-- Andy Suryadi
"Kita juga harus menyadari bahaya laten baru yang sudah menggerogoti nilai-nilai Pancasila, yaitu korupsi yang kian akut"
MOMENTUM Hari Kesaktian Pancasila yang biasanya diperingati tiap 1 Oktober terasa begitu khidmat dan sakral. Puluhan tahun rakyat Indonesia dipolakan dengan aktivitas yang terasa begitu sakral, baik acara ritual seperti upacara bendera, pengibaran bendera setengah tiang, ziarah ke makam Pahlawan Revolusi maupun kegiatan profan namun seperti wajib, yaitu menonton film ‘’Pengkhianatan G 30 S PKI’’.
Saking sakralnya bahkan orang berpikir ulang jika ingin mengadakan kegiatan melibatkan banyak orang ketika mendekati akhir September hingga awal Oktober, takut dituduh aksi penggalangan massa, aksi makar, atau tindakan subversif. Namun setelah reformasi, angin demokratisasi yang diembuskan dengan salah satu indikatornya adalah kesetaraan dan keterbukaan informasi membuat peringatan Hari Kesaktian Pancasila mengalami desakralisasi, bahkan delegitimasi.
Banyak faktor yang membuat fenomena ini muncul. Pertama; berbagai kajian sejarah menunjukkan bahwa pemilihan 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila kurang memiliki dasar argumentasi kuat atau ahistoris. Kedua; berbagai kerusuhan, pertikaian, teror, hingga wabah korupsi elite politik, membuat semua orang mempertanyakan benarkah Pancasila masih sakti? Ketiga; stagnansi pesan moral dan nilai-nilai yang ditanamkan dalam momentum itu, yaitu sebagai pembendungan terhadap kekuatan ideologi komunis (fobia komunis) tidak begitu urgen dan kontekstual lagi.
Pada masa Orba gerakan pembendungan terhadap komunisme, sekaligus membangun jiwa pancasila, dilakukan secara masif dan terstruktur. Slogan mewaspadai bahaya laten komunis menjadi dasar bagi diskriminasi terhadap orang yang dianggap PKI hingga anak keturunannya, tanpa melalui proses hukum. Gerakan ini sekaligus dimanfaatkan untuk memperkuat hegemoni Orba di hampir semua lini kehidupan. Situasi inilah yang menurut Sobron Aidit (anak pimpinan PKI, DN Aidit) sebagai fenomena penalti tanpa wasit.
Terbukanya akses informasi dan penyelidikan sejarah kemudian membuktikan bahwa apa yang dilakukan dan diklaim oleh Orde Baru tidak sepenuhnya benar karenanya perlu rekonstruksi terhadap nilai-nilai atau pesan moral baru dari momentum peringatan Hari Kesaktian Pancasila, jika memang masih perlu diadakan.
Uji Kesaktian
Pertama, harus disadari bahwa memang terjadi pembunuhan keji terhadap pewira TNI AD dan gerakan ilegal di Jakarta waktu itu, namun siapa dalang dan pelakunya belum diketahui secara pasti, karena itu perlu pengkajian lebih mendalam lagi sebelum menentukan sikap. Di sisi lain, terjadi pembunuhan terhadap ratusan ribu (ada versi menyebut jutaan) rakyat Indonesia yang dianggap anggota atau simpatisan PKI, tanpa proses hukum
Juga terjadi diskriminasi dan pembunuhan karakter terhadap anak keturunan orang-orang yang dianggap PKI dan onderbouw-nya, juga tanpa dasar hukum. Mengaitkan kesaktian Pancasila dengan komunisme sah-sah saja sebagai pijakan historis karena peristiwa saat itu berkaitan dengan tiga poros besar: PKI, TNI, dan Soekarno. Namun penting diingat bahwa dalam konteks saat ini meyampaikan pesan moral momentum kesaktian Pancasila dikaitkan dengan pembendungan komunisme sudah tidak kontekstual lagi. Komunisme dapat dikatakan telah gagal total, baik secara ideologis, politis, maupun ekonomi.
Setahun lalu, melalui harian ini, penulis mengingatkan tentang bahaya laten dari gerakan NII dan terorisme yang saat ini terbukti lebih potensial untuk menguji kesaktian Pancasila. Gerakan pembendungan terhadap bahaya laten NII dan terorisme ini dapat dilakukan melalui berbagai cara dan bidang. Misalnya, mengintegrasikan pembelajaran antiradikalisasi dan anti kekerasan dalam kurikulum, baik melalui pembelajaran agama, sejarah, PKn, maupun sosiologi.
Last but not least, kita juga harus menyadari bahaya laten baru yang sudah menggerogoti nilai-nilai Pancasila, yaitu korupsi yang kian akut. Korupsi yang kini menggurita, bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan tidaklah mengherankan jika ada yang mempertanyakan kesaktian Pancasila. (10)
Andy Suryadi, dosen Sejarah FIS Unnes, alumnus Magister Pendidikan Sejarah UNS
Sumber: Suara Merdeka, Sabtu, 1 Oktober 2011
No comments:
Post a Comment