Sunday, October 28, 2012

Sastra dan Dakwah

-- Beni Setia

LEBIH dari lima belas tahun lalu prosais Eddy D. Iskandar dan Penerbit Rosda pernah melansir dua buah kumpulan cerpen bertema dakwah islamiah. Cerpen yang dikemas dalam gaya populer, sesuai dengan gaya pengarang.

DENGAN kerangka baku: di setiap akhir cerpen dibuat kesimpulan atau semacam hikmah, yang menerangkan si cerita tersebut terkaitan dengan ayat Alquran ini dan Hadis itu. Rasanya, ada beberapa cerpen yang telah dipublikasikan lepas di media massa, lantas disikumpulkan bersama cerpen yang belum dipublikasikan, dan (tampaknya) kemudian diberi kesimpulan atau hikmah untuk melengkapi kesempurnaan dakwah.

Terlepas apa ilhamnya dan apa tafsirnya, pada dasarnya, cerpen-cerpen itu fiksi murni, yang selalu memberi kebebasan penafsiran bagi si pembaca dan apresiatornya. Apa yang ditulis pengarang sebagai sebuah kesimpulan bernilai Islami itu menjadi dominasi apresiasi yang sama sekali tidak pernah memercayai pemaknaan lain dari si pembaca dan apresiatornya?bahkan terkesan amat memaksakan tafsir baku. Dominasi pemaknaan yang bersikukuh dengan manpaat cerpen (berpola) dakwah islamiah, yang ditulis dengan spirit amal makruf nahi mungkar, yang bertolak dari keinginan kuat buat mengkongkritkan ide hikmah nash ayat Alquran dan Hadis.

Keutamaan dari kreativitas ingin meneguhkan dakwah yang bertolak dari usaha aktualisasi dan kontekstualisasi untuk mengukuhkan kehebatan ayat serta keutamaan agama. Landasan visi dan misi mulia yang menghalalkan cara yang tak menghormati kemandirian teks, yang merujuk pada kebebasan penciptaan si kreator dan sama sekali mereduksi kebebasan tafsir dan pemaknaan dari si pembaca dan apresiator. Meskipun, di beberapa aspek, kadang tidak menunjukkan keindahan komposisi yang menguarkan hikmah, tapi melulu sebuah konflik dan jalinan suspence (cerita) yang menyenangkan pembaca dengan tokoh menderita yang happy ending?lantas momentum itu dianggap semacam lentik khusnul khotimah berbuhul nash.

***

TERPIKIR itu dilema cerpen yang ditulis dengan tendensi, baik motifnya agama?tak hanya Islam?, atau yang sekuler bermotif ideologi politik atau sekadar kritik dan penyuluhan pembangunan. Ada dorongan untuk membuat sederetan peristiwa rekaan yang mengharu biru, dengan sekian tokoh boneka pemekat kontras hitam-putih tanpa dilengkapi dengan psikologi karakter serta habitat sosial-budaya-politik setting. Hanya untuk pemantik perhatian sebelum si pengarang mengatakan: inilah ciri seorang kader yang sesuai target ideologik, atau ketimpangan pembangunan itu?yang sejajar dengan terkadang dengan kehadiran kiai membaca ayat atau pastor mencutat firman. Tak ada konsekuensi sebab-akibat, pengaruh sosial-budaya-politik dari setting, serta pergulatan psikologik momen yang menyebabkan terjadinya perubahan sikap.

Semuanya diabaikan, karena yang dianggap penting oleh si pengarang itu justru cuma minat dari si pembaca sehingga teks dakwah atau propaganda itu lebih populer serta mengena dalam ujud tampilan seni pertunjukan, langsung atau rekaman?sederet peristiwa mengharu biru yang menjadi ancangan dari ledakan dakwah dan propaganda telanjang yang didedahkan. Sangat verbal sehingga agak mirip pagelaran dangdut atau musik rock sebelum panggung kampanye pemilu diisi si juru kampanye parpol, yang secara manipulatif mengharapkan penikmat yang berkerumun itu tranced oleh kalimat?kalimat sugestif?meski momen jual kibul ini biasanya ditinggalkan penonton.

