Data Buku
Sang Pelopor: Tokoh-Tokoh Sepanjang Perjalanan Bangsa
Rosihan Anwar
Penerbit Buku Kompas, 2012
262 hlm.
PELAJARAN sejarah di sekolah kita tidak memberikan rasa yang menggetarkan di sanubari kita. Cara bercerita dan bertutur memengaruhi bagaimana kita bisa memahami dan merasakan para pejuang dan pahlawan kemerdekaan di masa lampau mengalami penderitaan yang tiada habisnya demi tercapainya Indonesia merdeka. Beruntunglah kita yang menemui buku-buku sejarah yang naratif, sekaligus eksplanatif. Kita mengenali ini dari Sartono Kartodirjo. Meskipun dengan bahasa yang ketat, kita bisa memasuki alam masa lampau yang diceritakan. Sebut saja buku Pangeran Diponegoro karya Peter Carrey (2011). Di sana kita akan menemukan betapa sejarah, alam, hingga peristiwa masa lampau jadi hidup di depan kita.
Tahun ini, kita menikmati kembali sejarah yang dikemas dengan bahasa jurnalistik, renyah, penuh dengan intimitas, dan tentu membawa kita merasakan apa yang diceritakan penulisnya. Rosihan Anwar, wartawan cum sejarawan yang hidup di tiga zaman ini lihai dan menggeluti terhadap profesinya. Jacob Oetama menyebutnya wartawan yang tak pernah berhenti untuk bergulat dan mengalami pergulatan di masanya.
Rosihan Anwar menunjukkan pada kita bahwa setiap peristiwa kecil, kenangan kecil, dan hubungan dengan kerabat serta teman-teman adalah peristiwa yang sayang untuk dilewatkan untuk dicatat. Melalui profesinya itulah, ia sering meninggalkan catatan-catatan kecil tentang hidup orang-orang.
Tulisan Rosihan Anwar dalam buku Petite Historie 5 ini setidaknya memberikan gambaran pada kita bagaimana kita melakukan teknik reportase dari dalam. Reportase yang dilakukan Rosihan adalah percakapan-percakapan ringan, kenangan-kenangan kecil, dan peristiwa kecil yang sebenarnya biasa saja. Justru dari pengalaman yang biasa itulah, ia menemukan cara berkisah yang menunjukkan sejarah dari sisi lain. Dengan itulah ia menuliskan sejarah para pelopor negeri ini. Mulai dari pejuang kemerdekaan, bapak proklamasi, para perintis kemerdekaan, hingga sastrawan dan kemanusiaan.
Kita bisa menemui kisah yang menunjukkan betapa Soekarno adalah sosok yang penuh integritas, penuh kehangatan, tetapi di sisi lain ia adalah pejantan sebagaimana yang dituliskan oleh Cindy Adams dalam autobiografinya. Di masa mudanya, ia adalah pemimpin yang sering mengejar sinyo, dan di masa tuanya pun sempat bercanda dengan dokter pribadinya, dr Ong. Simaklah percakapan berikut ini:
?Tahukah kamu bagaimana cara memastikan apakah seorang gadis pada penglihatan dari luar masih perawan?? tanya Bung karno.
?Tidak tahu,? jawab Ong.
Dan Bung karno pun menunjukkan caranya pada Ong.
Percakapan yang sulit dipercaya, Soekarno adalah sosok yang begitu terbukanya kepada dokter pribadinya. Namun, kata Rosihan, pasca-1950-an Soekarno lebih dikenal dengan sosok diktator dan keras. Berbeda dengan sebelum 1950-an. Sebab, Soekarno juga yang membredel harian Pedoman yang dipimpin Rosihan Anwar.
Dari kisah Soekarno kita menemui pelajaran bagaimana pemimpin dididik dari buku, realitas, dan pengalaman yang mendalam. Soekarno adalah pembangun national and character building yang menyebabkan rakyat kita tak lagi minder di mata asing.
Di buku ini, kita juga bisa menemui kisah Soedjatmoko yang akrab dipanggil Koko. Intelektual sosialis ini memenuhi tugasnya, ia meninggal dengan petuah dan kuliah terakhirnya tentang bagaimana memandang negeri ini ke depan. Kita pun menyimak kisah kesederhanaan yang tulus dari Bung Hatta. Meskipun di tengah-tengah keterpurukan dan kesulitan ekonomi, hatta tak mau menggunakan uang negara sepeser pun untuk memenuhi kebutuhan keluarganya meskipun kesempatan itu ada. Rosihan pun menceritakan peran bung kecil (Syahrir) dalam membangun dan menciptakan kemerdekaan negeri ini.
Rosihan dengan objektif mengangkat sisi manusiawi Syahrir, yang perlu kita dengarkan. Ia berhasil keluar dari cara pandang subjektif, meskipun secara pribadi Rosihan lebih simpatik terhadap Partai Sosialis ini sebagaimana ditulis Rosihan mengutip Syahrir pada 1946: ?Saya percaya ideas have legs, pikiran-pikiran itu punya kaki, mampu menyebar, dan pikiran bisa mewujudkan kekuasaan.? Dengan prinsip itulah, Syahrir diejek. Partai gagasannya itu tak akan membawa apa-apa bahkan tiada berguna. Sebab, partai di masa itu penuh dengan semangat haus akan kuasa.
Hampir semua liputan yang dilakukan Rosihan dipadu dengan fakta dan data sejarah, didukung oleh intimitas personal yang mendalam sehingga mengerti betul apa dan sosok seperti apa yang dia tulis. Tulisan Rosihan memiliki ruh yang memanggil pada kita untuk masuk alam yang dituliskannya.
Dengan buku ini pula kita bisa mengambil pelajaran berharga dari para tokoh pelopor, Perintis Kemerdekaan, juga pegiat film, sastra, dan kemanusiaan. Cerita dan kisah dalam buku ini mungkin hanya sepenggal, tetapi ia turut membentangkan kesejarahan kita dan turut melantunkan sisi lain sejarah Indonesia.
Arif Saifudin Yudistira, mahasiswa UMS, pegiat Bilik Literasi Solo
Sumber: Lampung Post, Minggu, 14 Oktober 2012
Sang Pelopor: Tokoh-Tokoh Sepanjang Perjalanan Bangsa
Rosihan Anwar
Penerbit Buku Kompas, 2012
262 hlm.
PELAJARAN sejarah di sekolah kita tidak memberikan rasa yang menggetarkan di sanubari kita. Cara bercerita dan bertutur memengaruhi bagaimana kita bisa memahami dan merasakan para pejuang dan pahlawan kemerdekaan di masa lampau mengalami penderitaan yang tiada habisnya demi tercapainya Indonesia merdeka. Beruntunglah kita yang menemui buku-buku sejarah yang naratif, sekaligus eksplanatif. Kita mengenali ini dari Sartono Kartodirjo. Meskipun dengan bahasa yang ketat, kita bisa memasuki alam masa lampau yang diceritakan. Sebut saja buku Pangeran Diponegoro karya Peter Carrey (2011). Di sana kita akan menemukan betapa sejarah, alam, hingga peristiwa masa lampau jadi hidup di depan kita.
Tahun ini, kita menikmati kembali sejarah yang dikemas dengan bahasa jurnalistik, renyah, penuh dengan intimitas, dan tentu membawa kita merasakan apa yang diceritakan penulisnya. Rosihan Anwar, wartawan cum sejarawan yang hidup di tiga zaman ini lihai dan menggeluti terhadap profesinya. Jacob Oetama menyebutnya wartawan yang tak pernah berhenti untuk bergulat dan mengalami pergulatan di masanya.
Rosihan Anwar menunjukkan pada kita bahwa setiap peristiwa kecil, kenangan kecil, dan hubungan dengan kerabat serta teman-teman adalah peristiwa yang sayang untuk dilewatkan untuk dicatat. Melalui profesinya itulah, ia sering meninggalkan catatan-catatan kecil tentang hidup orang-orang.
