-- Desi Sommalia Gustina
TULISAN ini saya buka dengan pertanyaan, apa hubungannya antara kumis, penyaring dan kopi? Jawabnya mungkin begini; konon, lelaki yang berkumis tebal pada saat ia akan menenggak secangkir kopi, kumis yang terdapat di atas bibirnya tersebut diibaratkan sebagai penyaring sebelum kopi masuk ke dalam mulut si empunya. Bisa dikata, jawaban tersebut hanyalah semacam parodi yang tentu saja tidak ada hubungannya dengan buku kumpulan cerpen Kumis Penyaring Kopi yang akan saya bincangkan dalam tulisan ini.
Setelah khatam membaca kumpulan yang diterbitkan oleh nig publishing ini saya tidak menemukan hubungan antara judul buku ini dengan kedua belas cerpen yang terdapat di dalam buku karya Pinto Anugerah ini. Begitupun kalimat ‘’Kumis Penyaring Kopi’’ yang dipilih sebagai judul buku bukanlah judul salah satu cerpen, dan juga tak memiliki hubungan dengan salah satu cerpen dalam buku ini. Walaupun ada satu cerpen berbicara tentang kopi, yaitu cerpen yang berjudul ‘’Kopi Daun’’, tetapi cerpen tersebut tidak ada kedekatan dengan judul kumpulan ini.
Agaknya, sebagai penulis, Pinto memiliki pertimbangan lain dalam memilih judul buku ini. Namun, terlepas dari masalah judul kumpulan ini yang tidak memiliki hubungan dengan keseluruhan cerita yang disuguhkan, hemat saya judul masing-masing cerpen dalam kumpulan ini cukup menarik, ringkas dan mampu menerbitkan rasa penasaran. Ditambah lagi cerita-cerita yang terhimpun dalam buku ini cukup bersahaja dengan mengusung tema lokal, dan bangunan cerita sarat dengan setting Minang. Hal ini dapat ditandai dengan banyaknya ditemukan kosa-kata lokal.
Dari keseluruhan cerpen yang terdapat dalam buku yang terbit Juni 2012 ini, cerpen yang diberi judul ‘’Bakiak’’ memiliki keunikan tersendiri. Membaca cerpen ini mengingatkan saya akan sebuah ungkapan; don’t see the book just from the cover. Jangan hanya melihat isi buku dari cover-nya. Di mana ungkapan tersebut juga bermakna agar tidak menilai sesuatu hanya dari kulitnya saja dan tidak cepat-cepat menvonis baik atau buruknya seseorang karena sesuatu yang hanya tampak dari luar. Seperti pesan yang hendak disampaikan pada cerpen ‘’Bakiak’’ ini. Lihatlah, dalam cerpen ini hanya karena seseorang memakai bakiak ia serta merta dituduh komunis. Cerpen ini dimulai dengan menceritakan hilangnya bakiak kesayangan si nenek. Bakiak yang hilang itu ternyata merupakan mas kawin dari suaminya. Ia disunting saat bakiak begitu berharga dan menjadi barang bergengsi. Karena itulah, ketika bakiaknya raib si nenek dirundung lara dan sama sekali tak ingin bakiaknya yang hilang digantikan dengan bakiak lain.
Cerpen ini fokus pada sejarah bakiak bagi seorang nenek. Pada masa itu, komunis menarik simpati masyarakat dengan membagi-bagikan bakiak kepada penduduk. Bagi orde yang berkuasa, siapapun yang memakai bakiak, ia adalah komunis. Maka suami si nenek dikejar-kejar oleh orde yang berkuasa walaupun sejatinya ia bukan komunis. Si suami gelisah karena dikucilkan oleh negara dan masyarakat hingga akhirnya ia meninggal. ‘’Kakekmu dituduh komunis karena bakiak ini. Saat itu bakiak merupakan barang komunis. Bakiak dipakai komunis untuk mencari pendukungnya kepada para petani dengan cara membagi-bagikannya, jadi siapa yang memakai bakiak maka ia komunis...’’ (halaman 66).
