-- Desi Sommalia Gustina
SEBAGIAN orang bilang, perempuan merupakan objek yang kerap menggoda untuk diperbincangkan, termasuk menjadikannya tema yang diracik ke dalam karya sastra. Lihatlah misalnya buku kumpulan cerpen Yang Menunggu dengan Payung karya Zelfeni Wimra yang diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama (Jakarta, Maret 2013) ini.
Bahkan pada lembar pembuka buku ini Zelfeni Wimra menulis pernyataan yang setidak-tidaknya dapat menggugah perasaan perempuan, seperti kalimat berikut; ‘’Demi perempuan dan segala makhluk yang telah atau akan menjadi ibu.’’ Jika menilik kalimat ini seolah menegaskan kepada pembaca bahwa buku ini merupakan kumpulan yang mengusung tema perempuan. Ditambah lagi dengan pilihan cover yang juga bergambar perempuan.
Buku ini membincangkan perempuan dengan segala serba-serbinya; cinta, persahabatan, pengorbanan, dan juga luka. Namun apabila dikelompokkan, terdapat beberapa cerpen dalam kumpulan ini yang ‘didesain’ sebagai cerpen yang mengusung tema perempuan dengan wajah yang muram. Misalnya cerpen yang berjudul ‘’Toga buat Su’aidi’’, ‘’Lesung Pipi Pauh’’, ‘’Bini Perantau’’, dan ‘’Tali Jantung Tuti’’. Saya katakan demikian karena cerpen-cerpen tersebut berbicara tentang perempuan yang menyimpan kegetiran terhadap lelaki. Membaca cerpen-cerpen ini pembaca seolah menyelam pada kedalaman perasaan perempuan meski ia ditulis oleh laki-laki. Hal ini tentu saja menarik, karena beragam persoalan perempuan yang muaranya memeram kegetiran terhadap kaum Adam rupanya saat ini tidak saja diperbincangkan oleh para aktifis feminisme yang selama ini kebanyakan adalah kaum perempuan.
Tidak hanya itu, dalam kumpulan cerpen berkaver perempuan yang mengenakan gaun berwarna hitam ini ada pula cerpen yang seolah berupaya mematahkan mitos atau kepercayaan terhadap tradisi yang telah diyakini secara turun temurun oleh kelompok masyarakat. Cerpen tersebut berjudul ‘’Sunat’’. Cerpen ini mengisahkan tentang tradisi atau kebudayaan yang berkembang pada (sebagian) masyarakat di Minangkabau -yang tidak menutup kemungkinan tradisi tersebut juga berlaku pada masyarakat di daerah lain, melakukan sunat terhadap anak perempuan tatkala usia si anak masih belia. Dalam cerpen ini diterangkan bahwa tradisi sunat terhadap anak perempuan lazim dilakukan oleh dukun beranak atau bidan yang biasa membantu proses persalinan.
Menurut kepercayaan masyarakat setempat, tradisi sunat terhadap anak perempuan ini dipandang perlu dilakukan. Tujuannya adalah agar kelak si anak tumbuh sebagai perempuan yang memiliki kepribadian dan diharapkan bisa menjaga kehormatannya sebagai wanita. Seperti yang tergambar dalam nukilan cerpen ‘’Sunat’’ berikut ini:
Kalau tidak disunat dulu, perempuan bisa menjadi seorang yang gatal, selalu gelisah, dan sulit merasakan kepuasan, terutama dalam hal-hal yang berhubungan dengan laki-laki,’’ napas Nenek agak tercekik (halaman 11).
‘’Kamu boleh membuktikan sendiri. Setelah dewasa, perempuan yang sudah disunat dengan yang tidak disunat itu ada bedanya. Yang disunat akan memiliki mental yang setara dengan laki-laki. Mandiri, tidak cengeng, dan tidak sepenuhnya menggantungkan hidup pada laki-laki...’’ (halaman 13).
Jika kita tilik kalimat tersebut akan terlihat betapa tokoh Nenek dalam cerpen ini sangat mempercayai pentingnya tradisi sunat yang dilakukan terhadap anak perempuan. Sebab tradisi sunat tersebut, sebagaimana diyakini oleh tokoh Nenek dalam cerpen ini akan mempunyai pengaruh yang besar terhadap anak perempuan ketika ia telah tumbuh dewasa. Terutama dalam hal membentengi diri agar si anak kelak bisa menjadi perempuan yang memiliki harga diri dan bisa menjaga mahkotanya sebagai perempuan.
