-- Ko Hyeong Ryeol
PADA Tahun 1970-an masyarakat Korea berada dalam penderitaan di bawah pemerintahan otokrasi. Pada masa itu, segalanya tersumbat, tidak ada pintu keluar. Ketika itulah, seorang penyair muda yang tinggal di rumah petak yang kumuh, menderita. Harga dirinya terluka. Setiap malam, dia dihantui mimpi buruk. Saat itu, dia menulis puisi di negaranya sendiri yang penuh dengan senjata nuklir. Itulah potret saya sebagai seorang penyair saat berusia 20-an tahun.
Pada masa rezim otokrasi itu berkuasa, para penyair tidak diizinkan untuk menulis puisi dengan segala kebebasannya. Tidak ada komunikasi antara dunia sastra dan politik. Para penyair yang bertanggung jawab atas profesinya, para penyair yang menjunjung moralitas, merasa segalanya kacau. Mereka kemudian mengurung diri: berhenti menulis puisi. Masyarakat Korea yang telah terlepas dari penjajahan Jepang, kini berada di bawah kurungan pemerintahan otokrasi. Para penyair merasa malu menghadapi situasi buruk yang seperti itu.
Kemudian muncullah beberapa sastrawan yang berpikiran maju. Mereka mengajar dan mendorong angkatan kami agar berdiri tegak. Mereka menghasilkan karya-karya mereka di alun-alun, di lapangan, dan bukan di sanggar-sanggar mereka. Mereka, antara lain Ko-Eun, Shin Kyung-Rhim, Kim Ji-Ha, Baek Nak-Cheong dan beberapa penyair lainnya. Mereka menyatakan pandangannya, mengumumkan sikap kepenyairannya, bahwa sastra tidak mungkin tidak terkait dengan politik. Penyair harus terjun ke dalam kemelut. Sosok mereka penuh dengan resistensi dan kesedihan.
Bagi seorang penyair, sejarah dan masa lalu merupakan tantangan untuk masa depan. Sejauh ini, masyarakat Korea ada di dalam pusaran yang berkenaan dengan modernisasi, demokratisasi, otokrasi, dan industrialisasi. Sekarang pun, masyarakat Korea penuh dengan kontradiksi. Terlalu banyak yang kehilangan, sehingga kami menuju ke depan dengan berusaha mencari dan menemukan kembali kehilangan kami. Orang Korea selalu bermimpi tentang keikutsertaan; keterlibatan. Masalahnya, lantaran selama ini Korea terlalu sering diserang oleh kekuasaan dari luar. Keberadaan puisi adalah resistensi terhadap penindasan kekuasaan, sekaligus usaha untuk mendengarkan suara dari lubuk hati yang terdalam; juga laksana sebuah tarian untuk nyawa yang berkembang.
Tuntutan masyarakat Korea terhadap demokratisasi dimulai pada tahun 1960-an yang lalu menurunkan layarnya 10 tahun kemudian. Pada senja abad ke-20, saya diundang ke Jepang. Di Tokyo, saya sempat bertemu dengan para penyair Jepang, yaitu Hoda Hisasi, Sibata Sankichi, Sagawa Aki, dan Suzuki Hisao. Dalam perjalanan pulang ke Korea dari Jepang, pikiran saya kembali tertuju pada sejarah sastra Korea yang kemudian, saya merasa, itu merupakan sesuatu yang sulit diterangkan. Sebenarnya, pada masa penjajahan Jepang, para penyair Korea membuat majalah sastra yang bernama Chang-Jo yang terbit di Jepang. Betapa sedih dan menderitanya hati mereka, menciptakan karya-karya mereka di negara penjajah, di negara yang menjadi musuh kami.
Sambil terus berpikir tentang hal tersebut, saya memandang ke luar. Pesawat yang menerbangkan saya sedang melewati udara Laut Timur. Pada saat itu, di tengah udara Laut Timur, sejenak sebuah gagasan terlintas dalam benak saya. Gagasan itu adalah membuat jurnal puisi Asia. Entah mengapa, begitu tiba-tiba saja saya mempunyai gagasan yang seperti itu. Sampai ketika itu saya hidup sederhana; hanya menulis puisi, dan tidak ingin muncul di depan. Tetapi, mengapa saya mendadak saja ingin melakukan sesuatu yang rumit? Secara tak sadar, saya telah membayangkan The Poet Society of Asia, sebuah wajah yang saya pun sesungguhnya tidak kenal. Kemudian, pada akhirnya, saya menerbitkan majalah Sipyung yang terbit pertama pada musim gugur tahun 2000.
