-- Arif Hidayat
MENGAPA puisi terus ditulis dalam zaman yang penuh dengan media digital, yang lebih menawarkan imaji sensasional yang mengasyikkan? Kenapa para penyair harus repot-repot menulis puisi dengan kadar menyampaikan makna secara tidak langsung, yang justru membuat banyak orang merasa bingung untuk menemukan maknanya dengan susunan kata-kata yang rumit? Juga, mengapa puisi harus multiinterpretable yang akan menjadi perdebatan banyak orang, yang mungkin dapat memicu terjadinya perselisihan? Padahal, di satu sisi puisi terus ditulis dengan variasi atas kekuatan gaya, bentuk, dan isi sebagai pesan yang ingin disampaikan kepada pembaca, untuk dipahami maksudnya, bahkan untuk diinterpretasikan.
Pertanyaan semacam itu akan muncul dan menjadi hantu yang terus melayang di dinding selama pikiran kita adalah semiotika pasif yang melihat keberadaan kata-kata tidak lain sebagai komunikasi, dengan posisi puisi sebagai media representasional. Jhon Fiske (1990) menekankan pada kita untuk melakukan pemaknaan secara aktif dengan tugas utama yang harus dilakukan adalah melihat hubungan dalam kebudayaan sosial kita tentang alasan menjadi begitu, yakni menjadi ada dan hadir. Pasti ada jejak dari puisi itu tercipta, yang akan mendorong menembus batas yang telah digariskan leh konvensi sebagaimana tanda-tanda mengungkapkan kembali realitas itu menjadi teks. Bersabarlah karena konvensi bukan hanya berarti aturan, juga dapat berarti kebiasaan ataupun kesepakatan dalam suatu masyarakat, maka apa pun dapat saja menjadi mungkin terjadi dan penyair selalu memiliki cara tersendiri untuk menyatakan pesan. Itulah uniknya puisi yang selalu berkembang dan berubah sesuai dengan kadar ideologinya.
Kita bisa melihat, misalnya, pada pesan langsung atau semacam seruan dalam ceramah, seminar, maupun sekolah-sekolah yang justru setelah selesai banyak dilupakan oleh audiens atau dalam buku-buku teori yang setelah membaca sampai selesai, ternyata kita lupa isinya. Justru setelah membaca puisi, dalam aktivitas tak sadar sering menggunakan diksi-diksinya, teringat dan terkenang, itu karena ada pertautan perasaan melalui bahasa sehingga serasa mengalami peristiwa yang ada dalam teks puisi. Tentunya, puisi itu diciptakan dengan masuk pada unsur normatif dan kode penandaan sebagai koordinasi ideologis, yang nantinya akan diterima sebagai kebenaran, sedangkan bahasa sebagai tubuhnya. Maka, yang terpenting pada sebuah ideologi yang disampaikan dengan tidak langsung justru memberi daya sugestif untuk praktek pembentukan diri pembaca, pembenaran, juga kesadaran akan realita yang kini menjadi teks. Perlulah tahu bahwa dalam pembicaraan sehari-hari betapa pentingnya susunan kata-kata yang indah untuk menenteramkan pembicaraan.
Tentunya, penglihatan atas puisi tidak hanya tertuju pada kerumitan kata-kata, tapi pada bagaimana kehidupan itu mesti diekspresikan lewat puisi karena bahasa mengalami keterbatasan untuk mendeskripsikan atau mendefinisikan realitas. Oleh sebab itu, butuh bahasa representatif semacam puisi untuk menyampaikan nilai-nilai kehidupan. Penulisan puisi dengan simbol, tanda, metafora, metonimi, atau mungkin paradoks dan ironi bukan dalam rangka mempersulit posisi makna untuk dipahami pembaca. Puisi bukanlah permainan kata-kata untuk menemu arti, melainkan susunan sistaksis kehidupan yang memberi pengetahuan bagi kita untuk terus memahami dan mencermati pengetahuan dari Tuhan.