Namun, melalui ending cerita yang cukup mengejutkan, Zelfeni Wimra kemudian mematahkan kepercayaan (mitos) akan tradisi sunat terhadap anak perempuan yang dalam cerpen ini diyakini sebagai ‘tangkal’ untuk menentukan baik-buruknya tingkah laku perempuan. Karena ternyata, meskipun si ‘Aku’ yang berperan sebagai tokoh utama dalam cerpen ini juga tak luput mengecap tradisi sunat tersebut ketika ia masih kanak-kanak, namun toh tradisi sunat itu tak mampu menjadikan tokoh ‘Aku’ sebagai perempuan yang tidak ‘gatal’, dan memiliki akhlak terpuji.
Kontradiksi terhadap tradisi sunat bagi anak perempuan dalam cerpen ini dapat kita lihat pada kutipan kalimat berikut:
‘’Dalam kamar, aku terenyak. Menatap gamang ke bentangan sawah di luar jendela. Dalam kepalaku, tumpukan rahasia makin tebal saja.’’
‘’Nek, katanya aku juga sudah disunat. Tapi...’’
‘’Syg, brp lm lg d sn? Jgn lm-lm, y. Abg rndu ggitanmu...’’ (halaman 16).
Membaca akhir dari cerpen ini pembaca akan menemukan pesan kritis yang hendak disampaikan Zelfeni selaku pengarang kepada pembaca terhadap tradisi yang telah berkembang pada sebuah masyarakat dengan berupaya membuka pandangan pembaca melalui tokoh ‘Aku’. Bahwasanya tradisi sunat yang begitu digadang-gadang dalam cerpen ini tidak bisa dijadikan satu-satunya tolak ukur ataupun ‘tangkal’ untuk mengantarkan anak perempuan dengan predikat terhormat tatkala ia telah beranjak dewasa.
Sementara itu, cerpen lainnya dalam kumpulan dengan kaver yang didominasi warna hijau ini Zelfeni Wimra berupaya menghadirkan cerita mengenai potret masyarakat yang tersingkirkan akibat dampak sebuah kata sederhana bernama pembangunan. Adapun cerita yang saya maksudkan yaitu cerpen yang berjudul ‘’Tabung Cahaya’’. Cerpen ini mengisahkan mengenai perkampungan yang tenggelam dalam sebuah danau akibat pembangunan proyek pembangkit listrik bertenaga air. Kampung yang tenggelam di dasar danau itu menyisakan kegetiran bagi tokoh ‘Aku’ dalam cerpen ini.
Dalam cerpen ‘’Tabung Cahaya’’ ini dikisahkan, pada suatu kesempatan, tokoh ‘Aku’ bersama wisatawan air melakukan wisata menyelam di kedalaman danau. Namun, tujuan kedatangan tokoh ‘Aku’ ke daerah tersebut berbeda dengan wisatawan air lainnya, yakni menziarahi makam Ayah dan Ibunya yang memang terkubur di dasar danau buatan tersebut. Karena memang, pada kedalaman danau merupakan kampung halaman tokoh ‘Aku’ yang telah tenggelam. Namun, yang menjadi daya tarik cerpen ini adalah tatkala kedatangan si ‘Aku’ ke dasar danau seolah-olah mendapatkan sambutan suka cita oleh kedua orang tuanya yang diiringi lambaian tangan. Gambaran akan hal ini terlihat dalam kutipan berikut:
‘’Pulang juga kau akhirnya, Nak?’’ (halaman 8).
Ending cerpen ‘’Tabung Cahaya’’ ini selain unik juga memukau karena Zelfeni Wimra sebagai pengarang berhasil menciptakan akhir cerita yang tidak mudah diterka oleh pembaca, yang kemudian menciptakan perenungan-perenungan terhadap pesan yang hendak disampaikan pengarang dalam memandang realitas kehidupan. Karena sebagaimana yang kita ketahui, pada hakekatnya karya sastra merupakan cermin dari realitas suatu masyarakat. Begitupun dengan cerpen ‘’Tabung Cahaya’’ ini bisa jadi merupakan salah satu potret kelompok masyarakat yang ‘ditenggelamkan’ akibat tak mampu melawan laju pembangunan.
