-- Caroline Damanik | Heru Margianto
UBUD, KOMPAS.com — Coba hitung berapa cerita rakyat yang Anda ketahui? Mungkin Anda akan lancar menyebutkan Cerita Malin Kundang, Asal Usul Terjadinya Danau Toba, kisah Sangkuriang, Lutung Kasarung, Asal Usul Banyuwangi, dan cerita Timun Mas.
Kalau orang tua sudah meninggal, siapa lagi yang mengetahui cerita-cerita itu?
-- Alan Malingi
Bayangkan jika cerita-cerita tersebut tidak didokumentasikan. Kita akan kesulitan untuk mengetahui kekayaan sosial budaya Indonesia. Umumnya, cerita rakyat disampaikan orang-orang tua kepada anak-anaknya secara lisan melalui cerita turun-temurun.
Berbahagialah karena ada beberapa begawan dan penulis yang tertarik untuk menuliskannya dalam literatur. Dengan demikian, Cerita Malin Kundang tak hanya diketahui oleh masyarakat Minangkabau saja atau Sangkuriang oleh masyarakat Jawa Barat saja. Keduanya bisa dinikmati oleh seluruh masyarakat Indonesia, bahkan seantero dunia.
Inilah pentingnya mengubah budaya tutur menjadi budaya tulis, seperti yang dikatakan oleh penulis cerita lokal dan pemerhati budaya Bima Nusa Tenggara Barat, Alan Malingi.
Tergerus zaman
Menurut dia, penulisan cerita rakyat menjadi penting kalau tidak mau tergerus zaman yang makin modern. Alan sendiri sudah menuliskan banyak cerita rakyat dari Bima yang dirangkum dalam koleksi Jati Kasipahu. Dia juga sudah menerbitkan novel sejarah tradisional berjudul Nika Baronta dan cerita pendek Suar Hati.
"Tidak semua penulis tertarik untuk menulis cerita rakyat. Padahal, cerita rakyat ini sebenarnya sudah banyak digeser oleh cerita-cerita asing dan itu yang jadi kekhawatiran. Saya di Bima menuliskan cerita rakyat dan membukukannya, mengubah budaya tutur menjadi budaya tulis karena cerita rakyat ini, kan, turun-temurun ya. Kalau orang tua sudah meninggal, siapa lagi yang mengetahui cerita-cerita itu? Kalau sudah mulai dibukukan atau dimuat di situs tertentu, akan ada upaya pelestarian dari cerita itu sendiri," katanya di sela program anak dan remaja "Ubud Writers and Readers Festival 2011" yang bertajuk "A Simple Way to Write Folktales" di Pondok Pekak Library, Ubud, Rabu (5/10/2011).
Pria berumur 38 tahun ini mengajarkan para remaja menuliskan cerita rakyat dengan sederhana sehingga bisa menginspirasi orang yang membacanya. Mengapa? Pertama, anak-anak dan remajalah yang biasanya mendapat cerita rakyat langsung dari bibir orangtuanya dan mereka selalu menunjukkan naluri ketertarikan ketika mendengarkan sebuah cerita atau dongeng.
Kedua, mereka masih memiliki daya serap tinggi untuk menuliskan sesuatu. Alasan ketiga, agak ironis, karena banyak penulis dewasa tak tertarik menuliskan cerita rakyat. Alan menyayangkan ketidaktertarikan ini, entah karena alasan kuno atau membosankan. Padahal, merekalah yang memiliki potensi paling besar untuk mengemasnya dengan baik dan menarik untuk generasi yang akan datang.
Menantang
Alan pun mengajak para remaja yang hadir dalam sesinya ini untuk menganalisis sekitar dua cerita rakyat dari salah satu situs cerita rakyat di internet. Setelah itu, dia menantang para remaja berusia 13-18 tahun ini untuk menuliskan dengan singkat cerita rakyat dari daerah mereka masing-masing yang masih jarang didengar.
Salah satu perwakilan kelompok pun mempresentasikannya di depan. Sekitar 24 anak yang mengikuti acara ini tampak gembira. Dengan dukungan sponsor, mereka yang dari luar Bali juga datang, seperti dari Bojonegoro dan Jakarta.
Setelah menuliskannya, Alan menganjurkan para remaja untuk memublikasikannya melalui buku atau paling tidak melalui blog di internet. Hal ini adalah langkah awal untuk mulai melestarikan kekayaan budaya dari budaya tutur menjadi budaya tulis.
Alan mendorong para remaja agar tidak langsung bernafsu untuk memublikasikannya melalui penerbit ternama. Menurut dia, paling tidak, cerita rakyat cukup dipublikasikan di daerahnya masing-masing. Jangan lupa, lanjutnya, menyertakan bukti sederhana yang menunjang cerita tersebut.
"Saya sendiri sudah menulis cerita rakyat yang ada di satu kecamatan tertentu, kemudian saya share ke guru-guru, kepala sekolah dan sekolah-sekolah dan mereka berniat untuk membeli. setelah itu baru dibukukan. Hanya mulai dari itu saja. Artinya paling tidak untuk mengembalikan modal menulis saja. Dukungan untuk membantu proses penerbitan tidak ada. Kelemahan kita juga itu sponsporship untuk publikasi yang luas lagi tidak ada. Padahal akan lebih bagus lagi kalau cerita rakyat itu disajikan dalam bentuk cerita bergambar," tandasnya.
Generasi muda
Anifa Fatma Zahriana (14) hadir dalam acara pelatihan ini. Siswi kelas IX SMP Kalitidu, Bojonegoro, ini meyakini bahwa pelestarian cerita rakyat Indonesia juga menjadi tanggung jawab dari generasi muda. Dia sendiri menjadi sangat tertarik dengan cerita rakyat yang kerap dinikmatinya dari buku dan televisi karena menceritakan nusantara.
"Tapi, sekarang sepertinya saya lihat cerita rakyat itu lebih terpendam, tidak banyak publikasi yang menceritakan cerita rakyat tersebut," katanya.
Ketika menjawab tantangan yang diberikan Alan, Anifa yang mewakili teman-temannya dari Bojonegoro menceritakan tentang cerita Mati Obong Setyawati. Dia menuturkan cerita yang didengarnya dari neneknya ini mengisahkan kehidupan seorang raja yang bijaksana, sakti, dan bisa berbicara dengan hewan bernama Angling Darma dan istrinya.
"Suatu hari dia berbicara dengan cicak. Terus cicak itu seorang perempuan. Katanya ingin cantik seperti istrinya Angling Darma, Setyawati. Dan Setyawati mendengar pembicaraan tersebut. Dia merasa tersinggung karena dikira akan menandingi kecantikannya. Akhirnya istrinya meminta diajarkan ilmu Angling Darma. Tapi, Angling Darma tidak mau. Akhirnya istrinya marah dan ia ingin bunuh diri dengan cara membakar dirinya sendiri. Dan, cerita ini dikenal dengan nama Mati Obong Setyawati," tuturnya.
Anifa pun berharap cerita rakyat dari daerahnya ini dan sejumlah cerita rakyat Indonesia lainnya bisa mendunia. Selamat menulis....
Sumber: Oase Kompas.com, Jumat, 7 Oktober 2011
No comments:
Post a Comment