Pada hemat penulis, adanya metafora dalam puisi justru akan membuka emosi pembaca dengan tergugahnya perasaan melalui citra bahasa yang indah. Misalnya, di pipimu mekar mawar merah. Teks itu memang membingungkan, tetapi membuat orang yang mendengar akan tergugah perasaanya dan sekaligus merasakan senang karena tersanjung oleh citra bahasa, bahkan ada kemungkinan lain yang dapat ditemukan pendengar. Dalam keadaan itu, pendengar juga pembaca akan menemukan berbagai makna dari sebuah puisi, pada akhirnya teks tidak hanya terbatas dalam satu peristiwa, tetapi melampaui ruang dan waktu.
Di sini kita seharusnya secara jernih menyikapi puisi bukan sebatas ideologi komunikatif yang melihatnya dalam kerangka universal dan pragamatis secara kaku, yakni hubungan teks dan pembaca saja. Kita perlu untuk melihat ideologi puisi sebagai upaya transformasi bahasa dengan realitas antara ada dan tiada. Sebab itu, gaya bahasa di dalam suatu teks sebenarnya untuk meningkatkan komunikasi, dengan menjadikan adanya kesan-kesan lebih mendalam. Hal itu disatukan dengan daya horizon baca berdasarkan latar belakang sosial budaya yang pembaca miliki.
Adapun kerja dari imajinasi penyair dalam rangka menyimulasikan realitas melalui bahasa ia gunakan untuk menjelaskan. Bahasa itu bukan cerminan, melainkan perwakilan yang dapat kita tandai dalam susunan alam dan budayanya. Pernyataan “hanya ada satu kata: lawan!” akan membawa kita pada kondisi ketertekanan dan penindasan sehingga perlu adanya perlawanan. Teks tersebut puisi dengan nada tuturan. Itu akan merujuk pada konteks. Kita lihat lagi misalnya, “Kalian: pun” merupakan wacana untuk menyajikan pandangan antitesis, sekaligus juga sebagai refleksi. Untuk menciptakan teks-teks yang padat dan singkat semacam itu membutuhkan daya imajinasi agar bisa menyiratkan. Fenomena-fenomena sosial yang secara esensinya sudah puisi, yang pada akhirnya dipahami penyair sebagai ide yang bergerak.
Lantas, ketika dalam masa kontemporer teks-teks puisi menjadi seperti untaian-untaian kalimat filsafat, itu semua karena memang keadaan sosial kita yang mulai kehilangan rasa setelah kebebasan pada masa reformasi membuat hidup dalam gelamor. Karena pada masa sekarang ini setiap pembaca dapat dan berhak menjadi kritikus untuk melakukan interpretasi berdasarkan horizon pembacaannya sehingga teks puisi tidak lagi dalam kategori baik dan buruk, tapi menghadirkan kebenaran atas rekonstruksi realitas, berdasarkan pembacaan yang cermat dan kritis. Di situ kita justru makin butuh puisi untuk membaca batin, diri, rasa, dan jiwa, sekaligus untuk mendapatkan kembali nilai-nilai yang hilang. Fenomena teralienasi dan eksistensialisme juga pewacanaan nilai-nilai lokal yang memuat mitos dan pembentuk budaya menjadi penting sebagai identitas, yang kerap kali dimunculkan para penyair. Dan puisilah yang mampu menyampaikan dengan bahasa yang lembut, halus, indah, perbandingan, dan polisemik, dengan masuk pada daya imajinasi dan keterharuan bagi pembaca. Sementara itu, zaman digital hanya dipenuhi dengan imaji yang membawa pada kehampaan dan keterasingan.
Arif Hidayat, Mahasiswa pascasarjana Kajian Budaya UNS Solo, tinggal di Purbalingga.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 2 Oktober 2011
No comments:
Post a Comment