Cerpen lainnya dalam kumpulan ini berjudul ‘’Tiga Episode Bangkai’’. Cerpen ‘’Tiga Episode Bangkai’’ ini juga menyuguhkan serangkaian pesan mendalam kepada pembaca untuk memahami hakekat hidup. Ditambah lagi muatan tragedi dalam cerpen ‘’Tiga Episode Bangkai’’ ini berusaha memberikan pesan kepada pembaca agar setiap orang bisa menjadi manusia yang bijak dalam menghadapi peliknya persoalan hidup. Disamping juga menuntun pembaca agar tidak terjebak dalam suratan nasib yang kelak mengantarkan menjadi ‘bangkai’ kehidupan.
Membaca kumpulan cerpen Zelfeni Wimra ini pembaca akan menemukan ‘rasa’ Minangkabau yang sangat kental, baik terkait dengan latar belakang tempat yang digunakan, seperti: Tanjung Pauah, Padang-Bukittinggi, Sungai Pagu. Begitu juga terhadap panggilan tokoh rekaan dalam kumpulan ini, misalnya: Mak, Ngulu Sutan, Uda, Mak Dang, Andeh. Pun terhadap idiom-idiom lokal yang digunakan seperti: cigak baruak, limbubu, pasak guying, urang sumando dan lain sebagainya. Di samping juga tradisi Minang yang dibahas dalam sejumlah cerpen dalam kumpulan setebal 148 halaman ini semakin menambah ‘rasa’ Minangkabau yang dihadirkan Zelfeni selaku pengarang.
Mengingat kuatnya ‘rasa’ Minangkabau yang terdapat dalam kumpulan ini, sebagai pembaca saya merasa terganggu dengan gambar perempuan bergaun hitam yang berjalan membelakangi pembaca dengan payung hitam yang terkembang di tangannya yang dijadikan kaver kumpulan ini. Karena apabila dicermati gambar perempuan bergaun hitam dengan bagian punggung terbuka tersebut sama sekali tidak menunjukkan identitas Minang dan tak mampu mewakili isi kumpulan ini. Begitu. n
Desi Sommalia Gustina, alumnus Pascasarjana Universitas Andalas, Padang n
Sumber: Riau Pos, Minggu, 7 Juli 2013
SEBAGIAN orang bilang, perempuan merupakan objek yang kerap menggoda untuk diperbincangkan, termasuk menjadikannya tema yang diracik ke dalam karya sastra. Lihatlah misalnya buku kumpulan cerpen Yang Menunggu dengan Payung karya Zelfeni Wimra yang diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama (Jakarta, Maret 2013) ini.
Bahkan pada lembar pembuka buku ini Zelfeni Wimra menulis pernyataan yang setidak-tidaknya dapat menggugah perasaan perempuan, seperti kalimat berikut; ‘’Demi perempuan dan segala makhluk yang telah atau akan menjadi ibu.’’ Jika menilik kalimat ini seolah menegaskan kepada pembaca bahwa buku ini merupakan kumpulan yang mengusung tema perempuan. Ditambah lagi dengan pilihan cover yang juga bergambar perempuan.
Buku ini membincangkan perempuan dengan segala serba-serbinya; cinta, persahabatan, pengorbanan, dan juga luka. Namun apabila dikelompokkan, terdapat beberapa cerpen dalam kumpulan ini yang ‘didesain’ sebagai cerpen yang mengusung tema perempuan dengan wajah yang muram. Misalnya cerpen yang berjudul ‘’Toga buat Su’aidi’’, ‘’Lesung Pipi Pauh’’, ‘’Bini Perantau’’, dan ‘’Tali Jantung Tuti’’. Saya katakan demikian karena cerpen-cerpen tersebut berbicara tentang perempuan yang menyimpan kegetiran terhadap lelaki. Membaca cerpen-cerpen ini pembaca seolah menyelam pada kedalaman perasaan perempuan meski ia ditulis oleh laki-laki. Hal ini tentu saja menarik, karena beragam persoalan perempuan yang muaranya memeram kegetiran terhadap kaum Adam rupanya saat ini tidak saja diperbincangkan oleh para aktifis feminisme yang selama ini kebanyakan adalah kaum perempuan.
Tidak hanya itu, dalam kumpulan cerpen berkaver perempuan yang mengenakan gaun berwarna hitam ini ada pula cerpen yang seolah berupaya mematahkan mitos atau kepercayaan terhadap tradisi yang telah diyakini secara turun temurun oleh kelompok masyarakat. Cerpen tersebut berjudul ‘’Sunat’’. Cerpen ini mengisahkan tentang tradisi atau kebudayaan yang berkembang pada (sebagian) masyarakat di Minangkabau -yang tidak menutup kemungkinan tradisi tersebut juga berlaku pada masyarakat di daerah lain, melakukan sunat terhadap anak perempuan tatkala usia si anak masih belia. Dalam cerpen ini diterangkan bahwa tradisi sunat terhadap anak perempuan lazim dilakukan oleh dukun beranak atau bidan yang biasa membantu proses persalinan.
Menurut kepercayaan masyarakat setempat, tradisi sunat terhadap anak perempuan ini dipandang perlu dilakukan. Tujuannya adalah agar kelak si anak tumbuh sebagai perempuan yang memiliki kepribadian dan diharapkan bisa menjaga kehormatannya sebagai wanita. Seperti yang tergambar dalam nukilan cerpen ‘’Sunat’’ berikut ini:
Kalau tidak disunat dulu, perempuan bisa menjadi seorang yang gatal, selalu gelisah, dan sulit merasakan kepuasan, terutama dalam hal-hal yang berhubungan dengan laki-laki,’’ napas Nenek agak tercekik (halaman 11).
‘’Kamu boleh membuktikan sendiri. Setelah dewasa, perempuan yang sudah disunat dengan yang tidak disunat itu ada bedanya. Yang disunat akan memiliki mental yang setara dengan laki-laki. Mandiri, tidak cengeng, dan tidak sepenuhnya menggantungkan hidup pada laki-laki...’’ (halaman 13).
Jika kita tilik kalimat tersebut akan terlihat betapa tokoh Nenek dalam cerpen ini sangat mempercayai pentingnya tradisi sunat yang dilakukan terhadap anak perempuan. Sebab tradisi sunat tersebut, sebagaimana diyakini oleh tokoh Nenek dalam cerpen ini akan mempunyai pengaruh yang besar terhadap anak perempuan ketika ia telah tumbuh dewasa. Terutama dalam hal membentengi diri agar si anak kelak bisa menjadi perempuan yang memiliki harga diri dan bisa menjaga mahkotanya sebagai perempuan.
Namun, melalui ending cerita yang cukup mengejutkan, Zelfeni Wimra kemudian mematahkan kepercayaan (mitos) akan tradisi sunat terhadap anak perempuan yang dalam cerpen ini diyakini sebagai ‘tangkal’ untuk menentukan baik-buruknya tingkah laku perempuan. Karena ternyata, meskipun si ‘Aku’ yang berperan sebagai tokoh utama dalam cerpen ini juga tak luput mengecap tradisi sunat tersebut ketika ia masih kanak-kanak, namun toh tradisi sunat itu tak mampu menjadikan tokoh ‘Aku’ sebagai perempuan yang tidak ‘gatal’, dan memiliki akhlak terpuji.
Kontradiksi terhadap tradisi sunat bagi anak perempuan dalam cerpen ini dapat kita lihat pada kutipan kalimat berikut:
‘’Dalam kamar, aku terenyak. Menatap gamang ke bentangan sawah di luar jendela. Dalam kepalaku, tumpukan rahasia makin tebal saja.’’
‘’Nek, katanya aku juga sudah disunat. Tapi...’’
‘’Syg, brp lm lg d sn? Jgn lm-lm, y. Abg rndu ggitanmu...’’ (halaman 16).
Membaca akhir dari cerpen ini pembaca akan menemukan pesan kritis yang hendak disampaikan Zelfeni selaku pengarang kepada pembaca terhadap tradisi yang telah berkembang pada sebuah masyarakat dengan berupaya membuka pandangan pembaca melalui tokoh ‘Aku’. Bahwasanya tradisi sunat yang begitu digadang-gadang dalam cerpen ini tidak bisa dijadikan satu-satunya tolak ukur ataupun ‘tangkal’ untuk mengantarkan anak perempuan dengan predikat terhormat tatkala ia telah beranjak dewasa.
Sementara itu, cerpen lainnya dalam kumpulan dengan kaver yang didominasi warna hijau ini Zelfeni Wimra berupaya menghadirkan cerita mengenai potret masyarakat yang tersingkirkan akibat dampak sebuah kata sederhana bernama pembangunan. Adapun cerita yang saya maksudkan yaitu cerpen yang berjudul ‘’Tabung Cahaya’’. Cerpen ini mengisahkan mengenai perkampungan yang tenggelam dalam sebuah danau akibat pembangunan proyek pembangkit listrik bertenaga air. Kampung yang tenggelam di dasar danau itu menyisakan kegetiran bagi tokoh ‘Aku’ dalam cerpen ini.
