-- DR Weka Gunawan
APA yang menyenangkan saat menginjakkan kaki di bumi Malaysia? Bahasa! Ya bahasanya terdengar unik. Jika mereka menjawab pertanyaan kita menggunakan bahasa Melayu maka pada awalnya kita akan meminta mereka mengulangi kembali jawabannya saking cepatnya mereka berbicara.
Sudah begitu malangnya bahasa Melayu tidak baku dalam penggunaannya. Mulai dari Johor, Negeri Sembilan, Selangor sampai di ujung Semenanjung Malaysia yakni Kelantan bahasa Melayu yang digunakan jauh berbeda penggunaannya.
Hal ini diperparah dengan gaya anak mudanya yang mencampur baurkan bahasanya dengan bahasa Inggris. Bahasa Melayu diucapkan dengan medok oleh etnis China dan menggoyang-goyangkan kepala oleh etnis India.
“I nak letak kereta dekat townhouse sana” “Regardless bangse cine ke, India ke, melayu ke, tak payah bising-bising…” “For God sake, Abang, jangan tuduh saye cam tu” dan sebagainya. Itu gaya bahasa yang seringkali terdengar.
Orang Malaysia memang menggunakan istilah Inggris untuk berbahasa. Bagaimanapun mereka merupakan commonwealth Inggris. Contohnya dalam mengeja huruf: e bi si di ie ef ji dan seterusnya.
Prof.Rossa, seorang guru besar di Universitas Indonesia pernah mengernyitkan kening dan tampak kurang senang saat ia bertanya beberapa tahun silam, “Dimana ambil S-3nya?”, saya jawab, “Yu ke em” maksud saya Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM).
Sungguh tidak bermaksud ‘gaya’ saya terpengaruh orang Malaysia yang demikian menyebut nama universitas tersebut. Sudut bibirnya pun menyungging senyum ke bawah. Mengejek. Saya tersadar.
Jadi bahasa Inggris dimelayukan seperti: epal untuk apple, stesen untuk station, berus untuk brush, selipar untuk slipper, dan lain sebagainya. Jangan heran jika makcik-makcik dan abang-abang di pasar-pasar dengan lancar berbicara,”Tak sure lah” atau “So, cam mane nak ape lagi?”.
Kawan saya Bu Elly, mengalami hal lucu saat sedang duduk di dalam Bus Rapid KL. Ia disapa oleh ibu-ibu yang lebih berumur,” Awak duduk kat mane?” Bu Elly dengan wajah polos menjawab,”Duduk dimana-mana saja, Mak Cik saya suka, tidak apa-apa”. Ibu-ibu itu segera memperlihatkan mimik wajah kurang suka pada Ibu Elly.
Mengapa mereka tidak suka, belakangan kami baru tahu arti kata “duduk” yang berarti “tempat tinggal”. Ia menanyakan dimana rumah Bu Elly, dan ia menganggap Bu Elly wanita kurang baik karena suka tinggal dimana-mana tidak punya rumah tetap. Sementara Bu Elly mengira ia bertanya soal tempat duduk di bus.
Seorang kawan lain mengalami salah paham soal bahasa ini. Indah, seorang mahasiswa tingkat ijazah mendapat telpon dari kawan Malaysianya,”Saye jemput ye pukul 8 dekat rumah ada majlis hari jadi saye”. Indah betul-betul menunggu dijemput pada pukul 8 malam itu.
Sayangnya “menjemput” artinya adalah mengundang. Sehingga Indah memang harus gigit jari, semalaman kawannya tak muncul juga untuk membawanya ke acara hari ulang tahun.
Saya yang sering menggunakan kata kamar kecil untuk permisi membuang air kecil. Sering dibetulkan oleh sejawat saya, ”gi tandas ke?” Padahal saya sengaja tidak menggunakan kata tersebut karena saya merasa agak aneh, cobalah nilai rasa kalimat ini: Saya makan nasi goreng ini hingga licin tandas. Alamak!
Coba baca pengumuman di poster yang dipasang di kampus:
Semua dijemput hadir ke Seminar Motivasi, pakar Motivasi Ternama. Masuk adalah percuma.
Di Malaysia, percuma bermakna ‘gratis’ atau ‘tidak membayar apapun’ sudah lama tidak kita gunakan kata tersebut ya. Padahal masa saya sekolah dasar dahulu, gratis masih sering diistilahkan dengan percuma. Kata ‘percuma’ sekarang karena perkembangan bahasa menjadi bermakna ‘sia-sia’ atau ‘tiada gunanya’.
