga berhasil melanjutkan sekolah Mulo pada 1941. Setelah keluar dari Mulo, Nasjah Djamin memutuskan bekerja. Ia mengawali bekerja sebagai kuli kasar di lapangan terbang Pulonia, Medan. Dengan bekal kepandaian melukis, kemudian Nasjah Djamin bekerja di kantor Bukaka, kantor propaganda Jepang. Selain bekerja, di tempat bekerjanya itu, Nasjah Djamin juga belajar melukis.
Pada 1947 Nasjah Djamin di Jakarta bergabung dengan para seniman di Jalan Garuda yang dipimpin oleh Pak Said. Kalangan pelukis yang hadir adalah Affandi dan Basuki Rosobowo, sedangkan kalangan sastrawan yang hadir adalah Chairil Anwar, HB Jassin, Rivai Apin, dan Sitor Situmorang. Di tempat itu, kemudian Nasjah Djamin berkenalan dengan para sastrawan dan mulai tertarik dalam tulis-menulis.
Pada 1949 Nasjah Djamin bekerja di Balai Pustaka sebagai ilustrator. Di kantor itu Nasjah Djamin sering mendengar diskusi antar pengarang, seperti Idrus dan Chairil Anwar. Keadaan itu membuat Nasjah tertarik pada kesastraan. Hal itu dibuktikan dengan tulisan yang diciptakannya selama ia bekerja di Balai Pustaka, seperti puisinya yang berjudul ‘’Pengungsi’’. HB Jassin memuat puisi itu ke dalam ‘’Gema Tanah Air’’. Karya lain yang diciptakan adalah cerita bergambar bagi anak-anak, yaitu ‘’Hang Tuah’’ (1952) dan ‘’Si Pai Bengal’’ (1952), dan telah diterbitkan oleh Balai Pustaka.
Setelah berhenti bekerja di Balai Pustaka, Nasjah Djamin kembali ke Jogjakarta. Pada 1952 Nasjah Djamin bekerja sebagai pegawai rendah pada Bagian Kesenian, Jawatan Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jogjakarta. Ia bekerja di bagian seni rupa. Di samping itu, ia juga menjadi anggota redaksi majalah Budaya (1953). Karya yang ditulisnya selama bekerja di majalah itu, antara lain, ‘’Titik-Titik Hitam’’ (1956), ‘’Sekelumit Nyanyian Sunda’’ (1957), dan ‘’Jembatan Gondolayu’’ (1957). Ketiganya merupakan drama.
Judul drama ‘’Sekelumit Nyanyian Sunda’’: memenangkan juara kedua sayembara menulis drama yang diadakan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1956. Pada 1953 Nasjah Djamin bersama-sama dengan Kirjomulyo mendirikan Teater Indonesia. Pada 1961-1964, atas biaya kantor tempat ia bekerja, Nasjah Djamin dikirim ke Jepang untuk memperdalam dekorasi panggung, dekorasi TV, pemroduksian TV cerita, dan pertunjukan.
Nasjah Djamin memulai menulis novel pada 1950. Novel yang dihasilkan pertama adalah Hilanglah Si Anak Hilang. Karya itu telah diterjemahkan oleh Farida Soemargono Labrousse ke dalam bahasa Prancis dengan judul Le Depart de L’entant Proddigue (1979).
Tempat kegiatan menulis selain di majalah Budaya, Nasjah melakukannya di majalah Minggu Pagi dan surat kabar Kedaulatan Rakyat. Salah satu novelnya Gairah untuk Hidup dan untuk Mati yang merupakan cerita bersambung dalam majalah Minggu Pagi nomor 124 tahun 1967 berhasil memperoleh Anugerah Seni dari pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1970.
Anugerah lain yang diterima Nasjah berasal dari Yayasan Buku Utama atas karya Ombak Parangtritis (1983) yang dinyatakan sebagai buku fiksi remaja terbaik tahun 1983 dan dari Dewan Kesenian Jakarta mendapatkan hadiah sastra atas novelnya Bukit Harapan (1984).(fed/berbagai sumber)
Sumber: Riau Pos, Minggu, 7 Oktober 2012
No comments:
Post a Comment