-- Abdul Kadir Ibrahim
Dari Sultan Mahmud bagi Bangsa
KEMBALI kepada pengabdian Sultan Mahmud bagi bangsa. Di atas sudah dijelaskan tentang wujudnya Pulau Penyengat di samping Lingga sebagai sebuah kota dan tamadun Melayu, nyatalah sudah sebagai yang takkan terbantahkan, adalah jerih-payah, jasa-jasa yang dibuat oleh Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Ri’ayat Syah (Sultan Mahmud Syah III). Hasan Junus dalam bukunya Engku Puteri Raja Hamidah Pemegang Regalia Kerajaan Riau, menjelaskan panjang lebar tentang dimulai dan dijadikannya Pulau Penyengat sebagai sebuah kota Melayu, sebagaimana sumber tertulis yang dipandang paling tua, yakni Tuhfat al-Nafis (Raja Ahmad & Raja Ali Haji, 1865) dan Elisa Nettscher dalam bukunya De Nederlanders in Djohor en Siak 1602 tot 1865 Historische Beschrijving (Bruining & Wijt, Batavia, 1870).
Pulau Penyengat, menurut Hasan Junus, dinamakan Pulau Penyengat Indera Sakti, yang dalam cerita-pusaka sebagai pulau emas-kawin atau mahar yang diberikan oleh Sultan Mahmud -- Marhum Besar -- Marhum Masjid kepada Engku Puteri Raja Hamidah binti Raja Haji Fisabilillah. Pulau ini, menurut Tuhfat al-Nafis, pada mulanya ialah sebuah pulau yang berfungsi sebagai kubu atau benteng yang dipakai dalam Perang Riau (oleh Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Riayat Syah dan Yang Dipertuan Muda Riau IV Raja Haji) melawan VOC/ Belanda. Baru pada awal abad ke-19 pulau itu menjadi tempat tinggal, yaitu setelah kepemilikannya diserahkan kepada Engku Puteri dan kemudian menjadi tempat kedudukan resmi atau pusat pemerintahan Yang Dipertuan Muda.
Hasan Junus mengutif Tuhfat al-Nafis, yang mencatat tentang pembukaan Pulau Penyengat, sehingga menjadi sebuah kota dan bagian dari pusat Pemerintahan Kerajaan Melayu Riau-Lingga-Johor dan Pahang, yang jelas sekali dilakukan oleh Yang Dipertuan Besar, Sultan Mahmud Ri’ayat Syah.
Syahdan adapun Baginda Sultan Mahmud apabila sudah paduka anakda baginda itu keduanya balik masing-masing ke negerinya, maka baginda pun menyuruh Punggawa Bakak menebas Pulau Penyengat Indera Sakti itu cucikan karena Punggawa Bakak itu dia memang duduk di Penyengat itu ada empat lima buah rumah.
Maka dikerjakan oleh Punggawa Bakak itu seperti titah baginda itu. Maka telah cuci Pulau Penyengat itu ditebas, maka baginda pun berbuatlah istana dan kota-paritnya dengan masjid balairungnya. Adalah yang memerintahkan segala pekerjaan itu ialah Encik Kaluk bin Encik Suluh peranakan Bugis.
Maka tiada berapa antaranya selesailah pekerjaan itu. Maka apabila selesai Pulau Penyengtat itu jadi negeri tempat kerajaan maka baginda pun memindahkan paduka adinda Engku Puteri Raja Hamidah isterinya, ke istana Pulau Penyengat dengan orang baik-baiknya dan anak raja-raja serta ianya.