Dalam cerpen ‘’Tabung Cahaya’’ ini dikisahkan, pada suatu kesempatan, tokoh ‘Aku’ bersama wisatawan air melakukan wisata menyelam di kedalaman danau. Namun, tujuan kedatangan tokoh ‘Aku’ ke daerah tersebut berbeda dengan wisatawan air lainnya, yakni menziarahi makam Ayah dan Ibunya yang memang terkubur di dasar danau buatan tersebut. Karena memang, pada kedalaman danau merupakan kampung halaman tokoh ‘Aku’ yang telah tenggelam. Namun, yang menjadi daya tarik cerpen ini adalah tatkala kedatangan si ‘Aku’ ke dasar danau seolah-olah mendapatkan sambutan suka cita oleh kedua orang tuanya yang diiringi lambaian tangan. Gambaran akan hal ini terlihat dalam kutipan berikut:
‘’Pulang juga kau akhirnya, Nak?’’ (halaman 8).
Ending cerpen ‘’Tabung Cahaya’’ ini selain unik juga memukau karena Zelfeni Wimra sebagai pengarang berhasil menciptakan akhir cerita yang tidak mudah diterka oleh pembaca, yang kemudian menciptakan perenungan-perenungan terhadap pesan yang hendak disampaikan pengarang dalam memandang realitas kehidupan. Karena sebagaimana yang kita ketahui, pada hakekatnya karya sastra merupakan cermin dari realitas suatu masyarakat. Begitupun dengan cerpen ‘’Tabung Cahaya’’ ini bisa jadi merupakan salah satu potret kelompok masyarakat yang ‘ditenggelamkan’ akibat tak mampu melawan laju pembangunan.
Cerpen lainnya dalam kumpulan ini berjudul ‘’Tiga Episode Bangkai’’. Cerpen ‘’Tiga Episode Bangkai’’ ini juga menyuguhkan serangkaian pesan mendalam kepada pembaca untuk memahami hakekat hidup. Ditambah lagi muatan tragedi dalam cerpen ‘’Tiga Episode Bangkai’’ ini berusaha memberikan pesan kepada pembaca agar setiap orang bisa menjadi manusia yang bijak dalam menghadapi peliknya persoalan hidup. Disamping juga menuntun pembaca agar tidak terjebak dalam suratan nasib yang kelak mengantarkan menjadi ‘bangkai’ kehidupan.
Membaca kumpulan cerpen Zelfeni Wimra ini pembaca akan menemukan ‘rasa’ Minangkabau yang sangat kental, baik terkait dengan latar belakang tempat yang digunakan, seperti: Tanjung Pauah, Padang-Bukittinggi, Sungai Pagu. Begitu juga terhadap panggilan tokoh rekaan dalam kumpulan ini, misalnya: Mak, Ngulu Sutan, Uda, Mak Dang, Andeh. Pun terhadap idiom-idiom lokal yang digunakan seperti: cigak baruak, limbubu, pasak guying, urang sumando dan lain sebagainya. Di samping juga tradisi Minang yang dibahas dalam sejumlah cerpen dalam kumpulan setebal 148 halaman ini semakin menambah ‘rasa’ Minangkabau yang dihadirkan Zelfeni selaku pengarang.
Mengingat kuatnya ‘rasa’ Minangkabau yang terdapat dalam kumpulan ini, sebagai pembaca saya merasa terganggu dengan gambar perempuan bergaun hitam yang berjalan membelakangi pembaca dengan payung hitam yang terkembang di tangannya yang dijadikan kaver kumpulan ini. Karena apabila dicermati gambar perempuan bergaun hitam dengan bagian punggung terbuka tersebut sama sekali tidak menunjukkan identitas Minang dan tak mampu mewakili isi kumpulan ini. Begitu. n
Desi Sommalia Gustina, alumnus Pascasarjana Universitas Andalas, Padang n
Sumber: Riau Pos, Minggu, 7 Juli 2013
1 comment:
meminangkabau kan minangkabau, saya setuju dengan penulis cerpen diatas, dalam melestarikan budaya minangkabau melalui karya satra terutama cerpen
tapi ironi nya karya satra kita, khususnya minangkabau masih kalah saing dengan karya-karya luar dalam mempromosikan sebuah buku,
salut buat desi sommalia gustina,,, keep going sista
Post a Comment