Tetapi jangan heran bahwa bahasa kita pun terasa lucu oleh beberapa kawan Malaysia. Zuhaya, teman saya berkunjung ke rumah kami. Anak beliau Atiq yang berusia 10 tahun tersenyum saat melihat sinetron Indonesia yang diputar di TV.
“Mak, kelakar sangat Zoo mereka cakap Kebun Binatang macam pokok tanaman lah” artinya: “Mak, lucu deh Zoo mereka bilang Kebun binatang. Binatang kok di kebun seperti tanaman saja”.
Ketika saya mengajak bayi saya, “Ayo bobo” Norriah kawan saya mengatakan,”Tido ya kak Weka. Kelakar yer,” katanya sambil tertawa geli.
Saya melangkah menuju tempat parkir perumahan kami, seorang tetangga menyapa,”Nak kemane, Puan? Makan angin yer? Seronok makan angin kan musim cuti ni..” artinya: “Mau kemana Nyonya? Jalan-jalan ya? Asyik ya jalan-jalan musim libur ini”.
Bahasa Melayu identik dengan warga Melayu. Yang dimaksud Melayu di Malaysia bukan saja warga dari etnis Melayu (Sumatra dan Kalimantan: Banjar) tetapi juga dari etnis Jawa, Bugis, Madura, Sunda, Bajo, Sasak.
Etnis lainnya India dan China seringkali terdengar tak bagus dalam berbahasa Melayu. Mungkin untuk membuat etnis China dan India merasa memiliki bahasa itu (sense of belonging) maka sejak tahun 2007 dikatakan bahwa itu bahasa Malaysia (dengan slogan Keranamu Malaysia, Malaysia awakening dalam rangka hari jadi Kemerdekaan).
Pada tahun 2009 pemerintah pusat terus mendengungkan slogan baru: Satu Malaysia, Satu Bangsa Malaysia. Bayangkan mereka baru mendapat nama Malaysia itu pada tahun 1963 ketika Singapura, Sabah dan Sarawak bergabung, sebelumnya adalah Malaya. Bahkan guru bahasa Melayu saya Puan Azilla, ketika saya bilang bahwa dahulu yang ada adalah Semenanjung Malaya bukan Semenanjung Malaysia, beliau bersikeras tidak ada. Ramai rakyat Malaysia tidak tahu sejarah yang sesungguhnya.
Pelajaran sains dan matematika yang tadinya dengan pengantar bahasa Inggris sekarang mulai ditinggalkan. Mungkin pemerintah juga khawatir jika bahasa Melayu tak digunakan dengan baik maka akan semakin buruk. Anak-anak muda lebih suka berbahasa Caca Merba (campur baur dengan bahasa prokem, bahasa etnis dan bahasa Inggris) hal ini tercermin dari drama-drama dan film-film yang mereka buat.
Tetapi susah pula disalahkan kaum belia, mereka melihat tokoh-tokoh politik di media terutama di televisi berbahasa tidak baku, selalu bercampur baur dengan dialek daerah (kampung halamannya), dan bahasa Inggris yang juga tak bagus karena dialek etnis India dan Chinanya.
Anak-anak muda Malaysia tidak lagi pandai bercakap bahasa Melayu sebagus di film-film lama yang dibintangi P.Ramlee. Di situ terlihat budaya Melayu yang santun, lemah lembut dan penyayang pada sesama manusia.
Maka, berbanggalah kita di Indonesia yang jauh sebelum Sumpah Pemuda di tahun 1928 telah berikrar: Satu Bangsa Indonesia, Satu Bahasa Indonesia dan Satu Negara Indonesia. Modal semangat Bhinneka Tunggal Ika kita janganlah sampai padam dalam kerunyaman zaman.
Faktanya bahasa Indonesia hingga saat ini adalah pemersatu kita semua di seluruh Nusantara, bahkan di Timor Leste yang secara sepihak lepas dari Indonesia pada tahun 1998 nyaris 90 persen rakyatnya hingga kini masih berbahasa Indonesia dengan baik bukan bahasa Portu atau Inggris. Merdeka!
