-- Sihar Ramses Simatupang
PEMBICARAAN antara pengamat sastra Manneke Budiman dan penyair Afrizal Malna yang mengetengahkan persoalan negara, khususnya kekuasaan, memperlihatkan bahwa negara telah menempatkan warga negara dan rakyat dalam posisi yang ambigu.
Manneke, misalnya, melihat bahwa warga negara, termasuk sastrawan, pun merupakan bagian dari sistem negara. Dari Afrizal, dapat kita tangkap pengertian bahwa negara sebagai lembaga legitimasi kekuasaan cenderung berada di luar masyarakat bahkan negara untuk kepentingan politik dan telah memainkan estetikanya lewat strategi narasi yang berakar pada budaya lisan.
“Budaya lisan merupakan tradisi naratif yang bermain di tingkat reproduksi isu dengan memainkan kode-kode hidup di sekitarnya,” papar Afrizal dalam seminar Temu Sastra Indonesia 4 yang digelar di Ternate, 25-29 Oktober 2010.
Topeng sejarah politik lewat strategi narasi itu, tegas Afrizal, sesungguhnya telah dirobek dan diserpih oleh fenomena seperti Reformasi 1998, penerbitan antologi puisi penyair Lekra, novel atas kekerasan Orde Baru, misalnya.
Sekarang, generasi saat ini bahkan telah mematahkannya lewat perluasan dunia maya yang bukan lagi mengikuti alur strategi narasi penguasa, tapi mengikuti “jalan pikirannya” sendiri dan “membaca tubuhnya sendiri”.
Di luar pendapat Afrizal itu, internet telah memberikan banyak bahasa lain sebagai tandingan, antara lain dengan banyaknya generasi muda yang membawa narasi dengan mereproduksi tubuhnya sendiri.
Kembali ke pendapat Afrizal, lewat sajak “aneh" dan "unik”, para blogger yang tak hanya berbahasa puitis atau bernuansa sosial, tapi juga mengisahkan pribadinya sendiri, mengungkapkan kode mesin dan internet dalam puisi.
Generasi kini dan mendatang bahkan cenderung lebih terbuka dengan berbagai arus pikiran dunia maya yang dibangun lewat internet, menjadi imaji tersendiri.
Negara, dalam kehidupan rakyat—bahkan dalam pikiran sastrawan—tampaknya adalah suatu yang asing namun siap dengan ragam strategi narasinya.
Sastrawan dan penulis kemudian akan memilih sikap. Sikap berbeda terhadap institusi negara ini setidaknya terpaparkan dalam sebuah bincang serius antara pembicara, para sastrawan Azhari, Bandung Mawardi, Firman Venayaksa, hingga Sofyan Daud ketika mereka berkomunitas dengan sastrawan lainnya.
Komunitas itu ada yang cenderung anti pada negara, mandiri, dan memisahkan negara dalam dunia tempat dia berekspresi dan berkomunitas di sastra.
Sebagian lain memilih menanggapi dukungan, misalnya dana, namun tetap bergerak tanpa peduli pada negara. Sebagian lain malah memilih masuk ke dalam bagian dari sistem negara dan merebut agenda untuk kepentingan komunitasnya serta sastra.
Komunitas juga dipandang sebagai bagian penting untuk bergerak membantu masyarakat di luar negara, seperti bersosial, berinteraksi, bahkan membantu sesama manusia melalui bantuan material langsung, membagikan buku, membuat perpustakaan, hingga program membaca.
Namun, sebagaimana diungkapkan Azhari, pembicaraan bagaimana mempertahankan sebuah komunitas sastra untuk waktu yang lama, bukan sesuatu yang penting. “Kenapa juga komunitas harus bertahan lama, yang terpenting adalah pada sastrawannya. Bagaimana dia memelihara komitmen sosial,” ujar penulis yang berdomisili di Banda Aceh ini.
Komitmen Sosial
Lantas, bagaimanakah komitmen sosial itu? Apakah komitmen sosial itu dapat terlihat dari sebuah teks karya sastra, baik cerpen, puisi, atau novel? Ataukah sikap hidup sastrawan di tengah lingkungan masyarakatnya? Seorang peserta mengatakan bahwa sastrawan, sebagaimana manusia lain, adalah individu lain di dalam masyarakat, sementara komitmen sosial adalah suatu keniscayaan.
Menurutnya, tentu yang dimaksud komitmen sosial adalah teks karyanya. Namun, bagaimana karya itu memiliki komitmen sosial yang kuat bila ternyata orang itu kurang atau menghindarinya karena lebih cenderung tertutup, introvert, bahkan eksklusif?
Hal yang menarik adalah bagaimana juga novelis Eka Kurniawan dan pengamat sastra Hilmar Farid berbeda pandangan soal strategi teks para penulis menghadapi kondisi bangsa di saat ini. Fay, sapaan Hilmar Farid, menyatakan bahwa karya sastra jangan menjadi sesuatu yang sulit untuk dimaknai masyarakat.
Dia mencontohkan karya Saut Sitompul atau pun Wiji Thukul misalnya yang “berbunyi” ketika disuarakan di antara demonstrasi bahkan di kalangan rakyat kecil. Karya mereka bisa jadi berbeda ketika dibacakan oleh penyair yang berbeda, namun tetap saja "berbunyi" bagi pendengarnya.
Eka malah berpendapat bahwa teks yang verbal dan ekspresif justru tidak efektif saat ini (setelah reformasi). Dengan kata lain, Eka tampaknya ingin mengatakan bahwa diperlukan strategi bagi para sastrawan untuk estetika dan teknik penyajian yang berbeda, terutama menghadapi masyarakat yang sekarang bergelimang bahasa verbal dari kaum demonstran, aksi partai politik, ulah aparat negara, hingga teriakan dan protes dari bahasa di media massa.
Lepas dari semua pendapat itu, strategi para pengarang untuk menyajikan karya, sikap terhadap negara, komitmen sosial, dan visi di dalam karya adalah keniscayaan yang harus dijawab setiap sastrawan.
Kenyataan bahwa karya-karya akan terus lahir akan menjawab apakah karya sastra Indonesia dapat diperhitungkan dengan lahirnya penulis, gagasan, teks, dan tawaran yang serba baru.
Hal ini tentunya tak hanya berguna bagi dirinya sendiri atau bagi “tubuh sastra”, tapi juga terasa dan berguna di tengah kondisi masyarakat dan bangsa yang makin terpuruk oleh isu korupsi, lemahnya sistem peradilan, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga kekuasaan, bahkan terhadap parlemen yang kerap melukai perasaan rakyat.
Seperti salah satu lirik lagu Iwan Fals, “… di hati dan lidahmu kami berharap, janganlah takut engkau sampaikan..”, tampaknya sastrawan pun patut membaca fenomena dan “membuka hati” terhadap kondisi saat ini.
Sumber: Sinar Harapan, Sabtu, 29 Oktober 2011
No comments:
Post a Comment