-- Daniel Tagukawi
JAKARTA - Seni kontemporer sekarang mengalami eksploitasi, seiring dengan munculnya kaum borjuis baru yang membutuhkan karya seni rupa kontemporer.
Begitulah pandangan budayawan, kritikus seni rupa Prancis, Dr Jean Couteau ketika berbincang dengan Sinar Harapan di tengah pameran seni rupa di Jakarta, belum lama ini.
“Sekarang ini, kita melihat bertumbuhnya kaum elite baru, kawasan perumahan dan real estate yang cukup banyak. Ini juga melahirkan pangsa pasar baru bagi perupa,” tutur Jean yang sudah 32 tahun bermukim di Bali.
Menurutnya, munculnya kaum borjuasi baru ini, selain positif, juga menimbulkan masalah baru, karena ikut menimbulkan guncangan karena pola hidup baru. Seni rupa kontemporer, katanya, cenderung dieksploitasi untuk memenuhi tuntutan pola hidup yang baru itu.
Secara umum, katanya, situasi yang terjadi ini juga dialami seni rupa kontemporer di negara lain, seperti India, Arab, China, dan sekarang Indonesia.
Dia mengatakan, seni rupa kontemporer itu bisa tumbuh sesuai dengan persoalan sosial. Seni rupa kontemporer, tambahnya, justru tumbuh dan berkembang di negara-negara berkembang, seiring dengan adanya sejumlah permasalahan sosial yang harus direspons seni rupa kontemporer.
“Seni rupa kontemporer wajib hadir dan menyuarakan permasalahan sosial yang ada di sekitarnya. Jadi, ada tanggung jawab sosial untuk mengangkat persoalan kemasyarakatan dalam karya seni rupa,” ujarnya.
“Kurang Nakal”
Tema karya seni rupa Indonesia sekarang ini, tuturnya, masih kurang “nakal”, karena masih normatif terhadap sejumlah tema yang dianggap sensitif. Jadi, perlu ada keberanian untuk mengangkat tema yang sensitif, sehingga melahirkan kesadaran terhadap masalah yang sesungguhnya dihadapi, misalnya persoalan nilai kebangsaan, toleransi, dan sebagainya.
Nah, bagaimana perkembangan seni rupa kontemporer ke depan, Jean menuturkan, masih harus terus menjadi pertanyaan. Misalnya, mengapa persoalan bangsa, suku, agama tidak eksis dalam ragam seni rupa. “Saya melihat karena kurangnya imajinasi yang agak liar,” katanya.
Seni rupa kontemporer, jelasnya, harus berani berorientasi keluar, seperti ruang psikologis, pribadi, terus memasuki ruang sosial. Ini karena persoalan sosial harus direspons seni rupa kontemporer.
Sekarang ini seni rupa kontemporer Indonesia sedang dikejar oleh pihak internasional. Namun, karya rupa Indonesia akan menembus internasional kalau mengembangkan nilai yang diterima global.
Ini karena orang hanya mau dengan seni rupa jika pesan dalam karya itu mampu dipahami dunia luar. “Orang tidak akan mau kalau simbol dan pesan itu justru asing bagi mereka. Jadi, bagaimana unsur lokal itu mampu menyampaikan pesan yang bisa diterima secara luas, karena dipahami,” tuturnya.
Untuk itu, kalau mau karya seni rupa itu diterima secara internasional, memang mau tidak mau harus masuk dalam pusaran nilai dan ide internasional. “Kalau kita menggunakan simbol yang terlalu lokal maka akan sulit atau tidak dipahami orang luar. Tapi, lain kalau simbol itu dipahami maka ada keinginan untuk memiliki,” katanya.
Dia mencontohkan, kalau ada perupa yang menggunakan simbol terlalu lokal Bali, Jawa dan sebagainya, orang tidak akan mau, karena hal itu sangat asing bagi mereka. “Memang, kalau mau menembus internasional, tentu harus takluk terhadap sistem nilai internasional,” ujarnya.
Sumber: Sinar Harapan, Sabtu, 15 Oktober 2011
No comments:
Post a Comment