Syahdan kata sahibul hikayat sekali peristiwa pada suatu masa maka bertitahlah baginda Sultan Mahmud kepada paduka adinda Engku Puteri di hadapan beberapa anak raja-raja seperti Raja Mahmud putera Tengku Panglima Besar putera baginda Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah, demikianlah bunyi titahnya: “Sekarang Raja Hamidah, adalah sahaya membuat Pulau Penyengat ini dijadikan segeri sudah cukup dengan istananya serta dengan kota-paritnya. Maka Raja Hamidah lah yang sahaya buatkan jadi miliklah kepada Raja Hamidah. Syahdan lagi daripada fasal negeri Riau ini daripada hasil-hasil dan lainnya, yaitu jadi milik makanan Raja Hamidah adik-beradik, yaitu segala anak-anak Raja Haji al-Marhum Fisabilillah. Maka tiadalah saya campur lagi barang suatunya. Adapun negeri Lingga maka yaitu bahagian Si Komeng yaitu Putera (Raja Jumaat) Tengku Abdul al-Rahman, dan janganlah Raja Hamidah adik-beradik campur lagi daripada pihak hasil-hasilnya dan kharajatnya.”
Syahadan kata ahli al-rawi inilah—sebermula jatuh pekerjaan ini di dalam tahun Hijrat sanat 1218 pada tahun Jim yaitu pada dua hari bulan Zulkaedah hari Sabtu, sudah lepas membuat istana adanya”. (2002:10-12).
Dengan demikian, menjadi pahamlah kita, bahwa Yang Dipertuan Besar, Sultan Mahmud Ri’ayat Syah (Sultan Mahmud Syah III), telah membangun Lingga dan Pulau Penyengat Indera Sakti sebagai sebuah pusat penting dalam Kerajaan Melayu Riau-Lingga-Johor dan Pahang, sehingga kedua kawasan itu, utamanya Pulau Penyengat menjadi pusat tamadun Melayu dengan ciri khasnya adalah dalam bidang bahasa dan sastra Melayu.
Maka tak usah heran, bila dunia tulis-menulis, pemartabatan bahasa Melayu sehingga menjadi bahasa bagi pergaulan suku-bangsa di Nusantara dan juga kelak dipilih oleh Belanda menjadi bahasa di sekolah-sekolah pribumi. Juga amatlah logis, dan nyatalah adanya, kenapa bahasa Melayu yang dibina di Kerajaan Melayu Riau-Lingga-Johor dan Pahang dengan pusat pemerintahan di Lingga dan Pulau Penyengat itu, kemudian menjadi bahasa Indonesia.
Suatu yang pasti, dunia tulis-menulis yang sudah dibuka lamannya oleh Sultan Mahmud Syah III dan wujud di atas kertas sudah dirintis antara lain oleh tokohnya, Raja Ahmad bin Raja Haji semasa di Ulu Riau dan Lingga. Puncak kejayaan kepenulisan itu yang dikenal dengan tamadun Melayu pun wujud di Pulau Penyengat. Tokohnya antara lain, Raja Ali Haji, dan Orang Kaya Riau Haji Ibrahim dan di tanah yang lain dalam kerajaan ini Johor-Singapura ada nama Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi.
Maka menjadi jelaslah, bahwa jasa Sultan Mahmud terhadap pertumbuh-kembangan dan pembinaan bahasa-sastra Melayu tiada terbilang. Berkat perjuangannyalah sehingga di kawasan kerajaan ini lahir penulis-penulis besar yang antara lain Raja Ali Haji dengan karya agung dan menumental di bidang bahasa-sastra yakni Gurindam Dua Belas, Bustanul Katibin dan Kitab Pengetahuan Bahasa.
Pada akhirnya bahasa Melayu yang mulai dibina di Lingga dan puncak pembinaannya di Pulau Penyengat oleh Raja Ali Haji, sehingga bahasa Melayu Riau—Kepulauan Riau, dan Riau sekarang sekarang beberapa provinsi lainnya—dipilih dan ditetapkan menjadi bahasa pengantar, lingua franca di Nusantara.
Pada akhirnya, 28 Oktober 1928 bahasa Melayu itupun ditetapkan atau berubah nama, dengan nama baru, yakni bahasa Indonesia! Maka, jadilah bangsa Indonesia mengenal bahasa persatuan dan kebangsaannya bernama bahasa Indonesia. Dan, pada tahun 2004, setelah menerima usulan Pemerintah Kota Tanjungpinang melalui Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau yang diteruskan oleh Menteri Sosial RI dan melalui penilaian oleh tim pahlawan nasional, maka Presiden Republik Indonesia mengangkat Raja Ali Haji menjadi Pahlawan Nasional dalam bidang bahasa, atas jasa dan perjuangannya melakukan pemurnian bahasa Melayu Riau menjadi bahasa Indonesia.
Tentang bahasa Melayu dalam Kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang, yang semula mendapat pembinaan di Lingga, dan berlanjut dan berpusat di Pulau Penyengat, ada baiknya kita pertegas. Dalam kaitan ini kita sebatikan dengan satu pendapat saja, di antara banyaknya pendapat yang oleh dibaca dan dipahami. Pendapat yang dimaksudkan di sini, adalah pendapat Prof Dr Abdul Hadi WM. Dalam tulisannya, “Raja Ali Haji: Ulil Albab di Persimpangan Zaman”, antara lain menjelaskan tentang bagaimana upaya-upaya nyata yang dilakukan oleh Sultan Kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang, Sultan Mahmud Ri’ayat Syah, dalam memulai dan mentradisikan pembinaan bahasa Melayu. Sehingga, Raja Ali Haji hadir dalam tradisi itu.
Dalam perkembangan bahasa dan sastra Indonesia modern, jelas sekali pengaruh Raja Ali Haji. Beliau telah berupaya dalam memelihara dan mengembangkan kembali bahasa dan sastra Melayu yang mulai merosot pada akhir abad ke-18, mempunyai dampak yang tidak sedikit bagi perkembangan bahasa dan kesusastraan Indonesia. Bahasa Melayu yang digunakan penulis-penulis Betawi abad ke-19 seperti Mohammad Bakir dan Ahmad Beramka, adalah lanjutan bahasa Melayu yang dikembangkan Raja Ali Haji dan pengarang-pengarang Riau abad ke-19.
Lebih lanjut ditegaskan Abdul Hadi, bahasa Indonesia/Melayu yang dipergunakan pengarang-pengarang 1920-1930-an seperti Merari Siregar (Azab dan Sengsara), Marah Rusli (Siti Nurbaya), Abdul Muis (Salah Asuhan), Muhammad Yamin, Muhammad Hatta, Sanusi Pane, Amir Hamzah dan Hamka adalah bahasa Indonesia lanjutan bahasa Melayu yang digunakan Raja Ali Haji dan Hamzah Fansuri, bukan lanjutan bahasa Melayu Pasar seperti digembar-gemborkan oleh Pramoedya Anata Toer. Raja Ali Haji bukan sekedar produk dari zamannya, tetapi adalah hati nurani dan suri tauladan utama bagi bangsanya.
Di samping Raja Ali Haji—sebelumnya—dalam tahun 1997, Raja Haji yang menjadi Yang Dipertuan Muda Riau IV, yang ditugas oleh Sultan Mahmud Riayat Syah untuk menjadi pimpinan perang melawan Belanda di laut Tanjungpinang dan Teluk Ketapang Melaka, dalam tahun 1784, yang diangkat oleh Presiden RI menjadi Pahlawan Nasional.
Namun perlu dipahami dan dimaknai benar, bahwa Belanda dengan tegas dan terang-terangan mengatakan, sesungguhnya tokoh di sebalik perperangan antara Kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang di lapangan, sebagai pelaku utama yang bertanggung jawab sepenuhnya, adalah Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Ri’ayat Syah (Sultan Mahmud Syah III).
Dan pahamlah kita, bagaimana kedudukannya dalam perang itu dan di mata Belanda. Sehingga dengan segala perjuangan dan jasa-jasanya yang besar, luar biasa dan monumental serta menjadi tauladan dan spirit bagi anak bangsa dari masa ke masa, maka patutlah adanya beliau diangkat oleh Presiden Republik Indonesia menjadi pahlawan nasional dari Kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang, yang sejak Indonesia merdeka sebagian wilayahnya menjadi Provinsi Riau dan dalam tahun 2004 dimekarkan lagi menjadi Provinsi Kepulauan Riau, sehingga kawasan Melayu Riau-Lingga itu, kini sebagai Riau dan Kepulauan Riau!
Simpai Kalam
Sultan Mahmud Ri’ayat Syah sudah mewariskan kebudayaan, peradaban, tamadun Melayu yang nyatalah manfaat dan faedahnya bagi bangsa Indonesia, dan Malaysia, yang mungkin juga Singapura. Baginda adalah Bapak Tamadun Melayu, Pahlawan Nasional dari Kepulauan Riau. Nama besarnya patut diabadikan untuk nama pusat Pemerintahan Provinsi Kepulauan Riau, yakni “Kawasan Sultan Mahmud Ri’ayat Syah, Pulau Dompak, Tanjungpinang’’.
Dalam dunia aksara telah diwarisi dan diwariskan oleh Raja Ali Haji dan pengarang-pengarang selepasnya. Sehingga kini pewaris itu, ianya bernama Haji Abdul Malik. Karyanya sudah beberapa diterbitkan, hadir di tengah khalayak ramai utamanya pembacara sehingga pengabdiannya sebagai pengarang sudahlah menjulang dan bolehlah dibilangkan nama. Kalam adalah alat sejati manusia bagi menerajui bahtera dunia mewujudkan kebudayaan dan peradaban. Sekaligus sebagai alat mengambil bekal untuk kematian dan kekal abadi dalam kebahagiaan dan kemuliaan di sisi Tuhan, Allah SWT. Tahniah! Maka, ketika sesiapa tiada menulis, sahdan habislah ianya! n
Abdul Kadir Ibrahim. Akrab disapa Akib. Sastrawan asal Provinsi Kepulauan Riau, tepatnya Natuna ini telah menghasilkan banyak karya yang dimuat di berbagai media massa. Bermastautin di Kota Tanjungpinang.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 14 April 2013
Dari Sultan Mahmud bagi Bangsa
KEMBALI kepada pengabdian Sultan Mahmud bagi bangsa. Di atas sudah dijelaskan tentang wujudnya Pulau Penyengat di samping Lingga sebagai sebuah kota dan tamadun Melayu, nyatalah sudah sebagai yang takkan terbantahkan, adalah jerih-payah, jasa-jasa yang dibuat oleh Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Ri’ayat Syah (Sultan Mahmud Syah III). Hasan Junus dalam bukunya Engku Puteri Raja Hamidah Pemegang Regalia Kerajaan Riau, menjelaskan panjang lebar tentang dimulai dan dijadikannya Pulau Penyengat sebagai sebuah kota Melayu, sebagaimana sumber tertulis yang dipandang paling tua, yakni Tuhfat al-Nafis (Raja Ahmad & Raja Ali Haji, 1865) dan Elisa Nettscher dalam bukunya De Nederlanders in Djohor en Siak 1602 tot 1865 Historische Beschrijving (Bruining & Wijt, Batavia, 1870).
Pulau Penyengat, menurut Hasan Junus, dinamakan Pulau Penyengat Indera Sakti, yang dalam cerita-pusaka sebagai pulau emas-kawin atau mahar yang diberikan oleh Sultan Mahmud -- Marhum Besar -- Marhum Masjid kepada Engku Puteri Raja Hamidah binti Raja Haji Fisabilillah. Pulau ini, menurut Tuhfat al-Nafis, pada mulanya ialah sebuah pulau yang berfungsi sebagai kubu atau benteng yang dipakai dalam Perang Riau (oleh Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Riayat Syah dan Yang Dipertuan Muda Riau IV Raja Haji) melawan VOC/ Belanda. Baru pada awal abad ke-19 pulau itu menjadi tempat tinggal, yaitu setelah kepemilikannya diserahkan kepada Engku Puteri dan kemudian menjadi tempat kedudukan resmi atau pusat pemerintahan Yang Dipertuan Muda.
Hasan Junus mengutif Tuhfat al-Nafis, yang mencatat tentang pembukaan Pulau Penyengat, sehingga menjadi sebuah kota dan bagian dari pusat Pemerintahan Kerajaan Melayu Riau-Lingga-Johor dan Pahang, yang jelas sekali dilakukan oleh Yang Dipertuan Besar, Sultan Mahmud Ri’ayat Syah.
Syahdan adapun Baginda Sultan Mahmud apabila sudah paduka anakda baginda itu keduanya balik masing-masing ke negerinya, maka baginda pun menyuruh Punggawa Bakak menebas Pulau Penyengat Indera Sakti itu cucikan karena Punggawa Bakak itu dia memang duduk di Penyengat itu ada empat lima buah rumah.
Maka dikerjakan oleh Punggawa Bakak itu seperti titah baginda itu. Maka telah cuci Pulau Penyengat itu ditebas, maka baginda pun berbuatlah istana dan kota-paritnya dengan masjid balairungnya. Adalah yang memerintahkan segala pekerjaan itu ialah Encik Kaluk bin Encik Suluh peranakan Bugis.
Maka tiada berapa antaranya selesailah pekerjaan itu. Maka apabila selesai Pulau Penyengtat itu jadi negeri tempat kerajaan maka baginda pun memindahkan paduka adinda Engku Puteri Raja Hamidah isterinya, ke istana Pulau Penyengat dengan orang baik-baiknya dan anak raja-raja serta ianya.
Syahdan kata sahibul hikayat sekali peristiwa pada suatu masa maka bertitahlah baginda Sultan Mahmud kepada paduka adinda Engku Puteri di hadapan beberapa anak raja-raja seperti Raja Mahmud putera Tengku Panglima Besar putera baginda Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah, demikianlah bunyi titahnya: “Sekarang Raja Hamidah, adalah sahaya membuat Pulau Penyengat ini dijadikan segeri sudah cukup dengan istananya serta dengan kota-paritnya. Maka Raja Hamidah lah yang sahaya buatkan jadi miliklah kepada Raja Hamidah. Syahdan lagi daripada fasal negeri Riau ini daripada hasil-hasil dan lainnya, yaitu jadi milik makanan Raja Hamidah adik-beradik, yaitu segala anak-anak Raja Haji al-Marhum Fisabilillah. Maka tiadalah saya campur lagi barang suatunya. Adapun negeri Lingga maka yaitu bahagian Si Komeng yaitu Putera (Raja Jumaat) Tengku Abdul al-Rahman, dan janganlah Raja Hamidah adik-beradik campur lagi daripada pihak hasil-hasilnya dan kharajatnya.”
Syahadan kata ahli al-rawi inilah—sebermula jatuh pekerjaan ini di dalam tahun Hijrat sanat 1218 pada tahun Jim yaitu pada dua hari bulan Zulkaedah hari Sabtu, sudah lepas membuat istana adanya”. (2002:10-12).
Dengan demikian, menjadi pahamlah kita, bahwa Yang Dipertuan Besar, Sultan Mahmud Ri’ayat Syah (Sultan Mahmud Syah III), telah membangun Lingga dan Pulau Penyengat Indera Sakti sebagai sebuah pusat penting dalam Kerajaan Melayu Riau-Lingga-Johor dan Pahang, sehingga kedua kawasan itu, utamanya Pulau Penyengat menjadi pusat tamadun Melayu dengan ciri khasnya adalah dalam bidang bahasa dan sastra Melayu.
Maka tak usah heran, bila dunia tulis-menulis, pemartabatan bahasa Melayu sehingga menjadi bahasa bagi pergaulan suku-bangsa di Nusantara dan juga kelak dipilih oleh Belanda menjadi bahasa di sekolah-sekolah pribumi. Juga amatlah logis, dan nyatalah adanya, kenapa bahasa Melayu yang dibina di Kerajaan Melayu Riau-Lingga-Johor dan Pahang dengan pusat pemerintahan di Lingga dan Pulau Penyengat itu, kemudian menjadi bahasa Indonesia.
Suatu yang pasti, dunia tulis-menulis yang sudah dibuka lamannya oleh Sultan Mahmud Syah III dan wujud di atas kertas sudah dirintis antara lain oleh tokohnya, Raja Ahmad bin Raja Haji semasa di Ulu Riau dan Lingga. Puncak kejayaan kepenulisan itu yang dikenal dengan tamadun Melayu pun wujud di Pulau Penyengat. Tokohnya antara lain, Raja Ali Haji, dan Orang Kaya Riau Haji Ibrahim dan di tanah yang lain dalam kerajaan ini Johor-Singapura ada nama Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi.
Maka menjadi jelaslah, bahwa jasa Sultan Mahmud terhadap pertumbuh-kembangan dan pembinaan bahasa-sastra Melayu tiada terbilang. Berkat perjuangannyalah sehingga di kawasan kerajaan ini lahir penulis-penulis besar yang antara lain Raja Ali Haji dengan karya agung dan menumental di bidang bahasa-sastra yakni Gurindam Dua Belas, Bustanul Katibin dan Kitab Pengetahuan Bahasa.
Pada akhirnya bahasa Melayu yang mulai dibina di Lingga dan puncak pembinaannya di Pulau Penyengat oleh Raja Ali Haji, sehingga bahasa Melayu Riau—Kepulauan Riau, dan Riau sekarang sekarang beberapa provinsi lainnya—dipilih dan ditetapkan menjadi bahasa pengantar, lingua franca di Nusantara.
Pada akhirnya, 28 Oktober 1928 bahasa Melayu itupun ditetapkan atau berubah nama, dengan nama baru, yakni bahasa Indonesia! Maka, jadilah bangsa Indonesia mengenal bahasa persatuan dan kebangsaannya bernama bahasa Indonesia. Dan, pada tahun 2004, setelah menerima usulan Pemerintah Kota Tanjungpinang melalui Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau yang diteruskan oleh Menteri Sosial RI dan melalui penilaian oleh tim pahlawan nasional, maka Presiden Republik Indonesia mengangkat Raja Ali Haji menjadi Pahlawan Nasional dalam bidang bahasa, atas jasa dan perjuangannya melakukan pemurnian bahasa Melayu Riau menjadi bahasa Indonesia.
Tentang bahasa Melayu dalam Kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang, yang semula mendapat pembinaan di Lingga, dan berlanjut dan berpusat di Pulau Penyengat, ada baiknya kita pertegas. Dalam kaitan ini kita sebatikan dengan satu pendapat saja, di antara banyaknya pendapat yang oleh dibaca dan dipahami. Pendapat yang dimaksudkan di sini, adalah pendapat Prof Dr Abdul Hadi WM. Dalam tulisannya, “Raja Ali Haji: Ulil Albab di Persimpangan Zaman”, antara lain menjelaskan tentang bagaimana upaya-upaya nyata yang dilakukan oleh Sultan Kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang, Sultan Mahmud Ri’ayat Syah, dalam memulai dan mentradisikan pembinaan bahasa Melayu. Sehingga, Raja Ali Haji hadir dalam tradisi itu.
Dalam perkembangan bahasa dan sastra Indonesia modern, jelas sekali pengaruh Raja Ali Haji. Beliau telah berupaya dalam memelihara dan mengembangkan kembali bahasa dan sastra Melayu yang mulai merosot pada akhir abad ke-18, mempunyai dampak yang tidak sedikit bagi perkembangan bahasa dan kesusastraan Indonesia. Bahasa Melayu yang digunakan penulis-penulis Betawi abad ke-19 seperti Mohammad Bakir dan Ahmad Beramka, adalah lanjutan bahasa Melayu yang dikembangkan Raja Ali Haji dan pengarang-pengarang Riau abad ke-19.
Lebih lanjut ditegaskan Abdul Hadi, bahasa Indonesia/Melayu yang dipergunakan pengarang-pengarang 1920-1930-an seperti Merari Siregar (Azab dan Sengsara), Marah Rusli (Siti Nurbaya), Abdul Muis (Salah Asuhan), Muhammad Yamin, Muhammad Hatta, Sanusi Pane, Amir Hamzah dan Hamka adalah bahasa Indonesia lanjutan bahasa Melayu yang digunakan Raja Ali Haji dan Hamzah Fansuri, bukan lanjutan bahasa Melayu Pasar seperti digembar-gemborkan oleh Pramoedya Anata Toer. Raja Ali Haji bukan sekedar produk dari zamannya, tetapi adalah hati nurani dan suri tauladan utama bagi bangsanya.
Di samping Raja Ali Haji—sebelumnya—dalam tahun 1997, Raja Haji yang menjadi Yang Dipertuan Muda Riau IV, yang ditugas oleh Sultan Mahmud Riayat Syah untuk menjadi pimpinan perang melawan Belanda di laut Tanjungpinang dan Teluk Ketapang Melaka, dalam tahun 1784, yang diangkat oleh Presiden RI menjadi Pahlawan Nasional.
Namun perlu dipahami dan dimaknai benar, bahwa Belanda dengan tegas dan terang-terangan mengatakan, sesungguhnya tokoh di sebalik perperangan antara Kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang di lapangan, sebagai pelaku utama yang bertanggung jawab sepenuhnya, adalah Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Ri’ayat Syah (Sultan Mahmud Syah III).
Dan pahamlah kita, bagaimana kedudukannya dalam perang itu dan di mata Belanda. Sehingga dengan segala perjuangan dan jasa-jasanya yang besar, luar biasa dan monumental serta menjadi tauladan dan spirit bagi anak bangsa dari masa ke masa, maka patutlah adanya beliau diangkat oleh Presiden Republik Indonesia menjadi pahlawan nasional dari Kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang, yang sejak Indonesia merdeka sebagian wilayahnya menjadi Provinsi Riau dan dalam tahun 2004 dimekarkan lagi menjadi Provinsi Kepulauan Riau, sehingga kawasan Melayu Riau-Lingga itu, kini sebagai Riau dan Kepulauan Riau!
Simpai Kalam
Sultan Mahmud Ri’ayat Syah sudah mewariskan kebudayaan, peradaban, tamadun Melayu yang nyatalah manfaat dan faedahnya bagi bangsa Indonesia, dan Malaysia, yang mungkin juga Singapura. Baginda adalah Bapak Tamadun Melayu, Pahlawan Nasional dari Kepulauan Riau. Nama besarnya patut diabadikan untuk nama pusat Pemerintahan Provinsi Kepulauan Riau, yakni “Kawasan Sultan Mahmud Ri’ayat Syah, Pulau Dompak, Tanjungpinang’’.
Dalam dunia aksara telah diwarisi dan diwariskan oleh Raja Ali Haji dan pengarang-pengarang selepasnya. Sehingga kini pewaris itu, ianya bernama Haji Abdul Malik. Karyanya sudah beberapa diterbitkan, hadir di tengah khalayak ramai utamanya pembacara sehingga pengabdiannya sebagai pengarang sudahlah menjulang dan bolehlah dibilangkan nama. Kalam adalah alat sejati manusia bagi menerajui bahtera dunia mewujudkan kebudayaan dan peradaban. Sekaligus sebagai alat mengambil bekal untuk kematian dan kekal abadi dalam kebahagiaan dan kemuliaan di sisi Tuhan, Allah SWT. Tahniah! Maka, ketika sesiapa tiada menulis, sahdan habislah ianya! n
Abdul Kadir Ibrahim. Akrab disapa Akib. Sastrawan asal Provinsi Kepulauan Riau, tepatnya Natuna ini telah menghasilkan banyak karya yang dimuat di berbagai media massa. Bermastautin di Kota Tanjungpinang.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 14 April 2013
No comments:
Post a Comment