Sunday, September 30, 2007

Esai: Makna di Balik Teks (Sastra)

-- Agus Wibowo*

KARYA sastra idealnya memberi kontribusi positif bagi pembacanya. Lewat rangkaian kata yang ditata sedemikian rupa—penuh cita rasa dan unsur simbolis—,karya sastra memberi pencerahan sekaligus pemenuhan dahaga batiniah pengonsumsinya.

Apalagi pada carut-marut kehidupan bernegara kita yang kian sibuk dengan agenda-agenda politik, sementara menganaktirikan aspek kehidupan rakyat lainnya.Rakyat kita yang didera berjuta persoalan, tersudut pada ruang kehidupan yang sempit,pengap,dan penuh kemunafikan.

Memang dalam upaya mendapatkan makna dan apresiasi karya sastra,setiap orang diberi kebebasan menafsirkan teks-teks sastra tersebut. Hanya, hasil penafsirannya belum tentu mencercap makna yang diinginkan pengarangnya. Prof Teeuw (1983) dalam hal ini cukup hati-hati merumuskan kebebasan penafsiran teks sastra tersebut.

Menurut Teeuw,lantaran peluang apresiasi (apreciation probability) yang disuguhkan teks sastra, sang penafsir kadang berlebih dalam berfilsafat tentang teks sastra tersebut. Dengan kata lain, pembaca berkecenderungan mengaliri teks dengan khazanah intelektualnya melebihi cawan yang tersedia dalam karya sastra tersebut.Pada gilirannya,makna teks (sastra) menjadi kabur, terlalu filosofis dan tidak mampu ditangkap pesan simbolisnya.

Hal sama pernah digelisahkan Jonathan Culler dalam bukunya Structuralis Poetics: Structuralism, Linguistic and the Study of Literature (1975). Menurutnya, memang cukup sulit menangkap makna sebuah teks sastra.Apalagi, upaya penafsiran pembaca yang instan, mencercap apa yang tersurat dan sepotong- sepotong (parsial). Model penafsiran seperti ini menurut Culler tidak akan mendapat apa-apa.

Menurut Culler, yang dibutuhkan pembaca untuk menafsirkan karya sastra adalah kesabaran, ketelitian sekaligus penghayatan terhadap proses yang mengejawantahkan teks sastra tersebut. Hal ini lantaran akar utama karya sastra adalah hidup dan kehidupan atau manusia dan kemanusiaan itu sendiri. Karya sastra tidak lahir dari ruang hampa nan sepi senyap,melainkan hasil pergulatan sang pujangga (sastrawan) dengan teksteks kehidupan.

Pengalaman sastrawan terhadap teks-teks kehidupan, dipilih, diramu, dan diberinya penafsiran dengan jalinan imajinasi yang dimilikinya, hingga pada akhirnya menjelma sebuah karya sastra. Tidak heran jika karya monumental Dr. Zivago misalnya, lahir dari pergulatan Boris Pasternak selepas revolusi Bolszhevic. Sementara novel I’Stanger,menjadi karya yang mengundang decak kagum pembacanya lantaran penghayatan Albert Camus terhadap proses jatuhbangun Prancis pasca-Perang Dunia (PD) II.

Pergulatan serta penafsiran sastrawan akan realitas dan teks kehidupan inilah yang menurut Umar Kayam (1988),bakal memberi roh dan membuat sebuah karya sastra hidup abadi. Di sinilah pentingnya pembaca dituntut berolah signifikansi makna akan jalinan yang dirajut teks sastra.Pembaca sebaiknya mawas diri bahwa dirinya bukanlah seorang yang bersih di satu sisi. Sementara di sisi lain, pembaca mesti relatif objektif, yakni ramah tanpa prasangka terhadap sebuah teks sastra yang disuguhkan. Dengan kata lain, menjadi pembaca yang tulus dalam sebuah kehendak baik untuk bersilaturahmi dengan karya sastra.

Secara cerdas, Agus R Sarjono (2001) memberi solusi bagaimana pembaca karya sastra menemukan makna di balik teks sastra tersebut.Menurutnya, katakata dalam sastra sejatinya merupakan upaya guna meraih makna. Selain itu, kata berfungsi membangun sebuah dunia yang sering luput dan terpinggirkan oleh kerasnya peraturan ilmu, tersembunyikan dalam komunikasi sosial politik, dan terabaikan dalam konsep jurnalisme.

Makna dalam sastra dibangun dalam kaitan dan oposisinya dengan makna kata yang digunakan secara umum dalam masyarakat kita. Kata-kata dalam teks sastra dipungut dari kata umum, diruwat dan dirangkai dalam susunan yang baru sebagai sarana say one, thing and means another. Ungkapan kata dalam sastra dibedakan dengan bahasa biasa. Jika dalam bahasa biasa ungkapan langsung bisa ditangkap maknanya (mempercepat makna), sementara dalam sastra,makna justru ditunda.

Hal ini lantaran dalam sastra berlaku kecenderungan untuk melakukan defamiliarisasidengan kehidupan riil seharihari. Mengapa demikian? Karena bahasa sehari-hari teramat kaku, kurang bisa menjangkau relung imajinasi sastrawan— yang dalam bahasa pujangga sufi Jalaluddin ar-Rumi, merupakan alam eksistensial. Tidak mengherankan jika apresiasi sastra di negeri ini menjadi perkara yang tidak mudah.

Selain disebabkan faktor di atas, dalam masyarakat kita berkembang fenomena: Pertama, stigma yang sudah terbangun terhadap dunia sastra, sebagai dunia yang rumit dan penuh teka-teki. Kedua, kondisi pendidikan (pengajaran) sastra yang melaju pada jalur serba seragam (tuntutan kurikulum) sehingga miskin imajinasi. Ketiga, sastra dihadapi pembaca layaknya kantong kosong yang berbelanja makna pada sastra yang memiliki totalitas makna, dan keempat,intelektualitas yang tipis membuat diskusi sastra dengan pembacanya tidak menjadi sebuah silaturahmi yang hangat untuk saling berdialog,dan mempertengkarkan makna.

Perlu Pengajaran Metodologis

Antara dunia kita dan dunia sastra membentang apa yang disebut dengan konvensi, tradisi, sistem sastra. Inspirasi yang dipungut sastrawan dari dunia real, tidak serta-merta dituliskan begitu saja menjadi sebuah karya sastra, tetapi digubah melalui mekanisme konvensi sastrawi. Dengan demikian, dalam membaca sastra mesti menghayati proses yang dikuasai seperangkat aturan yang menjelmakan makna-makna tersebut. Konvensi, sistem, perangkat aturan, dan mekanisme sastrawi ini menjadi sebuah keniscayaan untuk dipahami pembaca.

Sudah barang tentu kerja mencerahkan pembaca ini menjadi tugas pengajaran sastra, baik di institusi formal (sekolah-sekolah), maupun kritik dan ulasan sastra di media massa. Sayangnya di institusi formal, pengajaran sastra masih tetap stagnan meski beragam hujatan dan kritikan dialamatkan padanya. Pengajaran sastra masih beringsut pada era Orde Baru yang serbasentralistik.

Hadirnya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), tidak mengubah praktik metodologis pembelajaran di kelas.Pada gilirannya, pemahaman peserta didik terhadap metodologi pengungkapan makna sastra sangat rapuh.Kerapuhan metodologis ini pula yang menyebabkan apresiasi mereka terhadap karya sastra sangat lemah— untuk mengatakan tidak ada. Jangankan untuk mengapresiasikan,mengetahui maknanya saja terlampau sulit.

Demikian halnya pergulatan pemikiran sastra di perguruan tinggi (PT). Beratus-ratus kajian sastra dibuat mahasiswa atau dosen guna meraih gelar kesarjanaan (S-1, S-2, dan S-3).Bersusah payah mereka melakukan penelitian. Tetapi setelah menjelma dalam bentuk skripsi, tesis maupun disertasi, lantas hanya ditumpuk dalam ruang kumuh dan sempit.Tidak ada kontribusi sedikit pun terhadap sivitas akademik lainnya (selain referensi membuat karya ilmiah),apalagi terhadap masyarakat luas.

Tak heran jika sastra pun menjadi barang asing bagi kaum intelektual yang mestinya memberikan pencerahan secara metodologis kepada masyarakat luas.Pada gilirannya, sastra akan terus menjadi milik kaum sastrawan saja tanpa memberi kontribusi pada kehidupan masyarakat pembaca. Sastra pun menjadi ruang sepi dan senyap lantaran tidak ada diskursus, dialog maupun kritik dari masyarakat sehingga sustainabilitas (kemampuan bertahan) sastra semakin memprihatinkan.(*)

* Agus Wibowo, Esais Sastra,Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta

Sumber: Seputar Indonesia, Minggu, 30 September 2007

Horison: Fenomena Sastrawan Jalanan

SAAT menumpang kendaraan umum, pernahkan Anda mendapati sesosok pengamen puisi yang menjadikan bis ataupun kereta api sebagai panggung tempatnya beraksi? Di Jakarta, kehadiran sastrawan di jalanan sudah menjadi fenomena tersendiri. Mereka seolah muncul menemani kiprah musikus yang berpentas di jalanan.

Sebagai kota paling maju di Indonesia, Jakarta genit menggoda mereka yang haus akan materi. Banyak orang rela meninggalkan kampung halamannya dan berebut rupiah di Ibu Kota. Bekal keterampilan apapun sepertinya bisa saja membuat mereka mencari penghidupan. Setidaknya, itulah yang dirasakan Irfan Ardhiyanto, pemuda asal Yogyakarta.

Irfan mengaku menuruti kata hatinya untuk menjajal kehidupan di Jakarta. Langkah kaki lelaki yang lebih suka menyebut dirinya bersekolah di alam ini kemudian mempertemukannya dengan Komunitas Sastra Indonesia yang diprakarasi Wowok Hesti Prabowo. ''Di Jakarta, saya menemukan tempat untuk mengasah bakat sastra,'' ujarnya kepada Republika seusai mengikuti Workshop Sastrawan Jalanan yang selenggarakan oleh Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Rabu (26/9) lalu.

Irfan juga sempat berguru pada aktivis Lingkar Pena, Gola Gong. Kemahirannya mengolah ide menjadi karya sastrapun bertambah. Irfan merasakan kepuasan saat bisa menulis dan membacakan puisi. ''Saya suka menggarap tema kontemplatif,'' ungkap lajang berusia 27 tahun penulis sajak Dialektika Kemiskinan.

Hasil karyanya sempat Irfan kirimkan ke berbagai media massa dengan harapan akan dimuat dan mendapat imbalan. Hanya saja, upayanya itu tak kunjung membuahkan hasil. ''Akhirnya, saya terjun ke jalan agar bisa menyalurkan puisi gubahan sendiri,'' kenang Irfan yang hijrah ke Jakarta tahun 2000.

Mencermati sesama sastrawan yang saban hari hilir mudik di jalur padat Ibu Kota, Deny Tri Wiranto mendapati tak banyak orang yang serius mempersiapkan penampilannya membawakan puisi atau monolog di dalam bus kota. Dari kisaran 100 orang yang menggeluti profesi ini, tak sampai 10 persen yang benar-benar mampu menulis dan memperdengarkan puisi dengan sungguh hati. ''Sebagian besar cuma beraksi untuk mendapatkan rupiah,'' ungkap sastrawan yang belakangan beroperasi di jalur bus dari Jakarta ke Bekasi Timur, Jawa Barat.

Di antara sastrawan keliling, tak ada wadah khusus yang membuat mereka dapat saling memperkaya wawasan. Menanggapi kondisi tersebut, Deny lantas mencoba menarik perhatian Komite Sastra DKJ. ''Lantas, terwujudlah workshop sastrawan jalanan.''

Naik pentas bus kota dilakukan Deny dengan kesadaran penuh. Baginya, ini merupakan keputusan matang. ''Sebelumnya, saya pernah mengajar sejarah Islam di salah satu sekolah swasta, mendongeng di Taman Kanak-kanak, menjadi konsultan kredit perbankan, dan berkarir di berbagai stasiun televisi swasta,'' urai pemegang diploma tiga di bidang penyiaran.

Deny memilih sastra religi untuk menghibur sekaligus mendakwahi penumpang bus kota. Pembacaan kisah-kisah sarat hikmah dari perjalanan hidup Rasulullah SAW beserta para sahabatnya membuat banyak penonton terkesan. ''Dari atas bus, saya mendapatkan order untuk melakukan hal serupa di acara pengajian, ulang tahun, maupun halalbihalal,'' kata ayah empat anak yang merasa penghasilan mengamennya lebih dari cukup.

Deny yakin masa depannya bukan berada di jalanan. Ia berharap kelak dapat menemukan kesempatan tampil di tempat yang lebih pantas. ''Sejalan dengan itu, saya mendukung Perda yang hendak menghapus keberadaan pekerja jalanan.''

Zen Hae selaku ketua Komite Sastra memantau keberadaan pengamen sastra mulai subur begitu reformasi bergulir. Sajak-sajak bernuansa protes banyak disuarakan mereka, seperti karya Joko Pinurbo.

Kendati yang melakoninya cukup banyak, kualitas penampilan sastrawan jalanan terbilang masih minim. Itu jika dilihat dari keterampilan mereka menulis dan membaca puisi. ''Selama ini, mereka memang belum terbina,'' ucap Zen.

Bagaimana seniman papan atas menilai keberadaan sastrawan jalanan? Adi Kurdi berpendapat penilaian amat bergantung pada individu yang beraksi. ''Saat berhadapan dengan penyair yang tampil sungguh-sungguh, saya rela merogoh kocek tanpa melihat jumlahnya. Saya pikir, orang lain juga begitu,'' komentarnya saat memberi materi di workshop sastrawan jalanan.

