-- Sunaryono Basuki Ks
DI dalam sebuah karya pendeknya berjudul "Malam Terakhir", Yukio Mishima menokohkan seorang perempuan tua yag bernama Komachi dan seorang penyair muda yang sangat mencintainya. Penyair tersebut adakah pacar ke seratus Komachi, dan kepada pemuda yang mencintainya itu dia berpesan bahwa sembilan-puluh sembilan lelaki yang mencintainya itu seorang demi seorang meninggal dunia setelah mengucapkan kata-kata : "Kamu cantik, Komachi". Ini adalah realitas empiris yang hanya terjadi di dalam kisah tersebut.
Pada pergelarannya beberapa tahun yang lalu di pelataran Fakultas Bahasa dan Seni ( waktu itu bernama Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni) Hardiman, sang Sutradara memulai pergelaran itu dengan tampil di tengah lingkaran dan menghitung batang korek api dari satu sampai sembilan dan kemudian kembali satu. Ini memberi sugesti bahwa peristiwa yang digelar itu akan berulang dan berulang kembali. Saya katakan menggelar bukan dipentaskan sebab drama itu memang digelar di atas halaman tengah fakultas di bawah sebuah pohon kamboja raksasa yang penuh ditumbuhi bunga-bunga kamboja berwarna putih bagaikan rambut beruban Komachi, tokoh utama drama itu. Saat bunga-bunga kamboja putih itu berguguran pas melukiskan rambut Komachi yang terurai.
Sentuhan cinta kasih keduanya dilukiskan dengan baik oleh kedua mahasiswa Jurusan Seni Rupa itu, demikian mesra hubungan kasih keduanya sampai pada akhirya sang penyair yang terpukau oleh kecantikan Komachi dan tak tertahan lagi dia mengucapkan kalimat terlarang itu : Kau cantik, Komachi. Baik Komachi maupun sang penyair tak bisa berkutik. Sang penyair pun memegang dada kirinya dan jatuh terjungkal ke tanah dan digotong oleh dua orang polisi ke luar arena pergelaran. Tepuk tangan penonton, namun Hardiman sang sutradara kembali ke pelataran dan menghitung-hitung batang korek api di tanah untuk memberi sugesti bahwa peristiwa itu akan berulang dengan pacar Komachi yang ke seratus satu, seratus dua dan entah sampai ke berapa.
Di dalam acara diskusi seorang mahasiswa sastra memprotes bahwa sandiwara itu tidak masuk akal, sebab mustahil seseorang yang karena mengucapkan : Kau cantik Komachi bisa mati. Tentu saja dia benar kalau seseorang di luar sandiwara itu akan mati kecuali mungkin lantaran dia tertawa terbahak-bahak karena realitas itu dianggap lucu sampai dia kehabisan napas dan mati sungguhan. Disini dia mencampur adukkan antara realitas di dalam fiksi dengan realitas di dalam realitas kehidupan yang sesungguhnya.
Fiksi memang ditulis berdasarkan realitas kehidupan sehari-hari, namun harus diingat kata berdasarkan itu, sebab demikian realitas kehidupan itu sudah diolah menjadi karya fiksi, maka dia harus tunduk pada hukum fiksi tersebut yang terpisah sama sekali dari hukum realitas kehidupan sehari-hari. Maka sia-sialah mencari hubungan antara tokoh di dalam sebuah karya fiksi dengan tokoh nyata yang terdiri dari darah dan daging di dalam realitas kehidupan sehari-hari. Sia-sia mencari hubungan antara Nunun seorang tokoh di dalam sebuah karya cerita pendek yang diceritakan sedang sakit dan bersembunyi di luar negeri dengan Nunun senyatanya yang terlibat di dalam sebuah kasus korupsi yang disangkakan padanya.
Realitas di dalam fiksi tunduk pada aturan-aturan yang diletakkan di dalam karya tersebut oleh pengarangnya. Tokoh Superman di dalam karya fiksi harus diterima sebagai sebuah realitas mengenai bayi yang dikirim dari luar ruang angkasa di dalam sebuah tabung dengan disertai kristal-kristal untuk mendukung kehidupannya. Saat ditemukan oleh kedua orang kedua orang tua asuhnya, si kecil ini sudah mampu mengangkat sebuah mobil dan kemudian berpacu lari dengan sebuah kereta api.
Ketika menjadi dewasa dia dapat pula terbang dan untuk membaca buku, dia mampu men-scan seluruh buku di perpustakaan dalam sekejap. Jadi dia tidak perlu bersekolah. Jangan memprotes hal ini sebab inilah yang diberikan pada kita untuk kita percaya dan agar bisa menikmati kisahnya yang tidak masuk akal. Demikian pula yang terjadi dengan kisah pewayangan dan semua kisah fiksi yang lain yang harus dibaca dalam bingkai karya fiksi. Maka ketika di dalam pementasan Semar Gugat Teater Koma menampilkan si Gatotkaca kecil melipat selendangnya (selendang untuk melukiskan bahwa dia terbang) saat di langit dia melihat pesawat terbang buatan Habibie yang diberi nama Tutuka penonton yang tahu tentang realitas pewayangan tertawa, sebab Gatotkaca muda memang bernama Tutuka).
Contoh lain misalnya cerpen "Tiga Orang Pertapa" karya Leo Tolstoi yang berkisah tentang seorang pendeta Kristen yang singgah di sebuah pulau terpencil untuk mengajari tiga orang pertapa cara berdoa secara benar menurut agama Katolik. Ketiga pertapa itu memuja Tuhan tidak dengan kata-kata tetapi dengan seluruh hati dan jiwanya. Kata-kata hanyalah sekedar syarat, maka ketika dia diajari cara berdoa yang benar, dia selalu lupa, walau pun intinya sudah mereka ucapkan sehari-hari.
Tiga pertapa yang menjadi simbol tiga larik doa menggambarkan trinitas ketuhanan akhirnya mampu menghafal doa itu. Namun setelah sang pendeta meninggalkan mereka, mereka lupa lagi dan mengejar kapal yang ditumpangi pendeta itu dengan cara berlari di atas air bagaikan seorang pendekar yang punya ilmu meringankan tubuh atau ginkang.
Realitas di dalam fiksi merupakan realitas independent hanya di dalam karya fiksi tertentu. Terkadang realitas ini dihubungkan dengan realitas di dalam fiksi yang lain. Kasus menarik di dalam hal intertekstualitas terjadi pada tiga buah karya yang berbeda genrenya. Pertama novel Heart of Darkness karya Joseph Conrad, kedua puisi The Hollow Men karya TS Eliot, dan ketiga sebuah karya film Apocalypse Now. Puisi "The Hollow Men" merujuk pada novel "Heart of Darkness". Pembukaan puisi tersebut berbunyi Miftah Kurtz-he dead.
Kurtz adalah tokoh di dalam novel Heart of Darkness yang menelusuri sungai Congo di jantung Afrika yang gelap. Menurut Edwar Said di dalam bukunya "Dunia, Teks, dan (Sang) Kritikus" (Bali Media dan Pustaka Larasan, 2011) menyebut bahwa Conrad muda tergila-gila dengan peta dunia dan dia memerhatikan sungai Congo di dalam peta yang bagaikan seekor ular yang menjalar di Afrika. Ketika telah menjadi seorang pelaut, dia benar-benar menelusuri sungai itu dan mewujudkannya di dalam karya sastranya. Di dalam film yang bersetting perang Vietnam, seorang kolonel yang diperankan oleh Marlon Brando, di tengah hutan di Vietnam di dalam komunitas tertentu tiba-tiba terdengar melantunkan puisi The Hollow Men. Realitas di antara tiga karya fiksi tersebut jalin-menjalin di dalam intertekstualitas yang padat.
Dan kita tak perlu mencari hubungan antara realitas di dalam ketiga karya tersebut dengan realitas kegidupan sehari-hari. Pengarang tetap bertanggung jawab terhadap realitas yang diciptakannya, bukan lepas tangan sebab realitasnya tidak berkenaan dengan realitas fisik sehari-hari.
Sunaryono Basuki Ks, sastrawan tinggal di Singaraja
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 29 Oktober 2011
No comments:
Post a Comment