Sunday, July 28, 2013

[Tifa] Menerapkan Teori lewat Pementasan

HUJAN baru saja reda setelah 2 jam lebih menderas Kota Bogor, Jawa Barat. Enam puluh peserta yang ikut Pelatihan Peningkatan Kompetensi Wartawan Kebudayaan Se-Indonesia baru saja selesai mengikuti berbagai aktivitas, malam itu.

Di dalam sebuah ruangan, pemateri Romo Mudji Sutrisno bergegas merapikan perlengkapan mengajar. Ia baru saja selesai membahas topik estetika dan filsafat di hadapan para peserta.

“Dalam setiap langkah, kita harus memiliki sebuah titik hening. Bila kita maju ke depan adalah hobi, mundur ke belakang adalah profesi, bergerak ke kiri adalah keluarga, dan ke kanan adalah sosial. Jangan meninggalkan titik hening,” tuturnya sebelum mengakhiri pembahasan, awal pekan ini.

Pada Pelatihan Peningkatan Kompetensi Wartawan Kebudayaan yang berlangsung pada 18-25 Juli itu setiap teori yang diajarkan kepada peserta ternyata membekas. Para peserta langsung mengaplikasikan ke dalam sebuah pertunjukan seni panggung seperti teater dan pembacaan puisi secara spontan.

Peserta Bambang Riyanto asal Medan, Sumatra Utara, terlihat meresapi teori-teori yang diajarkan. Ia bersama M Hanafi Holle (Maluku), Jabar Abdullah (Jawa Timur), dan panitia membacakan karya-karya puisi dengan penuh ekspresi. “Saya memang mengidolakan WS Rendra sehingga berapi-api saat baca puisi,” cetus Bambang.

Pada kompetensi itu, setiap pemateri seperti Mudji, Asmudjo Jono Irianto, Sal Murgiyanto, Bre Redana, Wahyu Wibowo, hingga Willy Hangguman memiliki ciri khas tersendiri di hadapan peserta.

Romo Mudji, misalnya, menghadirkan beberapa contoh karya seni untuk menggambarkan arti estetika kepada para peserta. “Keindahan itu selalu melekat dalam karya seni. Untuk abstrak, itu seperti tangga nada, do re mi fa so la si do. Pelukis Bali melukis abstrak, tetapi mereka juga menguasai realis dan naturalis,” jelasnya, serius.

Ruang imajinatif

Terlepas dari pembacaan puisi hingga pentas teater secara spontan yang diadakan peserta, ada hal menarik lainnya yang diulas dalam kompetensi tersebut. Asmudjo cukup jeli dalam menghadirkan berbagai kajian seni rupa.

Ia menyuguhkan berbagai karya-karya seniman Barat hingga Timur. Kajian terhadap karya seniman-seniman Barat memang membuat sebagian peserta yang awam akan seni rupa tak begitu antusias.

Namun, Asmudjo tak kehilangan akal. Dosen seni rupa Institut Teknologi Bandung itu mencoba mengajar dengan pendekatan yang lebih santai. “Kalau tak mengerti, jangan menulis,” cetusnya saat menjawab pertanyaan peserta.

Berbagai kajian seniman Barat ia hadirkan. Misalnya, Piet Mondrian, Pablo Picasso, Jackson Pollock, Wassily Kandinsky, Mark Rothko, Kazimir Malevick, hingga Damian Hirst. Lalu, seniman Timur seperti Heri Dono, Entang Wiharso, Handiwirman, I Nyoman Masriadi, Titarubi, dan Tisna Sanjaya. “Karya pelukis Indonesia yang paling termahal ialah karya Masriani. Karyanya laku terjual hingga Rp10 miliar,” ungkap Asmudjo.

Terlepas dari nama-nama besar tersebut, ada sebuah persoalan mendasar. Masih banyak seniman yang hidup dalam pengubuan. Mereka begitu asyik berkarya sehingga lupa pada persoalan di sekitarnya, menjadi antisosial sehingga membuat mereka kerap dipandang sebelah mata.

Lewat kompetensi yang digelar sepekan itu, ada hal baru yang didapati hampir sebagian besar peserta. Terutama, yang berasal dari daerah di luar Pulau Jawa. Pameran lukisan kontemporer hingga pentas teater memang dirasa masih minim.

“Nonton teater pun setahun sekali. Itu hanya pas waktu perayaan acara keagamaan. Kami di Papua memang masih awam dengan teater, khususnya kontemporer,” ujar Nethy Dharma Somba, peserta asal Jayapura, Papua. Penerapan teori lewat pentas seni menjadi sebuah paradigma yang diagungkan kaum akademisi. Namun, itu tak menjamin. Banyak pula seniman-seniman di kota besar yang menanjak dari jalur autodidak. (Iwan Kurniawan/M-2)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 28 Juli 2013


[Tifa] Mereka Kota lewat Seni

-- Iwan Kurniawan

Persoalan kualitas udara, sampah, hingga ruang hijau yang mulai sempit menjadi kritik para seniman cilik lewat karya. Ada perenungan atas kondisi kota.

ENAM lempeng penjuru mata angin tergambar jelas dalam sebuah lingkaran yang disimbolkan sebagai bumi. Lima lempeng terlihat terlepas dari 'wadah' berupa lingkaran itu. Hanya satu penjuru yang masih bertahan di pusaran. Setiap lempeng memiliki nama, yaitu Patih Malabar, Sri Patih Mandalawangi, Patih Manglayang, Patih Patuha, dan Patih Burangrang. Di setiap lempeng--diibaratkan sebagai gunung--ada sebuah permenungan mendalam.

Seakan setiap penjuru sudah rusak sehingga dapat membuat warga terkena bencana alam suatu waktu. Sebuah ironi memang. Kita dapat melihat kerusakan lingkungan di sebagian kota besar.

Gambaran itu terlihat jelas dalam karya berjudul Ajimat pada pameran seni bertajuk Riung Gunung: Mari Reka Kota di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, Jawa Barat, pada 7-21 Juli lalu. Pada pameran itu, juga dipamerkan manuskrip buatan, puisi, hingga seni instalasi dalam menafsir persoalan kota.

Dalam karya Ajimat yang dikerjakan sejumlah seniman cilik, ada terdengar suara Sang Hyang Riung Gunung. Suara rekaman itu sengaja dihadirkan dengan menggunakan tape recorder sehingga membuat pengunjung seakan mendengar suara dari 'Sang Kuasa'.

Ada pula karya lain yang penuh dengan unsur kritik, yaitu Berjuang.

Semua karya itu merupakan garapan Temmy Febrian, Hervin, Nabil, Azmi, Willian, Hanifan, Tia, Salma, Kimi, dan Bening.

Terlihat degradasi warga mencolok. Paduan cat akrilik hingga ornamen-ornamen tambahan membuat setiap karya seakan mengingatkan kita agar berjuang menuju Riung Gunung untuk menghijaukan kembali kota. "Banjir dan sampah selalu ada di sekitar kita. Kami ingin agar Bandung kembali asri dan hijau," ujar Temmy yang juga ikut dalam pameran tersebut.

Pameran Riung Gunung: Mari Reka Kota menghadirkan suara-suara warga kota yang dalam perencanaan kota masih jarang didengarkan. Anak-anak menghadirkan impian masa depan melalui miniatur-miniatur Kota Bandung.

Sebagian karya-karya seakan berbicara tentang masa depan (sekitar 20 hingga 30 tahun mendatang). Kota yang kelak dipimpin generasi baru sehingga menjadi agen perubahan bagi kotanya.

Gunung

Objek-objek gunung dalam beberapa karya membuat kita seakan diingatkan kembali pada lembaran sejarah, terutama keberadaan Gunung Sunda. Memang, semuanya itu sudah terjadi berabad-abad lampau. Namun, legenda-legenda masih hidup di Tatar Pasundan.

Tengok saja, cerita rakyat tentang pertemuan Sangkuriang dengan Dayang Sumbi yang masih melekat di hati kita. Balutan kisah legenda itulah semakin menambah karya Ajimat terasa kuat dengan kearifan lokal. Penggunaan nama-nama gunung seperti Manglayang, Patih Patuha, dan Patih Burangrang menunjukkan ada sebuah keinginan untuk memprovokasi masyarakat yang datang ke pameran tersebut untuk ikut bertindak. Terutama, melakukan upaya untuk ikut menghijaukan kembali kawasan yang sudah hancur akibat kerusakan lingkungan di lereng-lereng gunung.

Menengok pada karya-karya lain memang cukup ritmis. Para seniman cilik seolah membebaskan diri menjadi alam sehingga begitu polos dan lugu. Alam yang bisa bicara, punya rasa, dan imajinasi.

Pada karya Hanifan, misalnya, ia seolah-olah menempatkan dirinya sebagai alam sehingga bisa bicara dan nulis. Itu tertuang dalam lirik puisi yang dibuat menyerupai lembaran-lembaran manuskrip yang dipajang di dalam kaca.

Pada salah satu piece tertulis; 'Aku adalah hamparan ruangbisa bebas bergerak dengan alamaku adalah tempat kalian berkumpul, berinteraksi, dan menghirup udara segar...sekarang badanku mulai berkurangberganti dengan bangunan-bangunan kokoh'.

Direktur Kreatif Sahabat Kota, Aulia Amanda Santoso, yang ikut menjembatani para seniman cilik berpameran, mengaku perlu pengenalan alam sejak dini. Itu dapat membentuk pemikiran mereka untuk peduli terhadap alam sekitar. "Saya dan puluhan anak turun ke lapangan. Kami melihat pencemaran sungai, kemacetan, hingga ruang hijau yang minim untuk dituangkan lewat seni," gumamnya.

Persoalan kerusakan lingkungan hingga kesemrawutan transportasi tak lepas dari kacamata seniman cilik. Mereka tak banyak berkata-kata. Hanya mampu mereka realitas lewat karya seni. Penuh sindiran dan gelitik terhadap kebijakan pemerintah kota yang korup. (M-2)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 28 Juli 2013


[Jendela Buku] Fira Basuki dan Cinta Sejati

DITINGGALKAN suami tercinta memang menjadi pukulan yang pahit dalam kehidupan seorang istri. Inilah yang dirasakan penulis Fira Basuki saat harus merelakan suaminya tercintanya, Hafez Agung Baskoro, yang meninggal dunia 16 Maret 2012 lalu.

Namun, luka itu ternyata tak lantas membuat Fira Basuki terpuruk. Dalam benaknya kala itu terdapat dua pilihan, dirinya harus gila dan terpuruk atau harus menjadi luar biasa. Dia pun memilih menjadi luar biasa, kuat demi anak-anaknya dan keluarga.

Terbukti, sepeninggal Hafez, dirinya mampu menerbitkan tiga buah buku. Yakni, 140 Karakter, Cerita di Balik Noda, dan yang Terbaru Fira dan Hafez yang mampu diselesaikannya hanya dalam waktu tiga minggu sebagai bukti cintanya kepada suami.

Fira dan Hafez menikah pada 25 November 2011. Sayangnya, kurang dari empat bulan, kebersamaan mereka sebagai suami istri berakhir. Sang suami meninggal dunia karena mengalami aneurisma (pecah pembuluh darah di batang otak secara tiba-tiba) saat bertugas di Yogyakarta.

Saat itu pun, dirinya tengah mengandung buah cintanya dengan Hafez yang kini dinamai Kiad Sastra Baskoro, yang lahir tanpa sempat melihat ayahnya. Tentu, kisah perjalanan hidup Fira bagaikan cerita novel yang ditulis Tuhan Maha Pujangga.

"Kesedihan tentu saya rasakan, tapi saya harus kuat demi anak-anak saya dan keluarga. Sigaraning nyowo, saya adalah belahan jiwa Hafez. Saya begitu resapi makna ini. Dalam hidup kita memiliki tujuan mencintai dan dicintai," ungkap Fira Basuki dalam jumpa pers peluncuran buku terbarunya, Fira dan Hafez, di Jakarta, 25 Juni lalu.

Curahan hati

Buku itu pun sekaligus menjawab pertanyaan-pertanyaan publik seputar kronologi kematian suaminya. Dalam buku tersebut, pertemuan Fira dengan Hafez diceritakan. Kisah cinta mereka hingga menikah dan dipisahkan maut. Terdapat pula kisah masa kecil Fira dan termuat pula 30 komentar selebritas dan sahabat Fira Basuki.

Gaya penulisan Fira khas dan begitu mengalir, seolah pembaca diajak untuk mendengarkan cerita dan curahan hatinya. "Bertukar pikiran dan rasa," ujarnya.

Tak hanya itu. Dalam buku itu pun terselip sebuah CD yang berisi sebuah lagu berjudul Love You So Much. Lagu itu dinyanyikan dan diciptakan adik Hafez yang juga seorang penyanyi Tantry Agung Dewani.

Lagunya yang begitu cantik dengan liriknya yang mendalam dijamin akan membuat Anda larut terutama saat membaca dan menyetel lagu itu secara bersamaan. Buku dengan tebal 250 halaman yang diterbitkan Grasindo itu dibanderol Rp62 ribu.

Fira pun menyampaikan, dalam menulis buku tersebut, ia seperti membuka kenangan lama bersama almarhum sang suami dan mengingat kembali semuanya. Sebagai manusia biasa tentu ia sangat sedih mengenang semua itu, tapi ia berharap buku itu dapat mengajak semua yang membacanya bertukar pikiran dan rasa, juga menginspirasi bagi kisah cinta manusia. (Sky/M-2)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 28 Juli 2013


[Jendela Buku] Kritik Terselubung Tajuk Rencana pada Era Soeharto

-- Rudy Policarpus

Buku ini menceritakan tajuk rencana Assegaf yang banyak menyentuh beragam isu yang relevan hingga kini.

Zaman Keemasan Soeharto
D.H. Assegaff
Penerbit Buku Kompas,
I, Juli 2013
414 hlm
BUKU yang mengangkat mantan Presiden Soeharto sebagai tema utama seakan tak pernah habis. Mulai dari mencibir, mengkritisi kediktatorannya dan korupsi yang menggurita di zaman pemerintahannya, ataupun puja-puji terhadap penguasa rezim Orde Baru itu.

Jurnalis senior, almarhum Djafar Husin Assegaff, melalui bukunya berjudul Zaman Keemasan Soeharto yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas, Juli 2013, dia menyingkirkan sisi kontroversial Soeharto dan memilih mengupas masa gemilang sang presiden dan kritik-kritik terselubung. Buku ini adalah kumpulan 225 tajuk rencananya di Surabaya Post periode 1989-1993.

Sebelum mengupas buku yang ditebitkan sebagai kenangan kepada pasangan pendiri Surabaya Post, Abdoel Aziz dan Toety Aziz ini, menarik jika kita melihat latar belakang karier Asseggaf. Kariernya yang gemilang membawa Assegaff ke pucuk pimpinan di sejumlah media massa, seperti wakil pimpinan umum Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara, pemimpin redaksi Suara Karya, serta pemimpin redaksi Warta Ekonomi hingga menjabat duta besar di Vietnam.

Pada zamannya, LKBN Antara dan Suara Karya dikenal identik dengan media corongnya Orde Baru. Kedekatannya dengan penguasa membuat posisi Assegaf jarang berseberangan dengan pemerintah saat itu. Tajuk rencana adalah sikap sebuah media terhadap peristiwa yang aktual dan menyedot perhatian publik.

Jika demikian definisinya, tulisan-tulisan pria kelahiran Tanjungkarang, Lampung, 12 Desember 1932 ada pada posisi aman. Sikap itu tentu dapat dipahami, karena pada zaman Soeharto, mengkritik dianggap menggangu stabilitas politik.

Mengkritik secara halus

Alhasil penulis tajuk rencana harus pandai melakukan to read between the lines. Mengkritik secara halus. Contohnya, sebagai bagian dari insan pers, sudah tentu Assegaff menyuarakan kebebasan bersuara. Dalam tajuknya berjudul Etos Wartawan dalam Sistem Pers Pancasila dan Pers Nasional tidak Boleh Disensor, dia mengakui kerap terjadi benturan antara pers dan pemerintah. Ia juga mendorong agar pers lebih berani bersikap, meski tetap dianjurkan melakukan dialog dalam konsep interaksi positif dengan pemerintah.

Juga tengok kritik terselubungnya dalam tajuk berjudul Menanggulangi Korupsi. Ia menulis,"Masalah korupsi adalah masalah yang sampai sekarang belum dapat dipecahkan. Kami sepakat terhadap apa yang dikostatir Presiden, karena sekarang ini tampaknya nilai-nilai masyarakat sudah berubah. Kita menyaksikan seorang yang menduduki suatu jabatan dan menjadi kaya raya, oleh masyarakat dianggap sebagai suatu prestasi. Ia menonjol dan dianggap sebagai tokoh teladan yang sukses. Tokoh tadi kemudian tidak lagi merasa sungkan atau malu untuk pamer keberhasilannya yang jelas didapat dari cara-cara yang tidak terpuji."Kami sependapat" adalah sebuah dorongan sekaligus kritik terselubung.

Tajuk tersebut ditulis ketika menanggapi pernyataan Presiden Soeharto yang mengatakan bahwa pemeberantasan korupsi akan terlaksana jika masyarakat dapat mengembankan sanksi sosial dan moral kepada koruptor. Sebuah ironi, karena Soeharto kemudian lengser karena isu korupsi di lingkungan kekuasannya.

Tajuk rencana Assegaf banyak menyentuh beragam isu yang relevan hingga kini. Mulai dari Indonesia sebagai tempat pembuangan limbah negara lain, pengangguran, disiplin anggota DPR, kinerja kepolisian, utang nasional, hingga isu-isu korupsi dan kemiskinan. Namun sayang, hingga kini isu itu belum ada solusi dan perbaikan. Anggota dewan redaksi Media Group ini menyajikan secara lugas untuk ukuran zaman yang demokrasinya terbilang semu. Mengutip pendapat Jacob Oetama di buku setebal 414 halaman ini, jurnalistik pers yang dikembangkan senantiasa mempertimbangkan segala sesuatu dan tidak bersikap ekstrem. Ekstremitas tidak cocok dengan kultur masyarakat Indonesia.

Assegaff tak salah memilih judul buku ini. Karena pada rentang periode tajuk ini dimuat, era Orde Baru tengah berada di puncak prestasi. Kala itu, Indonesia dianggap sebagai 'macan Asia' dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang mengagumkan. Posisi Indonesia di percaturan politik dunia juga strategis sebagai negara paling berpengaruh di ASEAN dan KTT Non Blok. (M-2)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 28 Juli 2013

Kerusuhan Sosial dalam Sajak

-- Budi Hatees

SELAMA 2012 lalu,  saya membaca  sajak-sajak yang ditulis Isbedy Stiawan ZS (Bang Is), dipublikasikan di sejumlah media cetak. Banyak sajak yang ditulisnya, tetapi sajak-sajak yang  akan saya bicarakan ini adalah sajak yang berhubungan dengan kerusuhan terakhir di Lampung Selatan.

Salah satu sajaknya berjudul ‘’Begitu  Mudah’’. Temanya tentang kerusuhan sosial, dan Bang Is menyebutnya kerusuhan antara ‘pendatang’ dengan ‘tuan rumah’. Aku lirik dalam sajak berada pada posisi sebagai ‘pendatang’, menganggap ‘tuan rumah’ telah memposisikan ‘pendatang’ sebagai musuh yang harus dihabisi. Sebab itu, dalam sajak ini Bang Is menunjukkan keberpihakan kepada ‘pendatang’.

Beberpihak Bang Is sangat wajar. Dalam kerusuhan yang meletus pada 28 Oktober 2012 bersamaan dengan peringatan Sumpah Pemuda korban sebenarnya adalah masyarakat yang tinggal di Desa Balinuraga. Artinya, sebagai penyair, Bang Is berpihak pada kelompok yang menderita, menjadi juru bicara dari raasa perih yang dialami oleh korban.

Sajak dibuka dengan bait: kini kau begitu mudah menggali makam/lalu menenggelamkan badan orang/karena itu kau sirami benih kebencian/kausulut kayu kau percikkan api: dendam. Pembukaan yang segera membawa pembaca pada situasi bahwa kerusuhan itu memojokkan ‘pendatang’ di Lampung, seakan-akan mereka merupakan entitas yang kehadirannya membawa problematik social bagi kehidupan ‘tuan rumah’.

Pokok pikiran Bang Is inilah yang hendak saya soroti. Sebagai seorang penyair,  perspektif yang dipilihnya dalam melihat kerusuhan sosial itu penuh kekeliruan. Artinya, kerusuhan yang terjadi di Provinsi Lampung itu bukanlah kerusuhan antara ‘tuan rumah’ versus ‘pendatang’, tetapi kerusuhan antara masyarakat Lampung versus Lampung.

Memang, media massa di seluruh negeri ini, menyebut kerusuhan itu antara masyarakat Lampung dengan masyarakat Bali. Tapi, kita harus menentangnya, terutama karena media massa selalu meruntuhkan apa yang sudah diluruskan dalam semangat nasionalisme. 

Artinya, para awak media massa tak mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang mumpuni untuk menghancurkan dikotomi-dikotomi yang ada di lingkungan masyarakat. Awak media massa merasa bahwa penghancuran terhadap dikotomi yang ada sama artinya dengan mengaburkan fakta yang ada, seolah-olah mereka punya dasar  filosofi yang kuat untuk menolak pemikiran tentang fakta sebagai hasil rekonstruksi manusia atas realitas yang terjadi. 

Sebagai hasil rekonstruksi, sudah diandaikan bahwa fakta tidak sama persis dengan realitas yang ada. Bila menukik pada kajian komunikasi terhadap pesan, apalagi bila kita sampai pada teori-teori komunikasi tentang agenda setting media, menjadi lebih jelas bahwa keyakinan para awak media massa sangat keliru.

Jadi, menyebut kerusuhan yang terjadi sebagai pertikaian antara masyarakat Lampung dengan masyarakat Bali, merupakan kekeliruan yang akan memicu konflik sosial itu meluas menjadi konflik horizontal dan vertikal. Sebaiknya, para awak media massa tetap mengacu pada defenisi tentang masyarakat Lampung berdasarkan konvensi nasional, bahwa orang Lampung adalah orang-orang  yang  tinggal dan menetap di Lampung. 

Tidak dipersoalkan apakah mereka penduduk asli atau pendatang, karena dikotomi itu melebur ketika dihadapkan pada kepentingan bangsa dan negara. Tapi, bila ternyata media massa memelihara dikotomi ‘tuan rumah’ dan ‘pendatang’, sudah seharusnya penyair menghancurkan dikotomi itu. Sebab, kepenyairan menuntut seseorang berada pada posisi untuk melihat manusia semata sebagai manusia, sehingga kepentingan-kepentingan manusia sama saja dengan manusia lainnya. 

Status sosial, kelas sosial, dan segala hal terkait perbedaan-perbedaan dalam kehidupan sosial adalah nilai-nilai yang tak layak dipertahankan oleh penyair dalam menjalankan kerja-kerja berkesenian. Ini sejalan dengan semangat seni yang sesungguhnya dalam melihat manusia.

***

Dikotomi-dikotomi sosial yang ada dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini, selalu melahirkan persoalan krusial. Pada zaman orde baru, gemanya tak sampai ke telinga publik, karena militer mampu meminimalisir. Tapi di era reformasi saat ini, manakala otonomi daerah memberikan keleluasaan kepada seluruh daerah untuk menegaskan eksistensi diri dengan membangun defenisi baru tentang lokalitasnya, perkara dikotomi itu semakin menajam.

Kepentingan bangsa dan negara terutama berkaitan dengan persatuan dan kesatuan, mulai diabaikan dan dimasabodohkan sejak otonomi daerah diperkenalkan. Konsep ‘penduduk asli’ dan ‘penduduk pendatang’ kembali diapungkan untuk mempertegas dikotomi agar eksistensi penduduk asli semakin menguat di daerah masing-masing.  Tujuannya tak lain untuk kepentingan sesaat dalam rangka membuat defenisi yang sesuai tentang putra daerah, sehingga si putra daerah bisa membangkitkan kembali kapital-kapital sosial yang ada. Dengan begitu, segala yang lokal (lokalitas) didefenisikan secara keliru sebagai yang paling berhak.

Saya pernah tinggal sangat lama di Provinsi Lampung.  Saat kerusuhan sosial pecah pada 28 Oktober 2012, saya tak lagi menjadi warga provinsi itu. Tapi saya punya kenangan indah bersama penduduk yang bertikai—warga Desa Agom di Way Panji dengan warga Desa Balinuraga yang dihuni oleh orang-orang Bali, di Lampung Selatan. 

Pada 1997, ketika masyarakat yang bertikai itu masih hidup dalam satu kecamatan, Kecamatan Sidomulyo, mereka bisa berdampingan sebagai penduduk Kabupaten Lampung Selatan. Pemekaran wilayah Kecamatan Sidomulyo menjadi Kecamatan Way Panji, membuat warga kedua desa itu bagai musuh bebuyutan.

Akibat kerusuhan itu, diadakannya pertemuan antara pimpinan Lampung dan Bali. Dari pihak Bali, hadir Abhiseka Raja Majapahit Bali Sri Wilatikta Tegeh Kori Kresna Kepakisan XIX, Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna Mahendratta Wedasteraputra Suyasa III; dan dari pihak Lampung hadir Ketua Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL), Kadarsyah Irsya. Keduanya menandatangani maklumat kesepakatan perdamaian di hotel Novotel, Lampung, 4 November 2012.

Meski demikian, perjumpaan antara Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna dengan Kadarsyah Irsya, tidak  membuat pertikaian itu selesai total. Ada luka yang menganga di antara penduduk Lampung itu,  ada perih yang susah diobati, dan ada rasa kehilangan yang tak tersembuhkan. 

Kelak, bisa dipastikan peristiwa yang menyedihkan rasa nasionalisme ini akan terulang lagi. Pasalnya, solusi yang ditawarkan sama-sekali tak solutif, terutama karena identifikasi terhadap persoalan ini tidak menyentuh akar yang sesungguhnya.

Sebetulnya, sejak lama kerusuhan sosial sering terjadi di Lampung. Pasca reformasi intensitas makin meningkat. Sejak 1996 sampai 2008 saya menetap di Lampung, hampir tiap bulan terjadi kerusuhan sosial. Para pengamat, medi massa, elite pemerintah, militer, polisi, dan aktivis selalu menyebutnya sebagai kerushan antara orang Lampung dengan pendatang.

Dikotomi itu selalu diapungkan, seakan-akan orang Lampung dengan pendatang seperti air dengan minyak. Susah disatukan, dan dikotomi itu harus dipelihara. Sebut saja WF Wertheim dalam The Lampung Affair: A Personal Perspective, Inside Indonesia (April, 1989). Dia mencatat bahwa letupan sosial terbuka, terutama terkait dengan isu tanah, yang melibatkan orang Lampung dengan pendatang sudah terjadi pada 1989. 

Bagi para pengamat, konflik sosial ini dipicu kemarahan masyarakat Lampung karena eksistensi mereka kurang diakui di daerah kelahirannya akibat kehadiran para pendatang. Orang Lampung yang negerinya dijadikan wilayah transmigrasi menilai keberadaan orang-orang pendatang menimbulkan masalah. Tidak saja dalam persoalan tanah yang ditempati, tetapi juga dalam perilaku sehari-hari. Karena itu, sejumlah pihak di Lampung mengatakan bahwa kerusuhan kali ini semacam klimaks dari pola perjumpaan kedua pihak.

***

Sulit menolak kebenaran dari analisis para ahli tentang kerusuhan di Lampung. Sama sulitnya menolak bahwa Bang Is keliru dalam melihat persoalan kerusuhan. Artinya, memang, kerusuhan di Lampung terjadi antara masyarakat Lampung versus masyarakat yang datang ke Lampung. Cuma, siapa pun harus memperkuat defenisi tentang masyarakat Lampung yang menjadi konvensi nasional, sehingga dikotomi tidak dipakai lagi.

Bila dikotomi tetap jadi panduan, akan membangkitkan dikotomi-dikotomi lain, sehingga nilai-nilai kebersamaan akan terabaikan. Akibatnya, masyarakat sebuah daerah yang memang terdiri dari sekian banyak dikotomi, akan sulit hidup dalam satu lingkungan. Konon lagi mengharapkan mereka hidup dalam ikatan kohesivitas yang kuat, karena mereka lebih banyak diposisikan dalam kedudukan yang selalu bertentangan.

Lebih parah lagi, dikotomi sosial akan memicu dikotomi yang lebih personal. Contoh, jika kita mempertajam perbedaan antara orang yang secara fisik cantik atau ganteng dengan orang yang secara fisik buruk atau jelek, suatu saat mereka yang berada pada posisi didiskriditkan akan marah. Sekalipun fakta yang sesungguhnya tidak menyimpang, tapi mempertajam dikotomi bukan pilihan yang tepat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. n

Budi Hatees, lahir 3 Juni 1972. Banyak menulis esai di berbagai koran dan majalah. Buku esainya, ‘’Ulat di Kebun Polri’’ (2012), ‘’Teror-Teror Teroris’’ (2013), dan ‘’Srikandi di Meja Hijau’’ (2013)

Sumber: Riau Pos, Minggu, 28 Juli 2013

Pesan Moral Cerpen Perahu Baganduang

-- M Aditya

TENTU kita sudah tidak asing dengan novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karangan Hamka. Hampir semua kalangan mengenal dan pernah membacanya baik dari kalangan remaja hingga dewasa. Novel terbitan Balai Pustaka pada tahun 1939 ini mengangkat latar dan setting adat budaya Minangkabau.

Novel fenomenal yang rencana akan diangkat ke layar lebar ini mengangkat kisah percintaan antara Zainuddin dan Hayati yang gagal karena adat budaya yang berlaku pada saat itu. Hayati akhirnya harus menikah dengan Azis, yang berasal dari keluarga terpandang sebab dijodohkan orang tuanya. Zainuddin yang sederhana dan tidak memiliki harta yang cukup untuk meminang akhirnya harus ikhlas melepas Hayati dan pergi meninggalkan ranah Minang. Walaupun takdir mempertemukan mereka kembali setelah Hayati berpisah dengan Azis dan Zainuddin telah menjadi seorang penulis terkenal namun semuanya terasa sia-sia karena Zainuddin menolak cinta Hayati hingga akhirnya Hayati tenggelam bersama kapal Van Der Wijck dan Zainuddin meninggal dalam rasa penyesalan telah menolak cinta Hayati.

Pada masa itu hingga masa kini peristiwa serupa masih sering terjadi. Adat budaya seperti menjadi momok menakutkan bagi sepasang kekasih untuk melanjutkan hubungannya ke jenjang pernikahan. Apalagi bila kekayaan menjadi aspek utama pertimbangan hingga untuk meminang dibutuhkan biaya yang mahal dan syarat yang berbagai macam dengan membawa adat budaya sebagai kamuflase.

Tema inilah yang diangkat dalam cerpen Perahu Baganduang karangan Ahmad Ijazi H. Mengangkat latar dan setting daerah Kuantan Mudik, Lubuk Jambi penulis sepertinya ingin kembali memberikan gambaran kondisi yang serupa. Sebuah cerita tentang Arantona dan Rukhayah yang gagal dalam percintaan karena Rukhayah akhirnya dilamar oleh Tuan Anthonius, anak dari Monti Dirajo Thamrin Penghulu Kuantan Mudik hingga Arantona dan ibunya harus berpasrah diri tidak sanggup memenuhi keinginan ibunya Rukhayah.
‘’Emak memang keterlaluan. Mematok limau terlalu tinggi. Mana ada kain tenun lejo tabir yang dijual di Kuantan Mudik. Kalau pun ada, mencarinya pasti sulit sekali dan harganya bisa berkali-kali lipat dari harga aslinya. Mana lagi perahu baganduang lima, itu permintaan yang sungguh tak masuk akal. Selama ini belum pernah aku melihat perahu beganduang lima. Kebiasaannya kan perahu hantaran hanya baganduang tiga?’’

Dalam cerpen ‘’Perahu Baganduang’’ yang dimuat pada tanggal 16 Juni 2013 itu terlihat bahwa seolah-olah kekayaan menjadi aspek kebahagiaan seorang anak. Memang semua orang tua ingin anaknya bahagia, salah satunya dengan memilihkan jodoh yang kaya raya agar kehidupan anaknya terjamin namun harusnya orang tua juga paham kebahagiaan tidak bisa hanya dilihat dari kacamata materi belaka. Walaupun dalam cerpen ini tidak menunjukkan secara gamblang akhir dari pernikahan Rukhayah dan Tuan Anthonius namun kebanyakan dari pernikahan yang dipaksakan dapat berujung pada perpisahan seperti dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, bahkan bisa berakhir tragis seperti dalam novel ‘’Siti Nurbaya’’ karya Marah Rusli dimana kisah percintaan Siti Nurbaya dan Samsul Bahri yang gagal menuju jenjang pernikahan karena Siti Nurbaya dipaksa menikah dengan Datuk Maringgih, seorang saudagar tua yang kaya raya hingga akhirnya dia bunuh diri.

‘’Rukhayah terhenyak bukan kepalang. Seluruh belulangnya seakan telah remuk kini. Ia benar-benar tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Sementara di kejauhan, perahu baganduang lima yang ditumpangi rombongan Monti Dirajo Thamrin telah berjalan perlahan menuju anjung-nya disertai bunyi kumpang  yang ditabuh ramai.’’

Dalam aspek ini sering kali orang tua malah menuduh anaknya bersifat tidak patuh atau terkadang durhaka padahal orang tua harusnya juga paham bahwa cinta tidak bisa dipaksakan apalagi bila cinta telah menemukan pasangannya. Yang akan menjalani kehidupan berumah tangga adalah seorang anak jadi sudah sewajarnya orang tua paham keinginan anaknya, yang menjadi tugas orang tua adalah merestui keinginan anak yang ingin menikah atau mencarikan jodoh yang terbaik untuk anaknya tidak hanya dilihat dari kekayaan tetapi dari akhlak dan sopan santun dalam bersikap. ‘’Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)’’. (Q.S.An Nuur : 26)

Dari segi hukum Islam tidak ada yang memberatkan sebuah pernikahan. Rasulullah bersabda: ‘’Wanita itu dinikahi karena empat perkara yaitu karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah olehmu wanita yang baik agamanya, niscaya engkau akan beruntung’’. (HR. Al-Bukhari no. 5090 dan Muslim no. 1466(. Penulis menutup cerita dengan apik dimana pendapat penulis dijadikan sebagai penutup. Jadi sebenarnya bukan adat budaya yang memberatkan seseorang untuk menjalani pernikahan melainkan sifat keserakahan dan ketamakan dari seorang manusia.

Di muka pintu, emak memandang nanar. Bola matanya bergerak-gerak penuh iba. ‘’Sesungguhnya adat di kampung ini tak pernah mempersulit kita, Putraku. Tetapi jika adat telah diselimuti oleh keserakahan dan ketamakkan, maka semuanya akan menjadi begitu sulit dan mahal. Seluruh pengorbanan dan cinta yang tulus sekalipun tak kan mampu membelinya. Tetapi kau juga harus tahu Putraku, harga diri kita jauh lebih mahal dari itu,’’ tubuh emak hampir limbung, namun tangannya masih sempat menyambar daun pintu sebagai pegangan untuk menyangga tubuhnya agar tidak jatuh. Tetapi air mata emak tetap jatuh. Rinai hujan pun jatuh. Langit benar-benar diselimuti mendung yang teramat tebal kini. n

M Aditya, lahir di Medan 23 Desember 1989. Penikmat sastra, biasa menulis esai, cerpen dan puisi, aktif di FLP Pekanbaru, bermastautin di Pekanbaru.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 28 Juli 2013

[Ranggi] Hari Istimewa: Peringatan Hari Puisi Indonesia

-- Fedli Azis

PERINGATANHari Puisi Indonesia (HPI), Jumat (26/7) malam begitu istimewa. Perayaan hari besar seniman di tahun pertama itu bertepatan pada 17 Ramadan 1434 H. Pada hari itu pula diturunkannya Alquran kepada Rasulullah Nabi Besar Muhammad SAW diawali dengan surah Iqra serta hari lahir Bapak Puisi Indonesia Chairil Anwar (26 Juli 1922 - 28 April 1949). 

Momen istimewa yang dirayakan Dewan Kesenian Riau (DKR) diberi tajuk ‘’Buka Bersama dan Tadarus Puisi’’. Sebuah helat yang dirayakan seniman/budayawan secara serentak diberbagai daerah, termasuk Riau. Lebih istimewa lagi, Riau menjadi tempat digagas sekaligus dilaksanakannya deklarasi Hari Puisi Indonesia pada 22 November 2012 silam. Karenanya, DKR sebagai salah satu penggagas merasa perlu menggelorakan hari penting itu dengan kegiatan yang berkaitkelindan dengan puisi dan puisi.

Perayaan tahun pertama HPI itu dilaksanakan di auditorium DKR dan dihadiri puluhan seniman/budayawan tua maupun muda (sastrawan). Selain itu juga dihadiri seratusan seniman dari berbagai percabangan seni, pelajar serta mahasiswa. Mereka saling unjuk kebolehan, membaca sajak dengan ciri khas masing-masing. Benar-benar mengkayang  puisi, baik pembacaan, musikalisasi puisi maupun visualisasi puisi. Hanya puisi dan puisi...

‘’Sebagai negeri kata-kata dan tempat digagas serta dilaksanakannya deklarasi Hari Puisi Indonesia, kita perlu menggelorakan perayaan penting ini selama lima tahun ke depan. Tahun pertama HPI kali ini benar-benar jatuh pada hari yang istimewa. Kita patut berbangga dan merayakannya setiap tahun,’’ ungkap Ketua Umum DKR Kazzaini Ks dalam sambutannya.

Dijelaskan Kazzaini, pada hari yang sama di berbagai daerah dilaksanakan helat serupa dengan nama dan tajuk masing-masing. Sumatera Barat misalnya, memberi tajuk ‘’Sahur Puisi’’, di Jakarta dengan ‘’Pekan Hari Puisi Indonesia’’ dan lainnya. Dikatakan Kazzaini, seniman patut berbangga karena saat ini seniman/budayawan Indonesia sudah memiliki hari besarnya sendiri. Helat ini diharapkan menjadi pembangkit kreativitas seni bagi para seniman untuk menghasilkan karya-karya yang unggul.

Tadarus Puisi sendiri merupakan tradisi seniman Riau yang dimulai almarhum Dasry al Mubari dan kawan-kawan dan terus bergulir hingga hari ini setiap ramadan. ‘’Diharapkan perayaan hari besar seniman ini tidak hanya slogan belaka,’’ tambah Kazzaini yang juga membacakan karya puisinya.

Pembaca sajak di malam HPI itu antara lain Dang Mawar, Taufik Ikram Jamil, Fakhrunnas MA Jabbar, Yoserizal Zen, Raja Isyam Azwar, Kazzaini Ks, Suharyoto Sastro Suwitnyo dan Hukmi, Adimir, Jefri al Malay, Kunni Masrohanti, Dewi Mulkhaidah Ningsih, Herlela Ningsih, Ekky Gurin Andika, Khairani, M Fikri, Amesa Aryana, Murdok, Eriyanto Hadi, Hirvan Nur, Wahyu Muali Bone dan banyak lagi. Tampil pula Matrock dengan karya musikalisasi puisi karya sastrawan Riau Taufik Ikram Jamil dan Rida K Liamsi. Di sambung dengan visualisasi puisi oleh Hang Kafrawi, Monda Gianes, Deni Afriadi dan Kabut Azis. 

Sastrawan Riau Taufik Ikram Jamil yang juga mantan Ketua Umum DKR menyebut, keistimewaan-keistimewaan perayaan Hari Puisi Indonesia yang pertama ini mengingatkan seniman untuk berkarya dan berkarya. Sebuah karya akan menjadi besar jika semakin banyak dibaca sama halnya dengan kitab suci. Jika karya itu tidak pernah dibacakan maka sulit akan besar.
   
Dipaparkannya, dalam bulan ramadan ini semua kitab Allah diturunkan dan Alquran yang diturunkan diawali dengan surah iqra yang berarti bacalah. Begitu pula puisi yang harus terus dibacakan. Bahkan Khalifah Umar bin Kattab yang dikenal sebagai penyair hebat di zaman Jahiliyah masuk Islam setelah membaca surah Taha. Surah yang dibacanya dari ayat 1-5 yang dapat melembutkan hati yang keras dan sebagai doa pendinding diri itu menyentuh hatinya dan memeluk Islam pada hati itu juga dihadapan Nabi Muhammad SAW.

‘’Maka bacalah puisi agar karya itu semakin besar. Karena surah yang pertama turun juga berarti bacalah, bacalah,’’ ujarnya menegaskan.

Hari Besar Seniman

Hari Puisi Indonesia telah disepakati sebagai hari besar seniman di Indonesia setelah dideklarasikan di Pekanbaru, 22 November 2012 silam pada helat ‘’Pertemuan Penyair Nasional dan Deklarasi Hari Puisi Indonesia’’. Pemuliaan puisi sebagai salah satu karya terbaik di dunia itu ditandai dengan penandatangan plakat teks deklarasi Hari Puisi Indonesia oleh Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri disaksikan hampir seluruh sastrawan perwakilan provinsi di Anjung Seni Idrus Tintin. Hari Puisi Indonesia diprakarsai DKR dan Yayasan Sagang dengan konseptor seperti Rida K Liamsi, Ahmadun Y Herfanda, Asrizal Nur, Jamal D Rahman, Kazzaini, Agus R Sarjono dan Maman S Mahayana.

Hari Puisi Indonesia sendiri disesuaikan dengan tanggal lahirnya Bapak Puisi Indonesia Chairil Anwar pada 26 Juli. Selain Chairil di juluki ‘’Si Binatang Jalang’’, dia juga dikenal sebagai penyair terkemuka Indonesia. Selain pelopor Angkatan 45 bersama Asrul Sani dan Rivai Apin lalu dinobatkan HB Jassin sebagai pelopor puisi modern Indonesia. Sutadji Calzoum Bachri pada deklarasi HPI tahun lalu mengatakan, ‘’Kenapa Chairil Anwar? Karena beliau lebih populer dan total berkesenian dalam hidupnya tapi bukan pula kita mengkultuskannya sebagai dewa tapi sekadar pengingat saja.’’

‘’DKR dan Yayasan Sagang akan terus merayakan hari penting ini untuk memuliakan puisi dan penyairnya,’’ jelas Kazzaini.

Ditambahkannya, sebelum hari puncak kemarin, DKR lebih dulu menggelar helat bertajuk ‘’Kolaborasi Puisi Se Riau’’ di Anjung Seni Idrus Tintin yang diikuti puluhan grup. Lomba tersebut juga menjadi lomba kolaborasi puisi pertama yang digelar DKR. Menariknya lomba tersebut dinilai oleh lima dewan pengamat dari lima percabangan seni seperti Syaukani al Karim (sastra), Zuarman Ahmad (musik), Musrial al Hajj (teater), Sayfmanefi Alamanda (tari) dan Dantje S Moeis (seni rupa).

Sementara itu, pemenangnya antara lain LNd Dance Theatre, Teater Matan dan Sanggar Pusaka SMKN 1 Pekanbaru (juara pertama hingga tiga) serta tujuh pemenang non peringkat seperti Latah Tuah, Rumah Sunting, Blacan Art Community, Teater Senja SMAN 5 Pekanbaru, Komunitas Ketjik dan Sanggar Keletah Budak.

‘’Selain helat Hari Puisi Indonesia, DKR sebelumnya juga menggelar helat Kolaborasi Puisi untuk menyemangati seniman, terutama generasi muda untuk mengenal puisi secara mendalam. Kolaborasi Puisi juga menjadi jalan masuk untuk generasi muda mencintai puisi sehingga mau menulis dan membacanya,’’ kata Sekretaris Umum DKR Eriyanto Hadi di sela-sela acara. n

Sumber: Riau Pos, Minggu, 28 Juli 2013

Stereotipikal Laskar Pelangi

-- Benny Arnas

SAYA merampungkan novel Jurai (GPU, Maret 2013) dalam sekali pembacaan. Guntur Alam berkisah dengan lancar. Gaya dan bahasa penceritaannya, walaupun tidak sekuat pada cerpen-cerpennya, masih berkarakter. Tanpa mengurangi kebahagiaan yang mengerubungi saya usai membacanya, saya merasa dejavu dengan motif ceritanya.

Entah bagaimana, bakda kesuksesan tetralogi Laskar Pelangi yang (katanya?) merupakan novelisasi kisah hidup penulisnya, saya selalu khawatir membaca novel-novel laris. Saya khawatir akan menemukan Laskar Pelangi dalam bahasa dan karakter yang berbeda. Kekhawatiran saya cukup beralasan. Saya kerap (untuk tidak mengatakan ?selalu?) menemukan motif cerita yang sama?kemiskinan, kesulitan mengakses pendidikan, kisah cinta sebagai plot sekunder, dan berakhir dengan kesuksesan?dalam beberapa novel laris setelah Laskar Pelangi.

Saya yakin, Laskar Pelangi bukan novel pertama yang mengolah/menjual motif/produk yang sama, tapi kesuksesannya di pasaran, mau tidak mau, diakui atau tidak, telah "menyulut" penulis lain untuk mengolah/menjual hal serupa. Baik dengan menovelisasi kisah hidup si penulis, tokoh terkenal, maupun karakter rekaan. Kecenderungan inilah yang ditemukan?sekadar menyebut beberapa judul -- pada trilogi Negeri 5 Menara (Ahmad Fuadi), 9 Summer 10 Autumn dan Ibuk (Iwan Setiawan), trilogi Sepatu Dahlan (Khrisna Pabichara), dan Anak Sejuta Bintang (Akmal Nasery Basral).

Pada novel-novel yang tampaknya bernasib baik di pasaran tersebut, kekhawatiran saya selalu terbukti. Kekhawatiran yang tidak semestinya terjadi (tentu saja karena ia sangat subjektif). Saya selalu gagal menutup telinga dari gelombang persuasif yang meneriakkan kelebihan novel-novel yang membuat perasaan kecewa, cemburu, dan bangga bersitabrak dalam pikiran: kecewa karena lagi-lagi saya menemukan motif ala Laskar Pelangi di sana, cemburu dengan keberhasilan karya-karya itu menggaet hati pembaca, dan bangga karena masih banyak orang yang membeli buku.

Adalah terlalu naif apabila saya tidak mampu mencungkil hikmah dari kenyataan itu: bahwa sebagian (besar) para pembaca (pembeli) buku Indonesia saat ini menyukai cerita yang seperti itu. Salah? Tentu saja tidak. Namun, saya bukan bagian mainstream pembaca seperti itu. Celakanya lagi, saya yakin selera bacaan saya tidak buruk.

Singkat risalah, saya ingin membaca buku (novel) yang menyuguhkan tema utama yang lain, yang tidak mainstream, yang tidak stereotipikal Laskar Pelangi tapi mendongak secara kualitas. Memang, novel-novel semacam itu masih bisa saya temui walaupun tidak banyak dan biasanya kurang laris, tapi yang selalu berhasil menggoda saya justru novel-novel mainstream. Ah, ini memang salah (selera) saya!

Ketika hendak membaca Jurai, saya berdoa semoga novel setebal 298 halaman itu mampu menyuguhkan sesuatu yang lain dari "para pendahulunya?. Tentu keinginan ini bukan semata karena saya dan Guntur Alam sama-sama lahir di Sumatera Selatan, melainkan karena cerpen-cerpennya di pelbagai surat kabar menyuguhkan kecerlangannya dalam menggarap tema yang tidak mainstream dengan bahasa yang berkarakter.

Jurai menjadikan tokoh Emak, seorang janda empat anak, sebagai pusara cerita. Mata dan perasaan Catuk, anak lelaki yang tengah duduk di kelas lima SD yang merupakan anak bungsu Emak, menjadi penceritanya. Emak berjuang menyekolahkan anak-anaknya agar mereka tidak meradang sepertinya; dikelabui sang suami sebab ia tak bisa membaca. Ini bukan perkara mudah karena Emak adalah seorang janda yang bekerja seorang diri sebagai tukang sadap karet sebelum kemudian menjadi penjual sayur antarkampung, memiliki penghasilan pas-pasan. Belum lagi adat (Muara Enim, Sumsel) kala itu yang menabukan anak perempuan sekolah tinggi (Dan Emak memiliki tiga anak perempuan!).

Lalu tiba-tiba dejavu itu menghampiri saya:

(Selain Emak) Catuk adalah tokoh utama novel yang hidup berkekurangan, bersekolah dengan sepatu butut, menjalin cinta monyet dengan siswi dari SD lain yang bernama Dewi, hingga akhirnya Emak mampu ?memenangkan? pertarungan demi harga diri dan martabat keluarganya. O ya, Catuk memiliki beberapa teman dekat di sekolah, Catuk juga tumbuh dalam kultur Melayu yang kuat, dan ? o o, tiba-tiba saya kembali membuka halaman awal: Jurai dipersembahkan Guntur Alam untuk tiga kakak perempuannya yang ternyata memiliki kesamaan nama dengan ketiga kakak perempuan Catuk. Saya tidak suka dengan kebetulan. Oleh karena itu, saya pun memaknai kesamaan nama-nama itu bukan sebagai kebetulan. Implikasinya: saya meyakini bahwa?sebagian besar kisah dalam Jurai adalah novelisasi kisah hidup penulisnya. Catuk adalah Guntur Alam!

Gunung es kebahagiaan saya perlahan mencair. Tiba-tiba saya teringat Andrea Hirata. Teringat Laskar Pelangi.

Benny Arnas, cerpenis

Sumber: Lampung Post, Minggu, 28 Juli 2013

[Buku] Sehelai Selendang Seikat Mawar, Antologi Puisi Hari Kelahiran

SETIAP judul dan cover buku tak muncul begitu saja. Ada kisah yang berarti ketika penulis menentukan judul dan perwajahan bukunya. Demikian pula, buku mungil yang ditulis oleh Angeline K. Tahir, yang diterbitkan untuk mensyukuri Tangis Pertama Hari lahir.

Buku setebal 117 halaman yang dikemas cantik berukuran mungil bersampul biru, lengkap dengan buket mawar dan untaian mutiara menggambarkan kelembutan hati sang penulis penyuka bunga hidup, dengan mawar sebagai pilihan. Sementara untaian mutiara menggambarkan citra rasa yang tinggi sekaligus kelembutan hati pemilik buku puisi yang diwarnai dengan foto-foto sahabatnya.

Hari kelahiran bagi Angeline, seperti yang diungkapkan dalam “prakata” tak selalu dilihat atau diukur dengan pesta pora. Doa, ucapan selamat, ciuman penuh kasih dari orang-orang terkasih adalah kado yang sangat berarti, sangatn istimewa baginya. Bahkan bagi Angeline, demikian perempuan cantik ini biasa disapa, menyendiri dalam sepi, merenung adalah sebuah kemewahan baginya.

Tetapi mengapa mawar dan bukan lukisan rembulan di suasana malam yang remang yang dipilihnya sebagai cover, sehingga antara cover dan judul buku yang menggunakan kata “rembulan” menjadi gambaran yang jelas tentang isi buku, judul dan gambar? Bisa jadi Angeline punya pertimbangan khusus soal ini…

Di dalam buku ini ada sekitar 20 judul puisi yang ditulis oleh Angelin K. Tahir dengan berbagai tema, sekitar 50 judul puisi yang ditulis oleh sekitar 35 sahabat Angeline, puisi istimewa yang ditulis sebagai kado istimewa untuk memperingati hari kelahiran Angelin, perempuan, istri seorang dokter yang tak hanya menyukai sastra tetapi juga terlibat dalam dunia sastra lewat puisi-puisi pendek yang dalam maknanya.

Cahaya, bayang-bayang, malam, alam dan perjalanan hidup adalah sebagian tema yang sketsanya direfleksikan Angelin dalam untaian kata, puisi yang lembut namun terasa gejolak hati dan jiwa seorang Angelin.

Kisah Malam

Langit gulita
Lagu malam menyibakkan rindu pada kunang-kunang
Semesta diam seakan paham
Aksara tergores pada halaman yang semakin menguning, melewati masa
Perjalanan semusim demi semusim
Bukankah rindu selalu menggoda di sepanjang malam yang gelap gulita
   
    Jakarta, 14 Desember 2012
   
Puisi Angelin ini, menggambarkan tentang perjalanan dari waktu ke waktu. Malam yang penuh rindu, rindu pada apa atau siapa? Hanya Angelin yang tahu…

Setiap perjalan selalu ada kisah, seperti kisah tentang Bandrek Jagung, puisi Angeline yang menggambarkan suasana, cuaca daerah Jawa Barat yang dingin.

Bandrek Jagung

Malam tiba berdasma rinai
Meningkahi bisik lembut seruling, lirih
Bait demi bait kisah dilantunkan

Ada sedepa jarak di antara kita
Sementara gigil tak juga hendak berlalu, kian menggigit
Segelas bandrek menyusup ke kerongongan yang kering,
sepi kata-kata, selorong sunyi
sejuta aksara di sinar mata, cukuplah

Segelas bandrek meruntuhkan gigil dalam batok kelapa
sementara jagung berendam selamanya, tanpa suara, pasrah
gigi berkawan lidah, perlahan melumatnya

Ada sedepa jarak antara kita
Segelas bandrek dalam batok kelapa, hangat, sederhana,
menemani, menyelimuti aksara
Mungkin jarak sedepa menjadi terlampau jauh

Cihideung, Jabar, 27 Pebruari 2013

Dalam puisi Angelin ini, pembaca akan dapat menangkap makna puisi yang menggambarkan suasana Cihideung yang dingin. Tentang jarak sedepa yang terasa jauh, semacam rasa keterasingan yang tak bisa dienyahkan dengan segelas bandrek dan jagung rebus yang pasrah.

Puisi, sebagaimana biasanya, adalah ungkapan hati penulisnya. Apakah Angelin ingin yang lebih dari segelas bandrek jagung? Hmmm…ini puisi yang menggelitik dan setidaknya Angelin mampu membuat imajinasi saya meliar ketika membaca puisi ini dan tersenyum sendiri sambil membayangkan wajah penulis puisi hangat ini.

Puisi sahabat, puisi penuh kasih untaian mutiara yang tak ternilai

Puisi penuh kasih dengan tema berbeda yang ditulis para sahabat, semuanya menggambarkan betapa pertemanan, persahabatan adalah kasih yang sejati. Puisi yang ditulis oleh teman penyair, seperti Shinta Miranda, Kurnia effendi, Nita Tjindarbumi, Evi Manalu, Nestor Rico Tambunan, Saut Poltak Tambunan, Jodi Yudono, Evert Maxmillan Pangajouw, Magi Luna, Dharmadi, Giyanto Subagio dan nama-nama lainnya, adalah puisi pilihan yang menggambarkan tali kasih untuk seorang Angelin yang sedang memperingati hari kelahirannya.

Semua puisi sahabat dalam buku ini, tentu bukan puisi asal-asalan para penulisnya. Semua puisi untuk Angelin adalah baris kata yang lahir dari lubuk hati sebagai tanda kasih pada Angelin, perempuan penuh senyum yang sedang berbahagia di hari kelahirannya.

Hutan Perempuan 8 ( Giyanto Subagio)

selembar potret
bergambar aku dengan seorang perempuan dari masa depan
kita senasib dan sepenanggunan mengulum sunyi bersama-sama
nasib bukan lagi kesunyian masing-masing

makan malam yang nikmat ala timur dan barat
dengan daftar menu utama : persahabatan,
persaudaraan, dan kasih sayang

 di atas apartemen yang tinggi menjulang
diam-diam sunyi menyelusup ke balik kamar
lalu bersembunyi ke dalam laptop

Puisi Giyanto yang menggambarkan persahabatan dengan seorang yang tinggal di sebuah aparteman, dan sahabat itu adalah Angelin. Puisi yang menggambarkan tentang persahabatan dan kedekatan tanpa membedakan suku, ras, dan status sosial.

Masih banyak lagi puisi manis di buku ini yang tak mungkin dipaparkan satu persatu. Mungkin ada baiknya buku ini tak hanya dicetak terbatas agar teman, penikmat sastra dan para sastrawan bisa ikut membaca dan menikmati berbagai menu dalam bentuk puisi yang ada di dalam buku bersampul biru ini.

Tita Tjindarbumi, sastrawan

Sumber: Lampung Post,
Minggu, 28 Juli 2013

Saturday, July 27, 2013

Dinamika Sastra Kaum Santri

--  Doddy Hidayatullah
SECARA kualitatif, dinamika sastra kaum santri di pondok pesantren bisa kita analisis. Salah satunya adalah melalui pelbagai macam perubahan serta pergeseran corak orientasi paradigmatik yang menjadi substansi dalam karya sastra yang bersangkutan. Maka, bertambahlah 'spesies' baru, khazanah sastra pesantren mutakhir; sastra pop pesantren dan sastra pesantren yang subversif. Keberadaan dua spesies baru ini tidak hanya melengkapi dan menemani kanon sastra pesantren yang sudah ada, tetapi juga di banyak sisi menyimpan suatu potensi dialektis dan kritis baginya; intertextual clash (benturan intertekstual).

    Sebagaimana kita kenal dari jejak historisnya, sastra pesantren kita dikenal sebagai genre sastra yang giat mengangkat tema-tema nilai esoterik keagamaan; Cinta Illahiyyah, pengalaman-pengalaman sufistik, cinta sosial (habluminannaas), atau ekspresi dan impresi transendental keindahan alam semesta (makrokosmos). Mayoritas begitu kental dengan nuansa religius. Ini terlihat begitu jelas dalam karya-karya sastrawan pesantren tahun 90-an Acep Zamzam Noor, D Zawawi Imron, Zainal Arifin To-ha, Jamal D Rahman, Abi-dah el-Kha-eliqi, Kuswaidi Syafi'ie, Faizi L. Kaelan dan sastrawan-sastrawan lain yang ruang kreasi mereka bertempat di lingkungan geografis yang bernama pesantren.

    Akibat kentalnya nuansa tasawwuf, sastra pesantren sering di-identikan dengan sastra sufistik atau sastra profetik (nubuwwah). Dengan kata lain, karakter sastra sufistik telah menjadi kanon sastra (mainstream literature) dalam tradisi kesusasteraan pesantren. Dengan Cinta Ilahiyyah dan spirit religius yang menjadi grand theme, paradigma estetika utama dalam etos berkreasi, sastra pesantren sebenarnya membawakan relevansi yang cukup signifikan terhadap vitalitas tradisi keilmuan di pesantren itu sendiri; sastra pesantren menjadi salah satu media alternatif bagi para apresian untuk mengenal dunia tasawwuf.

    Dengan apresiasi yang kontinyu, paling tidak sedikit demi sedikit nilai estetika dan kearifan humanis-teologis yang inheren dalam karya sastra dapat membentuk suatu sikap yang eklektik dalam beragama bagi para apresian, salah satunya dicirikan dengan terbangunnya sinergitas pemahaman terhadap fiqih dan tasawwuf.

    Dengan kentalnya nuansa Cinta Illahiyah ini pula, lengkaplah sudah sastra pe-santren sebagai subjek mayoritas dari keluarga besar sastra Indonesia yang mengusung dan meng-eksplorasi simbol-simbol serta nilai religiusitas (Islam). Sekalipun tentu saja, secara hakiki nilai-nilai sufistik dan profetik tidak bersifat ekslusif untuk golongan tertentu, melainkan juga terbuka luas untuk kalangan non-pesantren.

    Dewasa ini ada perkembangan yang cukup menarik; bahwa kalangan sastrawan pesantren ternyata tidak hanya menjadikan ke-tasawwuf-an sebagai grand theme dalam etos kreativitasnya; satu persatu mulai terlihat adanya keliaran, muntahan-muntahan kegelisahan untuk merambah ke sisi-sisi lain. Sastra pesantren berada dalam kegelisahan yang panas. Di sinilah saya melihat munculnya genre sastra pesantren yang subversif.

    Yang paling ekstrim barangkali adalah novel Mairil (Pilar Media, Yogyakarta; 2005) karangan Syarifuddin yang sedemikian berani mengangkat sisi gelap pesantren; yakni abnormalitas perilaku seksual yang terjadi di pesantren (mairil; homoseksual). Detail-detail ilustrasi peristiwa yang diangkat dari fakta itu dinarasikan sedemikian vulgar. Boleh dikatakan novel ini subversif terhadap tradisi pesantren; bukankah seksualitas dan cinta lawan jenis menjadi suatu hal yang (di) tabu (kan) di pesantren?

    Faktanya; pembatasan pergaulan lawan jenis yang berlebihan merupakan faktor utama dari disorientasi seksual yang terjadi di pesantren. Meskipun tidak bisa tidak, di sisi lain novel ini potensial menciptakan suatu bias eksternal; dimana ia mengundang stigma buruk kalangan masyarakat terhadap pesantren sebagai institusi pendidikan berbasis agama.

    Sayangnya, kritisitas novel Mairil ini tidak diimbangi dengan kebaruan corak dan wawasan estetika. Prestasi dari novel Mairil adalah kualitas dokumenter (Faruk HT, 2000) dimana ia berhasil mendongkrak sisi tersembunyi pesantren sebagai suatu sistem yang dinamis, dan bukan kualitas literer; kualitas stilistika, capaian estetika sastrawinya masih cenderung nge-pop.

    Namun, inilah satu bentuk muntahan otokritik baru. Revolusioner terhadap kultur pesantren yang mayoritas cenderung patriarkhal dan mono-referen (hanya terpaku pada sistem referensi pemahaman tunggal). Secara implisit, dapat kita interpretasikan bahwa kehadiran novel Mairil berusaha membuka cakrawala baru pemahaman tentang cinta; bahwa Cinta Illahiyah -yang sufistik- tidak begitu saja dengan gampang diraih secara instant.

    Demi kesuksesan dalam perjalanan mendaki tangga-tangga cinta, seorang insan mesti sabar dalam melewati tahapan-tahapan dimensional dari Jalan Cinta. Bukankah Ibn 'Arabi, sang maestro sufi itu pernah memberikan formulasi tentang Jalan Cinta; Cinta alami (cinta lawan jenis dan unifikasi makrokosmis), Cinta Ruhani, dan Cinta Illahi. Dan Cinta Alami menempati posisi yang amat vital; bukankah Ibn Arabi juga mampu menelurkan banyak karya lantaran motivasi psikologis yang kuat dari Nidzam, seorang wanita Baghdad yang dicintainya?

    Secara kuantitatif, sastra pop pesantren semakin menyemarakkan industri perbukuan.

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 27 Juli 2013


Wednesday, July 24, 2013

Karya Terakhir Persembahan Almarhum Djafar H Assegaff

BUKU karya terakhir tokoh pers nasional almarhum Djafar Husin Assegaff berjudul Zaman Keemasan Soeharto diluncurkan di Hotel Aryaduta, Jakarta, kemarin.

PELUNCURAN BUKU DH ASSEGAF: Wakil Pemimpin Umum Kompas St Sularto
memberikan buku Zaman Keemasan Soeharto, karya terakhir alm Djaffar H
Assegaff kepada Syifa Abdullah istri almarhum disaksikan Muh Gazy,
Achmad Rukny anak almarhum dan Public Relation and Publicity Manager
Metro Tv Henny Puspitasari pada acara peluncuran buku di Jakarta,
Selasa (23/7). Selain peluncuran buku juga diadakan bedah buku Zaman
Keemasan Soeharto ini, sebagai peringatan 25 tahun Lembaga pers Dr
Soetomo dan mengenang jasa-jasa almarhum Djaffar H Assegaff pada dunia
pers di Indoensia. (MI/MOHAMAD IRFAN)
Buku setebal 414 halaman itu berisikan kumpulan 225 tajuk rencana karya almarhum ketika bekerja di surat kabar Surabaya Post periode 1989-1993.

Hadir dalam peluncuran buku itu, antara lain, Direktur Pemberitaan Media Indonesia Usman Kansong, Ketua Dewan Pers Bagir Manan, Direktur Eksekutif Lembaga Pers Dr Soetomo Atmakusumah Astraatmadja, Guru Besar UI Bachtiar Aly, dan Pemimpin Redaksi Antv Uni Z Lubis.

Almarhum yang juga anggota Dewan Redaksi Media Group itu, dalam bukunya, menuturkan bahwa karyanya memang mengupas masa gemilang Orde Baru di bawah rezim Soeharto. Kendati begitu, bukan berarti ia larut dalam romantisme kejayaan pemerintahan Soeharto.

"Seperti yang disuarakan orang belakangan ini, saya benar-benar tulus mengakui masa gemilang Pak Harto," ujar almarhum yang meninggal pada 12 Juni 2013 itu dalam bukunya.

Atmakusumah mengenal almarhum sebagai sosok wartawan kritis. "Beliau juga menekankan pentingnya kebebasan pers tanpa sensor," kata Atmakusumah.

Pada bagian lain, Uni Z Lubis memiliki kenangan atas almarhum ketika bekerja di Warta Ekonomi. Almarhum, jelas Uni, banyak mengajarkan cara menembus narasumber untuk memperoleh berita eksklusif.

Pendiri harian Kompas Jakob Oetama, dalam buku itu, turut mengomentari buku yang dicetak sebelum almarhum meninggal. Menurut dia, judul Zaman Keemasan Soeharto masih bisa diperdebatkan karena tidak diperoleh argumentasi almarhum soal itu lewat tajuk-tajuknya.

Adapun CEO of Media Group Surya Paloh mengatakan buku almarhum dapat menjadi bahan renungan yang baik bagi para jurnalis muda. "Ia mewariskan keteladanan untuk menulis hingga akhir hayatnya," kata dia.

Ketua Umum DPP Partai NasDem itu juga menilai karya almarhum merupakan persembahan seorang tokoh pers yang bisa menjadi kekayaan khazanah dalam sejarah pers Indonesia. (Pol/H-2)

Sumber: Media Indonesia, Rabu, 24 Juli 2013

Sunday, July 21, 2013

[Ranggi] Pekan Hari Puisi Indonesia 2013

YAYASAN Panggung Melayu menyelenggarakan helat bertajuk Pekan Hari Puisi Indonesia 2013 pada 25-30 Juli mendatang di Jakarta. Asrizal Nur selaku ketua Panitia yang dihubungi Riau Pos menyebutkan, helat tersebut terselenggara berkat kerja sama dengan Yayasan Sagang, Harian Indo Pos, Pemprov Riau, Komunitas Sastra Indonesia, Jurnal Sajak.

Helat tersebut menurut Asrizal digagas atas dasar pemikiran bahwa tahun lalu Provinsi Riau dipercayakan sebagai tuan rumah dalam hal mendeklarasikan hari puisi Indonesia. ‘’Dengan demikian ada dua hal yang harus tercatat di dalam sejarah, pertama Riau menyumbangkan bahasa dan yang kedua deklarasi hari puisi Indonesia,’’ ucapnya tegas.

Asrizal yang juga penyair sekaligus sutradara teater itu menambahkan, helat itu nantinya adalah sebuah bukti konsekwensi atas semangat ke-riau-an untuk tidak mendiamkan atau membiarkan begitu saja setelah bersusah payah mengumpulkan sejumlah penyair Indonesia dan mendeklarasikan hari puisi Indonesia tahun lalu di Pekanbaru. ‘’Makanya kita harus tetap menjayakan hari puisi Indonesia tersebut,’’ paparnya.

‘’Ada beberapa agenda dari helat Pekan Hari Puisi Indonesia 2013 ini nantinya,’’ beber Asrizal. Di antaranya Lomba Baca Puisi Se Indonesia dengan total hadiah Rp50.000.000 dari Indo Pos.  Lomba baca puisi ini akan dilaksanakan di Anjungan Riau Taman Mini Indonesia Indah dan Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta.

Sebagai dewan jurinya, disebutkan Asrizal mencoba untuk menempatkan beberapa penyair terkemuka dari tiga provinsi dalam babak penyisihan. Marhalim Zaini dari Riau, Zulham Dani dari Kalimantan dan Sosiawan Leak dari Jawa. Sedangkan untuk babak final, dewan jurinya terdiri dari Presiden Penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri, Fikar W Eda dan Yoserizal Manua. Sebagai syarat lainnya ditambahkan Asrizal setiap peserta akan memilih puisi yang telah ditetapkan panitia dari puisi yang ada di antologi buku Deklarasi Hari Puisi Indonesia 2012.

Agenda Berikutnya Sayembara Buku Kumpulan Puisi dengan memperebutkan total hadiah Rp90.000.000 dari Harian Indo Pos. Dijelaskan lebih jauh oleh Asrizal sayembara ini terbuka bagi para penyair Indonesia yang tinggal di dalam dan luar negeri. Adapun yang bertindak sebagai dewan jurinya Abdul Hadi WM, Sutardji Calzoum Bachri, dan Maman S Mahayana. ‘’Ketiga dewan juri inilah nantinya yang akan menentukan satu buku kumpulan puisi terbaik dan empat buku kumpulan puisi pilihan,’’ kata Asrizal Nur.

‘’Agenda berikutnya adalah seminar hari puisi Indonesia, Tadarus Puisi 20 penyair Indonesia dan pada tanggal 30 malam merupakan acara puncak anugerah hari puisi 2013.’’

Ketika ditanya respon peserta, Asrizal menjelaskan semuanya sungguh di luar dugaan. ‘’Bagaimana tidak,’’ katanya, ‘’Saat ini saja, yang sudah mendaftar mengikuti sayembara buku berjumlah 80 judul buku. Sedangkan lomba baca puisi sudah 100 peserta. Sungguh memang di luar dugaan,’’ katanya mengakhiri.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 21 Juli 2013

[Tifa] Menikmati Seni sambil Belajar

SEDERET lukisan koleksi Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, nampak terawat rapi. Wajah-wajah objek perempuan yang menghiasi dinding-dinding tembok membuat pemandangan pun semakin lebih menggairahkan.

ANATOMI TUBUH: Peserta sedang melihat anatomi sebuah patung berjudul
Si Denok pada acara Peningkatan Kompetensi bagi Wartawan
Kebudayaan
di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Jumat (19/7).
Pada kompetensi ini, peserta juga diajarkan tentang kritik film, kritik
seni rupa, dan pemahaman pers. (Iwan Kurniawan)

"Tidak semua orang bisa masuk ke ruangan ini. Biasanya tamu kenegaraan saja," ujar Cecep Koswara, staf protokoler Istana Kepresidenan Bogor saat menuntut puluhan peserta pada acara Peningkatan Kompetensi bagi Wartawan Kebudayaan, Jumat (19/7).

Kini, sekitar 700 buah hasil karya sejumlah seniman ternama dunia terdapat di gedung bersejarah itu. Karya-karya pelukis ternama Indonesia pun terpajang rapi. Mulai dari karya Basuki Abdullah hingga Raden Saleh.

Dalam sebuah ruangan khusus mantan Presiden Soekarno, ada sebuah lukisan 3x4 meter berjudul Wedding Ceremony yang terpampang di bekas ruang kerja Bung Karno. Lukisan itu dibuat pada 1881 oleh seorang seniman Rusia.

Bung Karno mendapatkannya saat melakukan pelawatan ke Rusia semasa menjadi presiden dulu. Lukisan itu mengisahkan pesta adat pernikahan bangsa Rusia, terlihat anggun dengan bingkai warna emas yang membuat kita berdecak kagum. Lukisan itu memiliki corak yang khas.

Permainan cahaya dapat membuat mata kita seakan melihat sebuah realitas yang sesungguhnya. "Wow, keren sekali," ujar salah satu peserta saat mendapati lukisan itu seakan menyatu dengan warna karpet yang ada di bekas ruangan Bung Karno itu.

Selain menyimpan ratusan lukisan karya seniman kenamaan dunia, Istana Bogor juga menyimpan benda-benda seni lainnya seperti patung seni yang dibuat pematung kenamaan seperti Trubus. Patung-patung tersebut dipajang di setiap sudut halaman dan bangunan Istana Bogor dengan beragam bentuk, gaya, dan model naturalis yang berbeda-beda.

Terdapat sekitar 360 patung yang tersimpan di Istana Bogor, ada yang berbahan logam, marmer maupun perunggu. Tak hanya itu, ada koleksi buku sebanyak 3.205 judul yang terdapat di perpustakaan istana.

Pada acara yang berlangsung pada 18-25 Juli itu, ada berbagai materi yangdiberikan kepada puluhan wartawan kebudayaan se-Indonesia. Mulai dari mengkaji karya lukis, kritik sastra, kritik film, filsafat seni, hingga kunjungan ke kampung budaya Sindang Barang, problematika kebudayaan, hingga problematika pers pun dibahas berbagai pembicara secara jeli.

Semua wartawan pun juga mengikuti uji kompetensi dengan mengisi setiap lembaran pertanyaan yang diberikan setiap kali pembahasan dilaksanakan. "Kompetensi wartawan budaya itu penting. Ini berguna untuk bisa mendapatkan ilmu sehingga bisa menulis secara lebih tajam dan berbobot,” nilai Hendry Ch Bangun, Sekjen Persatuan Wartawan Indonesia Pusat.

Berbagai kajian

Tak dapat dimungkiri, budaya yang ada di Indonesia menjadi sebuah kebanggaan yang seharusnya dipupuk. Apalagi, di era globalisasi ini pengaruh asing bisa saja menggerogoti sendi-sendi budaya Nusantara. Tak mengherankan jika pelestarian budaya baik berupa artefak maupun ekofak sejatinya menjadi tanggung jawab kita bersama.

"Simbol orang Dayak (Iban) yang memiliki tato di lengan punya arti tersendiri. Inilah sebuah kekayaan budaya lewat ekofak yang perlu dikaji secara mendalam. Era globalisasi ini, budaya asing akan masuk sehingga bisa memengaruhi kita," ujar Junus Satrio Atmodjo, Ketua Ikatan Ahli Arkeolog Indonesia, dalam sebuah pemaparannya.

Terlepas dari materi-materi yang diberikan, ada hal baru yang ada. Hampir semua peserta dari berbagai daerah seperti Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Timur, hingga Papua mengaku mendapatkan ilmu karena bisa melihat kebudayaan dari perspektif global. "Kedekatan wartawan budaya dengan dunia antropologi begitu kuat sehingga ini waktu yang tepat untuk dikaji secara ilmiah," timpal antropolog Iwan Mulia Firdaus. (Iwa/M-2)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 21 Juli 2013     

[Tifa] Membaca Garis Penuh Keteduhan

-- Iwan Kurniawan

Sebanyak 30 seniman menghadirkan tafsiran atas seni kaligrafi. Penuh perenungan dan penjiwaan mendalam terhadap Sang Khalik.

PAMERAN KALIGRAFI ISLAM: Pengunjung menyaksikan rangkaian Pameran
Calligraphy Islam II 2013 di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki,
Jakarta Pusat, Rabu, (17/7). Pameran yang diikuti 30 pelukis dan perupa
dari Institut Kesenian Jakarta ini diharapkan dapat menambah makna
lebih luas tentang kaligrafi. Pameran digelar hingga 27 Juli 2013 dan
buka pukul 10.00-21.00 WIB. MI/ATET DWI PRAMADIA

GORESAN ayat-ayat suci Alquran di atas kanvas hingga ukiran nama Allah di atas kayu menjadi sebuah pemandangan yang memberikan sebuah nuansa yang berbeda. Ada nyanyian-nyanyian jiwa untuk memuliakan nama-Nya.

Lewat Pameran Kaligrafi Islam Kedua di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 15-27 Juli, ada lembaran-lembaran khusyuk untuk bisa lebih dekat kepada Sang Pencipta.

Pameran ini menghadirkan 30 karya seniman. Mereka mencoba untuk melihat dan memaknai nama Allah. Mulai dari gaya abstrak yang penuh perenungan hingga gaya realis yang penuh dengan unsur keindahan.

Membaca pikiran para seniman memang tak mudah. Pasalnya, pengalaman religius mereka pastilah berbeda-beda. “Pengalaman spiritual akan membawa setiap seniman untuk menghadirkan karya yang berbeda-beda,” ujar perupa Agoes Salim ST di sela-sela pembukaan pameran, awal pekan ini.

Sebagai pengalaman atas kehidupan yang glamor dan hedonis, Agoes pun tak menyangsikannya. Ia pun menghadirkan karya yang penuh dengan teknik ukir sebagai rasa syukur.

Teknik ukir yang ia hadirkan lewat simbol-simbol memang tak mudah. Apalagi, ayah dua anak itu harus benar-benar jeli untuk bisa mengukir sesuai dengan ayat yang terdapat dalam Alquran.

Tengok saja karya Al-Ikhlas yang penuh dengan simbol-simbol berupa lekukan-lekukan yang memberikan kesan sebagai sebuah karya abstrak. Namun, bila kita lihat secara detail, ada tulisan 'Al Ikhlas' yang diukir dalam tulisan Arab yang mengundang decak kagum bagi pengunjung. “Menggunakan media kayu memang lebih membuat karya itu hidup. Saya coba untuk menghadirkan simbol-simbol,” jelas pengajar seni rupa di Institut Kesenian Jakarta itu.

Menafsir setiap kalimat bergaya kaligrafi memang butuh pengetahuan mendalam, terutama merasakan sentuhan dan pengalaman paling terdalam dari lubuk hati seniman.

Karya-karya penuh dengan unsur warna bisa kita lihat pada goresan tangan di atas kertas, seperti dalam karya Siti Turmini K berjudul Ya Allah Tambahkanlah Ilmu Pengetahuan.

Karya ini begitu padu dengan komposisi hitam dan putih. Tiap-tiap garis memiliki makna tersendiri. Corak futuristik begitu kuat sehingga kita bisa membaca pengalaman batin Siti atas interpretasi ketuhanannya.

Berbeda dengan pelukis asal Papua Barat, Fauzan Musa’ad, yang begitu konsisten dengan menghadirkan tema-tema yang dekat dengan kehidupan, Semisal, salat lima waktu, berzikir, hingga pemaknaan atas cahaya.

Pada sebuah karya, Fauzan menghadirkan Al-Ashy (Demi Masa). Sebuah tafsiran yang beragam sehingga membuat karya itu begitu berbobot dan berkarakter kuat.

Dalam karya berukuran 120x100 cm itu terlihat sebuah jam analog yang ia pasang di sisi kanan kanvas. Ia menggunakan jam sebagai sebuah cermin atas masa yang selalu memiliki misteri-misteri tersendiri.

“Intinya, setiap waktu itu harus dimanfaatkan dengan baik. Bila kita membagi waktu yang tepat, hidup ini akan berarti sehingga kita bisa menyelesaikan setiap pekerjaan sesuai dengan rencana Allah,” tutur Fauzan dengan nada khas Papua.

Jagat alam Dalam dunia seni visual, kaligrafi diambil dari kata bahasa Yunani, yaitu ‘kallos’ dan ‘grapha’ yang secara harfiah berarti ’tulisan cantik’.

Kaligrafi diperkenalkan sejak zaman Mesir purba, Yunani purba, dan China purba karena pada masa itulah tulisan diukir di atas batu atau kepingan bulu dengan menggunakan alat yang tajam.

Kemudian, alat tulis seperti buluh, bulu ayam, berus digunakan untuk menulis di atas kulit kayu atau belulang. Namun, sejak penemuan kertas, pelbagai jenis pena digunakan untuk menulis kaligrafi. Untuk tulisan Rumi dan tulisan Khat, pena manuskrip amat sesuai digunakan untuk menghasilkan garis yang indah dan elok.

Namun, dalam dunia Islam, perkembangan kaligrafi sudah ada sejak abad ke-11 dari Persia. Seni kaligrafi biasanya diukir di kayu, bisa dari kayu jati, mahoni, dan lainnya. Kaligrafi Islam sangat berkembang di lingkungan masyarakat Jepara.

Isi kaligrafi disadur dari ayat-ayat Alquran yang mempunyai khat Turki atau yang lainnya. Kaligrafi Arab kayu terbagi menjadi beberapa kategori, kaligrafi Allah-Muhammad, kaligrafi Ayat Kursi, kaligrafi Ayat Seribu Dinar, kaligrafi Asmaul Husna, dan kaligrafi surah-surah Alquran.

Tentu saja, peranan seniman Islam dalam mengembangkan seni kaligrafi menjadi penting. Pasalnya, itu akan menjadi sebuah catatan yang menarik dalam perkembangan seni rupa Islam di Indonesia.

Terlepas dari unsur keislaman, beberapa seniman juga masih menjaga sebuah toleransi yang dihadirkan lewat karya lukis. Anindyo Widito menghadirkan karya berjudul Untukmu Agamamu dan Untukku Agamaku.

Selain menghadirkan masjid, Anindyo memberikan objek berupa gereja, pura, dan wihara dalam karyanya. Ia seakan mau menunjukkan bahwa seni tak harus berpatok kepada suatu paham tertentu.

Ada sebuah kebenaran yang ada dalam setiap agama bumi sehingga membuat karya ini begitu kuat. Melihat setiap karya pada pameran kaligrafi ini seakan membawa kita untuk membaca garis penuh keteduhan.(M-2)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 21 Juli 2013     

[Jendela Buku] Rekonstruksi Sejarah Ken Angrok

Judul buku: Tafsir Baru Kesejarahan Ken Angrok
Penulis: Suwardjono
Penerbit: Ombak
Tebal: 274 halaman
JIKA sekilas membaca judul buku Tafsir Baru Kesejarahan Ken Angrok (Pendiri Wangsa Rajasa) karya Suwardono, mungkin sempat terpikir mana nama yang benar, Ken Arok atau Ken Angrok? Padahal, nama yang umum dipakai di buku sejarah ialah Ken Arok.

Buku ini mengupas sosok Ken Angrok dengan berpegang pada kitab Pararaton atau dalam bahasa kawi disebut Kitab Raja-Raja. Kitab tanpa nama penulis itu mengungkap sejarah Ken Angrok dari lahir hingga mendirikan Kerajaan Singasari, yang sebelumnya bernama Tumapel, pada 1222.

Suwardono berpegang pada nama Ken Angrok berdasarkan pada nama dalam kitab Pararaton. Alasannya, dalam bahasa Jawa kawi (kuno), penggunaan anuswara tidak disarankan dalam penulisan bahasa Indonesia baku. Selain itu, anuswara (n) harus dibaca ‘ng’.

Penggunaan nama Ken Arok diduga bersumber pada nama yang disebutkan pada judul alih aksara Pararaton karya Brandes dalam VBG volume LXII (1920) yang berjudul Pararaton (Ken Arok) of het Boek der Koningen van Tumapel en van Majapahit. Nama Ken Arok juga muncul dalam sebuah kidung berjudul Kidung Serat Arok yang kini menjadi koleksi Perpustakaan Nasional RI, Jakarta.

Karya sejarah lainnya yang menggunakan istilah Ken Arok yakni buku karya HM Viekke berjudul Nusantara Sejarah Indonesia. Tulisan-tulisan sejarah yang bersumber pada karya Brandes dan kidung tersebut masih menggunakan istilah Ken Arok.

Tradisi lisan

Kitab Pararaton diduga sebagai bentuk rekaman tradisi lisan yang kemudian ditulis antara 1600 dan 1613. Kitab tersebut lebih banyak mengupas kehidupan Ken Angrok dengan unsur mitologi. Misalnya tentang keberadaan Ken Angrok di dunia yang dilahirkan dari rahim Ken Endok, lantaran berhubungan dengan Batara Brahma. Sejak dalam kandungan, orangtua Ken Angrok bercerai. Ayahnya, Gajahpara, meninggal lima hari setelah Ken Endok mengakui anak di rahimnya bukan benih Gajahpara. Perceraian itu memang dikehendaki Ken Endok karena Dewa Brahma menjanjikan kelak sang anak akan membawa perubahan dan menjadi seorang pemimpin.

Saat lahir, bayi itu dibuang ibunya ke kuburan dan diasuh pencuri. Perjalanan hidup Ken Angrok bukan sebagaimana sejarah para raja yang selalu bersih tanpa cela. Justru di sinilah terlihat siapa dia. Ken Angrok hidup di dunia gelap. Mencuri, berjudi, dan mabuk sudah biasa dilakukan saat masih muda karena pengaruh lingkungan. Kemudian saat beranjak besar, ia mulai jatuh cinta dengan perempuan yang sudah menjadi istri awuku.

Ken Angrok jatuh cinta kepada Ken Dedes. Saat turun dari pedati, kain yang dipakai Ken Dedes untuk menutupi kaki tersingkap. Ken Angrok melihat ada cahaya di betisnya yang dipercaya bahwa Ken Dedes bukan perempuan biasa. Pararaton juga mengungkapkan, untuk mendapatkan Ken Dedes, tangan Ken Angrok harus berlumuran darah. Dia harus membunuh Tunggul Ametung dengan keris buatan Empu Gandring, yang nantinya akan membunuh tujuh raja di Kerajaan Singasari.

Kisah pernikahan Ken Angrok dan Ken Dedes pun cukup menarik. Penulis mencoba merekonstruksi kisah pernikahan keduanya berdasarkan kitab Pararaton, Negarakertagama, dan cerita lisan penduduk Panawijen, Malang.

Cerita lisan penduduk Panawijen di masa lampau ini akhirnya meninggalkan jejak sejarah dengan ditemukannya gua di sekitar situs Sumur Windu pada 1993. Di masa lampau disebutkan, Ken Dedes menolak menikah dengan Joko Lola dan melarikan diri masuk ke Sumur Windu (sumur yang sangat dalam). Namun tidak lama kemudian, Ken Dedes sudah menjadi istri penguasa Tumapel.

Penulis juga membahas kematian Ken Angrok yang dibunuh saat makan di waktu senja. Penulis merekonstruksikan kembali senja yang dimaksud pukul berapa, apakah pukul 17.00-18.00 atau 17.30.

Membaca buku setebal 274 halaman ini seperti melihat masa lalu Ken Angrok, pendiri Kerajaan Singasari, dengan rekonstruksi-rekonstruksi berbasis pada kitab Pararaton yang hampir separuh halaman isinya memuat tentang sosok sang raja. (Nda/M-2)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 21 Juli 2013     

[Jendela Buku] Ruang Imajinasi Skenario Remang-Remang

-- Lintang Rowe

Buku kedua penulis muda Jessica Huwae hadir dengan sejumlah kejutan, yakni bahasa yang lebih matang dan ending yang sebagian besar tidak terduga.

TUJUH tahun absen agaknya kian mematangkan gaya penulisan Jessica. Gaya bertutur dan dialognya lebih matang jika dibandingkan dengan buku pertama Soulmate.com yang masuk genre metropop.

Buku keduanya, Skenario Remang-Remang, menyuguhkan 14 cerita pendek yang hampir seluruhnya meninggalkan kesan dark, gloomy. Cerita yang digali lebih mendalam, mengolah fase kepahitan hidup, pengkhianatan, patah hati, ramuan cinta dan politik, kesepian, kondisi sosial, cinta anak dan ayah, dan masih banyak lagi.

Jessica mengemas kepahitan dalam alur cerita yang mengalir dan bahasa cukup enak. Di beberapa cerita, penulis muda berdarah Ambon-Medan itu memunculkan penjabaran dengan kalimat dan dialog pendek memikat serta langsung mengena. Namun, beberapa cerita lain menggunakan kalimat panjang dengan beberapa anak kalimat yang dipisahkan dengan garis. Hal itu tidak mengurangi rasa, tapi membuat saya merindukan kalimat-kalimat pendek menohok khas Jessica.

Dari 14 cerita yang disuguhkan, dua cerita berjudul Mencintai Elisa dan Pelajaran Patah Hati mengingatkan saya pada novel Raumanen karya Marianne Katoppo. Kematian, penyesalan, dan kesepian dengan unsur kejutan di bagian ending. Dua kisah itu mengingatkan saya pada sosok Monang dan Raumanen dalam novel Raumanen.

Ruang imajinasi

Beberapa cerita pendek karya Jessica memberi ruang kepada pembaca untuk menafsirkan sendiri kelanjutan dan akhir dari kisah yang dituturkan. Sepertinya Jessica sengaja memberi ruang imajinasi di buku keduanya ini.

Ke-14 cerita di Skenario Remang-Remang juga memberi ruang bagi pembaca untuk memilih dan mendiskusikan cerita favorit. Maggie Tiojakin, penulis kumpulan cerpen Homecoming dan Balada Ching Ching, serta novel Winter Dream mengumumkan cerita favoritnya. “Saya paling suka cerita Resep Rahasia Tante Meilan. Ada ramuan cinta, perjuangan, dan misteri,” kata dia dalam acara peluncuran Skenario Remang-Remang, beberapa waktu lalu.

Beberapa undangan yang hadir dalam acara tersebut menyebutkan kisah favorit Mencintai Elisa, Nostalgia Rasa, dan lain-lain. Saya sendiri menyukai cerita Menjemput Bapak, Galila, dan Satu Hari dalam Hidup Aidan.

Menjemput Bapak berkisah tentang perselingkuhan seorang ayah dan kemarahan sang putri yang merasa dikhianati dan tidak bisa memahami kesabaran ibunya. Kemarahan itu memengaruhi pemikiran dan hidupnya, mendesak mencari cara dan jalan keluar untuk sebuah kata: maaf.

Galila juga bercerita tentang ketidaksetiaan suami, tetapi dengan reaksi dan efek berbeda dari istri dan sang anak yang diakhiri dengan kalimat cantik tapi pahit dan menohok dari sang penulis, “Tidak banyak yang berubah dalam hitungan satu tahun, sungguh, kecuali Galila menjadi anak pertama di kampungnya yang tidak memiliki nama belakang.”

Satu Hari dalam Hidup Aidan berkisah tentang problem sosial yang belakangan kian sering diberitakan di media cetak dan nasional. Satu persoalan yang membuat khawatir para orangtua. Jessica menuliskan dengan alur yang baik, dengan bahasa yang mampu menciutkan hati.

Pada akhirnya, saya menunggu buku ketiga Jessica. Menunggu untuk melihat kejutan selanjutnya. Menunggu dengan percaya bahwa penulis muda ini bisa menggali lebih matang lagi, karakter dan kedalaman bahasa di buku selanjutnya. (M-2)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 21 Juli 2013     

Membaca ‘’Wajah’’ Tuhan dan Riwayat ‘’Kepulangan’’ dalam Sajak

-- Ahmad Ijazi H

PUISI (sajak) adalah kejujuran perasaan yang diungkapkan oleh seorang penyair melalui kata-kata yang puitis. Setiap yang bersing-gungan langsung (nyata) maupun yang bersifat imajinatif (khayal) dapat dijadikan bahan mentah seorang penulis dalam meracik puisi yang apik. Konfik sosial, kesenjangan ekonomi dalam masyarakat, perasaan hati saat membicarakan persoalan cinta, wujud ketuhanan yang ‘bersemayam’ dalam diri seorang makhluk, riwayat kepulangan, semua terangkum dengan amat pariatif dan imajinatif dalam ‘’Sekeping Ubi Goreng’’ kumpulan sajak pilihan Riau Pos terbitan Yayasan Sagang tahun 2012 ini.
    
Sajak menjadi menarik manakala dalam bait-baitnya yang puitis tersebut terselip nama Tuhan sebagai zat yang bergerak di dalamnya. Dalam situasi ini, Tuhan seolah-olah terasa begitu dekat dengan sang penulis (seperti tak berjarak). Perasaan itulah yang sejatinya memberikan ruang serta nafas yang begitu luas kepada seorang penulis untuk melukiskan ‘’wajah’’ Tuhannya dalam sajak secara leluasa, namun tetap memiliki batasan-batasan serta kaidah-kaidah yang disyariatkan.

Jika membaca Tuhan, maka yang paling dekat dan senantiasa bersinggungan langsung dengan wujud-Nya adalah perihal ‘’kepulangan’’ (kematian). Simak saja sajak imajinatif berjudul ‘’Molekul Waktu’’ karya Fakhrunnas MA Jabbar berikut ini. Dalam baitnya dituliskan: molekul-molekul itu berbenturan menghambur waktu. Tak tahu di mana proton dan elektron membilang jiwa. Waktu berserakan di telapak kaki. Bergerak kian kemari. Menuju tiang arasy yang tinggi. (halaman 27).

Dalam penggalan sajak di atas digambarkan dengan amat jelas bagaimana hubungan Sang Pencipta dengan makhluk yang diciptakan-Nya saat ‘kembali’ (pulang) kepada dzat-Nya yang Maha Tinggi. Hal itu ditandai dalam kalimat menuju tiang arasy yang tinggi. Kemudian di akhir sajak, Fakhrunnas MA Jabbar menegaskan perihal ‘’kepulangan’’ tersebut dalam kalimat: terbawalah ia ke liang waktu yang dalam. Ada zat maha menunggu. Di situ. ‘Liang waktu’ digambarkan sebagai tempat peristirahatan terakhir, sedangkan ‘zat maha menunggu’ dimaksudkan sebagai wujud Tuhan Sang Pencipta.

Sajak berikutnya berjudul ‘’Jika Aku Tersesat’’ karya Husen Arifin. Dalam sajak tersebut Husen Arifin hendak menyuarakan kepada pembaca tentang kerisauan seorang penulis akan keberadaan hari akhir. Hal itu dapat dicermati dalam bait berikut: rakaat hidupku// hanyalah kesengsaraan// aku yang rapuh// yang membayangkan neraka (halaman 38). Dalam kalimat aku yang rapuh penulis mengakui bahwa ia hanyalah hamba yang sangat kecil, dan rapuh (lemah) yang tak memiliki daya upaya untuk mengingkari ketetapan-Nya (takdir).  

Lalu di akhir sajaknya, Husen Arifin mempertegas kerisauannya tersebut dalam bait: selagi kata-kata// tak berbekal// tak beramal// maka tak ada rakaat// yang khidmat// aku menyesali// jika aku tersesat. Kerisauan itu dapat dimaknai sebagai ungkapan rasa takut seorang hamba saat ia ‘dipanggil pulang’ dalam keadaan yang tidak siap lantaran membawa bekal (amal) yang tidak cukup.

Kemudian, dalam sajak yang berjudul ‘’Segumpal Tanah’’ Musa Ismail hendak mengisahkan perihal asal muasal penciptaan mahluk yang diciptakan dari segumpal tanah. Hal tersebut dapat dicermati dalam bait berikut: segumpal tanah di tanganmu// menjadi manusia dan pucuk-pucuk cemara// mejadi hati dan buih-buih lautan// juga daun-daun kering berguguran// di hamparan bumi luas membentang (halaman 85). 

Di akhir sajak, Musa Ismail lagi-lagi menuliskan riwayat ‘kepulangan’ yang cukup kental dalam sajaknya. Hal tersebut dapat dicermati dalam bait berikut: menjadi putih, menjadi hitam// lalu kembali dalam kekosongan// diam. Dalam potongan sajak tersebut jelas digambarkan kapasitas Tuhan yang memiliki kekuasaan mutlak menjadikan makhluk ciptaan-Nya mejadi ‘putih’ atau menjadi ‘hitam’ sesuai dengan takdir yang sudah ditetapkan-Nya.

Selanjutnya, dalam sajaknya yang cukup panjang, M Badri mengisahkan tentang perjalanan hidup ‘aku’ lewat sajaknya yang bertajuk ‘’Amsal Perahu’’ Sebuah perahu kembali ke dermaga// setelah mengarungi lautan kata// ombak sajak// badai pusi// berkawan matahari (halaman 99), begitu M Badri menuliskan bait pertama sajaknya.

Dalam sajak tersebut M Badri menempatkan ‘perahu’ sebagai ‘aku’. Perahu yang berjalan menapaki kehidupannya, bermukim di berbagai persinggahan, menyelami berbagai petualangan, sampai akhirnya ia harus kembali ‘pulang’ ke pangkuan Tuhan yang menciptakannya. Hal tersebut dapat dicermati dalam bait berikut: tiba di Bandar paling sepi// ia berorasi// di antara dua perahu. Lalu riwayat ‘kepulangan’ itu dipertegas dalam ungkapan bait berikut: ketika aku tak berdarah lagi// sambutlah aku// dalam tanah kosong-Mu.

Melalui dua sajaknya yang berjudul ‘’Perjumpaan’’ dan ‘’Secangkir Kopi Sore Hari’’ Dewi S Wibowo mengisyaratkan riwayat ‘kepulangan’nya secara singkat dan padat. Namun makna ‘kepulangan’ tersebut dapat dipahami dengan sangat gamblang tertuang dalam dua sajak tersebut. Sajak pertama berbunyi: selalu akan kita kenali nantinya// seseorang bernama perpisaan// segera kita kemasi segala kenangan// sampai tangis tak sanggup lagi mendedah// segeralah. segeralah (halaman 15).

Pada kalimat seorang bernama perpisahan sangat jelas digambarkan situasi yang harus dilewati setiap manusia dalam kehidupannya yakni berpisah. Pada saat berpisah, maka segala kenanganlah yang kemudian melekat erat dalam ingatan. Pada kalimat sampai tangis tak sanggup lagi mendedah mengandung pengertian batas akhir atau batas kesanggupan seseorang untuk berhenti mengenang (melepas kenangan).

Selanjutnya, dalam ‘’Secangkir Kopi Sore Hari’’ Dewi S Wibowo mengemas riwayat ‘kepulangan’nya tersebut melalui bait berikut: ketika kau dengar dentang lonceng// percayalah bahwa waktu akan mengajari kita// untuk bergegas menggulung hari menuju lelap// menuju muasal tempat kita akan berpulang (halaman 16).

Pada kalimat waktu akan mengajari kita terkandung makna perjalanan seseorang yang dilalui dalam ruang waktu (kehidupan) dengan berbagai macam peristiwa yang dijumpainya tersebut sebagai bahan pembelajaran. Pada kalimat menggulung hari menuju lelap terkandung makna batas yang dipersiapkan untuk kembali. Dan kalimat menuju muasal tempat kita akan berpulang sangat tegas menjelaskan arah mana yang mesti dituju saat ‘berpulang’ menuju keabadian, yakni kembali kepada Sang Pencipta. 
    
Sejatinya, sejauh apapun manusia berjalan, mengayuh sampan di luasnya samudera, namun tempat kembali yang paling hakiki hanyalah Tuhan semata. Tuhan memberikan nafas kehidupan ke pada setiap manusia dengan tujuan mulia, yakni agar menjadi khalifah di atas muka bumi. Menyerukan risalah Illahiyah kepada setiap makhluk untuk menuju jalan cahaya, jalan kebenaran Tuhan.

Dalam proses kreatifnya, para penyair dalam kumpulan sajak ‘’Sekeping Ubi Goreng’’ ini turut ambil bagian menyuarakan hakikat ketuhanan tersebut melalui bahasa sajak yang puitis. Menyuarakan kebenaran zat-Nya melalalui diksi-diksi pilihan. Memberikan nasihat melalui bait-bait yang imajinatif, secara halus tanpa menggurui.  

Membaca sajak-sajak di atas, kita akan semakin memahami hakikat ‘kepulangan’ itu ternyata amat dekat dengan kita. Sejatinya, tak ada bekal yang amat berharga yang dapat kita bawa saat nyawa telah terlepas dari raga kita, kecuali amal. Hanya amal-lah yang kelak menemani dan mampu memberikan pertolongan kepada kita saat ‘kesendirian’ itu bermukim di akhir perjalanan kehidupan setiap insan.***

Ahmad Ijazi H, kelahiran Rengat, Indragiri Hulu, 25 Agustus 1988. Menulis esai, cerpen, puisi dan novel. Mengajar di Ponpes Al-Uswah Pekanbaru. Bergiat di Forum Lingkar Pena (FLP) Riau.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 21 Juli 2013     

Buku dan Kematian Seni Kaligrafi

-- Junaidi Khab

ZAMAN sekarang ini sudah memang benar-benar gila. Segalanya serba terbalik akibat perspektif manusia dalam memandang sebuah kemajuan di era teknologi saat ini. Lihat saja, jika dulu anak muda menyisir rambut ke belakang atau ke bawah, namun pada saat ini mereka menyisir rambut ke atas atau ke depan. Mereka dulu menulis surat dan buku serta hal-hal lain yang berkaitan dengan kepenulisan menggunakan pena. Namun pada saat ini sudah berganti key board di depan komputer bahkan berubah menjadi laptop yang lebih simpel daripada komputer. Sudahlah, itu merupakan bagian dari kemajuan cara pikir manusia dalam mengembangkan ilmu Tuhan yang sangat luas itu. Namun setidaknya fenomena demikian tidak membunuh kreatifitas manusia.

Akibat kemajuan dan perkembangan teknologi tersebut segala aktivitas dan kegiatan manusia mudah dilakukan. Utamanya dalam kepenulisan. Baik itu menulis buku, surat, dan bentuk-bentuk garapan tulisan lain sudah menggunakan teknologi yang tak lain itu merupakan buah hasil dari kreasi keilmuan umat manusia. Namun sepertinya berlebihan jika kreasi itu berkembang sekali saja tanpa ada tindaklanjutnya lagi.

Dengan meningkatnya kemajuan teknologi saat ini bukan malah menambah dan mempertahankan kreativitas manusia, namun menghilangkan daya kreasinya. Pemikir dan para penemu di masa silam mengabadikan temuan dan teori serta pemikirannya melalui tangan-tangan yang mampu dalam bidang kaligrafi sehingga dihasilkan tulisan yang memukau dan menarik hingga mudah untuk dibaca dengan penulisan yang bercorak dan bermacam ragam serta gayanya. Hingga menghadapi kemajuan saat ini dikenal dengan berbagai font penulisan.

Namun sayang, belakangan ini segala bentuk kreasi manusia yang berupa kekuatan menulis versi kaligrafi dari kecakapan tangan (termasuk manuskrip) sudah memudar akibat suguhan teknologi yang kian memanjakan. Sebelum ada teknologi yang berupa komputer atau laptop dan alat cetak manual bermesin canggih, manusia memaksimalkan kreasi tulisan kaligrafinya dengan tangan-tangan yang ber-skill cukup mapan dalam bidang tulis menulis dengan berbagai model kepenulisan (seni kaligrafi). Seni tulis kaligrafi kini sudah hampir punah akibat sajian pemanjaan teknologi dalam melayani kebutuhan manusia. Padahal kecakapan seni tulis kaligrafi sangat dibutuhkan sebagai kreasi nyata atas karya manusia itu sendiri.

Kaligrafi versi Microsoft
Dengan sajian teknologi melalui penemuan Bill Gates dengan Microsoft-nya, dunia tulis menulis sudah dapat dilakukan dengan berbagai macam dan model yang menyamai seni tulis kaligrafi masa dulu bahkan melebihinya. Sehingga sajian Bill ini mengubah dan menghipnotis secara besar-besaran para penulis kaligrafi untuk mencoba menu Microsoft yang disajikan oleh Bill tersebut. Sehingga lambat laun kreasi mereka tidak begitu diperhatikan. Mereka lebih condong pada yang instan dan melupakan kecakapannya yang hakiki dalam hal gaya penulisan dengan kaligrafi yang sebenarnya lebih menarik dari usaha Bill tersebut jika memang dikembangkan.

Ahmad Zulkifli (2012:221) mengatakan bahwa pada pertengahan tahun 1975, Microsoft berdiri. Bill mulai mempekerjakan pegawai-pegawai baru, terdiri dari anak-anak muda yang jenius, ambisius, kreatif, dan seringkali nyentrik. Dua tahun kemudian, Bill memutuskan untuk berhenti kuliah dari Harvard dan ingin fokus pada bisnisnya. Ia terus belajar dan melahap habis buku dan majalah tentang komputer dan bisnis. Ketika usia Bill baru 24 tahun, Microsoft sudah punya penghasilan sebesar 7 (tujuh) juta dolar pertahun.

Sehingga dengan kemunculan teknologi dalam sajian Microsoft yang diprakarsai oleh Bill Gates tersebut segala bentuk penulisan kaligrafi secara lambat laun sirna. Jika masyarakat dulu menulis buku dan membuat sebuah tulisan, baik dalam bentuk surat atau pengumuman menggunakan gaya kaligrafi dari hasil kreasi tangan murni. Kini sudah beralih pada komputer dengan sajian menu sofware yang berupa Microsoft dalam komputer atau laptop.

Kerangka buku ala kreasi tulisan kaligrafi hasil manuskrip pada saat ini akan menjadi bahan unik, kemungkinan juga akan dimuseumkan melihat konservatisme seni kaligrafi dalam model penulisan buku kuno. Dengan kehadiran microsoft saat ini, banyak penulis yang mulai meliriknya. Mereka meninggalkan eksistensi dari Microsoft yang sebenarnya berangkat dari seni tulis kaligrafi tangan manusia melalu kreasinya pada masa sebelum abad ke-19.

Dari sini tampak jelas di era modern ini manusia dalam sejarah penulisan buku melalui seni tulis kaligrafi sirna dan berganti secara instan dan manual pada microsoft dan percetakan modern. Ini merupakan penjajahan tersembunyi bagi mereka yang memiliki kreativitas dalam bidang seni kaligrafi dan seni manuskrip. Penjajahan semacam ini harus segera ditanggulangi guna antisipasi kematian seni kaligrafi yang pada eksistensinya merupakan hasil kreasi manusia yang murni.

Setidaknya seni tulis kaligrafi harus muncul ke permukaan meski tidak banyak diaplikasikan dalam penulisan buku-buku pada era kontemporer saat ini. Karena dengan seni tulis kaligrafi kemampuan dalam merancang berbagai seni tulis akan terus berkembang. Karena tidak serta merta Bill Gates dengan Microsoft-nya menjadi besar dengan sajian model-model font tulisan yang beragam dan unik saat ini. Melainkan hal tersebut juga berangkat terlebih dahulu dari eksistensi seni tulis kaligrafi yang bermunculan di berbagai buku-buku kuno hasil pemikiran dan teori ilmuwan pada masa terdahulu yang berbentuk manuskrip. n

Junaidi Khab, Pecinta Seni dan Bergiat di Komunitas Sastra IAIN Sunan Ampel Surabaya

Sumber: Riau Pos, Minggu, 21 Juli 2013