-- Desi Sommalia Gustina
TAK sedikit kalangan beranggapan bahwa memahami puisi merupakan suatu hal yang sulit, terlebihlagi jika harus bertindak sebagai ‘kritikus’. Namun, Maman S Mahayana bilang, setiap pembaca karya sastra, pada dasarnya dapat bertindak sebagai ‘kritikus’ jika ia menuliskan tanggapan terhadapnya. Setidaknya seperti yang dilakukan oleh Soni Farid Maulana dalam buku kumpulan esainya yang berjudul Apresiasi dan Proses Kreatif Menulis Puisi. Buku ini berisi 14 esai sastra. Sebagaimana judul buku, esai-esai dalam buku ini sangat kental dengan semangat mengapresiasi atas karya sastra bernama puisi.
Di samping itu, buku yang diterbitkan oleh penerbit Nuansa (Bandung, 2012) ini juga menawarkan sudut pandang lain yang mungkin dapat dilakukan pembaca dalam memberikan apresiasi. Misalnya menulis tentang proses kreatif penyair dalam mencipta puisi. Seperti salah satu esai dalam buku ini, di mana Soni Farid Maulana (selanjutnya saya singkat SFM) menulis tentang pengetahuannya seputar proses kreatif penyair WS Rendra dalam menulis puisi (Rendra, ‘’Puisi Lahir dari Pengalaman yang Dihayati’’), di samping juga mengulas pandangan Rendra terhadap puisi. Yang mana dalam esai itu disebutkan, bahwa puisi tidak lahir begitu saja dari tangan penyair yang dijuluki ‘’Burung Merak’’ itu, sebab puisi bagi Rendra adalah penghayatan dari pengalaman dan tidak ditulis berdasarkan khayalan semata-mata, seakan-akan penyair mengalami peristiwa tersebut.
Melalui esai tersebut tampak betapa SFM mampu memberikan apresiasi dari sudut pandang lain, di samping juga membuka semacam ruang dialog kepada pembaca, tetapi tentu saja tanpa melupakan membuat penafsiran terhadap materi puisi. Tetapi yang perlu diingat, meskipun buku ini merupakan buku kritik sastra, SFM tampaknya tidak bermaksud membuat pembaca mengerutkan kening demi memahami penafsiran yang ia lakukan. Sebab buku ini ditulis dengan bahasa yang cair dan renyah sehingga mudah dipahami, tetapi tetap dengan kualitas penafsiran yang terjaga.
Dengan demikian, buku ini dapat dikatakan menjadi jembatan dalam hal mendekatkan pembaca dengan karya sastra, terutama puisi. Di samping juga memangkas anggapan bahwa puisi merupakan kumpulan teks sastra yang rumit. Karena, membaca buku ini imajinasi pembaca dibiarkan liar saat memaknai puisi, namun tetap dipandu agar tidak tersesat, ditunjukkan jalan untuk memahami puisi secara mudah, dan dibimbing agar menemukan kedalaman dari puisi yang ia baca.
Itulah sebabnya buku ini menjadi penting untuk dibaca, karena dengan analisis yang dilakukan oleh SFM setidaknya telah membantu siapa saja yang ingin menggeluti puisi, dan mengakrabi teks dalam puisidi samping juga mengakrabi keunikan proses kreatif penyairnya, dengan pendekatan yang tidak rumit. Dan yang terpenting lagi, buku ini memberikan contoh puisi lalu mengualasnya. Salah satu ulasan terhadap puisi yang dilakukan SFM dalam buku ini dapat dilihat pada halaman 150, di mana dalam esai tersebut SFM mengulas puisi Oka Rusmini (‘’Warna Lokal Bali dalam Puisi Oka Rusmini’’). Dalam esai tersebut, SFM memperbincangkan tentang kultur dan kekhasan Bali sebagai salah satu kekuatan puisi-puisi Oka Rusmini. Salah satu puisi Oka Rusmini yang diulas oleh SFM dalam esai tersebut berjudul ‘’Bajang-Bajang’’. Berikut teks puisi tersebut saya tampilkan kembali:
BAJANG-BAJANG
(II)
Kau tersenyum
Ada yang berubah pada tubuh
dan bau perawan milikmu
Sang Dewi mulai mengisi bilik hati
Beratus petuah kutelan
Kubiarkan masuk tenggorokan
dan mencoba merasa berarti
Canang, tipat dampul, dan beratus
juta banten
menisik kemahiran milikmu
dan kau harus mengingat ragam itu
Metanding dengan bau aneh, wangi aneh
Kau bicara dengan alat itu untuk
mengintip diriNya
Betara Surya, Betara Bayu, Betara...
Kau hafal semua itu
Khusyuk kau serahkan diri
untuk bumi, untuk Griya, untuk Tuniang
untuk Aji untuk Biang...
Semuanya
Untuk membuat penafsiran terhadap puisi sejatinya sangat bergantung pada tingkat wawasan dan pengalaman pembacanya. Begitupun untuk menafsirkan puisi Oka Rusmini tersebut di atas. Dalam puisi ‘’Bajang-Bajang’’ tersebut, tampak banyak kata yang dicetak miring. Dalam kaitan ini, untuk memahami kata yang dicetak miring tersebut, maka wawasan pembaca sangat diperlukan. Sebab hakikat dari puisi adalah metafora. Maka untuk memahami metafora yang terdapat dalam puisi, sangat diperlukan penafsiran yang logis dan masuk akal. Penafsiran yang demikian tentu harus didukung oleh wawasan dan pengalaman pembacanya.
Menilik analisis yang dilakukan SFM terhadap puisi karya Oka Rusmini tersebut, setidaknya telah menunjukkan kemampuan penyair kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat, tersebut dalam menafsirkan puisi. Hal ini terlihat dari ulasan yang dipaparkan SFM dalam esainya, mampu memberi pengetahuan baru terhadap pembaca dengan membongkar makna dari kata-kata yang dicetak miring dalam puisi ‘’Bajang-Bajang’’ tersebut. Kata yang dicetak miring dalam larik pertama bait kedua dalam puisi tersebut menjelaskan mengenai benda-benda yang dipakai untuk upacara tradisional di Bali. Selain itu, dalam larik selanjutnya, tepatnya larik kesembilan dan kesepuluh dalam bait kedua puisi tersebut, ada sejumlah kata lainnya yang juga dicetak miring. Griya adalah rumah tempat tinggal kasta Brahmana, dan tuniang adalah nenek. Sedangkan Aji adalah ayah, dan biang adalah panggilan untuk perempuan-perempuan Griya.
Melalui analisis yang dilakukan SFM dapatlah diketahui bahwa bahasa Bali dan simbol-simbol budaya yang disisipkan Oka Rusmini dalam puisinya tak saja sekadar permaian rima, tetapi mampu menambah wawasan dan memberikan pengetahuan baru kepada pembaca di luar orang Bali. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa, baik menafsir maupun menulis puisi seseorang harus memiliki pengetahuan dan wawasan. Karena dalam puisi kerap terdapat simbol-simbol serta pemakaian bahasa yang ambigu sehingga bisa menciptakan multi penafsiran.
Selain memahami puisi, buku ini juga memberi pegetahuan kepada pembaca terkait mencipta puisi yang tidak gelap. Juga tentang bagaimana memungut metafora yang sederhana tapi menyisakan banyak jejak penafsiran. Sehingga ketika seseorang membaca puisi yang diciptakan oleh penyair, pembaca bisa meraih terang. Untuk menciptakan puisi yang demikian, sangat berkaitan dengan dorongan hati. Namun, dorongan hati dalam menulis puisi menurut SFM tidak muncul begitu saja dari dunia yang tidak dikenal, akan tetapi datang dari sebuah pengalaman yang dihayati secara total. Pengalaman yang dimaksud ada kalanya disebut sebagai pengalaman puitik, yang sumbernya bisa berasal dari pengalaman fisik maupun dari pengalaman metafisik dalam pengertian yang seluas-luasnya yang kemudian diekspresikan ke dalam bentuk tulisan.
Dengan berbagai pengetahuan yang ditawarkan SFM dalam buku ini, tidaklah berlebih jika Senny Suzan Alwasilah, dosen penulisan kreatif Jurusan Sastra Inggris Universitas Pasundan, Bandung, dalam endorsementnya di belakang buku ini mengatakan bahwa buku setebal 197 halaman ini merupakan ‘buku wajib’ dalam pembelajaran apresiasi puisi. Terlebih lagi buku ini telah menambah semaraknya kehidupan kritik sastra di Indonesia. n
Desi Sommalia Gustina, Alumnus Pascasarjana Universitas Andalas, Padang
Sumber: Riau Pos, Minggu, 28 April 2013
TAK sedikit kalangan beranggapan bahwa memahami puisi merupakan suatu hal yang sulit, terlebihlagi jika harus bertindak sebagai ‘kritikus’. Namun, Maman S Mahayana bilang, setiap pembaca karya sastra, pada dasarnya dapat bertindak sebagai ‘kritikus’ jika ia menuliskan tanggapan terhadapnya. Setidaknya seperti yang dilakukan oleh Soni Farid Maulana dalam buku kumpulan esainya yang berjudul Apresiasi dan Proses Kreatif Menulis Puisi. Buku ini berisi 14 esai sastra. Sebagaimana judul buku, esai-esai dalam buku ini sangat kental dengan semangat mengapresiasi atas karya sastra bernama puisi.
Di samping itu, buku yang diterbitkan oleh penerbit Nuansa (Bandung, 2012) ini juga menawarkan sudut pandang lain yang mungkin dapat dilakukan pembaca dalam memberikan apresiasi. Misalnya menulis tentang proses kreatif penyair dalam mencipta puisi. Seperti salah satu esai dalam buku ini, di mana Soni Farid Maulana (selanjutnya saya singkat SFM) menulis tentang pengetahuannya seputar proses kreatif penyair WS Rendra dalam menulis puisi (Rendra, ‘’Puisi Lahir dari Pengalaman yang Dihayati’’), di samping juga mengulas pandangan Rendra terhadap puisi. Yang mana dalam esai itu disebutkan, bahwa puisi tidak lahir begitu saja dari tangan penyair yang dijuluki ‘’Burung Merak’’ itu, sebab puisi bagi Rendra adalah penghayatan dari pengalaman dan tidak ditulis berdasarkan khayalan semata-mata, seakan-akan penyair mengalami peristiwa tersebut.
Melalui esai tersebut tampak betapa SFM mampu memberikan apresiasi dari sudut pandang lain, di samping juga membuka semacam ruang dialog kepada pembaca, tetapi tentu saja tanpa melupakan membuat penafsiran terhadap materi puisi. Tetapi yang perlu diingat, meskipun buku ini merupakan buku kritik sastra, SFM tampaknya tidak bermaksud membuat pembaca mengerutkan kening demi memahami penafsiran yang ia lakukan. Sebab buku ini ditulis dengan bahasa yang cair dan renyah sehingga mudah dipahami, tetapi tetap dengan kualitas penafsiran yang terjaga.
Dengan demikian, buku ini dapat dikatakan menjadi jembatan dalam hal mendekatkan pembaca dengan karya sastra, terutama puisi. Di samping juga memangkas anggapan bahwa puisi merupakan kumpulan teks sastra yang rumit. Karena, membaca buku ini imajinasi pembaca dibiarkan liar saat memaknai puisi, namun tetap dipandu agar tidak tersesat, ditunjukkan jalan untuk memahami puisi secara mudah, dan dibimbing agar menemukan kedalaman dari puisi yang ia baca.
Itulah sebabnya buku ini menjadi penting untuk dibaca, karena dengan analisis yang dilakukan oleh SFM setidaknya telah membantu siapa saja yang ingin menggeluti puisi, dan mengakrabi teks dalam puisidi samping juga mengakrabi keunikan proses kreatif penyairnya, dengan pendekatan yang tidak rumit. Dan yang terpenting lagi, buku ini memberikan contoh puisi lalu mengualasnya. Salah satu ulasan terhadap puisi yang dilakukan SFM dalam buku ini dapat dilihat pada halaman 150, di mana dalam esai tersebut SFM mengulas puisi Oka Rusmini (‘’Warna Lokal Bali dalam Puisi Oka Rusmini’’). Dalam esai tersebut, SFM memperbincangkan tentang kultur dan kekhasan Bali sebagai salah satu kekuatan puisi-puisi Oka Rusmini. Salah satu puisi Oka Rusmini yang diulas oleh SFM dalam esai tersebut berjudul ‘’Bajang-Bajang’’. Berikut teks puisi tersebut saya tampilkan kembali:
BAJANG-BAJANG
(II)
Kau tersenyum
Ada yang berubah pada tubuh
dan bau perawan milikmu
Sang Dewi mulai mengisi bilik hati
Beratus petuah kutelan
Kubiarkan masuk tenggorokan
dan mencoba merasa berarti
Canang, tipat dampul, dan beratus
juta banten
menisik kemahiran milikmu
dan kau harus mengingat ragam itu
Metanding dengan bau aneh, wangi aneh
Kau bicara dengan alat itu untuk
mengintip diriNya
Betara Surya, Betara Bayu, Betara...
Kau hafal semua itu
Khusyuk kau serahkan diri
untuk bumi, untuk Griya, untuk Tuniang
untuk Aji untuk Biang...
Semuanya
Untuk membuat penafsiran terhadap puisi sejatinya sangat bergantung pada tingkat wawasan dan pengalaman pembacanya. Begitupun untuk menafsirkan puisi Oka Rusmini tersebut di atas. Dalam puisi ‘’Bajang-Bajang’’ tersebut, tampak banyak kata yang dicetak miring. Dalam kaitan ini, untuk memahami kata yang dicetak miring tersebut, maka wawasan pembaca sangat diperlukan. Sebab hakikat dari puisi adalah metafora. Maka untuk memahami metafora yang terdapat dalam puisi, sangat diperlukan penafsiran yang logis dan masuk akal. Penafsiran yang demikian tentu harus didukung oleh wawasan dan pengalaman pembacanya.
Menilik analisis yang dilakukan SFM terhadap puisi karya Oka Rusmini tersebut, setidaknya telah menunjukkan kemampuan penyair kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat, tersebut dalam menafsirkan puisi. Hal ini terlihat dari ulasan yang dipaparkan SFM dalam esainya, mampu memberi pengetahuan baru terhadap pembaca dengan membongkar makna dari kata-kata yang dicetak miring dalam puisi ‘’Bajang-Bajang’’ tersebut. Kata yang dicetak miring dalam larik pertama bait kedua dalam puisi tersebut menjelaskan mengenai benda-benda yang dipakai untuk upacara tradisional di Bali. Selain itu, dalam larik selanjutnya, tepatnya larik kesembilan dan kesepuluh dalam bait kedua puisi tersebut, ada sejumlah kata lainnya yang juga dicetak miring. Griya adalah rumah tempat tinggal kasta Brahmana, dan tuniang adalah nenek. Sedangkan Aji adalah ayah, dan biang adalah panggilan untuk perempuan-perempuan Griya.
Melalui analisis yang dilakukan SFM dapatlah diketahui bahwa bahasa Bali dan simbol-simbol budaya yang disisipkan Oka Rusmini dalam puisinya tak saja sekadar permaian rima, tetapi mampu menambah wawasan dan memberikan pengetahuan baru kepada pembaca di luar orang Bali. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa, baik menafsir maupun menulis puisi seseorang harus memiliki pengetahuan dan wawasan. Karena dalam puisi kerap terdapat simbol-simbol serta pemakaian bahasa yang ambigu sehingga bisa menciptakan multi penafsiran.
Selain memahami puisi, buku ini juga memberi pegetahuan kepada pembaca terkait mencipta puisi yang tidak gelap. Juga tentang bagaimana memungut metafora yang sederhana tapi menyisakan banyak jejak penafsiran. Sehingga ketika seseorang membaca puisi yang diciptakan oleh penyair, pembaca bisa meraih terang. Untuk menciptakan puisi yang demikian, sangat berkaitan dengan dorongan hati. Namun, dorongan hati dalam menulis puisi menurut SFM tidak muncul begitu saja dari dunia yang tidak dikenal, akan tetapi datang dari sebuah pengalaman yang dihayati secara total. Pengalaman yang dimaksud ada kalanya disebut sebagai pengalaman puitik, yang sumbernya bisa berasal dari pengalaman fisik maupun dari pengalaman metafisik dalam pengertian yang seluas-luasnya yang kemudian diekspresikan ke dalam bentuk tulisan.
Dengan berbagai pengetahuan yang ditawarkan SFM dalam buku ini, tidaklah berlebih jika Senny Suzan Alwasilah, dosen penulisan kreatif Jurusan Sastra Inggris Universitas Pasundan, Bandung, dalam endorsementnya di belakang buku ini mengatakan bahwa buku setebal 197 halaman ini merupakan ‘buku wajib’ dalam pembelajaran apresiasi puisi. Terlebih lagi buku ini telah menambah semaraknya kehidupan kritik sastra di Indonesia. n
Desi Sommalia Gustina, Alumnus Pascasarjana Universitas Andalas, Padang
Sumber: Riau Pos, Minggu, 28 April 2013
No comments:
Post a Comment