Sunday, October 30, 2011

[Refleksi] Pakaian

-- Djadjat Sudradjat


“BAHASA adalah pakaian bagi pikiran,” kata penyair Samuel Johnson. “Jika pikiran merusak bahasa, maka bahasa juga dapat merusak pikiran,” lanjut George Orwell.

***

“SAMPAI sekarang,“ kataku, “ bahasa Indonesia hanya dipergunakan di kalangan atas. Tidak oleh rakyat biasa. Sekarang, mulai dari hari ini, menit ini, marilah kita putuskan untuk belajar berbicara dalam bahasa Indonesia.

“Hendaknya rakyat Marhaen dan kaum bangsawan berbicara dalam bahasa yang sama. Hendaknya seseorang dari satu pulau dapat berhubungan dengan saudara-saudaranya di pulau lain dalam bahasa yang sama. Bagi kita, yang beranak-pinak seperti kelinci, untuk menjadi satu masyarakat, satu bangsa, kita harus memiliki bahasa persatuan–bahasa dari Indonesia yang baru.”

Bung Karno menceritakan apa yang kerap ia pidatokan pada 1926 kepada Cindy Adams, penulis buku Sukarno, an Autobiograhpy as Told to Cindy Adams. (1965). Biografi ini diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1966). Dalam edisi bahasa Indonesia terdapat dua alinea tambahan yang intinya meniadakan peran penting Bung Hatta dan Sutan Syahrir dalam perjuangan Indonesia. Untuk meluruskannya tahun ini, Yayasan Bung Karno menerbitkan edisi revisi. “Rekayasa tambahan dua alinea yang mengadu domba antara Sukarno dengan Hatta dan Syahrir tentu perlu diselediki,” tulis sejarawan Asvi Warman Adam dalam pengantar edisi revisi itu.

Saya tak hendak membicarakan kontroversi itu. Saya hanya ingin melihat pilihan bahasa Melayu yang dikembangkan menjadi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, dan bukan bahasa Jawa yang dipakai oleh mayoritas penduduk atau bahasa Sunda, tetaplah sesuatu yang luar biasa. Terlebih lagi para penganjur utamanya adalah tokoh-tokoh dari Jawa sendiri seperti Ki Hajar Dewantara dan Bung Karno. Dua tokoh itu pula yang memelopori membuang gelar kebangsawanan (Jawa) yang mereka miliki.

Jika melihat latar waktu, pada 1926 Bung Karno lulus sebagai insinyur sipil dari Institut Teknologi Bandung. Ia merasa agak terbebas dari keharusan “berlaku tertib” sebagai mahasiswa kepada pemerintah. Tesisnya tentang konstruksi pelabuhan dan jalanan air adalah sesuatu yang langka. Sebab itu, profesor pembimbingnya, Wolf Schoemaker, meminta Soekarno bekerja sebagai asisten dosen atau tenaga ahli di pemerintahan kota. Imbalan gaji besar, tentu saja.

Bagi seorang yang tengah terbang tinggi bersama mimpi persatuan dan spirit melawan “yang bukan Indonesia” (penjajah Belanda) dengan segala hormat kepada profesornya yang “baik hati”, ia menolak tawaran hidup mapan itu. Sebab, jika bekerja di pemerintahan, ia tak akan bisa membuat “pakaian bagi pikiran” Indonesia merdeka.

Bung Karno tidak saja tengah melawan pikiran dan sterotipe yang terus dihembuskan: Indonesia tak pernah bisa lepas tanpa Eropa, tapi juga melawan kultur lama bangsanya: feodalisme. Jika pilihannya bahasa Jawa sebagai bahasa persatuan, ia tidak saja kian mengukuhkan feodalisme, tapi juga tak akan bisa dengan cepat sebagai alat pemersatu. Sebab, bahasa Jawa tak punya pengalaman sebagai lingua franca dan tak bisa membangun kesetaraan.

