Judul : Cerita Azra: Biografi Cendekiawan Muslim Azyumardi Azra
Penulis : Andina Dwifatma
Penerbit : Erlangga, Jakarta, 2011
Tebal : 248 halaman
JALAN nasib kerap luput dari ramalan. Keajaiban pun menghampiri tanpa permisi: menguak segala impian dan sangkaan. Semua ini dialami oleh Azyumardi Azra, cendekiawan moncer di Indonesia. Azra sejak mula tak mengira bakal jadi rektor, sejarawan, cendekiawan, atau pengamat politik. Titik berangkat kisah hidup mungkin ada kesinambungan dengan masa depan kendati memunculkan takjub tak teramalkan.
Konon, semasa bocah, Azra sudah senang membaca dan girang menekuni buku. Saat remaja Azra keranjingan membaca koran, buku-buku sastra, dan cerita silat. Novel Salah Asuhan (Abdoel Moeis), Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, dan cerita silat Kho Ping Ho turut membentuk gairah nalar-imajinasi. Sulut sastra ini menggerakkan Azra untuk menulis puisi dan cerita anak pada masa 1970-an dan 1980-an. Jalan sastra tak berlanjut, Azra justru membelok dalam kajian pemikiran Islam dan sejarah dalam bingkai akademik.
Cendekiawan kelahiran Lubuk Alang (Sumatera Barat), 4 Maret 1953, ini memilih pergumulan intelektual di Jakarta dan Amerika. Jalan ini ditempuhi mengacu masa lalu: model pendidikan keluarga dan dunia buku. Perkuliahan jadi momentum mengonstruksi kompetensi keintelektualan tanpa sungkan dan putus asa. Jadilah Azra intelektual mumpuni, fasih mewartakan pelbagai kajian keilmuan, rajin menulis, dan gairah dalam mengajar. Semua memang tak lekas menjelma, tapi mesti dilakoni dalam kesukaran dan pertaruhan.
Selama menggumuli ilmu, Azra pernah menjadi tukang cat, tukang dempul, penjaga perpustakaan, dosen, wartawan, peneliti, rektor. Biografi diri adalah biografi mengondisikan nasib dalam aksentuasi pengaharapan dan kerja keras. Pandangan hidup dan mentalitas memerlukan eksplisitas sikap-argumentatif. Azra selama jadi peneliti di LKRN-LIPI (Lembaga Riset Kebudayaan Nasional-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) sanggup mengundurkan diri sebagai pegawai negeri dengan dalil tak mau hidup dalam penertiban pikiran ala Orde Baru. Azra dalam pelbagai tulisan kerap mengeritik model pembangunan Orde Baru.
Lakon hidup Azra bersambung menjadi dosen di IAIN Jakarta. Pilihan ini jadi pembuka jalan bagi Azra mereguk ilmu ke Amerika Serikat. Azra merupakan sarjana ampuh keluaran Columbia University. Gairah ilmu dan candu buku adalah kisah tak rampung selama menempuh studi dan bekerja di Amerika Serikat. Azra pulang ke Indonesia (1993) dengan disertasi fenomenal: Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVII (1994). Azra juga memulangkan koleksi ribuan buku ke Indonesia. Konon, Azra sampai sekarang telah memiliki koleksi buku sekitar 15 ribu buku. Fantastis!
Hidup Azra pun identik dengan menulis, mengajar, dan buku. Azra (2004) menjelaskan, "Membaca dan menulis memerlukan etos, komitmen, dan konsistensi." Azra memang manusia sibuk, tapi urusan membaca dan menulis sudah mirip napas kehidupan. Azra bakal membaca dan menulis di sembarang tempat dan saat detik-detik bergerak: bergairah dan responsif. Model laku intelektual ini menandai ada hasrat-hasrat pengetahuan tak pernah rampung.
Azra juga laris sebagai pembicara di pelbagai seminar, konferensi, dan wawancara di televisi. Tema pendidikan, sejarah, politik, globalisasi, dan terorisme. Damba jadi intelektual publik terlunasi meski belum paripurna. Sekian buku juga terbit sebagai bacaan memikat: Konteks Berteologi di Indonesia (1999), Menuju Masyarakat Madani (2000), Renaisans Islam di Asia Tenggara (2001), Surau: Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi (2003). Azra menganggap itu sebagai jalan hidup tak tepermanai. Segala masa lalu turut membentuk diri di masa depan, penghadiran diri dalam niat dan gapaian.
Geliat diri di ranah intelektual justru mengakrabkan Azra dengan keluarga. Kesibukan kerja intelektual digenapi kisah hangat bersama istri dan empat anak. Tradisi intelektual bertumbuh di keluarga, candu buku terwariskan, dan obrolan intim menjadikan Azra sadar kebermaknaan keluarga.
Laku intelektual kentara dipengaruhi oleh keikhlasan dan doa keluarga. Azra sadar itu dengan mengenangkan masa lalu saat si ayah menggembleng secara memikat dan keras. Masa lalu itu membentuk Azra sebagai intelektual tangguh. Biografi diri pun bergerak bersama keluarga sebagai mekanisme semaian etos intelektual bermartabat. Begitu.
Bandung Mawardi, Pengelola Jagat Abjad Solo
Sumber: Lampung Post, 16 Oktober 2011
No comments:
Post a Comment