PULAU Sipadan dan Ligitan sesungguhnya memang bukan wilayah Indonesia. Karena itu pula, Sipadan-Ligitan bukan wilayah kedaulatan Indonesia yang lepas. Juga, bukan wilayah Malaysia, tetapi sebuah pulau temuan dua negara. "Ibarat dua anak yang menemukan sebutir kelereng, lalu keduanya berebut memiliki kelereng itu, jadi kelereng itu sebenarnya bukan milik keduanya, tapi temuan," kata Nur Hassan Wirajuda, mantan menteri luar negeri RI dalam sebuah seminar soal batas negara.
Menurutnya, konsep kewilayahan negara yang diatur dalam UU 4/Prp/1960 tentang Negara Kepulauan (peta wilayah Indonesia baseline NKRI) memang tidak memasukkan Sipadan-Ligitan. "Jadi, fakta sejarah menunjukkan Sipadan-Ligitan memang bukan wilayah kita, tapi juga bukan wilayah Malaysia. Karena itu, Indonesia dan Malaysia berebut untuk memilikinya dengan mengembangkan berbagai argumentasi," katanya.
Namun, Mahkamah Internasional (MI) pada 17 Desember 2002 tidak mengakui argumentasi Malaysia bahwa Sipadan-Ligitan merupakan bagian dari Kesultanan Sabah. Tapi, argumentasi Indonesia bahwa Sipadan-Ligitan merupakan bagian dari Kesultanan Wuluhan juga tidak diakui. "Argumentasi yang diterima MI bukan karena Malaysia lebih dulu masuk ke Sipadan-Ligitan dan membangun dermaga, namun bukti sejarah yang paling awal masuk Sipadan-Ligitan, yakni Inggris (penjajah Malaysia) dan Belanda (penjajah Indonesia)," katanya.
Malaysia akhirnya dapat membuktikan bahwa Inggris paling awal masuk Sipadan-Ligitan dengan bukti berupa mercusuar dan konservasi penyu. Sedangkan, Belanda hanya terbukti pernah masuk ke Sipadan-Ligitan, tetapi singgah sebentar tanpa melakukan apa pun.
"Dari fakta sejarah itulah, MI akhirnya menyerahkan Sipadan-Ligitan kepada Malaysia yang merupakan bekas jajahan Inggris sehingga alasannya bukan karena siapa yang lebih dulu membangun dermaga di sana, melainkan bukti-bukti sejarah yang ada," katanya.
Keputusan Mahkamah Internasional itu tentu saja mengecewakan bangsa Indonesia. Keputusan yang dibacakan Ketua Pengadilan Gilbert Guillaume itu diambil melalui pemungutan suara. Pada babak akhir, Mahkamah Internasional menilai, argumentasi yang diajukan Indonesia mengenai kepemilikan Sipadan dan Ligitan yang terletak di sebelah timur Pulau Sebatik, Kalimantan Timur, tidak relevan. Karena itu, secara de facto dan de jure dua pulau yang luasnya masing-masing 10, 4 hektare dan 7,4 ha untuk Ligitan menjadi milik Malaysia.
Delegasi Indonesia memang mengakui argumen Malaysia lebih kuat. Negeri jiran diuntungkan dengan alasan change of title atau rantai kepemilikan dan argumen effective occupation yang menyatakan kedua pulau itu lebih banyak dikelola orang Malaysia. Jurus effective occupation juga secara tidak langsung menunjukkan kedua pulau itu sebagai terra nulius (tanah tak bertuan). Mahkamah Internasional juga memandang situasi Pulau Sipadan-Ligitan lebih stabil di bawah pengaturan pemerintahan Malaysia.
Sumber: Republika, Rabu, 19 Oktober 2011
No comments:
Post a Comment