Hanya bahasa Melayu yang punya potensi tertinggi dikembangkan sebagai bahasa Indonesia, menjadi “pakaian bagi pikiran” besar Bung Karno dan pendiri bangsa yang tengah meyakinkan rakyatnya tentang kesetaraan. Tidak hanya itu, jika kita merunut pada realitas sosial pada masa 1920-an, memang para elite Indonesia masih banyak yang berbicara dengan bahasa Belanda, pun pasca-Sumpah Pemuda.

Dalam novel-novel Nur Sutan Iskandar, khsususnya Tjinta Tanah Air (1944) misalnya, laku para elite itu dilawan dengan semangat kaum muda yang mulai antusias memakai bahasa Indonesia yang dipidatokan Bung Karnio itu. “Laki-laki dan perempuan bercakap dalam bahasa Indonesia…. Pandai jua kiranya gadis-gadis berbahasa sendiri,” kata tokoh utama novel itu, Amiruddin, ketika mendengar percakapan anak-anak muda di dalam trem.

***

BUNG Karno memang tengah membuat “pakaian bagi pikiran-pikiran” kebangsaan. Bagi kesetaraan. Bagi sebuah bangsa yang beratus tahun dibalut halimun tebal ketidakpercayaan diri karena pikiran-pikiran bangsa jajahan terus dirusak oleh bahasa kolonial. Akibatnya mental rendah diri terus terpatri.

Sumpah Pemuda adalah deklarasi tentang restorasi bagi pikiran-pikiran yang gamang, juga yang lempang, tapi tak tahu arah “berjuang”. Bung Karno dan kaum nasionalis terpelajar tentu tak hendak membuang bahasa daerah yang, pada masa itu dipakai kalangan mayoritas, tetapi karena bahasa-bahasa daerah itu pastilah “pakaian” yang terlalu sempit bagi pikiran Indonesia yang luas, besar, dan kompleks itu, dan tengah digemakan ke seluruh negeri.

Bung Karno, H.O.S. Cokroaminoto, Ki Hajar Dewantara, Mangunsarkoro, Ciptomangunkusumo, dan kaum pergerakan yang berasal dari Jawa, Sunda, ternyata lebih mampu mengungkapkan pikiran-pikiran besarnya dalam bahasa baru itu. Kaum terpelajar seperti Hatta, Tan Malaka, Sjahrir, Dr. Amir, Moh. Jamin, yang berasal dari Sumatera, pastilah tak punya problem budaya menggunakan bahasa Indonesia yang dikembangkan dari bahasa Melayu itu. Tetapi, bagi mereka yang berasal dari Pulau Jawa, perlu mengubah mental dan budaya yang tak sederhana.

Kini pakaian besar yang nyata-nyata mampu menyatukan seluruh rakyat Indonesia itu memang tengah dikecilkan oleh pikiran-pikiran yang kotor dari elitenya sendiri. Bagaimana bahasa Indonesia yang digunakan Bung Karno dengan penuh motivasi, inspirasi, kreatif, indah tapi bergelora itu, seperti tengah direndahkan. Terlebih lagi setelah para “penjaga gawangnya” seperti Sutan Takdir Alisyahbana, Yus Badudu, dan Anton Moeliono, tiada.

Bahasa Indonesia yang dilahirkan untuk meneguhkan kesetaraan, martabat, dan kemandirian itu, kini kotor karena menjadi representasi atau pakaian bagi pikiran yang melingkar-lingkar. Pikiran-pikiran yang kian menjauh dari kejujuran mengelola negara. Bahasa Indonesia di mulut para elite kini menjadi banal dan dangkal. Ia kehilangan seluruh elan vitalanya sebagai pemersatu.

Johnson dan Orwell benar. Pikiran-pikiran para elite yang distortif, destruktif, hipokrit, dan saling menelikung, telah memunculkan bahasa yang penuh tipu daya. Kini bahasa Indonesia adalah “pakaian” yang tengah dirobek-robek oleh diri sendiri.

Sumber: Lampung Post, Minggu, 30 Oktober 2011

No comments: