Colliq Pujie |
Menurut sejarahwan Edward Polinggoman, dalam diri Colliq Pujie mengalir darah Melayu dari Johor. Sejak abad ke-15 sudah ada orang Melayu yang menetap dan berdagang di Barru dan akhirnya kawin mawin ditanah Bugis. Tidak banyak catatan sejarah yang membahas tentang diri pribadi Colliq Pujie. Mungkin dia tidak dikenal sampai sekarang kalau saja, dia tidak membantu Benjamin Frederick Mathes dalam menyalin naskah kuno ‘’I La Galigo’’ yang menjadi salah satu karya sastra (epos) yang monumental dari suku Bugis yang mendunia.
Colliq Pujie-lah yang membantu BF Mathes, seorang missionaris Belanda yang fasih berbahasa Bugis waktu itu, selama 20 tahun menyalin naskah Bugis dan epos ‘’I La Galigo’’ yang panjang lariknya melebihi panjang epos Ramayana maupun Mahabrata dari India. Selain epos ‘’I La Galigo’’ yang terdiri dari 12 jilid, ada ratusan naskah Bugis kuno lainnya yang disalin oleh BF Mathes dan kemudian dibawa dan tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden Belanda sampai sekarang.
Penyalinan sebagian besar naskah tersebut dibantu oleh Colliq Pujii, sehingga riwayat hidup Colliq Pujie sedikit demi sedikit terkuak oleh tulisan BF Mathes. Colliq Pujii bahkan juga menyadur karya sastra dari Melayu dan Parsi. Colliq Pujie juga menciptakan aksara bilang-bilang yang terinspirasi dari huruf Lontara dan huruf Arab.
Prof Nurhayati Rahman, seorang Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin Makassar dalam bukunya ‘’Retna Kencana Colliq Pujie Arung Pancana Toa 1812-1876, Intelektual Penggerak Zaman’’ menyayangkan bahwa Colliq Pujie kurang mendapat tempat dihati bangsa Indonesia. Menurut beliau, Colliq Pujii adalah seorang budayawan, intelektual dan sejarahwan Indonesia yang hidup pada abad ke-19 yang terlupakan.
Dr Ian Caldwel sejarahwan dari Inggris mengatakan, ‘’terlalu kecil kalau seorang sekaliber Colliq Pujie dikurung dalam tempurung Indonesia, karena ia adalah milik dunia. Namanya tak bisa dipisahkan dari karya epos ‘’I La Galigo’’ sebagai ikon kebudayaan Indonesia yang menjadi kanon sastra dunia, yang kemudian menjadi sumber inspirasi banyak orang dalam merekonstruksi sejarah dan kebudayaan Indonesia (Asdar Muis RMS, ‘’Andi Muhammad Rum, Titisan Colliq Pujii’’, hal. 13).
Salah satu karya sastra Colliq Pujie berupa kumpulan pantun Bugis yang ditulis dalam aksara bilang-bilang berjudul ‘’Lontara Bilang, Mozaik Pergolakan Batin Seorang Perempuan Bangsawan’’ telah diterjemahkan dan ditransliterasi oleh HA Ahmad Saransi telah diterbitkan oleh Komunitas Sawerigading.
Dalam buku tersebut setiap kelong (pantun Bugis) ditulis dalam aksara bilang-bilang, aksara Lontara, transliterasi dalam aksara latin, dan kemudian pengertian dan penjelasan makna kata kata dalam pantun tersebut. Pantun Bugis selalu terdiri dari 3 baris, dimana baris pertama terdiri dari 8 suku kata, baris ke-2 ada 7 suku kata dan baris ke-3 terdiri dari 6 suku kata. Terkadang juga hanya 2 baris namun jumlah huruf lontara-nya tetap 21, atau 21 suku kata dalam transliterasi huruf latin.
Colliq Pujie juga banyak menulis karya sastra semacam Elong, Sure’ Baweng, Sejarah Tanete kuno, kumpulan adat istiadat Bugis, dan berbagai tatakrama dan etika kerajaan. Menurut sejarah, karyanya yang paling indah adalah Sure’ Baweng yang berisi petuah petuah yang memiliki nilai estetika yang sangat tinggi. Bahkan karyanya tentang sejarah Tanete kuno pernah diterbitkan oleh Niemann di Belanda. Adat kebiasaan kerajaan ditulisnya dalam karya berjudul ‘’La Toa’’ diterbitkan oleh Mathes dalam buku Boegineesche Christomatie II. Peneliti Belanda lainnya yang pernah dibantu oleh Colliq Pujie adalah A. Ligtvoet, yang saat itu sedang menyusun kamus sejarah Sulawesi Selatan. Keluasan pengetahuan, kepiawaian, dan kecerdasan Colliq Pujie telah mengangkat derajat intelektulitas orang Bugis dimata orang Eropa pada abad ke-19. BF Mathes berkali kali menyebut nama Colliq Pujii sebagai bangsawan Bugis ratu yang benar benar ahli sastra terutama dalam bukunya Macassaarsche en Boegineesche Chrestathien (Kumpulan Bunga Rampai Bugis Makassar).
Tentang ‘’I La Galigo’’, menurut RA Kern dalam bukunya Catalogus Van de Boegineesche tot de I La Galigo Cyclus Behoorende Handschriften der Leidsche Universiteit Bibliotheek yang diterbitkan tahun 1939 menyebutkan bahwa epos ‘’I La Galigo’’ adalah karya sastra terbesar dan terpanjang di dunia setara dengan Mahabrata, Ramayana dari India atau sajak sajak Homerus dari Yunani.(fed/berbagai sumber)
Sumber: Riau Pos, Minggu, 28 April 2013
No comments:
Post a Comment