* DR Weka Gunawan, Faculty of Medicine, National University of Malaysia
Sumber: Oase Kompas.com, Kamis, 11 Oktober 2012
APA yang menyenangkan saat menginjakkan kaki di bumi Malaysia? Bahasa! Ya bahasanya terdengar unik. Jika mereka menjawab pertanyaan kita menggunakan bahasa Melayu maka pada awalnya kita akan meminta mereka mengulangi kembali jawabannya saking cepatnya mereka berbicara.
Sudah begitu malangnya bahasa Melayu tidak baku dalam penggunaannya. Mulai dari Johor, Negeri Sembilan, Selangor sampai di ujung Semenanjung Malaysia yakni Kelantan bahasa Melayu yang digunakan jauh berbeda penggunaannya.
Hal ini diperparah dengan gaya anak mudanya yang mencampur baurkan bahasanya dengan bahasa Inggris. Bahasa Melayu diucapkan dengan medok oleh etnis China dan menggoyang-goyangkan kepala oleh etnis India.
“I nak letak kereta dekat townhouse sana” “Regardless bangse cine ke, India ke, melayu ke, tak payah bising-bising…” “For God sake, Abang, jangan tuduh saye cam tu” dan sebagainya. Itu gaya bahasa yang seringkali terdengar.
Orang Malaysia memang menggunakan istilah Inggris untuk berbahasa. Bagaimanapun mereka merupakan commonwealth Inggris. Contohnya dalam mengeja huruf: e bi si di ie ef ji dan seterusnya.
Prof.Rossa, seorang guru besar di Universitas Indonesia pernah mengernyitkan kening dan tampak kurang senang saat ia bertanya beberapa tahun silam, “Dimana ambil S-3nya?”, saya jawab, “Yu ke em” maksud saya Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM).
Sungguh tidak bermaksud ‘gaya’ saya terpengaruh orang Malaysia yang demikian menyebut nama universitas tersebut. Sudut bibirnya pun menyungging senyum ke bawah. Mengejek. Saya tersadar.
Jadi bahasa Inggris dimelayukan seperti: epal untuk apple, stesen untuk station, berus untuk brush, selipar untuk slipper, dan lain sebagainya. Jangan heran jika makcik-makcik dan abang-abang di pasar-pasar dengan lancar berbicara,”Tak sure lah” atau “So, cam mane nak ape lagi?”.
Kawan saya Bu Elly, mengalami hal lucu saat sedang duduk di dalam Bus Rapid KL. Ia disapa oleh ibu-ibu yang lebih berumur,” Awak duduk kat mane?” Bu Elly dengan wajah polos menjawab,”Duduk dimana-mana saja, Mak Cik saya suka, tidak apa-apa”. Ibu-ibu itu segera memperlihatkan mimik wajah kurang suka pada Ibu Elly.
Mengapa mereka tidak suka, belakangan kami baru tahu arti kata “duduk” yang berarti “tempat tinggal”. Ia menanyakan dimana rumah Bu Elly, dan ia menganggap Bu Elly wanita kurang baik karena suka tinggal dimana-mana tidak punya rumah tetap. Sementara Bu Elly mengira ia bertanya soal tempat duduk di bus.
Seorang kawan lain mengalami salah paham soal bahasa ini. Indah, seorang mahasiswa tingkat ijazah mendapat telpon dari kawan Malaysianya,”Saye jemput ye pukul 8 dekat rumah ada majlis hari jadi saye”. Indah betul-betul menunggu dijemput pada pukul 8 malam itu.
Sayangnya “menjemput” artinya adalah mengundang. Sehingga Indah memang harus gigit jari, semalaman kawannya tak muncul juga untuk membawanya ke acara hari ulang tahun.
Saya yang sering menggunakan kata kamar kecil untuk permisi membuang air kecil. Sering dibetulkan oleh sejawat saya, ”gi tandas ke?” Padahal saya sengaja tidak menggunakan kata tersebut karena saya merasa agak aneh, cobalah nilai rasa kalimat ini: Saya makan nasi goreng ini hingga licin tandas. Alamak!
Coba baca pengumuman di poster yang dipasang di kampus:
Semua dijemput hadir ke Seminar Motivasi, pakar Motivasi Ternama. Masuk adalah percuma.
Di Malaysia, percuma bermakna ‘gratis’ atau ‘tidak membayar apapun’ sudah lama tidak kita gunakan kata tersebut ya. Padahal masa saya sekolah dasar dahulu, gratis masih sering diistilahkan dengan percuma. Kata ‘percuma’ sekarang karena perkembangan bahasa menjadi bermakna ‘sia-sia’ atau ‘tiada gunanya’.
