-- Sihar Ramses Simatupang/Nofanolo Zagoto
KUTIPAN sajak Clara Akustia, sastrawan yang bernama asli AS Darta, itu ditulis di kanvas bermedia cat minyak. Lukisan itu adalah karya Adrianus Gumelar yang dituangkan pada tahun 2010 dan dapat dijadikan sebagai representasi bahwa duka Clara tetap menjadi duka seorang Adrianus.
Pemeran seniman Bumi Tarung di Galeri Nasional (SH/Sihar Ramses Simatupang)
Bumi Tarung memiliki sejarah yang panjang. Komunitas yang ikut merunduk di tengah prahara sosial-politik itu memang telah bermandikan duka yang “memenjara” tubuh, namun tidak untuk harapan dan angannya. Dalam keterasingan, sebuah stigma tetap tak mampu menahan mereka yang menabur dan menuai kreativitas.
Inilah yang tersisa, kekuatan dan kebesaran karya. Kendati demikian, tentu tak semua karya dan tak semua perupa yang berteriak “rakyat” menjadi kuat secara kualitas. Namun, sebagian besar karya seniman Bumi Tarung yang berpameran di Galeri Nasional hingga 2 Oktober ini memiliki aspek estetika teknis dan eksplorasi tema yang kuat.
"Perahu Nabi Nuh", contohnya. Ini adalah judul karya cukilan kayu karya Amrus Natalsya yang berukuran 475 x 350 sentimeter yang cukup heboh dan membuat happening arts di Galeri Nasional. Bayangan Anda tentang berbagai binatang yang diselamatkan oleh Nabi Nuh, sebelum Tuhan melantakkan bumi ini dengan terjangan air bah, ternyatakan di karyanya.
Ada peti kemas yang dikelilingi singa, beruang, ada petak untuk sapi, juga berbagai spesies reptil, hingga unggas dan primata. Amrus seperti merepresentasikan imajinasi sakral kita tentang gerombolan binatang yang dievakuasi oleh sang nabi.
Karya itu cukup besar diletakkan di tengah ruangan utama Galeri Nasional. Tema-tema Amrus yang lainnya, juga terasa universal, sebut saja "Bahtera Perantau" (2011) dan "Pengantin Anak-anak Nusantara" (2011).
Kisah mengerikan dituangkan oleh Soediono. Dengan media fiber, dia menuangkan bocah perempuan dengan adiknya yang memegang ketapel, sementara di belakang mereka—mungkin ibu dan ayah mereka—orang tua yang meregang nyawa dan digorok lehernya.
Karya berukuran 136 x 61 sentimeter itu seperti mempersandingkan orang tua sebagai tonggak sejarah dan anak-anak adalah generasi masa depan yang membaca masa lalu. Judulnya jelas, “Kenangan 45 Tahun yang Lalu” yang pastinya merujuk tahun di mana misteri sosial-politik itu terjadi, 1965.
Terngiang pendapat sastrawan Martin Aleida, yang ditemui di tempat berbeda, di saat pertengahan pameran di Galeri Nasional ini, tentang kenangan luka tak terperi sepantasnya tak mudah lekang. Karena itu adalah tragedi bangsa, duka itu pun masih tampak dan beberapa seniman masih menghadirkan ikon verbal itu di dalam karyanya.
Suhardjija Pudjanadi menghadirkan karya dengan hasil tinta dari pengerjaan teknik cukil kayu. Dengan warna hitam putih, ekspresi pun tampak di karyanya, seperti “Pemecah Batu”, “Kami Tjinta Damai tetapi Lebih Tjinta Kemerdekaan”, dan “Jangan Ganggu Tanah Kami”.
Terjadi sampai Sekarang
Di antara karya yang menghadirkan tema universal, beberapa perupa seperti Suhardjija tetap menghadirkan karya dengan tema yang mengingatkan pada fenomena masa lalu. Namun, lelaki tua berkacamata, berperawakan tinggi, dan hadir di tengah pameran itu, malah balik mengatakan bahwa semua kondisi ini pada kenyataannya tetap terjadi hingga sekarang.
“Lihat itu, pemecah batu, tetap ada sampai sekarang. Juga soal tanah (di karya “Jangan Ganggu Tanah Kami”) sampai sekarang soal tanah masih jadi sengketa. Masih jadi masalah,” ujar Suhardjija, mengajak SH kembali menyusuri karya-karya yang dipamerkan di Galeri Nasional.
Dia malah ingin agar persoalan tanah hingga persoalan kesejahteraan rakyat tetap diperjuangkan lewat undang-undang. “Kita perjuangkan Undang-Undang Jaminan Sosial, tapi jangan sampai terhalangi oleh orang-orang yang sedang menikmatinya,” papar Suhardjija.
Selain itu, lewat pameran ini, Misbach Thamrin menginginkan jiwa patriotisme bisa dimunculkan kembali. Dia melihat kecenderungan anak-anak muda sekarang tidak lagi terlalu peduli dengan sejarah lantaran sudah tenggelam dalam teknologi. Hal senada juga diungkapkan Amrus Natalsya, “Semua hidup dalam racun teknologi.”
Kurator pameran ini, Bambang Subarnas, mengomentari juga di katalogus pameran, bahwa secara fisik mereka tak akan bertahan dari kekuatan waktu, namun sebuah pemikiran.
Gagasan yang telah mereka perjuangkan merupakan bagian dari kekayaan khazanah seni rupa Indonesia. Bambang menyebutnya sebagai sebuah prestasi anak bangsa yang diuji melalui kegigihan dan keyakian terhadap apa yang mereka perjuangkan.
Pameran yang berlangsung sejak 22 September ini mereka namakan “kontemporer revolusioner”. Sebuah definisi yang barangkali akan mengundang perdebatan panjang untuk dimaknai, namun setidaknya dapat dirasakan dan diyakini oleh publik, generasi muda, atau mungkin oleh mereka sendiri.
Sumber: Sinar Harapan, Sabtu 1 Oktober 2011
No comments:
Post a Comment