Judul : Politik Otentik: Manusia dan Kebebasan dalam Pemikiran Hannah Arendt
Penulis : Agus Sudibyo
Penerbit : Marjin Kiri, Tangerang
Cetak : 2012
Tebal : xxvi + 240 halaman
POLITIK menjelma kata berbusa makna saat digunakan oleh berbagai pihak dengan perbedaan referensi. Kata ini laris tapi rawan mengalami pendangkalan jika sekadar ditempatkan di ranah kekuasaan, birokrasi, negara, konstitusi. Politik memang mengesankan mekanisme penguasaan dan perintah. Pemahaman baku atas politik menjadi basis kehidupan kolektif untuk pengaturan dan peran. Politik juga mengandung ironi atas kekalahan dan kepatuhan. Politik mirip ?kamus? bertaburan klaim-klaim paradoks dan kontradiktif.
Politik bisa suci dan kotor. Politik dalam penggunaan kata dan amalan mengandung seribu kemungkinan dalih. Pamrih atas politik menjelaskan tentang gapaian legitimasi makna. Manusia bergerak di politik seperti mengonstruksi diri di pusaran kepentingan. Manusia mengartikan politik tapi tergantung dari ketakstabilan kondisi dan nilai. Manusia dalam politik adalah pelaku, saksi, korban. Politik menderetkan adegan dan pesan tanpa kekekalan. Manusia selalu menghendaki mendaku politik meski sering luput.
Hannah Arendt sebagai pemikir filsafat politik justru mengajak kita mengembalikan arti politik ke ?rumah refleksi?. Politik merujuk ke gairah menghidupkan. Penjelasan politik dalam kategori-kategori penguasaan, pemaksaan, kekerasan ditampik oleh Hannah Arendt. Pembakuan politik itu bisa membunuh, melukai, menghinakan. Hannah Arendt mengingatkan tentang politik autentik mengandung hasrat dan amalan deliberatif. Politik menganjurkan manusia bergerak di selebrasi kebebasan. Politik mesti menjadi sulut bagi warga mengamalkan diri secara aktif dan kreatif di ruang publik-pluralistik. Politik adalah medium kebersamaan dalam keberagaman.
Penjelasan-penjelasan filosofis ala Hannah Arendt mungkin ?ejekan? untuk lakon politik di Indonesia. Politik otentik adalah idealitas di langit. Para elite di Indonesia hampir alpa dengan kemuliaan dan kehormatan. Konsekuensi politik malah memunculkan aib-aib: korupsi, candu jabatan, diskriminasi, inskonstitusional.
Politik berwajah buruk. Kaum politik tampak sibuk mengurusi pamrih-pamrih pragmatis berdalih amanat publik. Politik dijalankan di jalan-jalan kotor dan berlubang. Ironis! Hannah Arendt memberi seruan bahwa politik berlangsung dalam interaksi manusia. Politik tidak memusat ke manusia-tunggal. Politik ada dan bergerak di tindakan interaktif.
Hannah Arendt moncer di dunia filsafat melalui publikasi serial buku The Origin of Totalitarianism, On Revolution, The Human Condition. Tokoh ini mengalami hidup di masa-masa dramatis saat Nazi menguasai Jerman. Hannah Arendt menjadikan memori itu sebagai rujukan untuk eksplanasi filsafat politik. Keputusan pindah ke Prancis dan Amerika Serikat semakin memberikan alasan politis-filosofis bagi agenda menerangkan situasi dunia abad XX dengan hasrat ?perubahan?. Pemaknaan dan amalan politik di dunia telanjur di kubangan noda dan trauma. Hannah Arendt berikhtiar ?mengembalikan? politik ke jelmaan-jelmaan konstruktif: politik autentik.
Politik autentik adalah politik berdalil kebebasan, kesetaraan, koeksistensi di ruang hidup pluralistik. Politik mesti partisipatoris: mengundang dan menggairahkan orang terlibat tanpa dominasi. Penjelasan-penjelasan ini jarang terjadi di Indonesia. Politik sering mendustai dan mengecewakan. Pemahaman politik di realitas Indonesia memang menjauh dari politik autentik. Pesismisme publik membesar oleh lakon-lakon destruktif kaum politik menggunakan seribu dalih. Mereka tampak menjalankan politik, tapi sengaja membuat rusak dan dosa.
Kehadiran buku tentang pemikiran-pemikiran politik Hannah Arendt oleh Agus Sudibyo seperti sengatan atas situasi Indonesia. Politik bermakna kebebasan belum usang untuk diajukan sebagai referensi mengurusi Indonesia. Pemilu, korupsi, rebutan kekuasaan, arogansi partai politik terus mengingatkan kelambanan atau kegagalan mengamalkan politik autentik. Kita belum rampung melihat ulah kaum elite politik menguras Indonesia dan mendustai misi demokrasi. Mereka sengaja menjerat kita ke politik mengandung dosa sepanjang masa. Begitu.
Bandung Mawardi, Pengelola Jagat Abjad Solo
Sumber: Lampung Post, Minggu, 28 Oktober 2012
Penulis : Agus Sudibyo
Penerbit : Marjin Kiri, Tangerang
Cetak : 2012
Tebal : xxvi + 240 halaman
POLITIK menjelma kata berbusa makna saat digunakan oleh berbagai pihak dengan perbedaan referensi. Kata ini laris tapi rawan mengalami pendangkalan jika sekadar ditempatkan di ranah kekuasaan, birokrasi, negara, konstitusi. Politik memang mengesankan mekanisme penguasaan dan perintah. Pemahaman baku atas politik menjadi basis kehidupan kolektif untuk pengaturan dan peran. Politik juga mengandung ironi atas kekalahan dan kepatuhan. Politik mirip ?kamus? bertaburan klaim-klaim paradoks dan kontradiktif.
Politik bisa suci dan kotor. Politik dalam penggunaan kata dan amalan mengandung seribu kemungkinan dalih. Pamrih atas politik menjelaskan tentang gapaian legitimasi makna. Manusia bergerak di politik seperti mengonstruksi diri di pusaran kepentingan. Manusia mengartikan politik tapi tergantung dari ketakstabilan kondisi dan nilai. Manusia dalam politik adalah pelaku, saksi, korban. Politik menderetkan adegan dan pesan tanpa kekekalan. Manusia selalu menghendaki mendaku politik meski sering luput.
Hannah Arendt sebagai pemikir filsafat politik justru mengajak kita mengembalikan arti politik ke ?rumah refleksi?. Politik merujuk ke gairah menghidupkan. Penjelasan politik dalam kategori-kategori penguasaan, pemaksaan, kekerasan ditampik oleh Hannah Arendt. Pembakuan politik itu bisa membunuh, melukai, menghinakan. Hannah Arendt mengingatkan tentang politik autentik mengandung hasrat dan amalan deliberatif. Politik menganjurkan manusia bergerak di selebrasi kebebasan. Politik mesti menjadi sulut bagi warga mengamalkan diri secara aktif dan kreatif di ruang publik-pluralistik. Politik adalah medium kebersamaan dalam keberagaman.
Penjelasan-penjelasan filosofis ala Hannah Arendt mungkin ?ejekan? untuk lakon politik di Indonesia. Politik otentik adalah idealitas di langit. Para elite di Indonesia hampir alpa dengan kemuliaan dan kehormatan. Konsekuensi politik malah memunculkan aib-aib: korupsi, candu jabatan, diskriminasi, inskonstitusional.
Politik berwajah buruk. Kaum politik tampak sibuk mengurusi pamrih-pamrih pragmatis berdalih amanat publik. Politik dijalankan di jalan-jalan kotor dan berlubang. Ironis! Hannah Arendt memberi seruan bahwa politik berlangsung dalam interaksi manusia. Politik tidak memusat ke manusia-tunggal. Politik ada dan bergerak di tindakan interaktif.
Hannah Arendt moncer di dunia filsafat melalui publikasi serial buku The Origin of Totalitarianism, On Revolution, The Human Condition. Tokoh ini mengalami hidup di masa-masa dramatis saat Nazi menguasai Jerman. Hannah Arendt menjadikan memori itu sebagai rujukan untuk eksplanasi filsafat politik. Keputusan pindah ke Prancis dan Amerika Serikat semakin memberikan alasan politis-filosofis bagi agenda menerangkan situasi dunia abad XX dengan hasrat ?perubahan?. Pemaknaan dan amalan politik di dunia telanjur di kubangan noda dan trauma. Hannah Arendt berikhtiar ?mengembalikan? politik ke jelmaan-jelmaan konstruktif: politik autentik.
Politik autentik adalah politik berdalil kebebasan, kesetaraan, koeksistensi di ruang hidup pluralistik. Politik mesti partisipatoris: mengundang dan menggairahkan orang terlibat tanpa dominasi. Penjelasan-penjelasan ini jarang terjadi di Indonesia. Politik sering mendustai dan mengecewakan. Pemahaman politik di realitas Indonesia memang menjauh dari politik autentik. Pesismisme publik membesar oleh lakon-lakon destruktif kaum politik menggunakan seribu dalih. Mereka tampak menjalankan politik, tapi sengaja membuat rusak dan dosa.
Kehadiran buku tentang pemikiran-pemikiran politik Hannah Arendt oleh Agus Sudibyo seperti sengatan atas situasi Indonesia. Politik bermakna kebebasan belum usang untuk diajukan sebagai referensi mengurusi Indonesia. Pemilu, korupsi, rebutan kekuasaan, arogansi partai politik terus mengingatkan kelambanan atau kegagalan mengamalkan politik autentik. Kita belum rampung melihat ulah kaum elite politik menguras Indonesia dan mendustai misi demokrasi. Mereka sengaja menjerat kita ke politik mengandung dosa sepanjang masa. Begitu.
Bandung Mawardi, Pengelola Jagat Abjad Solo
Sumber: Lampung Post, Minggu, 28 Oktober 2012
No comments:
Post a Comment