Tulisan Rosihan Anwar dalam buku Petite Historie 5 ini setidaknya memberikan gambaran pada kita bagaimana kita melakukan teknik reportase dari dalam. Reportase yang dilakukan Rosihan adalah percakapan-percakapan ringan, kenangan-kenangan kecil, dan peristiwa kecil yang sebenarnya biasa saja. Justru dari pengalaman yang biasa itulah, ia menemukan cara berkisah yang menunjukkan sejarah dari sisi lain. Dengan itulah ia menuliskan sejarah para pelopor negeri ini. Mulai dari pejuang kemerdekaan, bapak proklamasi, para perintis kemerdekaan, hingga sastrawan dan kemanusiaan.
Kita bisa menemui kisah yang menunjukkan betapa Soekarno adalah sosok yang penuh integritas, penuh kehangatan, tetapi di sisi lain ia adalah pejantan sebagaimana yang dituliskan oleh Cindy Adams dalam autobiografinya. Di masa mudanya, ia adalah pemimpin yang sering mengejar sinyo, dan di masa tuanya pun sempat bercanda dengan dokter pribadinya, dr Ong. Simaklah percakapan berikut ini:
?Tahukah kamu bagaimana cara memastikan apakah seorang gadis pada penglihatan dari luar masih perawan?? tanya Bung karno.
?Tidak tahu,? jawab Ong.
Dan Bung karno pun menunjukkan caranya pada Ong.
Percakapan yang sulit dipercaya, Soekarno adalah sosok yang begitu terbukanya kepada dokter pribadinya. Namun, kata Rosihan, pasca-1950-an Soekarno lebih dikenal dengan sosok diktator dan keras. Berbeda dengan sebelum 1950-an. Sebab, Soekarno juga yang membredel harian Pedoman yang dipimpin Rosihan Anwar.
Dari kisah Soekarno kita menemui pelajaran bagaimana pemimpin dididik dari buku, realitas, dan pengalaman yang mendalam. Soekarno adalah pembangun national and character building yang menyebabkan rakyat kita tak lagi minder di mata asing.
Di buku ini, kita juga bisa menemui kisah Soedjatmoko yang akrab dipanggil Koko. Intelektual sosialis ini memenuhi tugasnya, ia meninggal dengan petuah dan kuliah terakhirnya tentang bagaimana memandang negeri ini ke depan. Kita pun menyimak kisah kesederhanaan yang tulus dari Bung Hatta. Meskipun di tengah-tengah keterpurukan dan kesulitan ekonomi, hatta tak mau menggunakan uang negara sepeser pun untuk memenuhi kebutuhan keluarganya meskipun kesempatan itu ada. Rosihan pun menceritakan peran bung kecil (Syahrir) dalam membangun dan menciptakan kemerdekaan negeri ini.
Rosihan dengan objektif mengangkat sisi manusiawi Syahrir, yang perlu kita dengarkan. Ia berhasil keluar dari cara pandang subjektif, meskipun secara pribadi Rosihan lebih simpatik terhadap Partai Sosialis ini sebagaimana ditulis Rosihan mengutip Syahrir pada 1946: ?Saya percaya ideas have legs, pikiran-pikiran itu punya kaki, mampu menyebar, dan pikiran bisa mewujudkan kekuasaan.? Dengan prinsip itulah, Syahrir diejek. Partai gagasannya itu tak akan membawa apa-apa bahkan tiada berguna. Sebab, partai di masa itu penuh dengan semangat haus akan kuasa.
Hampir semua liputan yang dilakukan Rosihan dipadu dengan fakta dan data sejarah, didukung oleh intimitas personal yang mendalam sehingga mengerti betul apa dan sosok seperti apa yang dia tulis. Tulisan Rosihan memiliki ruh yang memanggil pada kita untuk masuk alam yang dituliskannya.
Dengan buku ini pula kita bisa mengambil pelajaran berharga dari para tokoh pelopor, Perintis Kemerdekaan, juga pegiat film, sastra, dan kemanusiaan. Cerita dan kisah dalam buku ini mungkin hanya sepenggal, tetapi ia turut membentangkan kesejarahan kita dan turut melantunkan sisi lain sejarah Indonesia.
Arif Saifudin Yudistira, mahasiswa UMS, pegiat Bilik Literasi Solo
Sumber: Lampung Post, Minggu, 14 Oktober 2012
No comments:
Post a Comment