Cara berpikir seperti itu, mengingatkan kita akan kondisi yang terjadi hari ini. Di mana sebagian masyarakat kita akan dengan mudah memberi ‘stempel’ baik atau buruk seseorang atau sekelompok orang hanya karena suatu hal tertentu. Selain cerpen ‘’Bakiak’’, pesan yang hampir sama dengan ungkapan don’t see the book just from the cover juga dapat ditemukan dalam cerpen ‘’Guru Siak’’. Cerpen ini diawali dengan mendiskripsikan suasana kunjungan seorang guru mengaji ke rumah muridnya dikarenakan sebuah undangan. Dan ketika waktu salat tiba, guru mengaji tersebut bergegas melaksanakan salat.
Namun, tanpa diketahui oleh guru mengaji tersebut, si murid yang bernama Mui yang juga pemilik rumah, mengintip si guru yang tengah melaksanakan sholat itu. Karena arah salat yang dilakukan oleh guru mengaji tersebut berbeda dari yang biasa dilakukan, si murid penasaran dan menimbulkan sebuah pertanyaan di kepalanya. Si murid kemudian berusaha mencari jawaban dari salat yang dianggapnya tak biasa yang dilakukan oleh guru mengajinya itu. Hingga kemudian si murid menemukan globe di ruang pustaka sekolah. Pertanyaan yang berkecamuk di kepala si murid terjawab, ke mana pun menghadap ketika salat bertemunya pasti akan ke arah kiblat karena Bumi ini bundar. Pulang dari sekolah, si murid langsung salat.
Si Ibu yang memperhatikan gerak-gerik anaknya tak pelak merasa heran. Kemudian si Ibu mengikutinya ke kamar, melihat anaknya salat tidak menghadap ke arah semestinya, si Ibu marah. ‘’Siapa yang mengajarkan?’’ ‘’Guru mengajimu itu?’’ ‘’Sesat!’’. Guru mengaji tersebut kemudian dipanggil untuk dimintai keterangan. Tidak merasa mengajarkan hal demikian, ia lalu bertanya pada muridnya, ‘’Benar kau lakukan itu?’’ Mui mengangguk. ‘’Benar kau melakukan itu karena melihatku pernah sembahyang seperti itu?’’ Mui mengangguk. Guru Siak berkerut keningnya, berpikir di mana kira-kira ia telah melakukan kekhilafan dalam sembahyang. ‘’Di mana? Di tempat mengaji?’’ Mui menggeleng. Lalu menunjuk kamar abangnya dengan mukanya... ia tidak menyangka bahwa Mui akan melihat cara ia sembahyang waktu itu. Tapi itu ia lakukan karena di dinding kamar itu, persis di hadapan saat sembahyang, ada poster perempuan setengah telanjang yang tertempel, makanya ia alihkan arah sembahyangnya.
Cerpen ‘’Guru Siak’’ ini dengan gaya penceritaannya yang jenaka, seakan-akan berusaha menyentil sikap sebagian umat Islam hari ini yang jika diperhatikan sangat gampang meng-kafirkan seseorang atau sekelompok orang hanya karena sesuatu hal tanpa terlebih dahulu mencari tahu akar permasalahannya.
Di samping itu, dalam cerpen-cerpennya, Pinto tampak sangat memperhatikan masalah waktu, seperti pada cerpen ‘’Orang Rantai’’ dan ‘’Emma Haven’’. Kedua cerpen ini berlatar historis, seperti halnya pada cerpen ‘’Bakiak’’ yang merujuk pada peristiwa 1965. Cerpen ‘’Orang Rantai’’ menceritakan pada kisaran tahun 1891 ketika pertambangan batu bara dibuka di Sawahlunto. Pada saat itu orang-orang berduyun datang, mereka menjadi buruh tambang atau kuli pabrik batu bara di daerah tersebut. Mereka inilah yang dimaksud orang rantai pada cerpen ini. Sedangkan cerpen ‘’Emma Haven’’ berlatar ketika penjajahan kolonial Belanda, pada kisaran tahun 1938, setelah sekutu kalah dalam perang Pasifik. Emma Haven merupakan nama sebuah pelabuhan kapal ketika itu. Dari sinilah cerita bermula. Siti Kalaya, seorang perempuan pribumi yang dipersunting lelaki keturunan Belanda, Mark van Schrik, dan mempunyai seorang anak. Pasangan pribumi dan penjajah tersebut kemudian mengutip nama pelabuhan tersebut untuk nama anak mereka; Emma, agar kelak ketika kekacauan politik di Hindia sudah mereda, si penjajah dapat dengan mudah mengenali anaknya.
Cerpen lainnya dalam buku ini berjudul ‘’Tiga Patahan’’. Pada ‘’Patahan 1: Alu Katentong’’, mengisahkan tentang seorang Ibu yang ditinggal merantau anak-anaknya, hingga tersisa seorang anak bungsu. ‘’Kau yang paling kecil di antara anak-anak ibu, kakakmu semua sudah pergi merantau, hanya kau yang masih tinggal. Kau akan pergi juga?’’ tanya Ibunya (halaman 94). Di kampung itu, semua orang pergi merantau. Bukan hanya lelaki, tapi juga perempuan. Kampung pun menjadi lengang. Hanya orang-orang tua dan anak-anak yang tersisa. Ladang telah semak, menjadi sarang babi hutan. Sawah kering, tak lagi ada yang mengairi. Di akhir cerita, tiba-tiba tokoh aku terbangun. Ia mendapati ibunya tengah menumbuk air hujan yang menggenang dalam lesung. Ia berdendang mendayu-dayu.
Kemudian dalam ‘’Patahan 2; Sempelong’’, menceritakan mengenai suatu penyakit guna-guna (sampelong) yang akan hilang bila orang yang bersangkutan pergi merantau atau melewati laut. Tokoh Kinan dikisahkan, disampelong oleh Wan Tunjang, juragan petai dari kampung Mudik. Akibatnya Kinan menderita penyakit aneh; lewat tengah malam ia memekik, meraung-raung, mencakar-cakar tubuhnya, membenturkan kepala ke dinding, dan menggerapai dinding yang membuatnya tidak bisa tidur kala malam. Kinan kemudian menjadi gunjingan orang kampung, oleh Ibunya Kinan disuruh merantau ke Jawa. ‘’Jika kau menyeberang laut, maka penyakit itu akan hilang dengan sendirinya. Ini jalan yang terbaik, Kinan,’’ ujar si Ibu (halaman 96).
Kemudian ‘’Patahan 3: Patah Sunting’’. Pada bagian ‘’Patahan 3: Patah Sunting’’ ini diawal cerita cukup membangkitkan rasa penasaran, namun cerita terasa hambar ketika pada akhir cerita tokoh ‘aku’ meninggalkan ‘perempuan itu’ dan turun di tengah perjalanan. Meskipun demikian, jika merujuk pada judul cerpen, secara keseluruhan pesan cerpen ‘’Tiga Patahan’’ ini adalah perihnya rasa ‘patah’ itu sendiri: patah akibat tradisi merantau, patah karena disempelong, dan patah karena (tokoh perempuan dalam patahan 3 ini) ditinggal pergi lelaki yang belum lama menikahinya. Menurut pembacaan saya, gaya bercerita cerpen ‘’Tiga Patahan’’ ini terasa semacam berparodi. Tersebab itu, tulisan ini akan saya tutup dengan sebuah pertanyaan; apakah gaya bercerita yang terkesan berparodi pada cerpen ‘’Tiga Patahan’’ ini merupakan jembatan yang menghubungkan antara kedua belas cerpen dalam kumpulan ini dengan judul buku ini yang juga terasa berparodi?
Padang, 22 September 2012
Desi Sommalia Gustina, Lahir di Sungai Guntung, Indragiri Hilir, Riau, 18 Desember 1987, alumnus Pascasarjana Universitas Andalas. Menetap di Padang.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 7 Oktober 2012
TULISAN ini saya buka dengan pertanyaan, apa hubungannya antara kumis, penyaring dan kopi? Jawabnya mungkin begini; konon, lelaki yang berkumis tebal pada saat ia akan menenggak secangkir kopi, kumis yang terdapat di atas bibirnya tersebut diibaratkan sebagai penyaring sebelum kopi masuk ke dalam mulut si empunya. Bisa dikata, jawaban tersebut hanyalah semacam parodi yang tentu saja tidak ada hubungannya dengan buku kumpulan cerpen Kumis Penyaring Kopi yang akan saya bincangkan dalam tulisan ini.
Setelah khatam membaca kumpulan yang diterbitkan oleh nig publishing ini saya tidak menemukan hubungan antara judul buku ini dengan kedua belas cerpen yang terdapat di dalam buku karya Pinto Anugerah ini. Begitupun kalimat ‘’Kumis Penyaring Kopi’’ yang dipilih sebagai judul buku bukanlah judul salah satu cerpen, dan juga tak memiliki hubungan dengan salah satu cerpen dalam buku ini. Walaupun ada satu cerpen berbicara tentang kopi, yaitu cerpen yang berjudul ‘’Kopi Daun’’, tetapi cerpen tersebut tidak ada kedekatan dengan judul kumpulan ini.
Agaknya, sebagai penulis, Pinto memiliki pertimbangan lain dalam memilih judul buku ini. Namun, terlepas dari masalah judul kumpulan ini yang tidak memiliki hubungan dengan keseluruhan cerita yang disuguhkan, hemat saya judul masing-masing cerpen dalam kumpulan ini cukup menarik, ringkas dan mampu menerbitkan rasa penasaran. Ditambah lagi cerita-cerita yang terhimpun dalam buku ini cukup bersahaja dengan mengusung tema lokal, dan bangunan cerita sarat dengan setting Minang. Hal ini dapat ditandai dengan banyaknya ditemukan kosa-kata lokal.
Dari keseluruhan cerpen yang terdapat dalam buku yang terbit Juni 2012 ini, cerpen yang diberi judul ‘’Bakiak’’ memiliki keunikan tersendiri. Membaca cerpen ini mengingatkan saya akan sebuah ungkapan; don’t see the book just from the cover. Jangan hanya melihat isi buku dari cover-nya. Di mana ungkapan tersebut juga bermakna agar tidak menilai sesuatu hanya dari kulitnya saja dan tidak cepat-cepat menvonis baik atau buruknya seseorang karena sesuatu yang hanya tampak dari luar. Seperti pesan yang hendak disampaikan pada cerpen ‘’Bakiak’’ ini. Lihatlah, dalam cerpen ini hanya karena seseorang memakai bakiak ia serta merta dituduh komunis. Cerpen ini dimulai dengan menceritakan hilangnya bakiak kesayangan si nenek. Bakiak yang hilang itu ternyata merupakan mas kawin dari suaminya. Ia disunting saat bakiak begitu berharga dan menjadi barang bergengsi. Karena itulah, ketika bakiaknya raib si nenek dirundung lara dan sama sekali tak ingin bakiaknya yang hilang digantikan dengan bakiak lain.
Cerpen ini fokus pada sejarah bakiak bagi seorang nenek. Pada masa itu, komunis menarik simpati masyarakat dengan membagi-bagikan bakiak kepada penduduk. Bagi orde yang berkuasa, siapapun yang memakai bakiak, ia adalah komunis. Maka suami si nenek dikejar-kejar oleh orde yang berkuasa walaupun sejatinya ia bukan komunis. Si suami gelisah karena dikucilkan oleh negara dan masyarakat hingga akhirnya ia meninggal. ‘’Kakekmu dituduh komunis karena bakiak ini. Saat itu bakiak merupakan barang komunis. Bakiak dipakai komunis untuk mencari pendukungnya kepada para petani dengan cara membagi-bagikannya, jadi siapa yang memakai bakiak maka ia komunis...’’ (halaman 66).
Cara berpikir seperti itu, mengingatkan kita akan kondisi yang terjadi hari ini. Di mana sebagian masyarakat kita akan dengan mudah memberi ‘stempel’ baik atau buruk seseorang atau sekelompok orang hanya karena suatu hal tertentu. Selain cerpen ‘’Bakiak’’, pesan yang hampir sama dengan ungkapan don’t see the book just from the cover juga dapat ditemukan dalam cerpen ‘’Guru Siak’’. Cerpen ini diawali dengan mendiskripsikan suasana kunjungan seorang guru mengaji ke rumah muridnya dikarenakan sebuah undangan. Dan ketika waktu salat tiba, guru mengaji tersebut bergegas melaksanakan salat.
Namun, tanpa diketahui oleh guru mengaji tersebut, si murid yang bernama Mui yang juga pemilik rumah, mengintip si guru yang tengah melaksanakan sholat itu. Karena arah salat yang dilakukan oleh guru mengaji tersebut berbeda dari yang biasa dilakukan, si murid penasaran dan menimbulkan sebuah pertanyaan di kepalanya. Si murid kemudian berusaha mencari jawaban dari salat yang dianggapnya tak biasa yang dilakukan oleh guru mengajinya itu. Hingga kemudian si murid menemukan globe di ruang pustaka sekolah. Pertanyaan yang berkecamuk di kepala si murid terjawab, ke mana pun menghadap ketika salat bertemunya pasti akan ke arah kiblat karena Bumi ini bundar. Pulang dari sekolah, si murid langsung salat.
Si Ibu yang memperhatikan gerak-gerik anaknya tak pelak merasa heran. Kemudian si Ibu mengikutinya ke kamar, melihat anaknya salat tidak menghadap ke arah semestinya, si Ibu marah. ‘’Siapa yang mengajarkan?’’ ‘’Guru mengajimu itu?’’ ‘’Sesat!’’. Guru mengaji tersebut kemudian dipanggil untuk dimintai keterangan. Tidak merasa mengajarkan hal demikian, ia lalu bertanya pada muridnya, ‘’Benar kau lakukan itu?’’ Mui mengangguk. ‘’Benar kau melakukan itu karena melihatku pernah sembahyang seperti itu?’’ Mui mengangguk. Guru Siak berkerut keningnya, berpikir di mana kira-kira ia telah melakukan kekhilafan dalam sembahyang. ‘’Di mana? Di tempat mengaji?’’ Mui menggeleng. Lalu menunjuk kamar abangnya dengan mukanya... ia tidak menyangka bahwa Mui akan melihat cara ia sembahyang waktu itu. Tapi itu ia lakukan karena di dinding kamar itu, persis di hadapan saat sembahyang, ada poster perempuan setengah telanjang yang tertempel, makanya ia alihkan arah sembahyangnya.
Cerpen ‘’Guru Siak’’ ini dengan gaya penceritaannya yang jenaka, seakan-akan berusaha menyentil sikap sebagian umat Islam hari ini yang jika diperhatikan sangat gampang meng-kafirkan seseorang atau sekelompok orang hanya karena sesuatu hal tanpa terlebih dahulu mencari tahu akar permasalahannya.
Di samping itu, dalam cerpen-cerpennya, Pinto tampak sangat memperhatikan masalah waktu, seperti pada cerpen ‘’Orang Rantai’’ dan ‘’Emma Haven’’. Kedua cerpen ini berlatar historis, seperti halnya pada cerpen ‘’Bakiak’’ yang merujuk pada peristiwa 1965. Cerpen ‘’Orang Rantai’’ menceritakan pada kisaran tahun 1891 ketika pertambangan batu bara dibuka di Sawahlunto. Pada saat itu orang-orang berduyun datang, mereka menjadi buruh tambang atau kuli pabrik batu bara di daerah tersebut. Mereka inilah yang dimaksud orang rantai pada cerpen ini. Sedangkan cerpen ‘’Emma Haven’’ berlatar ketika penjajahan kolonial Belanda, pada kisaran tahun 1938, setelah sekutu kalah dalam perang Pasifik. Emma Haven merupakan nama sebuah pelabuhan kapal ketika itu. Dari sinilah cerita bermula. Siti Kalaya, seorang perempuan pribumi yang dipersunting lelaki keturunan Belanda, Mark van Schrik, dan mempunyai seorang anak. Pasangan pribumi dan penjajah tersebut kemudian mengutip nama pelabuhan tersebut untuk nama anak mereka; Emma, agar kelak ketika kekacauan politik di Hindia sudah mereda, si penjajah dapat dengan mudah mengenali anaknya.
Cerpen lainnya dalam buku ini berjudul ‘’Tiga Patahan’’. Pada ‘’Patahan 1: Alu Katentong’’, mengisahkan tentang seorang Ibu yang ditinggal merantau anak-anaknya, hingga tersisa seorang anak bungsu. ‘’Kau yang paling kecil di antara anak-anak ibu, kakakmu semua sudah pergi merantau, hanya kau yang masih tinggal. Kau akan pergi juga?’’ tanya Ibunya (halaman 94). Di kampung itu, semua orang pergi merantau. Bukan hanya lelaki, tapi juga perempuan. Kampung pun menjadi lengang. Hanya orang-orang tua dan anak-anak yang tersisa. Ladang telah semak, menjadi sarang babi hutan. Sawah kering, tak lagi ada yang mengairi. Di akhir cerita, tiba-tiba tokoh aku terbangun. Ia mendapati ibunya tengah menumbuk air hujan yang menggenang dalam lesung. Ia berdendang mendayu-dayu.
Kemudian dalam ‘’Patahan 2; Sempelong’’, menceritakan mengenai suatu penyakit guna-guna (sampelong) yang akan hilang bila orang yang bersangkutan pergi merantau atau melewati laut. Tokoh Kinan dikisahkan, disampelong oleh Wan Tunjang, juragan petai dari kampung Mudik. Akibatnya Kinan menderita penyakit aneh; lewat tengah malam ia memekik, meraung-raung, mencakar-cakar tubuhnya, membenturkan kepala ke dinding, dan menggerapai dinding yang membuatnya tidak bisa tidur kala malam. Kinan kemudian menjadi gunjingan orang kampung, oleh Ibunya Kinan disuruh merantau ke Jawa. ‘’Jika kau menyeberang laut, maka penyakit itu akan hilang dengan sendirinya. Ini jalan yang terbaik, Kinan,’’ ujar si Ibu (halaman 96).
Kemudian ‘’Patahan 3: Patah Sunting’’. Pada bagian ‘’Patahan 3: Patah Sunting’’ ini diawal cerita cukup membangkitkan rasa penasaran, namun cerita terasa hambar ketika pada akhir cerita tokoh ‘aku’ meninggalkan ‘perempuan itu’ dan turun di tengah perjalanan. Meskipun demikian, jika merujuk pada judul cerpen, secara keseluruhan pesan cerpen ‘’Tiga Patahan’’ ini adalah perihnya rasa ‘patah’ itu sendiri: patah akibat tradisi merantau, patah karena disempelong, dan patah karena (tokoh perempuan dalam patahan 3 ini) ditinggal pergi lelaki yang belum lama menikahinya. Menurut pembacaan saya, gaya bercerita cerpen ‘’Tiga Patahan’’ ini terasa semacam berparodi. Tersebab itu, tulisan ini akan saya tutup dengan sebuah pertanyaan; apakah gaya bercerita yang terkesan berparodi pada cerpen ‘’Tiga Patahan’’ ini merupakan jembatan yang menghubungkan antara kedua belas cerpen dalam kumpulan ini dengan judul buku ini yang juga terasa berparodi?
Padang, 22 September 2012
Desi Sommalia Gustina, Lahir di Sungai Guntung, Indragiri Hilir, Riau, 18 Desember 1987, alumnus Pascasarjana Universitas Andalas. Menetap di Padang.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 7 Oktober 2012
No comments:
Post a Comment