Ketika profesi sastrawan dimanipulir oleh preman jalanan, citra sastrawan keliling di mata masyarakatpun tercoreng. Itu pula yang mendesak Irfan untuk berhenti menjelajahi ruas jalan utama kota Jakarta. ''Saya trauma dengan tudingan penumpang bus sewaktu hendak berpuisi,'' cetusnya.

Irfan merasa status sosialnya terpojok oleh stigma tersebut. Ia lantas memutar kemudinya dan beralih profesi. '' Kini, saya lebih suka menjadi pedagang asongan, Hobi menulis puisi tetap berjalan. Cuma tak lagi naik pentas,'' tandas warga Matraman, Jakarta Timur, itu. (reiny dwinanda)

Sumber: Republika, Minggu, 30 September 2007

Wacana: Peristiwa G30S dalam Fiksi Indonesia

-- Sunaryono Basuki Ks*

SETIAP peristiwa penting dalam sejarah Indonesia menghasilkan karya sastra yang mencoba memberi gambaran tentang peristiwa itu. Perang Kemerdekaan menghasilkan sejumlah novel dan cerpen, yang ditulis oleh pelaku sejarah ataupun oleh generasi yang lebih muda yang ikut mengalamai sebagian kecil peristiwa tersebut.

Peristiwa G30S yang menggoncangkan negeri ini juga telah ditulis oleh sejumlah perngarang kita, baik dalam bentuk puisi, drama, cerpen, maupun novel. Karya-karya itu ditulis saat peristiwa itu baru terjadi (misalnya sajak-sajak karya Taufiq Ismail), tetapi juga beberapa tahun kemudian, bahkan beberapa puluh tahun kemudian.

Dalam novel kita dapat membacanya pada Ronggeng Dukuh Paruk versi aslinya yang terbit tahun 2003, padahal versi yang "disensor" terbit tahun 1981. Dalam versi aslinya ternyata Ahmad Tohari bercerita tentang malapetaka politik tahun 1965 yang membuat dukuh Paruk hancur secara fisik dan mental.

Putu Wijaya dalam drama Aib (1988) juga menyinggung soal peristiwa itu dengan cara mengalihkan setting kisah ke suatu tempat yang lain: sebuah kerajaan. Upaya itu perlu untuk melindungi Putu dari sensor pemerintah saat itu. Dalam novel Kremil, Suparto Brata (Pustaka Pelajar, 2002) juga menyinggung soal disembunyikannnya sejumlah granat di kompleka Kremil oleh orang-orang yang disangka terlibat dalam peristiwa G30S. Novel ini ditulis tahun 1994/1995.

Tahun 1995 Sunaryono Basuki Ks menulis Budiman Benggol (terbit sebagai buku berjudul Maling Republik, Mizan, 2005) yang menceritakan sejumlah orang yang dapat disangka sebagai tokoh-tokoh yang menggerakkan G30S. Suparto Brata (1991) menulis novel panjang Mencari Sarang Angin yang dimuat sebagai cerber di Jawa Pos (1991-1992) dan dibukukan oleh Grasindo tahun 2005. Novel itu menceritakan tokoh perjuangan yang berseberangan dengan Rochim yang akhirnya terlibat pemberontakan PKI, naum tidak sampai ke Peristiwa G30S.

Tahun 2001 Shoim Anwar mengedit sejumlah cerpen dan menerbitkannya di bawah judul Soeharto dalam Cerpen Indonesia, yakni sejumlah cerpen yang ditulis setelah Soeharto lengser, kecuali satu cerpen Menembak Banteng (F Rahardi, 1993). Ketika Soeharto jatuh, muncullah novel karya Putu Oka Sukanta, Merajut Harkat (Pustaka Pelajar, 1999). Novel ini menjadi menarik, sebab ditulis oleh seorang aktifis Lekra yang selamat dari siksaan penguasa.

Tahun lalu kita disuguhi novel September (Tiga Serangkai, Solo, 2006) karya Noorca M Massardi. Kisahnya dimulai dengan Darius, karyawan pabrik kecap yang kena PHK pada suatu masa kini, bukan pada sekitar tahun 1965 atau 1998. Percuma mencari kaitan dengan tahun dalam kelender historis sebab kisahnya memang tak terikat pada fakta sejarah.

Paling tidak, pengarangnya menempatkannya sebagai fiksi yang tak ada hubungannya dengan peristiwa G30S atau pun gerakan reformasi, walaupun, proses politik di bawah pimpinan Presiden Soekresno, Pemimpin Besar Reformasi, bukan Revolusi. Bukankah ini fiksi, begitu jalan pikiran Noorca yang wartawan dengan latar belakang pendidikan jurnalisme di Prancis, yang karenanya leluasa memakai bahasa Prancis untuk berbagai keperluan!

Walaupun dianggap fiksi, Noorca tak mau lepas dari nama-nama tokoh historis dan tak sempat mengubahnya menjadi tokoh fiksi, hanya dengan membolak-balik nama mereka semua. Yang paling jelas tentu Presiden Soekresno, dan ajudannya, Kolonel Djiwakarno. Dalam sejarah kita kenal Presiden Soekarno dan Kolonel Bambang Wijanarko.

Pasti pembaca yang biasa dengan teka-teki silang dengan mudah menebak siapa-siapa mereka ini, sebab nama-nama mereka memang nama historis, ada dalam fakta sejarah. Tapi, jangan bangga dulu, sebab menurut penulisnya, novel ini semata-mata fiksi, jangan mencari kaitan dengan fakta historis, apalagi menimpakan kesalahan sejarah pada mereka.

Bukan hanya nama tokoh historis yang diplesetkan, tetapi juga nama kota, lembaga, nama Universitas, nama koran. Semua harus tak berbau fakta historis karena hanya fiksi! Ada Jalan Rawatidur, Pelabuhan Tanjung Belanga, Kota Talas, Kota Bunga, Universitas Gunung Merbabu (disingkat UGM), Institut Teknologi Babakan (ITB), Universitas Independen (UI), Partai Kiri (Paki), Warta Yudha, Suluh Nasional, Koran Rakyat.

Yang punya ambisi untuk menyudutkan mantan Presiden Soeharto pasti senang membaca kisah yang akhirnya menyodok Mayjen Theo Rosa, sosok penggerak Gerakan 10 September. Yang aneh, ini satu-satunya nama yang plesetannya paling cermat. Tak gampang ditebak tetapi ternyata kalau diurai perhuruf klop. Coba kita bolak-balik sampai ke huruf: bisa jadi soehaRTo.

Sebuah kisah selalu dikisahkan melalui sudut pandang tertentu, bisa sudut pandang orang pertama, kedua, ketiga, omniscience atau mata kamera. Dengan sudut pandang ini pengarang mengikat diri, tunduk pada sudut pandang pilihannya dan tak boleh sembarangan menyimpang dari sudut pandang pilihannya. Sebuah cerpen biasanya punya hanya satu macam sudut pandang agar tak membingungkan pembaca. Tetapi, sebuah novel boleh memakai bebagai macam sudut pandang sesuai dengan keperluan.

Kalau pengarang sudah menetapkan bahwa dia akan mengikuti salah seorang tokoh, maka jalan pikirannya, pengalamannya, tingkat intelektualismenya, semuanya disesuaikan dengan apa yang dipunyai oleh tokoh yang dipilihnya. Dia tak bebas menjadi dirinya sendiri, misalnya seorang profesor doktor yang menguasai berbagai bahasa dan berpengetahuan luas.

Menurut Prof Dr Budi Darma, novelis tak boleh mengobral kepintarannya bilamana dia mau bicara melalui mulut seorang tokoh yang kebetulan mahasiswa nyentrik di sebuah universitas. Dia harus mampu menjadi corong tokohnya, bukan corong pengarangnya.

* Sunaryono Basuki Ks, Novelis dan dosen sastra

Sumber: Republika, Minggu, 30 September 2007

Lubuk Kontemplasi Arus Dangkal Hedonisme

-- J Sumardianta*

"Bukalah mata tuan dan lihatlah. Di tempat petani meluku tanah yang keras. Di tempat pembuat jalan meratakan batu. Di situlah Tuhan. Bersama mereka Tuhan berpanas dan berhujan. Turunlah ke tanah berdebu itu, seperti Dia. Bangkitlah dari samadi. Hentikan meronce bunga dan membakar setanggi. Meski pakaian tuan lusuh dan kotor. Cari Dia dalam bekerja, dengan keringat di kening tuan."

Sajak gubahan Rabindranath Tagore, pujangga besar India, di atas merupakan cermin kepekaan terhadap hidup dan alam yang sarat dengan kebajikan teosofis. Kearifan teosofi mengajarkan bahwa Tuhan bisa ditemukan di mana-mana. Tuhan bisa dijumpai saat petani membajak dan menggaru sawah. Saat kuli bangunan memecah batu penjuru. Saat peternak menyabit rumput. Saat buruh bekerja di pabrik. Saat bakul berjualan di pasar. Pendeknya, kehadiran Tuhan mudah dirasakan dalam kegiatan riil eksistensial yang sepintas terkesan tidak ada kaitannya dengan hidup religius dan bakti.

Khazanah spiritual Jawa mengajarkan aforisma, "Urip iki sejatine sastra gumelar ing jagat. Pinanggiha Gusti ing sembarang kalir. Temokno Gusti ing tek kliwer lan ing obah mosike uripmu (Hidup ini sesungguhnya susastra yang terhampar di jagat raya. Tuhan bisa ditemukan dalam segala. Temukanlah Tuhan dalam kehidupan keseharianmu yang berpeluh dan penuh bercak kesulitan)."

Aforisma teosofis itulah yang terhampar pada antologi sajak-sajak Joko Pinurbo (Jokpin): Celana (1999), Di Bawah Kibaran Sarung (2001), Pacarkecilku (2002), Telepon Genggam (2003), Kekasihku (2004), Pacar Senja (2005), dan yang terbaru Kepada Cium (2007).

Penyair Yogyakarta kelahiran Pelabuhan Ratu, Sukabumi, 1962, ini misalnya menafsirkan peristiwa Paskah yang agung dan heroik dengan idiom mistisisme konkret kehidupan sehari-hari. Jokpin membumikan peristiwa kebangkitan Yesus justru dengan sikap humor agak main-main. Karya keselamatan Sang Nabi ditampilkan dalam momen paling manusiawi. Dalam "proyek" keselamatan toh Yesus tetap memerlukan "celana". Dan "celana" itu dijahit sendiri oleh Maria, ibu-Nya.

Sajak "Celana Ibu" (2004) memudahkan orang nampi Allah minangka jejering kekeran ingkang winadi (memahami misteri Allah yang tak terselami). Maria sangat sedih menyaksikan anaknya / mati di kayu salib tanpa celana / dan hanya berbalutkan sobekan jubah / yang berlumuran darah. // Ketika tiga hari kemudian Yesus bangkit / dari mati, pagi-pagi sekali Maria datang / ke kubur anaknya itu, membawa celana / yang dijahitnya sendiri. // "Paskah?" tanya Maria. / "Pas sekali, Bu," jawab Yesus gembira. // Mengenakan celana buatan ibunya, / Yesus naik ke surga.

Sajak "Terkenang Celana Pak Guru" (1997) memperlihatkan penggubahnya adalah gabungan genius dari ketangkasan seorang penyair menciptakan bahasa dan kedalaman refleksi seorang pemikir yang bersikeras hendak mengubah tragika nasib menjadi ironi yang melegakan. Masih pagi sekali, Bapak Guru sudah siap di kelas. / Kepalanya yang miskin dan merana terkantuk-kantuk, / kemudian terkulai di atas meja. / Kami, anak-anak yang bengal dan nakal, beriringan masuk / sambil mengucapkan, "Selamat pagi, Pak Guru" // Pak guru tambah nyenyak. Dengkur dan air liurnya / seakan mau mengatakan, "Bapak sangat lelah." // Hari itu mestinya pelajaran Sejarah. / Pak Guru telah berjanji menceritakan kisah para pahlawan / yang potretnya terpampang di seluruh ruang. / Tapi kami tak tega membangunkannya. / Kami baca di papan tulis, "Baca halaman 10 dan seterusnya. / Hafalkan semua nama dan peristiwa." // Sudah siang, Pak Guru belum juga siuman. / Hanya rits celananya yang setengah terbuka / seakan mau mengatakan, "Bapak habis lembur semalam." // Ada yang cekikikan. / Ada yang terharu dan mengusap / matanya yang berkaca-kaca. / Ada pula yang lancang membelai-belai gundulnya / sambil berkata, "Kasihan kepala yang suka ikut penataran ini."

Sajak-sajak Jokpin—di tengah kecenderungan pendangkalan oleh hedonisme yang begitu gandrung kapilangu (mendewakan kenikmatan materi, derajat, pangkat, kekuasaan, dan uang)— menawarkan kedalaman suasana kontemplatif. Suasana meditatif yang kebak luber kocak-kacik (bergelimang) nilai dan makna itu, misalnya, diwakili sajak "Kepada Cium" (2006): Seperti anak rusa menemukan sarang air / di celah batu karang tersembunyi, // seperti gelandangan kecil menenggak / sebotol mimpi di bawah rindang matahari, // malam ini aku mau minum di bibirmu. // Seperti mulut kata menemukan susu sepi / yang masih hangat dan murni, // seperti lidah doa membersihkan sisa nyeri / pada luka lambung yang tak terobati.

Transendensi merupakan kebutuhan psikologis dasariah manusia. Manusia, di samping memenuhi kerinduan akan pengalaman adi kodrati dengan berdoa dan beribadah, juga memiliki alternatif untuk mencukupi kehausan transendensi dengan musik, sastra, olahraga, dan sebagainya.

Koleksi sajak-sajak Jokpin bagaikan hiperbarik (terapi oksigen tingkat tinggi) tempat orang bisa menghirup transendensi setelah sekian lama diguncang kepengapan disolasi. Puisi "Sehabis Sembahyang" (2005) menertawakan perangai tamak manusia yang miskin perasaan syukur kendati sudah bermandikan kesejahteraan dan perlindungan. Aku datang menghadapmu dalam doa sujudku. / Terima kasih atas segala pemberianmu, / mohon lagi kemurahanmu: sekedar mobil baru / yang lebih lembut dan lebih kencang lajunya / agar aku bisa lebih cepat mencapaimu.

Sajak-sajak Jokpin preseden bagus ketangguhan orang-orang kalah di zaman penuh daya-dera yang menggilas. Sajak "Malam Suradal" (2006) mengabarkan bahwa seganas-ganasnya zaman kala bendu sesungguhnya telah gagal menghentikan manusia untuk bertekuk lutut menyerah pada nasib. Sebelum ia berangkat bersama becaknya, / istrinya berpesan, "Jangan lupa beli minyak tanah. / Aku harus membakar batukmu yang menumpuk / di sudut rumah." / Dan anaknya mengingatkan, "Besuk aku harus bayar sekolah. / Aku akan giat belajar agar kelak dapat membetulkan nasib Ayah."

Ya, di zaman edan karena digiling mesin ketidakpastian turbulensi, ukuran sukses tidak lagi melulu diukur dari akumulasi kekayaan, status sosial, jabatan, dan kekuasaan. Parameternya, saat terjatuh di jurang kegagalan, manusia tetap punya nyali untuk mengambil hikmah dari kemalangan.

Seperti dikatakan filsuf Nietzche, "Segala sesuatu yang tidak membunuhku akan membuatku kuat." Berani menghadapi kepedihan yang disertai rasa malu. Memiliki daya pegas untuk tetap berkembang melampaui risiko sebagai konsekuensi pilihan hidup. Mengambil hikmah dari kemalangan menuntut pengakuan akan fakta tragis tapi indah: bahwa tidak semua masalah memiliki solusi dan tidak semua perbedaan bisa didamaikan.

Kehidupan manusia modern telanjur dipenjara house (bangunan gedung yang sumpek dan gerah), bukan bersemayam di hunian yang membuat krasan dan betah (home). Sajak "Cita-Cita" (2003), dalam kerangka mistisisme konkret, mengandung sugesti perihal mendasarnya kebutuhan manusia akan ruang batin untuk hening. Dalam kata-kata William Shakespeare, "Mampu menanggung penderitaan yang bersemayam di jantung kreativitas". Pendeknya, manusia yang senantiasa didera suasana hiruk pikuk gaduh, mesti nggegulang amrih mboten kajiret bebalutaning gesang (terlatih dan memiliki keberanian untuk melepas beban hidup).

Setelah punya rumah, apa cita-citamu? / Kecil saja: ingin bisa sampai di rumah saat senja supaya saya / dan senja sempat minum teh bersama di depan jendela. // Ah cita-cita. Makin hari kesibukan makin bertumpuk, // uang makin banyak maunya, jalanan macet, / akhirnya pulang terlambat. / Seperti turis lokal saja, singgah menginap / di rumah sendiri buat sekedar melepas penat.

Penampilannya kadang terkesan udik. Posturnya kerempeng. Siapa pun yang mengenal dan memergoki Jokpin untuk pertama kali pasti tidak menyangka kalau lelaki santun bersahaja berwajah tirus itu seorang penyair yang bukan sembarangan. Sajak-sajak Jokpin seakan representasi hidup kesehariannya yang sak madya (ugahari), climen (apa adanya). Itu sebabnya, penyair produktif ini gemar mengajak pembaca bertamasya ke tapal batas absurd nasib manusia antara yang getir dan yang jenaka. Sajak-sajak Jokpin sering menggelikan hati, sekaligus membuat pembaca terbujur kaku ditelikung imajinasi liarnya.

* J Sumardianta, Guru SMA Kolese de Britto Yogyakarta

Sumber: Kompas, Minggu, 30 September 2007

Saturday, September 29, 2007

Khazanah: Paus Merah Jambu Zen Hae, Puisi di Luar dan di Dalam Sistem Bahasa

-- Jamal D Rahman*

PUISI-PUISIi Zen Hae adalah percobaan membangun struktur puisi di dalam dan di luar sistem bahasa. Disadari atau tidak, beberapa puisi Zen Hae yang terhimpun dalam Paus Merah Jambu (Yogyakarta: Akar Indonesia, 2007) menyediakan sarana yang memadai bagi pembaca untuk mendekatinya, tetapi sebagian puisinya hanya menyediakan sarana yang amat terbatas untuk mendekatinya. Dengan kata lain, sebagian puisinya memudahkan saya memasuki inti puisi itu sendiri, sedangkan beberapa puisi lainnya menyulitkan saya masuk ke inti puisi. Memudahkan atau menyulitkan itu rupanya sangat tergantung, apakah jalinan internal puisi berada di dalam atau di luar sistem bahasa.

Kesan pertama puisi-puisi Zen Hae memaksa saya menunda membicarakan aspek tematik puisi-puisinya untuk sementara, kecuali dalam batas yang saya anggap perlu dan relevan dalam rangka membicarakan aspek teknis puisi-puisi itu sendiri. Di sini akan dibicarakan bagaimana puisi-puisi Zen Hae beroperasi di luar dan di dalam sistem bahasa, berikut konsekuensi yang ditimbulkannya. Kita lihat juga sepintas lalu kemungkinan lain sebagai sebuah percobaan dalam puisi Indonesia, jika struktur (diksi) puisi di luar sistem bahasa memang dilakukan secara sengaja.

Unsur penting dalam sistem bahasa adalah kohesi dan koherensi. Kohesi menunjuk pada keserasian dan kepaduan unsur-unsur bahasa secara sintaksis, sedangkan koherensi menunjuk pada keserasian dan kepaduan ide, gagasan, ungkapan perasaan, citraan, atau asosiasi secara semantik. Kohesi dan koherensi dengan demikian adalah kepaduan jalinan internal bahasa yang akhirnya memproduksi makna yang kukuh dan konstruktif. Dalam arti itu, kegagalan bahasa mengikuti sistem bahasa akan menimbulkan kekacauan sintaksis dan kekaburan semantik yang akhirnya mengakibatkan kegagalan bahasa itu sendiri dalam memproduksi makna. Pada tataran itu, bahasa kehilangan fungsi komunikatifnya.

Hemat penulis, karena puisi menggunakan medium bahasa, bagaimanapun, puisi sejatinya bekerja dalam sistem bahasa. Bahkan puisi yang paling eksperimental sekalipun. Puisi yang memanfaatkan licentia poetica secara maksimal pun sejatinya bekerja dalam sistem bahasa. Sudah tentu dalam batas tertentu sistem bahasa puisi berbeda dengan sistem bahasa umum. Jika sistem bahasa umum melakukan fiksasi makna atau membuat makna bahasa sedemikian pasti sehingga ambiguitas dihindari sejauh mungkin, bahasa puisi justru merangsang ambiguitas seluas mungkin. Namun, dasar-dasar sistem bahasa umum tetap berlaku pada puisi. Ambiguitas bahasa puisi disuburkan bukan di luar sistem bahasa, melainkan di dalam sistem bahasa itu sendiri. Oleh karena itu, membiarkan puisi bekerja di luar sistem bahasa akan mengaburkan makna yang mungkin diproduksi bahasa puisi. Puisi yang bekerja di luar sistem bahasa akan menyulitkan pembaca untuk memasuki inti (makna, pesan) puisi itu sendiri.

Dengan demikian, sistem bahasa bisa menghindari ambiguitas, ambivalensi, dan polisemi, namun bisa juga menyuburkannya. Dalam bahasa puisi, ambiguitas, ambivalensi, dan polisemi disuburkan secara maksimal terutama oleh metafora. Keberhasilan puisi dalam mendorong ambiguitas, ambivalensi, dan polisemi untuk memproduksi makna sangat bergantung pada sejauh mana metafora dan imaji terorganisasi dan terstruktur dalam sebuah sistem bahasa.

Dengan dasar pikiran sederhana itu, marilah kita memeriksa puisi Di Halte Malam Jatuh (halaman 1), puisi pertama dalam Paus Merah Jambu

....

akhirnya, aku mahir menggambar hujan

menirukan langkah-langkah pulang

menulis reklame-reklame sunyi dan menempelnya

di bebatang pohon sepanjang jalan

dan di sebuah tikungan tujuh kelopak bintang

gugur sebelum pagi kembali

bus yang penuh sesak itu akan berangkat??

tanyamu. orang-orang masih terus mengembara

tak ada bintang di langit;

nujuman nasib, kompas para kafilah

di mana-mana kautanam bendera. aku ingin

berkibar-kibar mengikut gelombang hujan

menjejaki liang rahasia sepanjang uluran senja

tetapi, duh, selalu ada yang kauisyaratkan

lewat deru angin yang tertahan di awal musim

Dari segi sintaksis, puisi di atas kohesif. Di situ tidak ada struktur kalimat yang membingungkan. Tetapi secara semantik, kita dibuat bertanya-tanya apa hubungan antara 'aku mahir menggambar hujan' dan '(aku mahir) menirukan langkah-langkah pulang' serta '(aku mahir) menulis reklame-reklame sunyi dan menempelnya/ di bebatang pohon sepanjang jalan'. Pertanyaan serupa dapat diajukan untuk bait-bait berikut dalam puisi tersebut. Jawaban saya negatif. Yang lebih musykil lagi, ide demi ide atau citraan demi citraan itu bukan saja tidak saling berhubungan, melainkan dibiarkan berdiri sendiri-sendiri dari awal hingga akhir puisi sehingga kita tidak mendapatkan kesatuan makna yang dapat dipandang sebagai inti puisi. Dengan kata lain, dalam pandangan saya, karena inkoheren secara semantik, puisi tersebut tidak bisa memproduksi makna secara maksimal.

Agar lebih jelas bahwa kesulitan saya memasuki beberapa puisi Zen Hae lebih karena diabaikannya sistem bahasa dalam puisi-puisi Zen Hae sendiri, marilah kita bandingkan puisi di atas dengan puisi Ira dalam Ruang (halaman 15) berikut:

Ira, kapan ranjang ini akan diberangus

berahi di kelaminku jadi salju. sementara

kau masih menangisi bulan padam di jambangan

itu hanyalah warna kutukan dari mayatku yang gelisah

dari suara-suara hujan yang parau

Ira, rentangkanlah tanganmu ke langit

di sana pelangi akan mengepakkan sayapnya

menjadi burung-burung dan halilintar.

Saya bisa memasuki puisi Ira dalam Ruang dengan mudah. Saya menikmati imaji-imajinya, membayangkan asosiasi-asosiasi yang ditimbulkannya, menangkap ambivalensi perasaan aku-lirik yang gelisah menunggu sebuah 'akhir' dari kehancuran dan kesia-siaan, namun tetap memiliki harapan meskipun di dalamnya ada juga kecemasan. Makna seperti itu hanya mungkin lahir dari puisi Ira dalam Ruang yang bekerja dalam sistem bahasa, kohesi sintaksis dijaga dengan rapi dan koherensi semantik diperhitungkan dengan hati-hati. Dengan koherensi, metafora demi metafora terorganisasi dan terstruktur sedemikian rupa membangun satu kesatuan makna.

Puisi lain yang mengesankan bagai saya adalah Dalam Ribuan Sajakmu (halaman 32). Pertama-tama, puisi tersebut bekerja dalam sistem bahasa dengan kohesi dan koherensi dijaga dengan amat baiknya, lalu di atas itu ia menghidupkan makna dengan cara mempererat hubungan-hubungan internal puisi itu lewat jalinan metafora dan citraan-citraan yang memesona. Secara tematik, puisi itu berbicara tentang kematian, tema yang ditulis banyak penyair lain, dan Zen Hae sampai pada citraan yang khas miliknya.

Kecemasan menghadapi kematian dilukiskan dengan: Sunyi dan badai kembali membakar kenangan/ di jendela dan udara dingin berguguran/ dalam paruku dalam kamarmu/ menyelimuti reruncing sajak. Sementara, keikhlasan menerima maut dilukiskan dengan bersama rumput dan para pelayat kau mengantarku/ ke bukit-bukit batu. di sini, katamu/ kepulanganmu dipercepat api dan air mata?. Ketika kematian itu benar-benar tiba, dalam ribuan sajakmu tak pernah lagi kautemukan/jejakku.

Hemat saya, puisi itu menunjukkan Nur Zen Hae sangat potensial menjadi penyair lirik yang kuat yang mampu mengolah metafora dengan cermat, mengeksplorasi bahasa dengan autentik, sekaligus mengekspresikan renungan dan penghayatannya secara orisinal.

Sunyi dan badai kembali membakar kenangan

di jendela. lalu tubuhku lindap dalam gelombang

awan mendung. menzuhurkan kepedihan hidupmu

dan udara dingin berguguran

dalam paruku dalam kamarmu

menyelimuti reruncing sajak

tapi aroma kematianku tercium sampai pembaringan

melewati kamar-kamarmu: terburai oleh tangisan

juga matahari masih menembakkan keranda lewat

serpihan hujan. lalu kengerian tidurmu tersulut

dalam cuaca pagi. penuh kabut mengucur

tapi gagal memeluk hujan yang jatuh di tepi jurang

didera kegamangan

bersama rumput dan para pelayat kau mengantarku

ke bukit-bukit batu. di sini, katamu

"kepulanganmu dipercepat api dan air mata"

dalam ribuan sajakmu tak pernah lagi kautemukan

jejakku. juga jerit anak-anak yang terbadik jalanan.

Sampai di sini, tak perlu diragukan kemampuan Zen Hae menulis puisi yang bisa bekerja secara efektif dalam sistem bahasa, yaitu puisi yang dengan amat bagus mempertimbangkan kohesi sintaksis dan koherensi semantik. Sehubungan dengan beberapa puisinya yang mengabaikan koherensi, pertanyaan kita adalah, apakah inkoherensi atau ketidakteraturan semantik dalam beberapa puisinya disengaja atau tidak? Jika tidak, kita sedang menghadapi kelalaian berbahasa seorang penyair. Jika ya, sejauh mana konsekuensi-konsekuensi yang mungkin ditimbulkannya telah dipertimbangkan?

Dalam pertimbangan saya, kalau inkoherensi dalam puisi-puisi Zen Hae disengaja, artinya dilakukan secara sadar, puisi-puisinya dapat dipandang sebagai perlawanan terhadap norma keteraturan dalam sistem bahasa? Lepas dari apakah perlawanan itu membuahkan hasil atau tidak, di sisi lain Zen Hae ternyata tidak melepaskan diri sepenuhnya dari norma keteraturan sistem bahasa, seperti ditunjukkan dua puisi terakhir di atas. Ambivalensi itu membuat perlawanannya terhadap norma keteraturan dalam sistem bahasa sebagai perlawanan yang tidak radikal. Dengan kata lain, perlawanan itu hanyalah perlawanan setengah hati yang justru bisa membatalkan pentingnya inkoherensi sebagai tindakan yang dilakukan secara sadar.

Tapi, bagaimanapun, jika inkoherensi itu merupakan tindakan sadar seorang penyair, sesuatu tengah menantang di hadapan kita, yakni bagaimana inkoherensi itu bisa memproduksi makna yang memesona dan mengesankan? Kalau bukan kohesi dan koherensi, sarana apa yang disediakan puisi demi mengorganisasi metafora-metafora dan citraan-citraannya yang sering kali berlepasan satu sama lain sekaligus saling berdesakan? Bisa juga, di antara metafora dan citraan yang berlepasan satu sama lain itu terdapat ruang kosong yang bisa mengaktifkan pembaca mengorganisasikannya secara koheren menurut caranya sendiri demi memproduksi makna. Tapi kalau begitu, bukankah puisi akan kehilangan kecemerlangan intrinsiknya.

Salam.

* Jamal D. Rahman, penyair, Pemimpin Redaksi Majalah Horison

Sumber: Media Indonesia, Sabtu, 29 September 2007

Kelokalan Bisa Jadi Kekuatan, Kultur Lokal untuk Sastra Dunia

Ubud, Kompas - Kultur lokal dapat jadi sumber inspirasi dalam penulisan sastra yang tak habis-habisnya digali. Dengan mengingat dan menggali kultur lokal, para penulis diharapkan bisa bersaing di dunia internasional.

Isu etnisitas sebagai sumber inspirasi dalam proses kreatif ini mengemuka pada salah satu sesi perbincangan Ubud Writers and Readers Festival, Jumat (28/9). Meskipun ada kemungkinan muncul hambatan budaya pada pembaca, hal itu tak perlu terlalu dikhawatirkan sepanjang konteks dan logika dihadirkan dalam karya-karya tersebut.

Marhalim Zaini, penulis dari Riau yang kerap menulis dengan latar belakang budaya Melayu, mengaku bahwa dengan latar belakangnya sebagai seorang Melayu justru menambah energinya dalam menulis. "Kata Melayu seakan menjadi kutukan karena kerap kali diidentikkan dengan kemalasan. Tetapi, ketika saya terus menggali tentang budaya Melayu, semua itu menjadi energi dan inspirasi buat saya," ujarnya.

Catherine Lim, penulis kelahiran Malaysia yang kini bermukim di Singapura, berpandangan bahwa sebetulnya Asia dengan kekhasannya sudah sejak lama mewarnai dunia sastra internasional. Dia sendiri berpendapat, dalam menulis sebaiknya menulis sesuatu yang dekat dan diketahui dengan baik.

"Budaya dan lingkungan si penulis merupakan sumber inspirasi. Tidak perlu terlalu khawatir apakah masyarakat akan paham sepenuhnya dengan istilah, jargon atau materi yang dianggap sangat lokal. Sepanjang konteks dan logika dihadirkan, pemahaman dapat dicapai. Pembaca dapat merasakan nuansa dan emosinya. Itu yang terpenting," ujar pemegang gelar PhD di bidang linguistik tersebut.

Hal senada diungkapkan Cok Sawitri, penulis dari Bali. Kecenderungan keseragaman itu terlihat terutama karena adanya pandangan bahwa untuk dapat eksis di dunia sastra melalui sedikit jalur dan biasanya terpusat di kota-kota besar, terutama Jakarta, melalui berbagai kelompok-kelompoknya. Padahal, di daerah-daerah terdapat penulis-penulis yang baik dengan karya- karyanya, tetapi miskin akses. Ibarat badan tanpa kaki.

"Kalau sebagian besar penulis hanya berkutat di tema-tema urban akan sulit bersaing dan memberikan warna atau sumbangsih pada sastra dunia," ujarnya.

Isbedy Stiawan ZS, penulis yang dibesarkan di Lampung dan turut menjadi peserta festival, justru menyayangkan kecenderungan sebagian penulis yang selama ini menggarap tema-tema lokal hanya sebatas mengambil simbol-simbol budaya saja. "Tak heran bila kemudian kerap menimbulkan permasalahan, terutama dengan komunitas pemilik kebudayaan," ujarnya. (INE)

Sumber: Kompas, Sabtu, 29 September 2007

Khazanah: Teknologi dan Seni

-- Jakob Sumardjo

ADAKAH hubungan antara seni dan teknologi? Seni dan teknologi adalah ekspresi budaya suatu masyarakat. Seni mempersoalkan manusia, masyarakat, dan kehidupan. Begitu pula teknologi mempersoalkan manusia, masyarakat, dan kehidupan serta ekonomi, ilmu pengetahuan, politik. Teknologi itu kebudayaan dan seni juga kebudayaan. Teknologi dan seni sama-sama bertanya tentang dirinya: apakah seni itu, apakah teknologi itu, apa makna seni, apa makna teknologi, untuk apa seni dan untuk apa teknologi.

Kebudayaan membuat manusia semakin manusiawi. Kebudayaan membuat kehidupan ini lebih bermakna. Manusia menghargai teknologi dan seni karena bermakna bagi kesempurnaan hidupnya. Hanya mereka yang melihat seni dan teknologi secara wadah, hardware belaka, tidak mampu melihat hubungan seni dan teknologi. Di belakang yang hardware selalu ada software. Pada setiap yang tangible selalu ada yang intangible. Dan yang nampak itu selalu digerakkan oleh yang tak nampak. Semua kebudayaan itu, seni dan teknologi, terwujud akibat munculnya gagasan, idea, imajinasi pada diri manusia. Jadi, perbedaan seni dan teknologi sebenarnya hanya pada wujud saja, pada hardware teknologi dan seni. Namun keduanya bertolak dari sumber yang sama: otak manusia.

Penemu-penemu ilmu pengetahuan dan teknologi bukan jenis manusia yang "dingin budaya". Rata-rata mereka penikmat seni yang tidak sembarangan, artinya karya-karya seni yang mengangkat harkat budaya manusia. Mereka mampu memilih karya-karya seni yang sejajar dengan kecerdasan teknologinya. Mereka yang kreatif dalam teknologi menghadapi kretivitas seni. Sebab, ada teknologi "pertukangan" dan seni "pertukangan". Tingkat pertukangan itu cuma "menghafal" kreativitas orang lain. Mereka ini tidak peduli apakah berdampak merugikan manusia atau membahagiakan manusia. Sedangkan teknologi kreatif selalu berdasarkan pertimbangan kreativitas budaya.

Intinya adalah persamaan software, intangible, dan imajinasi pikiran. Keduanya membutuhkan kreativitas. Teknologi sejati itu kreatif, dan seni sejati itu kreatif. Kreatif itu menemukan nilai-nilai baru yang positif bagi perkembangan manusia. Teknologi dan seni yang tidak kreatif itu cuma tingkat craft belaka. Mengulang-ulang apa yang diciptakan dan ditemukan orang-orang lain yang lebih orisinal.

Jadi persamaan teknologi dan seni ada pada kerja kreatifnya. Teknologi tukang dan seni tukang tidak akan nyambung. Keduanya akan aman-aman saja hidup bertetangga tanpa menghiraukan satu dengan yang lain. Yang membuat bom nuklir sibuk dengan dirinya, dan yang memikirkan makna manusia dan dunia juga tak peduli tetangganya sedang membuat benda yang akan membinasakan sekian juta umat manusia. Ketika bom itu benar-benar buat sengsara begitu banyak manusia, ilmuwan dan teknologi mulai berpikir mendalam tentang makna temuan mereka.

Ada anak tetangga saya yang kuliah mesin. Dia sering datang pada saya untuk belajar sastra, khususnya cerita pendek. Ia mulai mencoba menulis cerpen. Imajinasinya tidak umum. Saya pun sulit memahaminya. Anak ini ketika ujian akhir tidak mau mengambil tema yang "gampang" dan tersedia dalam buku-buku teknik mesin yang telah ada. Ia mengambil tema yang orisinal. Memciptakan rem mobil dari jenis yang belum ada. Putar otak dan coba-coba. Akibatnya teman-temannya sudah pada lulus dan dapat kerja, dia masih pusing dengan proses kreatifnya.

Anak-anak yang belajar teknik tidak sedikit yang tertarik pada seni. Ketertarikannya mereka pada seni bukan jenis yang suka iseng dengan seni, tetapi serius dan kreatif dalam berkesenian, seperti layaknya mahasiswa seni. Mereka ini justru sering bikin kaget dunia seni, akibat disiplin otaknya yang sudah matematis. Mahasiswa seni sebaliknya bukan hanya berurusan dengan imajinasi. Hanya peduli software karena teknik seninya memang sederhana saja. Mahasiswa seni juga perlu software teknologi. Mereka perlu matematika.

Kebudayaan

Kembali lagi, bahwa dasar keberagamaan dan kesamaan antara teknologi dan seni adalah kebudayaan. Dan kebudayaan itu pada akhirnya bermuara pada filsafat, atau setidak-tidaknya pertanyaan filosofis. Apakah mesin itu? Apa makna mesin bagi saya? Apa bagi manusia? Untuk apa mesin ada? Pertanyaan-pertanyaan yang sama ini tak pernah disatukan. Bahwa keduanya saling membutuhkan.

Pada suatu kali dosen filosofis mesin dapat mengajar di jurusan desain produk. Dan dosen kreativitas seni dapat mengajar di mesin. Itu hanya mungkin terjadi kalau orang mesin memikirkan filosofi mesin, dan orang seni memikirkan budaya seninya. Kalau keduanya hanya tukang yang profesional tingkat tinggi, maka keduanya akan berpalingan.

Masalahnya tiadanya taksonomi ilmu-ilmu teknologi dan taksonomi ilmu-ilmu seni. Seni itu memiliki sejumlah besar cabang-cabang ilmu, begitu pula teknologi dan ilmu-ilmu lain. Dalam jabaran taksonomi ilmu masing-masing itulah akan ditemukan relasi antara ilmu-ilmu teknologi dan seni. Pada waktu itulah dosen teknik mengajar di fakultas seni, dan fakultas seni membutuhkan segi tertentu ilmu teknologi. Keduanya saling mengisi dan keduanya saling memperkaya. Bukan lagi minyak dengan air. Kebudayaan, teknologi dan seni, tujuannya sama, yakni untuk kesejahteraan umat manusia, kesejahetraan bangsa.

Penyakit universal masih menghuni benak intelektual Indonesia. Makna terdekat seni dan teknologi adalah masyarakat bangsa sendiri. Setiap ilmuwan dan seniman suatu bangsa mengalamatkan karya teknologi dan seninya pada bangsanya sendiri. Keduanya ingin memecahkan masalah-masalah lingkungannya yang riil, bukan untuk umat manusia yang hanya ada di imajinasinya. Meskipun hasil kreasinya mungkin bermakna pula secara universal.

Kebudayaan, teknologi, dan seni, adalah dunia tanggapan terhadap realitas kehidupan. Dan realitas kehidupan itu berdenyut di sekitar mereka menghirup kehidupan. Teknologi dan seni itu menjawab realitas. Indonesia sekarang ini mungkin lebih membutuhkan becak bermesin dari pada jenis mobil modern Proton. Lebih murah, lebih praktis, lebih bermakna bagi bangsa. Tetapi siapa yang peduli?

Realitas kita adalah realitas Indonesia, dan kita dilahirkan di sini dan dalam abad ini. Itulah tugas kita untuk membangun bangsa dan negara ini. Bukan ikut membangun bangsa dan negara yang tak jelas karena imajinasi mondialnya. Kita harus berani beda!

Masalah Indonesia itu bukan masalah Eropa atau Amerika. Dengan demikian, harus dijawab secara Indonesia pula. Tentu saja kita tidak boleh terus menimba yang universal itu. Namun, tidak kita telan mentah-mentah sebagai bagian dari jawaban persoalan kita sendiri. Tugas intelektual Indonesia itu dobel, menimba ilmu-ilmu mutakhir mondial, dan menerjemahkan untuk persoalan kita sendiri.

Teknologi dan seni itu hubungannya adalah kreativitas. Indonesia memerlukan seniman teknologi, dan seniman membutuhkan teknologi-seni.

Sumber: Pikiran Rakyat, Sabtu, 29 September 2007

Friday, September 28, 2007

Festival Ubud: Penulis Bisa Jadi Jembatan Antarperadaban

Ubud, Kompas - Para penulis, termasuk jurnalis, dapat menjadi jembatan antarperadaban, menciptakan pemahaman, dan dialog. Lebih-lebih dengan munculnya berbagai isu global yang cukup meresahkan, seperti soal terorisme, fundamentalisme agama, dan globalisasi.

Demikian benang merah dari rangkaian diskusi bertajuk "Reporting The Clash of Civilisation" di Ubud, Bali, Kamis (27/9). Rangkaian diskusi tersebut merupakan bagian dari acara Ubud Writers and Readers Festival 2007, 25-30 September. Festival itu diikuti puluhan penulis sastra dan nonfiksi, jurnalis, serta pembaca dari belasan negara.

John Zubrzcki, wartawan dari Australia—penulis senior di The Australian sekaligus penulis buku The Last Nizam: An Indian Prince in the Australian Outback—mengungkapkan, dalam menulis para jurnalis terkadang sulit untuk obyektif. Mereka juga dinilai sulit menulis dengan adil, bahkan terkadang bias dan kehilangan nuansa dalam melaporkan peradaban masyarakat yang berbeda.

Padahal, tambah John Zubrzcki, dengan kemajuan teknologi komunikasi kesalahan-kesalahan semacam itu dapat direduksi. Sejarah, akses kepada komunitas lokal, dan latar belakang masalah dapat dipelajari dan diteliti baik-baik sebelum berada di lapangan dan menuliskan kisah sehingga menciptakan dialog yang sehat.

Dalam melaporkan isu terorisme, misalnya, dia berpendapat bahwa latar belakang sejarah dan hal yang mendorong kegiatan politis sangat penting. John Zubrzcki sendiri pernah meliput kegiatan kelompok Taliban dan melaporkan liputannya disertai perspektif kesejarahan sebagaimana yang ia maksudkan.

Dalam acara ’Bincang-Bincang Bersama Hamid Basyaib’, yang merupakan bagian dari rangkaian diskusi tentang "Reporting The Clash of Civilisation", Direktur Program Freedom Institute Hamid Basyaib menjelaskan bahwa pemberitaan dan penulisan media internasional yang kerap mengaitkan Islam dengan terorisme ikut menciptakan stigma terhadap Islam.

Di hadapan para peserta festival yang sebagian besar berasal dari luar negeri, Hamid mengungkapkan, sebenarnya kelompok Islam radikal hanya sebagian saja, tetapi cukup vokal sehingga banyak ditulis media. Hal itu mengakibatkan stigma bagi Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terpadat. Oleh karena itu, dianggap perlu ada penyeimbang. Syukurnya, sudah ada orang-orang yang mau menerima hidup dalam perbedaan.

Debra Yatim yang menjadi salah satu pembicara mengatakan, bias dalam penulisan merupakan hal yang sulit dihindari. "Latar belakang penulis tentu akan memengaruhi cara pandang terhadap suatu masalah," ujarnya.

Debra berkeyakinan, baik penulis fiksi, nonfiksi, maupun jurnalis mempunyai peran dalam upaya menjadi jembatan peradaban. Karya yang mereka hasilkan dibaca oleh banyak orang dengan latar belakang bermacam-macam, dan karya itu menjadi jembatan pengenal.

Dalam diri penulis sendiri terkadang tidak hanya melekat satu identitas. Bahkan, terkadang terdapat identitas yang saling berseberangan sehingga karyanya merupakan pergulatan dalam memahami identitas tersebut.

Dibuka Menbudpar

Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar) Jero Wacik ketika membuka festival itu, Rabu malam, mengatakan bahwa Bali—termasuk Ubud—sejak bertahun-tahun lalu dikenal oleh dunia internasional tak lepas dari jasa penulis. Bali dikenal oleh masyarakat internasional sejak 1931, dan itu karena karya-karya penulis. Sejak itu, orang luar negeri tertarik mengunjungi Bali.

"Para penulis dari dalam maupun luar negeri yang tinggal di Ubud merasa terinspirasi oleh keindahan alamnya, masyarakatnya, dan kehidupan ritualnya. Ubud merupakan salah satu pusat seni dan budaya di Bali. Karya-karya mereka lalu dibaca oleh masyarakat luar sehingga memberikan gambaran tentang Ubud, menjadi semacam jembatan antarbudaya," ujarnya.

Pemerintah sendiri, kata Jero Wacik, berupaya membangun jembatan di antara masyarakat untuk menciptakan harmoni. "Sebuah ’jembatan’ antarorang untuk menciptakan empati antaretnik—yang jumlahnya ratusan di Nusantara—agar terjadi apresiasi," kata Jero Wacik. (INE)

Sumber: Kompas, Jumat, 28 September 2007

Thursday, September 27, 2007

Memberi Bekal Sastra untuk "Suara Kaki Lima"

PENAMPILAN para pekerja seni (baca: pengamen puisi) di bus-bus jika dilakukan dengan benar akan membantu membangkitkan kembali seni sastra dalam kehidupan masyarakat yang mulai memudar. Sebaliknya jika dilakukan dengan tidak benar hanya akan membuat seni sastra dalam kehidupan masyarakat semakin terpuruk.

Agar menarik para penumpang, para pengamen harus mengikuti tren dan menambah wawasan pengetahuan. (dok sp)

Oleh karena itulah, kata aktor senior, Adi Kurdi, pembinaan terhadap para pekerja seni di bus-bus perlu dibina dan dilatih, agar mereka dapat menampilkan seni sastra lengkap dengan kandungan nilai, etika dan estetikanya.

"Pemerintah seharusnya membantu membina mereka dengan memberikan pendidikan dan pelatihan mengenai sastra, agar penampilan mereka menjadi bagus, sehingga dapat memasyarakatkan seni sastra dengan benar di kalangan masyarakat," katanya di sela-sela acara workshop menulis dan membaca puisi bagi para pengamen jalanan atau penjaja "suara kaki lima" di Taman Ismail Marzuki, Rabu (26/9).

Dalam workshop yang diselenggarakan oleh Komite Sastra, Dewan Kesenian Jakarta dan Institut Kesenian Jakarta tersebut, selain Adi Kurdi, sutradara kenamaan Khairul Umam juga turut menjadi pemberi materi.

Adi mengatakan, saat dirinya masih kecil masyarakat menggunakan seni sastra dalam komunikasi mereka sehari-hari. Saat itu, sastra begitu berperan dalam kehidupan masyarakat.

"Waktu saya kecil, kalau ngomong pakai berpantun. Di Jawa dan daerah-daerah lainnya di Indonesia itu hal yang biasa. Tapi sekarang coba kalau kita ngomong sehari-hari pakai gaya berpantun yang ada malah diketawain orang. Padahal dulu sastra itu merupakan bagian dari komunikasi kita sehari-hari," ungkapnya.

Saat ini, jelas Adi, sastra hanya dipakai dalam acara-acara resmi, seperti pidato presiden, atau acara-acara perkawinan dan acara-acara adat lainnya. Sementara dalam kehidupan sehari-hari masyarakat sudah tidak mengapresiasinya, sehingga lama-lama jadi benar-benar hilang.

Menurut Adi, saat ini bahasa sebagai alat komunikasi ekspresi juga tidak lagi diajarkan dalam pelajaran di sekolah. Pelajaran Bahasa Indonesia yang diajarkan di sekolah hanya sebatas pada ilmu linguistik, atau ilmu tata bahasa.

"Jadi sistem pendidikan kita pun ikut berperan dalam hilangnya seni sastra kita. Lama-lama sastra Indonesia akan tenggelam dan hanya akan ditemui di buku-buku sastra lama atau kuno. Hal itu sudah mulai terjadi pada sastra Jawa kuno yang hanya busa ditemui di daun lontar, di mana orang membacanya lagi sekarang sudah jarang yang busa mengerti," ungkapnya.

Kebutuhan Peserta

Sementara itu, Ketua Komite Sastra, Zen Hae mengatakan, workshop ini diselenggarakan karena pihaknya melihat adanya suatu kebutuhan dari para peserta acara audisi Lampion Sastra yang diselenggarakan Komite Sastra beberapa bulan lalu.

"Para peserta audisi berharap Komite Sastra menyelenggarakan workshop bagi mereka. Alhasil kami pun memutuskan untuk menyelenggarakan workshop bagaimana menulis dan membaca puisi selama dua hari ini," jelasnya.

Acara yang diikuti oleh sekitar 30 pekerja seni di bus ini, diharapkan dapat meningkatkan kemampuan para pekerja sastra, sehingga mereka akan lebih diperhitungkan masyarakat, karena kualitas penampilan mereka.

Salah seorang peserta workshop, Boyke berharap, Komite Sastra akan membantu mereka menyediakan fasilitas untuk berekspresi. Misalnya dengan menyewa sebuah bus yang didalamnya dipenuhi penumpang, di mana mereka dapat membaca puisi di atasnya.

"Soalnya kalau di atas bus kita bawaannya emosi mulu, karena nggak dapet duit. Makanya kita berharap Komite Sastra membantu mungkin dengan menyewakan sebuah bus yang penuh dengan penumpang, supaya kami bisa baca puisi di dalamnya," ungkapnya dan disambut tawa para peserta workshop lainnya.

Sementara Bo, pekerja seni dari Karawang mengaku bisa memperoleh uang sekitar Rp 50.000-RP 80.000 per hari dengan bekerja sebagai pembaca puisi di atas bus jurusan Ka- rawang-Bekasi. Jumlah tersebut cukup untuk membayar kontrakan rumahnya sebesar Rp 300.000 per bulan serta kebutuhan hidup lainnya.

Baginya, penyelenggaraan workshop ini merupakan kesempatan yang tak boleh disia-siakan. Sebab, dengan mengikuti workshop ini dirinya akan mendapat pelatihan bagaimana membaca puisi yang baik dan "menghanyutkan" pendengarnya.

"Dengan menjadi pintar saya bisa dapat duit lebih banyak dari penumpang," tandasnya. [Y-6]

Sumber: Suara Pembaruan, Kamis, 27 September 2007

50 Tahun Antropologi UI (3-HAbis): Yang Asyik-asyik dari "Antropologi Klasik"

-- Mulyawan Karim dan Rudy Badil*

SAAT berlangsung Ekspedisi Tanah Papua, Agustus lalu, belasan wartawan Kompas menyebar di segala pelosok tanah Papua. Tentu saja dengan niatan meliput soal masyarakat dan kebudayaan Papua, di masa ramai-ramainya demo dan bertebarannya layanan pesan singkat atau SMS penuh muatan teror berita ribut-ribut soal otonomi khusus, pemekaran daerah, hubungan kurang seru antara Merah Putih dan "bintang kejora", malah pakai tebaran bumbu isu "seperatisme" segala.

Anggota Ekspedisi Tanah Papua (ETP) yang bertugas mencari berita dan kisah kejadian di lapangan tentu saja senang-senang tak tenang membaca catatan ancaman SMS yang seru-seram, atau sering tertawa mendengar mop atau cerita lucu-lucuan khas Papua, semisal mop saat gencar-gencarnya kampanye aman dari HIV/AIDS dengan kondom: "Kau mau aman, jangan pakai tentara jangan pakai polisi. Pakai... kondom!"

Namun, yang kepikiran justru bukan SMS atau mop itu. Sebab, dari catatan yang terbawa, tercatat nama-nama yang kebanyakan bergelar sarjana antropologi, juga sarjana ilmu lainnya, termasuk pakar otodidak di Papua.

Pertemuan dan diskusi terjalin rapi jali, informasi pun masuk dengan tulus dan mulus. Hingga rekan yang di Lembah Balim tahu duduk soal "busana", berupa cangkang labu kering penutup aurat pria itu namanya holim, atau koteka di Paniai, huni di Mapi, kobewak di kawasan Tolikara, atau anyum di Pegunungan Bintang. Juga rumah bundar orang Dani, namanya dalam tulisan antara honae, honei, honay, dan bukan "honey" yang dikira turis bule artinya madu atau sayang.

Untungnya kebanyakan sarjana antropologi atau antropolog, begitu sebutannya, memang "Anak-anak Papua", misalnya Dr Johsz Robert Mansoben, Dr Nafi Sangganafa, Drs Jack Morind MA, Drs Frans Apomfires MA, Dra Mien A Rumbiak MA, Drs Freddy Sokoy MA, Drs Roriwo Karetji MM beserta antropolog lainnya. Kebetulan sekali, mayoritas dari nama itu memang antropolog "cangkokan" dari Universitas Indonesia (UI), UGM, Unpad, dan juga luar negeri.

Akan tetapi, selain nama antropolog Papua yang "Orang Komin" dengan kulit hitam dan rambut keriting, juga ada beberapa "Orang Amber" yang bukan "anak Papua" karena rambut lurusnya dengan kulit sawo matang, tetapi mengenal Papua karena tugas dan memang kelahiran Papua, seperti Ahmad Kadir MSi, Marsum MSi, atau Dr Onny Suwardi Redjo MPH yang "jamer" alias Jawa-Merauke. Selain itu, ada juga Nicodemus Tan yang peranakan China-Papua serta sobat lain, termasuk rohaniwan dan guru sekolah yang "Orang Amber", tetapi memiliki pengetahuan "ilmu dasar" antropologi praktis karena tugas dan pergaulannya sehari-hari.

Kesadaran mencari sumber yang tahu antropologi mutlak bagi peliput yang mau menulis jernih dan bersih soal manusia dan budaya Papua. Bayangkan kalau sampai salah sumber, bisa- bisa dianggap menyebarkan isu murahan sejenis SMS teror yang lagi ramai-ramainya di sana.

Disebut "ilmu sisa"

Sebelum kemerdekaan tahun 1945, antropologi memang "ilmunya" orang Belanda. Mereka yang akan bertugas di Hindia Timur sebagai pegawai pemerintah kolonial, tentara, atau penyiar agama diwajibkan punya bekal pengetahuan luas soal bumi, bahasa-bahasa, dan adat istiadat rakyat negeri jajahan itu.

Ilmu tentang Indonesia itu disebut land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indie alias ilmu bumi dan ilmu bangsa-bangsa Hindia Belanda, bukan antropologi.

Satu-satunya antropolog Belanda masa itu hanya GA Wilken, guru besar Universitas Leiden pada 1885. Dalam buku Tokoh-tokoh Antropologi (1962), Wilken disebut Koentjaraningrat (15 Juni 1923-23 Maret 1999) sebagai penganut aliran evolusionisme karena membuat kerangka dasar untuk penggolongan suku bangsa di Indonesia.

Setelah zaman Wilken, penelitian tentang bumi, masyarakat, dan kebudayaan Indonesia diambil alih pakar non-antropologi. Misalnya penelitian bahasa dan filologi, aneka ragam masyarakat dan hukum adat Nusantara, menghasilkan adatrechtsmonografieen atau adatrechtbundels. Penelitian sejarah persebaran agama Islam, hukum Islam, prasejarah Indonesia, dan lainnya, termasuk masyarakat pedesaan Indonesia, lebih banyak dilakukan ahli pertanian. Sampai-sampai di Belanda antropologi disebut sebagai "ilmu sisa" karena meneliti aspek masyarakat dan kebudayaan Indonesia yang dianggap tak perlu diselidiki dan dikaji lagi.

Bersamaan dengan itu, pengumpulan data etnologi Indonesia yang giat dilakukan akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, meski bukan dilakukan antropolog, dapat menghasilkan karya etnogarfi yang lengkap. Misalnya C Snouck Hurgronje yang ahli filologi Semit, tetapi terkenal sebagai penulis buku etnografi Aceh dan Gayo yang hebat. AW Niewenhuis yang dokter, tetapi menulis buku deskripsi lengkap dan mendalam tentang suku-suku Dayak di Kalimantan, saatnya memimpin ekspedisi lintas Kapuas-Mahakam dari Barat-Timur Kalimantan.

Begitu juga buku etnografi tentang adat istiadat suku Toraja Barat dan Toraja Timur, karya AC Kruyt yang seorang guru agama, tetapi sudah berbekal land- en volkenkunde dari Binnenlands Bestuur atau Departemen Dalam Negeri Belanda.

Pada masa yang sama, antropolog Barat non-Belanda juga banyak meneliti di Indonesia bagian timur. Di antaranya EM Loeb sebagai antropolog Amerika Serikat pertama yang meneliti di Sumatera Barat, disusul antropolog perempuan AS, seperti Cora Dubois yang meneliti di Alor dan Margaret Mead di Bali.

Era baru kajian antropologi Indonesia muncul menjelang Perang Dunia II. JPB de Josselin de Jong bersama antropolog Belanda lainnya meneliti struktur sosial kuno masyarakat di Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan, Papua, dan lainnya.

Namun, penelitian tentang keanekaragaman masyarakat dan kebudayaan Indonesia sempat terhenti pada awal zaman kemerdekaan karena peneliti Belanda itu hampir semua pulang ke Belanda, kecuali GJ Held yang guru besar antropologi di UI sampai wafatnya pada 1956.

Peran antropolog Belanda berangsur diambil alih peneliti dari AS. Sejak sekitar tahun 1955 banyak di antaranya meneliti lapangan di Indonesia. Beberapa hasil risetnya pun menjadi buku klasik dan legendaris, seperti Clifford Geertz (Religion of Java, 1960), Hildred Geertz (The Javanese Family, 1961), dan AC Dewey (Peasant Marketing in Java, 1962).

Menyebar setelah UI

Dalam masa peralihan itu pula, tepatnya tahun 1957, setelah setahun sebelumnya Koentjaraningrat kembali membawa gelar master antropologi dari Universitas Yale.

Waktu itu berdiri jurusan antropologi di Fakultas Sastra UI. Jurusan baru ini membuka peluang bagi mahasiswa Indonesia melanjutkan studi di bidang penelitian masyarakat dan kebudayaannya. Bukan lagi meneliti kegiatan koloni penjajahan, seperti yang dilakukan ahli land- en volkenkunde Belanda dulu.

Antropologi sebagai ilmu baru dikembangkan melalui mata kuliah dasar, agar mahasiswanya mulai mengerti lebih jauh soal keindonesiaan dengan ragam-ragam budayanya.

Pengetahuan yang tadinya berdasarkan kebutuhan praktis Belanda, yang disebut practical anthropology, kini mempelajari lebih tajam lagi soal asas kebudayaan, konsep, metode dan teori baru, juga menjadi ilmu terapan untuk penelitian perubahan dan pergeseran kebudayaan manusia dalam masa transisi sosial budayanya.

Ilmu yang tadinya disebut "ilmu sisa" sepertinya kini cocok disebut sebagai salah satu "dasar"-nya ilmu-ilmu sosial, agar orang lebih mengenal manusia lainnya secara utuh sebagai individu berikut latar belakang sosial budayanya. Sebab, selama 50 tahun kian banyak antropolog di banyak perguruan tinggi, sambil mengajar dan mengembangkan antropologi di dalam ruang maupun lapangan penelitian.

Hanya yang harus dipikirkan, apa saja karya lapangan yang dapat diterapkan untuk umum, agar mengenal lebih jauh manusia dan perilaku sosial-budayanya.

Sebab, kalau dari buku referensi hasil penelitian empirik, terus terang sulit bagi wartawan menemukan bahan yang cocok mau tahu ABC-nya manusia dan kebudayaan yang didatangi, seperti yang dihadapi tim ETP Kompas selama di Papua.

Untung rekan-rekan Universitas Cenderawasih amat bersahabat dan mau bagi-bagi ilmunya. Harap saja masih ada rekan antropolog di USU Medan, Unpad Bandung, UGM Yogyakarta, Udayana Denpasar, Unhas Makassar, Unsrat Manado, Uncen Jayapura dan lainnya masih tetap mau bagi-bagi sisi lain ilmu antropologinya, sebagai ilmu dasar yang klasik tapi asyik.

* Rudy Badil, Wartawan Tinggal di Jakarta

Sumber: Kompas, Kamis, 27 September 2007

Wednesday, September 26, 2007

Rebut Perhatian Dunia; Karya Sastra Asia Kurang Banyak Dikenal di Dunia Internasional

Ubud, Kompas - Penyelenggaraan Ubud Writers and Readers Festival di Ubud, Bali, 25-30 September 2007, adalah bagian dari upaya panjang merebut perhatian dunia. Lewat kegiatan ini keberadaan sastra di Asia atau kawasan-kawasan lain yang selama ini kurang terdengar di dunia internasional bisa dijembatani.

"Selama ini masyarakat internasional lebih banyak mengenal karya-karya sastra dari dunia Barat. Padahal, belakangan telah ada perubahan. Muncul penulis-penulis yang berkonsentrasi kepada tempat asal mereka hidup dan menulis dengan sangat baik," ujar Kiran Desai dalam jumpa pers di Ubud, Selasa (25/9).

Kiran adalah salah satu peserta dan pembicara pada Ubud Writers and Readers Festival. Penulis berdarah India yang karyanya, The Inherintance of Loss, memenangi Man Booker Prize tahun 2006 untuk kategori fiksi itu merupakan penulis perempuan termuda yang pernah memenangi penghargaan tersebut.

Setelah mengunjungi berbagai festival sastra yang diadakan di Sri Lanka, Brasil, Hongkong, China, dan kini di Bali, Kiran sampai pada satu kesimpulan akan penting untuk menarik perhatian dunia internasional terhadap kesusastraan di luar tradisi Barat. Di dalam festival-festival itu, tambah Kiran, muncul diskusi dan perdebatan menarik yang tidak terekspos dalam wilayah kesusastraan Barat.

"Banyak karya yang sangat baik dan belum dibawa ke dunia. Sebagian dikarenakan belum diterjemahkan ke dalam bahasa di luar bahasa penulisnya. Karya-karya itu (lalu) seakan menjadi tidak ada. Padahal, tidak hanya Barat yang punya arti dan berharga," ujar Kiran.

Hal senada diungkapkan Nury Vittachi, penulis yang berdomisili di Hongkong. Dia mengatakan, Indonesia berpotensi untuk tampil dalam dunia sastra karena banyak penulis muda yang bermunculan. Penulis-penulis muda itu perlu diberikan kesempatan.

Tak banyak dikenal


"Selama ini karya-karya dari Asia jarang dikenal karena hanya sedikit yang diterbitkan atau dipublikasikan secara internasional. Dalam kesempatan ini, penulis-penulis dari berbagai negara dan penulis lokal dapat berinteraksi untuk merayakan sastra dan budayanya," ujarnya.

Nury sendiri punya pengalaman tidak menyenangkan ketika menerbitkan tulisan terkait Indonesia secara internasional. Penyebabnya, antara lain, hanya akibat ketidaktahuan orang terhadap Indonesia.

"Saya harus sungguh-sungguh menerangkan bahwa Indonesia merupakan negara dengan wilayah dan jumlah penduduk sangat besar. Contoh kecil lainnya, tulisan saya pernah ditolak karena narasumber yang saya kutip tidak mempunyai nama belakang. Editor itu beranggapan saya tidak menuliskan nama narasumber dengan benar, padahal di Indonesia tidak semua orang punya nama belakang," ujarnya.

Penyelenggaraan Ubud Writers and Readers Festival kali ini memasuki tahun keempat. Pada tahun ini terdapat puluhan penulis luar dan dalam negeri yang akan mengisi lebih dari 95 sesi acara. Menurut Janet De Neefe, selaku direktur festival, forum ini sekaligus ingin memberikan kesempatan bagi para penulis muda Indonesia untuk tampil.

"Setelah beberapa kali diselenggarakan, Ubud Writers and Readers Festival jadi semacam batu loncatan untuk tampil di dunia internasional karena mereka semakin dikenali dalam pergaulan internasional," ujarnya.

Beberapa penulis Indonesia yang dijadwalkan hadir dalam kegiatan ini di antaranya Cok Sawitri, Ahmad Tohari, Dorothea Rosa Herliany, Warih Wisatsana, Ratna Indraswari Ibrahim, Marhalim Zaini, Julia Suryakusuma, dan Isbedy Stiawan. Adapun penulis luar, selain Kiran Desai dan Nury Vittachi, terdapat nama-nama seperti Shashi Tharoor (pengarang Australia yang banyak mendapat penghargaan), penulis cerita kriminal Richard Flanagan, dan Rana Dasgupta yang dikenal sebagai pembawa cerita dari India. (INE)

Sumber: Kompas, Rabu, 26 September 2007

50 Tahun Antropologi UI (2): "Suku Terasing" di Tengah Kota

-- Indira Permansari

Sebidang tanah di perkotaan biasanya disesaki oleh bangunan, tempat usaha, angkutan umum, kendaraan yang parkir, atau permukiman penduduk. Namun, di kawasan Cibubur yang sudah padat dan masih berbatasan dengan Jakarta itu, sebidang tanah masih ada yang digunakan sebagai lahan pertanian.

Walaupun, tentu saja, si petani kerap kali harus angkat kaki ketika lahan garapannya itu hendak digusur menjadi perumahan elite. Terjadi perlawanan? Biasanya justru tidak. Si petani umumnya tidak berkeberatan karena memang kebanyakan di antara mereka hanya menggarap lahan-lahan tidur yang dia sendiri tidak tahu siapa pemiliknya.

Sudah setahun lebih Semiarto Aji Purwanto, pengajar antropologi Universitas Indonesia (UI), selalu berkunjung ke lahan tempat Samin, warga Karawang, Jawa Barat, yang bercocok tanam di daerah Cibubur. Kegiatan rutin itu ia lakukan karena tengah meneliti fenomena peladang kota. Samin sendiri sepertinya sudah mengenal baik Semiarto. Seperti pada sore itu, dengan santai mereka bercerita tentang berbagai hal; mulai dari penjualan sayur-mayur sampai ke soal politik.

"Kota ini ibaratnya tempat mereka ngantor. Mereka membawa tradisi bertani yang ada di pedesaan ke tengah kota. Mereka mewarnai kota dengan cara hidup mereka," ujar Semiarto.

Untuk kepentingan penelitian tersebut, Semiarto tidak hanya berkutat di satu wilayah dan satu komunitas. Dia mengikuti aliran warga dari Karawang ke sejumlah tempat berladang di kota, mengikuti jejak aliran barang dagangan Samin, orang- orang yang menampung sayur- mayur, hingga ke kampung asalnya. Semiarto melihat pula interaksi Samin dengan warga lain di sekitarnya, berikut fenomena peladang kota yang terjadi di tempat lain dan dijalani oleh komunitas dari daerah lain.

"Jika diikuti rasa ingin tahu, penelitian menjadi akan sangat panjang dan tiada habis-habisnya," ujar Semiarto.

Barangkali penelitian Semiarto jauh dari bayangan masyarakat terhadap kajian antropologi pada umumnya, yang kerap diidentikkan dengan penelitian terhadap suku-suku terasing di pedalaman, disebut primitif oleh orang-orang Eropa yang meneliti ke Indonesia zaman dulu.

"Ah, di kota sendiri masih banyak masyarakat yang terasing. Semacam ’suku terasing’ di tengah kota. Banyak pendatang yang kemudian tidak dapat mengikuti standar hidup kota besar yang dekat dengan pasar dan industri. Mereka tidak punya akses, ke mana pun menjadi terasing dan termarjinalisasi dari kehidupan kota. Proses perkotaan dipengaruhi oleh urbanisasi. Orang-orang dengan kultur pertanian datang ke kota yang berbudaya industri, lalu menciptakan wilayah abu-abu," ujar Semiarto.

Bagi Semiarto, fenomena itu suatu kewajaran. Kondisi masyarakat selalu berkembang, demikian juga dengan ilmu pengetahuan. Antropologi klasik meneliti di suatu tempat, satuan budaya dan sosial. Sekarang, penelitian lebih pada satuan isu, contohnya isu pertanian kota di atas. Satuan penelitian bukan orang per orang, tetapi perilaku yang hendak dijelaskan. Penelitian menjadi lebih terbuka dan teori pun terus dikembangkan.

Di Indonesia, antropologi sebagai ilmu mulai berkembang seiring dengan dibukanya Jurusan Antropologi di Universitas Indonesia pada September 1957. Di luar negeri, khususnya di Barat, ilmu itu sudah berkembang sejak abad ke-20. Lebih jauh lagi ke belakang, sejarah mengenai antropologi dapat dikaitkan dengan ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri, adat istiadat, dan budaya berbeda di luar bangsa Eropa.

Sekitar abad XV dan XVI, orang-orang Eropa berlomba menjelajahi dunia. Mereka mendatangi berbagai benua dan jazirah, mulai dari Afrika, Amerika, Asia, sampai ke Australia. Begitu tiba di ’dunia baru’ tersebut, mereka pun tercengang- cengang melihat dan menemukan berbagai hal baru. Mereka lalu mencatat petualangan mereka, termasuk membuat deskripsi mengenai ciri fisik, kebudayaan, dan susunan masyarakat di ’dunia baru’ tersebut. Bahan deskripsi itu lalu dikenal sebagai bahan etnografi.

Etnografi itu, oleh pelajar Eropa, lalu disusun menjadi karangan berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat. Antropologi pun mulai bertujuan akademis, terutama untuk mempelajari masyarakat dan kebudayaan yang dalam pandangan mereka "primitif" agar diperoleh pemahaman tentang tingkat-tingkat sejarah penyebaran kebudayaan manusia.

Saat orang-orang Eropa mulai membangun kawasan jajahan di benua lain, termasuk Asia, mulai ada tantangan dari warga asli. Bukan cuma pemberontakan, tetapi juga soal iklim yang kurang cocok dengan bangsa Eropa. Dalam menghadapi permasalahan itu, pemerintah kolonial negara-negara Eropa berusaha mencari kelemahan suku asli dan menaklukkannya. Mulailah dicari bahan-bahan etnografi tentang suku bangsa di luar Eropa, mempelajari kebudayaannya serta kebiasaannya untuk kepentingan pemerintah kolonial.

Kian variatif

Di Indonesia, setelah 50 tahun menjadi bidang kajian akademik di UI, antropologi semakin berkembang. Ketua Departemen Antropologi FISIP-UI Jasmine Zaky Shahab mengatakan, dari sudut ilmu sebetulnya antropologi tidak stagnan. Disiplin ilmu antropologi terus berkembang, ditandai semakin banyak dan variatifnya pusat-pusat pengkajian antropologi. Sebutlah seperti antropologi psikologi, antropologi perkotaan, ekonomi, kependudukan, politik, agama, hingga kesehatan.

Para lulusannya pun bekerja di berbagai bidang dan instansi, baik negeri maupun swasta. Bahkan, ada yang memasuki bidang-bidang yang barangkali sebelumnya tak terpikirkan, seperti bidang eksplorasi minyak dan gas hingga kehutanan. Mereka bekerja sebagai konsultan yang memberikan masukan, terlepas masukannya diterima atau tidak.

Emmed Prioharyono, Ketua Program Sarjana pada Departemen Antropologi FISIP-UI, berpendapat serupa. Di era globalisasi, peran antropologi semakin kuat dengan kajian kian variatif. Hal ini bisa dipahami, mengingat masyarakat yang tanpa kebudayaan dan jati diri akan mudah tersesat dan mengalami disorientasi sehingga kebutuhan akan kajian antropologi pun semakin dirasakan perlu.

Dengan pendekatan antropologi bukan berarti masyarakat harus menjadi museum hidup. "Perubahan mau tidak mau akan dialami masyarakat, apa pun kondisi masyarakat bersangkutan. Mereka yang hidup di pedalaman sekalipun kelak akan mengalami perubahan dengan masuknya kemajuan teknologi dan program pemerintah. Proses perubahan sulit dielakkan. Akan tetapi, yang terpenting ialah perubahan harus sesuai dengan aspirasi masyarakat agar tepat dan berdaya guna. Untuk mempertemukan aspirasi masyarakat dengan pembangunan itulah kajian antropologi menjadi sangat strategis," jelas Emmed.

Sebaliknya, secara institusional perkembangan antropologi agak lamban. Paling tidak begitulah pengakuan Iwan Tjitradjaja, Ketua Program Studi Pascasarjana Antropologi UI.

"Ilmu antropologi lebih berkembang di Barat. Itu tidak lepas dari fasilitas yang mendukung. Kegiatan penelitian di lapangan, misalnya, didukung dengan pendanaan memadai. Di Indonesia, penelitian sangat terbatas," ujarnya.

Untuk program studi dalam pendidikan tinggi saja hanya ada di universitas negeri, itu pun hanya beberapa. Di swasta malah tidak ada kajian antropologi, lantaran terkait adanya keraguan akan pasar kerja bagi lulusannya. Apalagi ada pandangan bahwa antropologi adalah ilmu yang sifatnya tidak aplikatif.

Alhasil, antropologi sebagai salah satu bidang ilmu bukan saja banyak bergelut dengan masyarakat terasing, tetapi juga masih dirasakan asing di tengah masyarakat yang lebih menganut paham pragmatisme. Di tengah warga perkotaan, antropologi bahkan jadi "suku terasing"....

Sumber: Kompas, Rabu, 26 September 2007

Horison: Menyoal Selera Seni

SENI pop dengan segala kehebohan aksi panggungnya belakangan ini makin tampak mendapat tempat di hati masyarakat. Kenyataan itu telah mengiris hati sebagian pekerja dan pemerhati seni.

Menurut Edi Sedyawati, apresiasi seni masyarakat kebanyakan masih kurang memadai. Apalagi, yang diminati sekadar seni dengan mutu menengah-bawah. ''Jika itu dibiarkan, selera seni masyarakat tak akan naik kelas,'' kata anggota Akademi Jakarta (AJ) itu di sela-sela Seminar Pendidikan Apresiasi Seni, di Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Senin (10/9) lalu.

Seni yang rendah --seperti yang ditampilkan dalam bentuk sinetron--diyakini Edi berpengaruh pada kehidupan keseharian masyarakat. Kebiasaan masyarakat, semisal etika berbicara kepada orang tua, akan terpengaruh. ''Perlu diingat, cara masyarakat menghargai seni juga menunjukkan kewibawaan suatu bangsa,'' kata mantan Dirjen Kebudayaan itu.

Di mata Edi, sebetulnya tidak ada yang salah dengan seni populer. Yang dibutuhkan cuma adanya penyeimbang. ''Keberadaannya perlu diimbangi dengan seni bermutu tinggi,'' ujar salah seorang pemrakarsa Konser Karawitan Muda Indonesia itu.

Penyeimbang tersebut, lanjut Edi, mesti dihadirkan bukan tanpa sebab. Terlebih, menilik kebutuhan seni seseorang tidak hanya yang bersifat hiburan semata. ''Kesenian yang meresap di hati, yang membuat orang berpikir, juga dibutuhkan,'' katanya

Persoalannya, seni bermutu tinggi seperti yang diharapkaan Edi, kerap kurang membumi. Seni tradisional klasik sering kali dianggap terlalu berat untuk dinikmati. ''Itu karena masyarakat tidak dikenalkan betapa mempesonanya kesenian asli Indonesia,'' kata Edi.

Menurut Edi, perlu ada pembiasaan sebelum akhirnya masyarakat bisa menikmati kesenian tradisional bangsanya. ''Apa yang dilakukan orang Jawa terhadap pertunjukkan wayang bisa dicontoh. Dikenalkan terus-menerus, orang Jawa tak pernah membiarkan pertunjukkan wayang berlangsung sepi,'' katanya.

Salah seorang pembicara seminar, Retno Maruti, mengaku termasuk orang yang jatuh cinta pada kesenian tradisional. Kecintaannya timbul karena faktor lingkungan. ''Di Baluwarti Solo, saya tumbuh dan berinteraksi dengan ahli seni,'' katanya dalam seminar yang diadakan atas kerja sama antara AJ dan UNJ itu.

Maestro tari Jawa klasik itu menjadi saksi hidup betapa kesenian dapat menjadi jalan bagi para orang tua untuk mendidik anak-anaknya. Dengan melihat, mengalami, dan merasakan, tanpa disadari nilai-nilai yang terkandung di dalam karya seni akan meresap di sanubari anak. ''Iapun mendapatkan pengalaman batin yang kelak berpengaruh pada karakternya di masa mendatang,'' urai Retno yang memimpin kelompok tari Padnecwara.

Pembicara lain, Endo Suanda, mengemukakan strategi dalam menghadapi masyarkat yang terlanjur lebih menyukai seni populer. Ia menyasar pada perubahan paradigma di kalangan pelajar. ''Saat peminat seni tradisional minim, pendidikan harus masuk hingga selera seni masyarakat tidak timpang atau dikuasai pasar,'' kata pakar dari Lembaga Pendidikan Seni Nusantara (LPSN) itu.

Endo memusatkan perhatiannya pada persoalan bahan dan metodologi pembelajaran seni. Bersama LPSN, ia memakai pendekatan tematik sebagai alternatif pendekatan kategori disiplin seni musik, tari, teater, dan seni rupa. ''Pendekatan pembelajaran seni di sekolah diubah menjadi lebih kontekstual, mendekatkan anak pada kehidupan sebenarnya,'' ujarnya.

Kesenian lokal lantas dijadikan subyek pelajaran. Fenomena kesenian yang hidup di masyarkatlah yang disajikan ke ruang kelas. ''Kalau perlu, bawa anak didik ke desa-desa untuk melihat langsung pertunjukkan seni,'' papar mantan ketua Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia itu.

Upaya tersebut dilakoni LPSN bukan untuk membuat tiap siswa menjadi seniman. Yang benar-benar berminat saja yang bakal tampil berprofesi sebagai seniman. ''Sisanya cukup menjadi penonton yang baik. Sebab, kesenian perlu penonton,'' imbuh Endo.

Gagasan serupa diusung pembicara berikutnya, Setiawan Sabana. Ia lantas mengemukakan pentingnya kerja sama. ''Sebab, tanpa adanya kerja sama, perubahan paradigma yang digulirkan cuma akan menjadi slogan semata,'' kata ketua Pusat Penelitian Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung itu.

Dalam hal ini, menurutnya, ada tiga komponen yang mesti bergandengan tangan. Sekolah, keluarga dan lingkungan hunian, serta media massa, perlu saling memberi dukungan terhadap dunia kesenian tradisional. ''Tanpa kerja sama, sulit membendung gempuran budaya pop yang berasal dari luar negeri,'' Edi menandaskan. reiny dwinanda

Sumber: Republika, Minggu, 23 September 2007

Tuesday, September 25, 2007

50 Tahun Antropologi UI (1): Di Tengah Gaung yang Kian Pudar...

-- Indira Permanasari

Masih ingat Snouck Hurgronje? Snouck (1857-1936) adalah ilmuwan berkebangsaan Belanda yang menawarkan diri untuk memberikan gambaran lengkap tentang Aceh. Pada 1889, Snouck tiba di Pulau Jawa dan sejak itu ia meneliti pranata Islam di masyarakat pribumi Hindia Belanda, khususnya Aceh. Dia mempelajari politik kolonial untuk memenangi pertempuran Belanda di Aceh.

Sosok Snouck kontroversial. Bagi Belanda dan kaum orientalis, boleh jadi dia dianggap sebagai peneliti yang sukses. Namun, bagi rakyat Aceh, Snouck adalah sosok pengkhianat sejati yang telah memanipulasi mereka.

Kisah Snouck adalah penggalan dari perkembangan antropologi di masa lalu. Saat Eropa mulai membangun koloni di benua lain, termasuk Asia, mereka mendapat berbagai tantangan dari warga asli; pemberontakan sampai iklim yang kurang cocok.

Dalam menghadapi permasalahan itu, pemerintah kolonial berusaha mencari kelemahan suku-suku asli dan menaklukkannya. Mereka mencari bahan-bahan etnografi tentang suku bangsa di luar Eropa, mempelajari kebudayaan serta kebiasaan warga koloninya itu untuk kepentingan kolonisasi. Cerita tentang Snouck dapat dikatakan bagian dari tahapan itu.

Pascakemerdekaan, antropologi menjadi kajian para intelektual di negeri sendiri dengan didirikannya Jurusan Antropologi Universitas Indonesia, setengah abad lampau. Tepatnya, di akhir September 1957, kajian antropologi hadir sebagai jurusan di lingkungan Fakultas Sastra UI, diprakarsai Profesor Koentjaraningrat. Dia pula yang mendorong berdirinya jurusan antropologi di berbagai universitas negeri lainnya di Indonesia.