Potensi reaksional akibat orang tidak mau disubordinasikan di bawah dominasi kebenaran tunggal akibat pemaknaan otoritarian diabaikan?bahkan sejak awal hal itu dianggap antipati. Jadi tak heran bila Danarto, sebagai seorang fiksionalis murni yang memanjakan fantasi?meski ia mendakwahkan nilai dan hikmah batiniah sufistik tanpa ada mengacu ke nash apa pun?, mendeskripsikannya sebagai distorsi. Ledakan bom, yang disusul pengejaran teroris di tengah tranced konser musik?tak lagi sekadar satu letusan pistol seperti yang dinyatakan Sartre. Di titik ini, Danarto menyikabarkan pola penulisan fiksi bertendens sastrawiah: dimulai dengan si pengarang terobsesi tendens, berupa nash, firman, visi-misi ideologi dan antiideologi, atau hanya serapah.

Obsesi itu membuat ide terinternalisasi, memicu terjadinya diskursus batín yang terjabar ke sekian kemungkinan yang bisa ditelusuri?sehingga pengarang menemukan keleluasaan dan kebebasan buat berfantasi dan mengempati tokoh?, dan konsentristik pada sosok ujud rekaan yang terukur dan terkendali.

Adanya faktor keleluasaan dalam membebaskan fantasi itu menyebabkan Danarto, dalam Adam Ma?rifat atau Berhala, misalnya, menggarisbawahi hikmah tanpa terkesan sedang berdakwah mengsiumbar fatwa. Mungkin juga karena ada displin dan kecermatan dalam mengsihadirkan fakta-fakta, yang dijadikannya ruang untuk mengembangkan eksistensi kejadian dan tokoh dengan fantasi yang teramat kuyup diempati.

Ihwal yang mesilahirkan kegemilangan prosa dari sastrawan kelas dunia. Seperti terlihat dari Pramudya Ananta Toer dalam tetralogi Bumi Manusia ataupun Keluarga Gerilya, Boris Pasternak dalam Dr Zhivago, Arthur Koestler dalam Gerhana Tengah Hari, Aleksander Solzhenitsyn dalam Sehari dalam Kehidupan Ivan Danisovich atau Gulag Archiperlago, Ellie Wiessel dalam Malam atau Judges, Ignazio Silone dalam Roti dan Anggur, misalnya. Yang memicu diskusi tafsir justru karena tidak ada diikuti catatan pengarah si pengarang. Maksa memandu penafsiran demi prespektif nilai!

***

PADA akhirnya, semua kembali pada etos dan kreativitas dari si bersangkutan: apakah cuma mengejar setoran dengan produktif mengarang, atau justru mengabaikan kuantitas dengan intens menggulati ide penulisan?dan didukung cakrawala referensial fakta-fakta, wawasan pemikiran, serta kualitas empati yang mampu mengawal fantasi sehingga semua terhadirkan utuh. Di situ kita tak lagi membaca makna dari teks fiksi yang artifisial membuat gebrakan sebelum letusan pistol, ledakan bom, dan huru-hara mengejar teroris, tapi sudah pertemuan sastrawi antara rasa dan rasa?seperti yang dikatakan sebuah puisi kecil Walt Whitman.

Sekaligus teks Francois Muariac, Jalinan Ular Berbisa serta Simfoni Pastorale--bahkan Da Vinci Code Dan Brown, Satanic Verses Salman Rusdhie, ataupun Langit Makin Mendung Kipanjikusmin?benar-benar tak boleh dimaknai dengan puritanitas nilai Katolik dan Islam. Karena hikmah dari teks-teks ada dalam nuansa gradasi, telah bergeser dari logika biner yang bila (teks) tak ada mendakwahkan Katolik, pasti anti-Christ dan bila tak mendakwahkan Islam, pasti anti-Muhammad. Semuanya mutlak jadi mungkin karena berada di wilayah otonomi sastra. Tapi mungkinkah?

Karena ide otonomi teks di wilayat abu-abu sastra itu mungkin hanya ada ketika ilham menyinari si pengarang, saat ide penulisan itu diperkaya dalam diskursus batini di awal dan selama penulisan. Suatu kondisi setengah sadar dengan risiko individual, padahal ketika teks ditersuratkan serta dipublikasikan: tak ada lagi otonomi subjektif (kreativitas), yang ada malah otonomi resepsi yang menyebabkan si setiap tanda bisa ditafsirkan secara merdeka dengan teknik uthak-athik gathuk tak terbatas. Karena itu proses kreatif (penulisan) harus selalu bermula dari pemilihan serta pemilahan sengaja?sadar akan keberadaan si calon pembaca dan apresiator?, meski bisa dihiasi letusan improvisasi tak sadar. Memang! n

Beni Setia, Pengarang

Sumber: Lampung Post, Minggu, 28 Oktober 2012

No comments: