-- Siti Retno Wulandari
Mereka mengungkap ketidakadilan yang terjadi dari berbagai penjuru negeri. Idealisme itu kemudian mesti ditebus dengan nyawa.
RASA penasaran akibat kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) di Pulau Kisar, Maluku, menggugah Alfrets Mirulewan, wartawan sekaligus pemimpin redaksi Mingguan Pelangi, di provinsi itu untuk mencari tahu. Ia mengajak kawannya sesama wartawan, Yeri, untuk melakukan investigasi. Namun, Yeri menolak. Tak berhenti sampai di situ, Alfrets menghubungi kawan sejawatnya, Alexander Kikilay, yang akrab disapa Leksi.
Leksi tak menolak karena sebelumnya topik kelangkaan BBM memang telah sempat didiskusikan dengan teman-teman jurnalis. Namun, sebelumnya tak ada yang berani bergerak, lantaran mereka tahu kelangkaan BBM merupakan ulah sindikat.
"Saya ditelepon Alfrets dan langsung dijemput pada pukul 23.00 Wita. Kami ke Pelabuhan Pantai Nama, Wonreli. Rupanya Alfrets sudah menggali informasi akan ada kapal yang membawa drum ke pelabuhan tersebut," ujar Leksi, salah satu narasumber pada Kick Andy berjudul Setop Kekerasan terhadap Wartawan.
Sesampainya di pelabuhan, kami berpencar. Alfrets mengikuti truk yang dilihatnya akan membawa drum BBM. Setelah mengikuti, mereka pun bertemu kembali di tempat perjanjian awal. Sempat terjadi perbincangan di antara mereka hingga akhirnya seorang petugas pelabuhan berperawakan tinggi besar, cepak, dan berkulit putih, menghampiri. Meskipun sudah menuruti permintaan sang petugas untuk keluar, petugas tersebut malah mengikuti dan berbicara dengan Alfrets. "Saya baru tahu Alfrets itu merekam perkataan sang petugas melalui ponsel yang ada di sakunya. Dia sempat berantem sama orang-orang truk yang diikutinya," kata Leksi, menuturkan detik-detik sebelum Alfrets hilang.
Dalam perjalanan pulang, tak banyak yang diobrolkan. Alfrets mengantar Leksi ke rumah kos dan mengatakan besok akan melakukan investigasi lagi. Ia ingin mengetahui ke mana rimbanya BBM sebanyak 90 ton itu.
Namun, Alfrets kemudian menghilang, tepatnya sejak 15 Desember 2010. Sampai akhirnya, jenazahnya ditemukan nelayan.
"Saya ditelepon, diberi tahu bahwa Alfrets meninggal dan keluarga tidak boleh lihat jenazahnya. Sampai saya keluarkan statement yang membunuh adalah aparat, dan kami pihak keluarga tidak mengizinkan untuk autopsi dalam. Namun, dokter tetap melakukan autopsi dengan menggunakan pisau dapur. Setelah itu, langsung dibungkus dan dimakamkan. Perutnya enggak dijahit lagi," ujar Tomy.
Tetap dilarang lihat autopsi
Tomy, kakak sepupu mendiang yang juga reporter, sempat disalahkan keluarga atas meninggalnya Alfrets karena mengenalkannya ke dunia jurnalistik. Tomy juga sempat disangka sebagai pembunuh, pun Leksi yang dikurung hingga 24 Desember.
Namun, Tomy meyakinkan bahwa hidup adalah pilihan, sedangkan mati di tangan Tuhan. "Saya sudah larang dia untuk ke Kupang, tetapi tidak diindahkan. Kematian itu Tuhan yang tahu," tutur Tomy.
Kematian Alfrets disorot kalangan jurnalis daerah hingga pusat. Penyidikan kasus itu pun dikawal.
Penyidik Markas Besar Kepolisian RI datang ke Kepolisian Daerah Maluku dan meminta membongkar makam Alfrets. Namun, lagi-lagi keluarga dilarang mendekat saat autopsi ulang dilakukan. Aparat memblokade agar tidak ada satu pun yang dapat mengambil gambar Alfrets.
Tak mau tinggal diam, Tomy segera meminta foto-foto yang sempat diabadikan sang nelayan saat menemukan tubuh Alfrets.
"Mukanya hancur, foto yang membongkar semuanya. Sampai saat ini juga tidak ada hasil autopsi. Pelakunya memang telah dihukum. Dirreskrim Polda Maluku menyatakan Alfrets mati dianiaya," kata Tomy yang berselisih usia 10 tahun dengan Alfrets.
Hingga saat ini, terdapat empat pelaku yang salah satunya ialah polisi air dan udara. Namun, Leksi yang sempat melakukan advokasi ke pusat meyakini ada aktor lain di balik aksi keempat orang itu.
Hal itu ia ketahui dari pesan singkat yang dikirimkan para tersangka. "Hal tersebut dibantah Kapolda Maluku, tapi dibenarkan oleh kru kapal," tegas Leksi. (M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 7 April 2013
No comments:
Post a Comment