Tetapi jangan heran bahwa bahasa kita pun terasa lucu oleh beberapa kawan Malaysia. Zuhaya, teman saya berkunjung ke rumah kami. Anak beliau Atiq yang berusia 10 tahun tersenyum saat melihat sinetron Indonesia yang diputar di TV.
“Mak, kelakar sangat Zoo mereka cakap Kebun Binatang macam pokok tanaman lah” artinya: “Mak, lucu deh Zoo mereka bilang Kebun binatang. Binatang kok di kebun seperti tanaman saja”.
Ketika saya mengajak bayi saya, “Ayo bobo” Norriah kawan saya mengatakan,”Tido ya kak Weka. Kelakar yer,” katanya sambil tertawa geli.
Saya melangkah menuju tempat parkir perumahan kami, seorang tetangga menyapa,”Nak kemane, Puan? Makan angin yer? Seronok makan angin kan musim cuti ni..” artinya: “Mau kemana Nyonya? Jalan-jalan ya? Asyik ya jalan-jalan musim libur ini”.
Bahasa Melayu identik dengan warga Melayu. Yang dimaksud Melayu di Malaysia bukan saja warga dari etnis Melayu (Sumatra dan Kalimantan: Banjar) tetapi juga dari etnis Jawa, Bugis, Madura, Sunda, Bajo, Sasak.
Etnis lainnya India dan China seringkali terdengar tak bagus dalam berbahasa Melayu. Mungkin untuk membuat etnis China dan India merasa memiliki bahasa itu (sense of belonging) maka sejak tahun 2007 dikatakan bahwa itu bahasa Malaysia (dengan slogan Keranamu Malaysia, Malaysia awakening dalam rangka hari jadi Kemerdekaan).
Pada tahun 2009 pemerintah pusat terus mendengungkan slogan baru: Satu Malaysia, Satu Bangsa Malaysia. Bayangkan mereka baru mendapat nama Malaysia itu pada tahun 1963 ketika Singapura, Sabah dan Sarawak bergabung, sebelumnya adalah Malaya. Bahkan guru bahasa Melayu saya Puan Azilla, ketika saya bilang bahwa dahulu yang ada adalah Semenanjung Malaya bukan Semenanjung Malaysia, beliau bersikeras tidak ada. Ramai rakyat Malaysia tidak tahu sejarah yang sesungguhnya.
Pelajaran sains dan matematika yang tadinya dengan pengantar bahasa Inggris sekarang mulai ditinggalkan. Mungkin pemerintah juga khawatir jika bahasa Melayu tak digunakan dengan baik maka akan semakin buruk. Anak-anak muda lebih suka berbahasa Caca Merba (campur baur dengan bahasa prokem, bahasa etnis dan bahasa Inggris) hal ini tercermin dari drama-drama dan film-film yang mereka buat.
Tetapi susah pula disalahkan kaum belia, mereka melihat tokoh-tokoh politik di media terutama di televisi berbahasa tidak baku, selalu bercampur baur dengan dialek daerah (kampung halamannya), dan bahasa Inggris yang juga tak bagus karena dialek etnis India dan Chinanya.
Anak-anak muda Malaysia tidak lagi pandai bercakap bahasa Melayu sebagus di film-film lama yang dibintangi P.Ramlee. Di situ terlihat budaya Melayu yang santun, lemah lembut dan penyayang pada sesama manusia.
Maka, berbanggalah kita di Indonesia yang jauh sebelum Sumpah Pemuda di tahun 1928 telah berikrar: Satu Bangsa Indonesia, Satu Bahasa Indonesia dan Satu Negara Indonesia. Modal semangat Bhinneka Tunggal Ika kita janganlah sampai padam dalam kerunyaman zaman.
Faktanya bahasa Indonesia hingga saat ini adalah pemersatu kita semua di seluruh Nusantara, bahkan di Timor Leste yang secara sepihak lepas dari Indonesia pada tahun 1998 nyaris 90 persen rakyatnya hingga kini masih berbahasa Indonesia dengan baik bukan bahasa Portu atau Inggris. Merdeka!
* DR Weka Gunawan, Faculty of Medicine, National University of Malaysia
Sumber: Oase Kompas.com, Kamis, 11 Oktober 2012
No comments:
Post a Comment