-- Derichard H Putra
tuai… nak padi… dituai…
oi sipuluik nak… dibuek pokan
tuai.. nak sayang amak sayang padi dituai
amak mangai nak sayang, manca’i makan
layang-layang tobang malayalang
kain sasugi nak, pamagau bonio
layang-layang tobang malayang nak sayang
kain sasugi nak oi sayang
pamagau bonio
mo basamo poi ka ladang
mananam padi sayang
mananam bonio...
BERNOSTALGIALAH saya menikmati sawah-sawah tak berpadi di kampung saat libur Idul Fitri yang lalu.
Seperti membalikkan album usang, hayalan saya terhenti pada masa saat sawah-sawah tersebut dulunya dibajak dengan kerbau dan kemudian secara batobo ditanami padi yang diiringi randai, rarak godang, calempong tingkah, dan senyuman malu gadis-gadis perawan disela godaan bujang-bujang kampung.
Sayapun teringat sebuah seminar di Universitas Gadjah Mada akhir tahun lalu: World Conference on Science, Education and Culture (WISDOM 2010).
Secara sengaja atau kebetulan, Universitas Riau merupakan “tuan rumah” pada helat tersebut, sehingga bule-bule pun mencicipi ikan salai, goreng petai, lempuk durian, dan nyanyian pantun batobo di samping berbagai masakan dan hiburan rakyat lainnya. Helat internasional tersebut mengusung tema yang sangat unik: “Kearifan Lokal, Solusi Mengatasi Masalah Dunia”.
Kearifan Lokal (local wisdom) mulai memantik perhatian dunia ketika pada 60-an, sebuah program Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dikenal dengan Dasawarsa Pembangunan (Development Decade), gagal menyelesaikan permasalah utama yang dihadapi negara-negara berkembang di Asia dan Afrika: kekurangan pangan.
Dengan mengusung konsep “perluasan tanah pertanian dan penerapan teknologi modern”, pada akhir program diharapkan permasalahan pangan bisa di atasi di negara-negara miskin yang ada di kedua benua tersebut.
Laporan PBB pada 1962 menyebutkan, program ini akan meningkatkan pendapatan penduduk negara-negara peserta program hingga 5 persen setahun.
Namun sayang, ketika dilakukan evaluasi di pertengahan dasawarsa, ditemukan sebuah fakta yang sangat mengejutkan: pertumbuhan ekonomi di negara-negara tersebut ternyata justru kian melambat.
Pukulan yang sangat telak bagi perencana pembangunan dan pengambil kebijakan PBB waktu itu.
Para ahli di berbagai negara kemudian melakukan kajian kritis dan mendalam tentang megaproyek tersebut, yang pada akhirnya berada pada sebuah kesimpulan: penyebab utama kegagalan tidak lain adalah minimnya pemahaman tentang masyarakat yang menjadi target pembangunan. (Rockefeller, 1969). Masyarakat yang dimaksud dalam hasil kajian ini adalah para petani subsistem.
Temuan tersebut membawa para ahli kepada kesimpulan bahwa paradigma top-down yang digunakan dalam pembangunan selama ini harus ditinggalkan.
Sejak itu, munculah prinsip development from below (pembangunan dari bawah). Ini memberikan maksud bahwa dalam menjalankan program pembangunan, tidak boleh mengenyampingkan pandangan dan praktik-praktik yang telah berlaku dan berkembang di tengah masyarakat.
Dengan kata lain, kearifan lokal harus dipelajari dan dipahami, sebelum upaya-upaya pembangunan dilaksanakan.
Pada tahun-tahun selanjutnya, konsep pembangunan dari bawah menjiwai program-program PBB dan negera-negara di dunia lainnya. Sehingga pada 1992, bertepatan dengan hari Hak Asasi Manusia, PBB mencanangkan apa yang dikenal dengan Tahun Internasional Penduduk Asli Dunia (International Year of the World’s Indigenous People) yang kemudian dilanjutkan dengan program Dasawarsa untuk Penduduk Asli (A Decade for Indigenous People) pada 1994-2004, serta membentuk sebuah forum yang disebut dengan Forum Penduduk Asli Dunia (Forum of Indigenous People).
Berbagai negara di dunia kemudian mengadopsi konsep ini dengan menerapkannya di negara masing-masing. Di Indonesia, mesti sangat terlambat, setidaknya semangat menghidupkan gaung kearifan lokal telah mulai dikaji ditingkat akademis.
Pada 1991 misalnya, Universitas Padjajaran bekerja sama dengan Universitas Leiden Belanda mendirikan pusat penelitian pengetahuan lokal yang disebut dengan INRIK (Indonesian Resouce Centre for Indigenous Knowledge).
Tiga tahun kemudian, INRIK melaksaksanakan seminar internasional Indigenous Knowledge System (IKS) di Bandung. Walau masih dalam tahap kajian, belum kepada penerapan, setidaknya “era” kearifan lokal telah mulai terlihat titik terangnya.
Pertanyaan yang timbul kemudian adalah apa yang dimaksud dengan kearifan lokal?
Pengertian Kearifan Lokal
Kearifan lokal merupakan padanan kata dari bahasa Inggris local wisdom. Kata local (Inggris), atau locaal (Belanda), dalam bahasa Indonesia diserap dengan kata lokal, diterjemahkan sebagai setempat atau tempat.
Sedangkan wisdom diartikan sebagai kearifan, yang memiliki kata dasar arif. Kata arif yang kemungkinan diserap dari bahasa Arab memiliki pengertian paham, mengerti, tahu, mengetahui dan bisa juga diartikan dengan makna yang lebih luas, bijaksana, berilmu, cerdik dan pandai.
Dari kata arif didapat turunannya mengarifi, mengarifkan, dan kearifan. Ketiganya bisa disepadankan dengan mengetahui, memahami, mengerti, kecendekiaan, atau kebijaksanaan.
Dengan demikian, kearifan lokal (local wisdom) bisa diartikan sebagai pengetahuan setempat, pemahaman setempat, kecendekiaan setempat, atau kebijaksaan setempat.
Berkenaan dengan kebijaksanaan, bijaksana mengandung arti dapat menyelesaikan persoalan tanpa menyakiti baik fisik ataupun perasaan orang lain, jika dihubungan dengan kesulitan yang berhubungan dengan lingkungan fisik, bijaksana mengandung pengertian dapat menyelesaikan persoalan tanpa menimbulkan kerusakan fisik, atau dikenal dengan istilah penyelesaian yang bijaksana atau penyelesaian secara baik dan benar.
Bijaksana dalam bahasa Indonesia berarti selalu menggunakan akal budinya (dalam hal ini yang berhubungan dengan pengalaman dan pengetahuan) atau pandai dan hati-hati (cermat, teliti, dan sebagainya) dalam menghadapi kesulitan.
Berilmu berarti memiliki ilmu yang dipergunakan dalam menghadapi persoalan.
Sedangkan cerdik diartikan cepat mengerti, pandai mencari pemecahannya, panjang akal, banyak akal. Sedangkan pandai dapat diartikan pintar, cerdas, mahir, terampil, dapat, sanggup, berilmu (KBBI, 2010).
Guru besar Universitas Gadjah Mada, Heddy Shri Ahimsa-Putra, memberikan pengertian kearifan lokal dengan menyebutnya sebagai “perangkat pengetahuan dan praktik-praktik pada suatu komunitas—baik yang berasal dari generasi sebelumnya maupun dari pengalaman ketika berhubungan dengan lingkungan dan masyarakat lainnya—untuk menyelesaikan berbagai persoalan dan/atau kesulitan yang dihadapi secara baik, benar, dan bagus”.
Kearifan lokal menekankan kepada ‘tempat’ dan ‘lokalitas’ dari suatu kearifan tersebut, tetapi tidak harus merupakan pewarisan dari generasi sebelumnya (kearifan tradisional).
Suatu kearifan lokal bisa saja baru muncul beberapa tahun belakangan, atau didapat dari generasi sebelumnya. Kearifan lokal yang baru saja muncul bisa saja disebut “kearifin kini” untuk membedakannya dengan “kearifan lama” yang telah lebih dulu dikenal dalam sebuah masyarakat.
Konfonen utama dari kearifan lokal adalah hal-hal yang berhubungan dengan berbagai sistem pengetahuan, cara pandangan, nilai-nilai, serta praktik-praktik dari sebuah komunitas masyarakat, baik yang diperoleh dari generasi sebelumnya dari sebuah komunitas masyarakat tersebut, atau didapat dari komunitas masyarakat lain, ataupun yang didapat—berdasarkan pengalaman—di masa kini yang tidak berasal dari generasi sebelumnya, termasuk juga dari kontak budaya dengan masyarakat luar atau asing.
Kemudian timbul pertanyaan lain, kenapa harus memperhatikan kearifan lokal?
Masyarakat lokal dipastikan memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai sistem ekonomi dan lingkungan alam mereka yang telah lama ‘ada’ dan “bertahan” di dalam masyarakat tersebut.
Jika diibaratkan sebuah penelitian, kearifan lokal telah lama “diuji” —lalu kemudian mencapai tahap “teruji”— dan dipraktikkan oleh masyarakat hingga mencapai titik akhir yang sempurna.
Selain itu, menurut Brokensha (1977) program pembangunan suatu negara tidak akan berhasil dengan baik bila mana tidak memiliki fondasi yang sangat kuat pada bebeberapa aspek dalam masyarakat itu sendiri.
Kearifan Lokal Melayu Riau
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana kearifan lokal di dalam masyarakat Melayu Riau?
Beberapa dekade yang lalu, mungkin tidak asing bagi kita ketika anak-anak gembala duduk di atas kerbau memenuhi jalan-jalan di sore hari membawa gembalaannya pulang ke kandang, atau petani yang membajak sawah dengan kerbau atau sapi menghiasi sawah-sawah di Riau khususnya dan Indonesia umumnya.
Momen-momen seperti ini banyak dipublikasikan dalam foto-foto dan lukisan-lukisan di akhir 80-an.
Sistem beternak “ala kampung” dan membajak sawah secara tradisional tersebut tersebut tanpa kita sadari ternyata mampu memenuhi kebutuhan daging dan beras di dalam negeri.
Sehingga saat itu kita tidak mengenal istilah daging impor, atau beras impor.
Namun kemudian, masuknya era mekanisme di sektor pertanian telah mengubah perilaku petani dan secara signifikan menurunkan populasi kerbau dan sapi di dunia. Dan kitapun mulai mengimpor beras. Sawah dan kerbau, mungkin seperti dua sisi mata uang, tidak berarti jika hilang salah satunya.
Beberapa petani di Jogjakarta yang saya temui mengatakan, kotoran kerbau atau sapi dapat sekaligus menjadi pupuk, di samping bajakan yang jauh lebih baik dari pada traktor tangan, sehingga penggunaan pupuk bisa lebih efekt.
Selain itu, kerbau atau sapi juga bisa berkembang biak jika dipelihara dengan baik. Bandingkan dengan traktor, jika sudah sampai akhir masa pakainya akan berubah menjadi onggokan besi tua.
Disamping bahan bakar yang mencemari lingkungan. Jadi jangan aneh, di beberapa daerah di Jawa akhir-akhir ini membajak sawah dengan kerbau sesuatu yang sangat digemari petani, di samping untuk tujuan wisata.
Pergeseran budaya bertani ini mendorong badan pangan dunia FAO, mencanangkan kembali sistem “tradisional” yang telah lama ditinggalkan. Untuk mendukung program tersebut, FAO mendirikan buffalo village di Thailand. Tujuan program ini adalah mengembalikan kejayaan bertani yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Jika kita ingin melihat lebih jauh, di Jerman misalnya, pada 2012 negara tersebut memutuskan seluruh ayamnya tidak boleh lagi dipelihara dengan cara dikandangkan secara individu, berpasangan, atau berkelompok.
Pola pemeliharaan yang dipraktekan selama ini dianggap sebagai bentuk penyiksaan, saling mematuk, dan terjadi kanibalisme. Sebagai akibatnya produksi telur menurun secara drastis akibat stress.
Penerapan peraturan ini setelah sebuah perusahaan ayam terbesar di negara tersebut dan juga terbesar di dunia, menemukan galur ayam dengan produksi hingga 360 butir telur per ekor per tahun (produksi tertinggi di dunia).
Ini berarti hanya lima hari saja ayam tersebut “beristirahat” bertelur. Sistem pemeliharaan ayam yang mereka kembangkan adalah dengan membiarkan ayam-ayam petelur bebas berkeliaran yang tidak terikat di dalam kandang yang sempit dan disediakan sangkak untuk bertelur.
Jika kita melihat pola beternak ayam nenek moyang kita—saat ini masih dipraktekkan di kampung-kampung—kita bertanya tanya pada diri kita sendiri, mengapa mereka meniru teknik beternak secara ekstensif yang diterapkan oleh nenek moyang kita?
Beberapa kearifan lokal kita lainnya, semisal hutan kepungan silang, telah mampu mempertahankan produksi madu lebah hutan asli. Sistem eding (hutan perantara) dalam sistem ladang bepindah, mencegah hutan monokultur, erosi, dan banjir.
Manggota kuaran (di Kuantan dan Kampar), telah pula menjaga pelestarian burung kuaran (sejenis burung berebah) tapi saat ini telah punah karena diburu dengan senapan angin.
Pacu jalur, mendidik masyarakatnya untuk selalu menjaga dan memelihara pokok-pokok kayu di rimbo gano. Mararuah, menjaga produksi ikan sungai. Batobo/botobo, sistem arisan pertanian yang menjaga efisiensi waktu, biaya, dan hubungan silahturahmi. Sistem pelestarian hutan oleh suku-suku asli.
Pengelolaan hutan ulayat dengan sistem rimbo larangan, dan ratusan atau mungkin ribuan lainnya yang terbukti ampuh diterapkan sejalan dengan kehidupan modern saat ini.
Uraian di atas memberi sedikit gambaran kepada kita, betapa nenek moyang dan ilmu pengetahuan masyarakat kita telah berkembang jauh melampaui zamannya, dan kearifan lokal bukanlah suatu yang ditemukan dan dikembangkan dalam jangka waktu yang instan, tetapi memakan waktu yang lama, pengalaman, dan “uji coba” yang beratus-ratus tahun.
Pertanyaan terakhir yang tersisa adalah, masihkah kita menelantarkan “anugerah” kearifan lokal kita? Sayapun teringat sebuah “nyanyian” pantun batobo —mungkin tidak ditemukan lagi di komunitas pemiliknya — yang ditampilkan oleh tim kesenian Universitas Riau pada WISDOM 2010 tersebut, seperti yang saya kutip di awal tulisan ini.
Derichard H Putra, lahir di Kuantan Singingi. Kini sedang melanjutkan kuliah di Program Pasca Sarjana Antropologi Universitas Gadja Mada, Jogjakarta.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 2 Oktober 2011
3 comments:
thanks!
Post a Comment