Dengan majalah Sipyung, saya bertemu dengan penyair Cina (Linmang), penyair Mongol (Ayurzana), dan penyair Vietman (Nguyen Quang Thieum). Sampai sekarang, saya sudah memperkenalkan sekitar 300 orang penyair Asia kepada pembaca Korea melalui Majalah Sipyung. Saya juga sudah menerbitkan antologi puisi beberapa penyair Asia. Selain itu, atas nama The Poet Society of Asia (TPSA), saya sudah tujuh kali mengundang para penyair Asia untuk acara baca puisi. Sudah 11 tahun berlalu sejak Sipyung terbit pertama kali, dan selama masa itu, sudah 45 edisi Sipyung diterbitkan sampai sekarang. Dalam perjalanan itu, ada banyak yang menemani Sipyung, antara lain, sastrawan Choi Seung- Ho, Kim Hye-Sun, Kim Sa-In, Profesor Kim Tae-Sung, Bae Yang-Soo, dan Lee Yeon. Penerbitan sebuah majalah tentu saja bukanlah performance seorang diri, melainkan hasil dari kerja sama sebuah tim.
Melalui Majalah Sipyung, saya selalu berusaha tidak melupakan semua keterpencilan dan kesengsaraan dalam kehidupan ini; sekalian juga bermimpi untuk pergi bersama semua penyair dari jauh. Saya berpikir, bahwa puisi mementingkan (mengutamakan) perwujudan, menghargai bahasa, dan rindu pada dunia asing. Bagi, saya, Asia adalah satu, dan sekaligus juga bukan satu. Jika kita menghadapi kenyataan Asia, bagi kita, Asia adalah kesengsaraan sekaligus firdaus; kehidupan sekaligus juga pekuburan.
Benua Asia adalah tempat rahasia Timur, dari sanalah setiap pagi dimulai. Dunia bahasa leluhur yang bijaksana masih berada nun jauh di sana dan terlalu tinggi bagi kita. Kita semua mengalami sejarah penjajahan yang sama. Mari kita membuka pintu. Mari kita saling mendekat. Saya yakin, bahwa kita dapat menanggulangi sesuatu yang tersumbat dan kemudian bisa saling membantu mengarahkan puisi kita ke mana. Kita tidak boleh membiarkan seorang pun terpencil dari zaman ini ke zaman yang berada di depan.
Majalah Sipyung tidak punya kantor. Sejak dulu, tidak pernah ada kantor, bahkan sampai sekarang pun tak ada. Seluruh Asia adalah kantor Majalah Sipyung. Di segenap pelosok Asia, itulah kantor redaksi Sipyung. Meja kerja saya berada di langit Asia. The Poet Society of Asia pun, sama sekali tidak punya kantor. Memang seharusnya begitu. Itu pantas dan penuh harapan.
Di luar puisi, ada kenyataan politis yang dihadapi negara masing-masing, ada kehidupan sehari-hari, ada alam dan juga, ada kerja keras. Asia adalah chaos dan daerah suci yang tidak dapat ditentukan. Kelompok berada sekaligus tidak berada. Asia adalah awan pengembara. Namun para penyair Asia adalah tokoh utama dalam The Poet Society of Asia.
Sekali-kali saya mengalami kesulitan dalam menerbitkan Sipyung, karena kerja itu memerlukan banyak waktu dan uang. Akan tetapi, sekarang saya merasa sangat berbahagia, karena di Riau sini, saya berjumpa lagi dengan para penyair yang pernah jumpa saya di Korea. Korea-ASEAN Poets Literature Festival (KAPLF) yang diadakan pada tahun lalu di Korea memberikan kenangan yang sangat berharga kepada kita semua. Sekarang, kita berkumpul sekali lagi di Indonesia. Dalam kesempatan ini, kami, rombongan penyair Korea, ingin menyampaikan sesuatu kepada Yayasan Sagang dan Bapak Rida K Liamsi sebagai tanda persahabatan.
Kita akan menemukan Asia sebagai dunia sendiri. Puisi kita bermimpi untuk menanggulangi sejarah yang penuh dengan penguasaan dan eksploitasi. Apa yang diharapkan kita semua adalah saling mendekat. Mungkin seorang penyair adalah tukang jam yang pekerjaannya seperti memeriksa dan merawat bahasa. Saya mendengar bunyi waktu berlalu di Pekanbaru. Saya membayangkan wajah para penyair Asia yang tidak ada di sini.
Sekarang saya ingin meninggalkan sesuatu di Indonesia, sekaligus mengambil sesuatu dari Indonesia.
Ko Hyeong Ryeol, Presiden The Poet Society of Asia (TPSA) dan Director Korea-ASEAN Poets Literature Festival (KAPLF) I di Korea Selatan 2010. Tulisan ini adalah pengantarnya untuk buku Malay As World Heritage on Stage: Directory Book Korea-ASEAN Poets Literature Festival II 2011.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 30 Oktober 2011
No comments:
Post a Comment