"Dalam perkembangannya, antropologi ternyata lebih dekat dengan ilmu-ilmu sosial ketimbang ilmu humaniora sehingga (tahun 1983) antropologi di UI berpindah dari fakultas sastra ke fakultas ilmu sosial dan ilmu politik (FISIP)," kata Jasmine Zaky Shahab, Ketua Departemen Antropologi, FISIP-UI.

Bedanya dengan masa kolonial, di era pascakemerdekaan antropologi lebih dimaksudkan menjadi semacam alat bagi kita untuk belajar melihat dan mengenal diri sendiri. Bukankah antropologi pada intinya adalah ilmu yang mempelajari manusia, baik fisik maupun budayanya?

Oleh karena itu, kata antropolog Achmad Fedyani Saifuddin, ada bidang ilmu yang mempelajari tentang antropologi fisik atau jasmani dan ada antropologi sosial budaya. "Yang disebut terakhir berkembang dengan baik di Indonesia. Budaya juga dalam artian luas; mulai dari adat istiadat, tradisi, nilai, cara pandang hidup, cara pandang terhadap lingkungan, hingga cara memandang dunia," ujarnya.

Bagi Fedyani, masalah mengenal diri sendiri bukan perkara mudah. Perlu upaya lebih berat dan keras bagi Indonesia dibandingkan bangsa-bangsa lain, mengingat Indonesia berpenduduk sangat besar dan majemuk sehingga rentan disintegrasi.

Dan itu merupakan bagian dari pergulatan para antropolog. Terutama untuk menghadapi tantangan yang kian berat dengan adanya permasalahan seperti kemiskinan, korupsi, konflik kepentingan, kesenjangan sosial ekonomi, ketidakpastian pelaksanaan hukum, dan jurang generasi. Belum lagi fenomena global seperti liberalisasi ekonomi, memudarnya ideologi serta meningkatnya komunikasi lintas-batas negara serta budaya.

Pudar

Akan tetapi, memasuki usia 50 tahun, gaung dari kajian antropologi seakan memudar. Hanya sedikit terdengar nama besar di bidang ini, terutama sepeninggal pakar antropologi Koentjaraningrat. Di tengah berbagai tantangan dan isu pembangunan, misalnya, peran para ahli antropologi juga seakan tenggelam.

Bagi Jasmine, eksistensi ilmuwan antropologi di Indonesia tetap ada. Hanya saja, saat ini tidak terpusat pada satu tokoh seperti di era Koentjaraningrat. "Saat itu antropologi masih terbilang baru dengan sedikit orang yang menguasai ilmu itu. Sekarang sudah jauh lebih banyak dan terspesifikasi," ujarnya.

Lain lagi pendapat James Danandjaja, pakar antropologi yang menekuni folklore. Ketidakmunculan lagi nama-nama besar, antara lain, dikarenakan para akademisi di bidang antropologi malas menulis sehingga tidak terukir dalam peta ingatan masyarakat pembaca. "Menulis merupakan monumen diri sendiri. Harus ada yang dihasilkan, baik tulisan, video, atau dokumentasi apa pun," ujarnya.

Selain itu, menurut James, dahulu ahli antropologi lebih dilibatkan dalam program pembangunan. Koentjaraningrat, misalnya, masuk ke dalam struktur pemerintahan. Walaupun diakuinya, terpakainya kajian- kajian antropologi dalam program pembangunan masih dapat diperdebatkan. "Sekarang malah jauh berkurang. Padahal, departemen-departemen tertentu, seperti Departemen Sosial, dapat menggunakan manfaat dari antropologi," ujarnya.

Bagi Iwan Tjitradjaja, Ketua Program Studi Pascasarjana Antropologi UI, "kekalahan" antropologi dari sektor lain antara lain karena eksekutif pembangunan cenderung memandang pembangunan sebatas pembangunan ekonomi. Padahal, secara retorika, sejak dua dekade lalu telah ditekankan pembangunan mementingkan sosial dan budaya. Praktiknya, secara teknis ekonomi tetap dikedepankan.

"Dalam perencanaan sebetulnya para ahli antropologi telah dilibatkan, misalnya dalam feasibility studies. Sayangnya, banyak hasil studi yang tidak dimanfaatkan. Terkadang, para antropolog telah dilibatkan, namun saran-saran itu rawan masuk laci meja jika tidak sesuai dengan kepentingan," kata Iwan.

Dia mencontohkan pentingnya arti kajian antropologi dalam persoalan kehutanan, penebangan liar, dan okupasi lahan yang telah terjadi luar biasa. Mulai tahun 1980-an, laju kerusakan hutan sekitar dua juta hektar dan secara teknis deforestasi kurang berhasil. Muncul konflik antara pemerintah, pengusaha, dan masyarakat hutan. Konflik lalu mulai meletupkan kekerasan.

Ketidakberhasilan itu bukan semata masalah teknis, melainkan soal sosial budaya. Untuk memahami mengapa terjadi kerusakan hutan, kata Iwan, perlu dipahami dalam konteks dan dimensi budaya.

"Dengan memahami kebudayaan, potensi, kebiasaan masyarakat, semua pihak bisa duduk bersama dan menyelesaikan permasalahan. Terdapat apresiasi terhadap keberagaman. Warga desa umumnya tidak berpendidikan formal tinggi dan kerap dianggap bodoh oleh pengusaha atau pemerintah. Di sisi lain, warga desa tidak mengerti gaya dan penampilan hidup yang ditampilkan oleh aparat dan pengusaha yang terdidik dan orang perkotaan. Orang luar, bagi warga hutan, kerap dianggap sebagai penyebab terbatasnya akses mereka terhadap sumber daya alam. Apalagi gaya materialistis yang ditampilkan orang luar. Pengaruh itu menular dan menguat menjadi kecemburuan. Ini menimbulkan potensi konflik sosial," ujarnya.

Di negara seperti Indonesia, persoalan yang muncul dari keberagaman suku bangsa, kelas ekonomi, dan kelas sosial menjadi rawan. Apalagi diwarnai ketimpangan penguasaan aset ekonomi. Antropologi yang mencermati kejadian di lapangan dan mendapatkan informasi langsung dari masyarakat sangat dibutuhkan untuk menjalankan pembangunan yang berawal dari bawah dan tidak elitis.

Manusia dikesampingkan

Senyapnya gaung antropologi dalam pembangunan, menurut Achmad Fedyani, tak lepas dari kenyataan betapa selama ini pembangunan kerap mengesampingkan manusia dan budayanya. Seharusnya manusia ditempatkan sebagai subyek, mengingat arah pembangunan yang baik ialah untuk kesejahteraan rakyatnya: manusia!

"Antropologi memang mempelajari suatu komunitas secara mendalam dan dari dekat. Akan tetapi, ia mempunyai kemampuan reflektif. Ibarat cahaya lampu yang ditutupi kertas berlubang- lubang, sebagian cahaya akan menembus lubang dan terpantul di sana-sini. Begitu juga dengan antropologi, suatu kasus yang dipelajari di suatu tempat dapat terjadi di tempat lain dan menjadi pembelajaran. Walaupun, tentu saja, solusinya tetap harus disesuaikan dengan aspirasi masyarakat dan tidak seragam," ujarnya.

Lebih miris lagi, kebudayaan kerap kali didangkalkan menjadi sekadar adat istiadat dan kesenian. Padahal, budaya secara lebih luas ialah cara berpikir, pengetahuan, pandangan hidup, dan nilai-nilai.

Jika para pengguna penelitian antropologi menggunakannya dengan tepat, antropologi akan sangat besar memberikan pengaruh. Saat ini Fedyani, misalnya, dilibatkan dalam Lembaga Demografi UI yang mempunyai ide untuk memasukkan aspek sosial budaya ke dalam dunia kesehatan. Bentuknya, berupa program non-gelar sosial budaya untuk seluruh fakultas kedokteran di Indonesia. Antropologi dijadikan satu mata kuliah.

"Jangan salah, dokter juga harus mempunyai kompetensi sosial budaya. Begitu mereka bertugas di lapangan akan muncul beragam tantangan. Pemahaman sosial budaya akan sangat baik untuk mengatasi persoalan-persoalan itu. Dokter berhadapan dengan manusia dengan segala latar belakang budayanya. Kasarnya, kalau mereka menyuntik, itu bukan sekadar menyuntik benda fisik dan yang disuntik lalu sembuh," katanya.

Di usia yang setengah abad, semoga saja kajian antropologi di Indonesia semakin dihargai. Tentu saja agar hidup kita bersama sebagai bangsa tidak diwarnai kesalahkaprahan....

Sumber: Kompas, Selasa, 25 September 2007

Monday, September 24, 2007

Sastra: Pentas Syair Mengenang 800 Tahun Rumi

Tanggal 30 September mendatang adalah ulang tahun Jalaluddin Rumi yang ke-800. Sosok ini dikenal sebagai sastrawan ulung yang karyanya tidak lekang zaman dan dapat menembus sekat sosial di mana pun juga. Wajar saja jika menjelang hari lahirnya banyak sastrawan yang ingin mengenang sosok Rumi sekali lagi.

Penyair Putu Wijaya berkolaborasi dengan Dewi Yull dalam pembacaan sajak-sajak Sufi Jalaluddin Rumi, di Teater Kecil Taman Ismail Mazuki, Jakarta, Kamis (20/9). Acara ini untuk memperingati 800 tahun Penyair Jalaluddin Rumi. (SP/Ruht Semiono)

Di Jakarta, Dewan Kesenian Jakarta menggelar Malam Rumi dan Attar di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki Jakarta, Kamis (20/9) malam. Acara itu menampilkan Dewi Yull dan Putu Wijaya dalam pembacaan karya-karya Rumi.

Selain artis dan seniman itu, juga tampil Denny Tri Wiranto yang juga membacakan syair-syair Rumi. Sementara Teater El Na'ma mementaskan pertunjukan Musyawarah Burung karya Attar.

Melihat penampilan Dewi Yul dan Putu di atas panggung mungkin terbilang jarang, tetapi keduanya seolah sudah sering berkolaborasi. Dalam menampilkan karya-karya Rumi, mereka berdua mengajak penonton merasuki kedalaman filsuf Rumi.

Seperti halnya ketika Putu sedang membawakan Syam-I Tabriz yang menggambarkan pencarian Rumi terhadap Tuhannya, Dewi Yul menembang syair Jawa dan olah suara lainnya.

Kolaborasi mereka memang sederhana saja, saat Putu membacakan karya Rumi, Dewi mengiringi dengan tembang. Tapi itu mampu membangkitkan kegelisahan-kegelisahan Rumi dalam syair-syairnya. Keduanya memang memiliki bekal panggung yang tidak sedikit. Dewi Yull pun terkenal ketika berkolaborasi dengan Iwan Fals atau dengan Broery Pesolima. Sementara Putu Wijaya sendiri sudah dikenal sebagai seniman serba bisa. Namun sayangnya penampilan keduanya tidak berlangsung lama. Mereka hanya membawakan rata-rata empat karya Rumi.

Sementara itu, Teater El Na'ma mementaskan Musyawarh Burung karya Fariduddin Attar, sahabat Rumi. Musyawarah Burung yang dikemas menjadi drama musikal ini bercerita tentang sekelompok burung yang mencari tuhannya. Mereka bersepakat untuk melakukan pencarian meskipun tantangan berat sudah menghadang. Namun apa yang sebenarnya mereka cari ternyata ada dalam diri masing-masing.

Jalaludin Rumi memang dikenal sebagai filsuf mumpuni. Ia juga seorang pengembara sejati, banyak kota dan penjuru yang sudah dijelajahinya. Dalam perjalanannya mengembara ini, ia pernah bertemu dengan seorang ulama sufi terkenal di Nishafur, Fariduddin Attar.

Dalam pertemuan ini, Attar memberikan hadiah pada Rumi, sebuah buku berjudul Asrarname. Selain itu, Attar juga mengatakan sesuatu yang kelak tak pernah dilupakan oleh Rumi. Attar saat itu meramal, bahwa suatu saat nanti Rumi akan menjadi terkenal. Benar saja, kini siapa yang tak mengenal Rumi.

Masa kecil Rumi, adalah masa pendidikan keras yang diterimanya. Ia tumbuh menjadi seorang lelaki yang kaku, sampai kemudian ia bertemu dengan seorang yang mengubah hidupnya. Syamsi Tabriz, seorang sufi yang dengan tenang pernah membuang buku-buku filsafat Rumi ke dalam sumur.

Sejak saat itu, makin erat hubungan murid dan guru itu. Begitu eratnya, murid dan pengikut Rumi sampai dibuat iri. Akhirnya beberapa orang merencanakan pembunuhan pada Tabriz, dan terjadilah tragedi itu. Sejak tragedi itu, Rumi seolah memutuskan diri dengan dunia. Perhatiannya hanya tercurah untuk beribadah kepada Allah dan menulis buku serta puisi yang tadinya tak pernah ia sukai.

Selain menulis puisi, Syamsi Tabriz, mendiang gurunya itu mengenalkan pula kepada Rumi tarian religi yang biasa disebut Sama'. Tarian ini biasanya dibawakan oleh para darwis, orang-orang yang mempelajari ajaran sufi.

Kebanyakan di antara darwis adalah laki-laki. Tarian ini melambangkan kebebasan manusia untuk bertemu Tuhannya. Para penari memakai baju putih dengan bagian bawah yang lebar, seperti rok panjang. Asesoris lain adalah turbus sewarna yang menjulang di atas kepala. [K-11]

Sumber: Suara Pembaruan, Senin, 24 September 2007