-- Fakhrunnas MA Jabbar
TAK terasa, setahun sudah budayawan Hasan Junus berpulang kerahmatullah. Tepatnya 30 Maret 2012 sekitar pukul 23.00 WIB, tokoh yang identik dengan ‘Burung Tiung Seri Gading’ -judul naskah roman dan drama yang dikarang semasa hidupnya- itu menghembuskan napas terakhirnya. Hasan dilepas istri dan seorang putri kesayangan dan semua orang yang pernah menjalin kisah silaturahim dengannya.
Seseorang hadir di bumi kala disambut suara jerit tangis sang bayi namun ditingkahi senyum dan tawa manis kedua orangtua dan para kerabat di sekitarnya. Hasan pun mengalami metamorfosis yang sama. Galibnya sebuah perjalanan, ada saat datang dan ada pula saat pergi. Kepergian Hasan itulah yang selalu saja menyisakan rasa kehilangan dan sesegukan duka yang tak tahu kapan keringnya.
Terus terang, tak banyak orang yang kebetulan mengingat pasti tanggal setahun kepergian Hasan Junus ini. Seingat saya, salah seorang yang ikut gelisah karena merasa hampir kehilangan momennya adalah sastrawan dan penggiat teater, Fedli Azis. Kami pun sempat berbincang lewat dunia maya. Dan perbincangan itu pun berhasil mewujudkan sebuah acara bincang-bincang di DKR yang nyaris tanpa gendang dan palu yang berdentam-dentam.
Hasan yang semasa hidupnya tunak menggeluti dunia sastra di sejumlah kota memang sampai detik-detik terakhir berlabuh juga di tanah Melayu Riau. Memang bumi Riau ditengarai sejak dulu menjadi pusat bahasa dan kebudayaan Melayu serumpun yang sudah tahbiskan secara nyata di dalam Visi Riau 2020.
Tak ada hari tanpa sastra bagi Hasan. Pengabdiannya dalam dunia sastra berkelindan dengan jurnalistik sastra melalui keberadaannya selaku Pimpinan Redaksi majalah sastra Sagang bersama sejumlah seniman dan sastrawan lain di antaranya Armawi KH, Dantje S Moeis dan Zuarman Ahmad. Melalui tangan ketulusannya, majalah itu mampu bertahan selama puluhan dalam menggelorakan semangat Melayu lewat karya-karya puisi, cerpen, roman dan esai.
Hasan tak hanya sekadar memberikan laluan bagi para sastrawan lain dalam melabuhkan karyanya. Namun, Hasan sendiri sudah dikenal luas sebagai sastrawan Indonesia yang kreatif dengan melahirkan karya-karya sastranya yang bernilai tinggi. Sejumlah puisi, cerpen, esai dan karya terjemahannya sudah dipublikasikan sejak tahun 1960-an di tanah kelahirannya, Penyengat. Pada masa itu, Hasan bersama teman-teman sastrawan lain di antaranya Rida K Liamsi (nama pena Iskandar Leo), Eddy Mawuntu, Ibrahim Sattah, Sudirman Backry (abang Sutardji Calzoum Bachri) menerbitkan majalah sastra Jelaga, Solarium dan beberapa nama lagi.
Sejumlah cerpen Hasan juga sudah dimuat di majalah sastra Horison yang sangat bergengsi masa itu sebagai barometer sastra Indonesia. Saya sempat menemukan majalah Horison yang memuat karya Hasan di Perpustakaan Nasional satu dasawarsa silam. Waktu itu, saya mencari dokumen lama atau kliping tulisan yang berkaitan dengan pujangga Soeman Hs yang saya tulis ulang biografinya.
Salah satu cerpen Hasan yang berhasil saya temukan -dan dulu sangat dibanggakan Hasan sewaktu saya bercerita dalam pertemanan yang akrab- ada Perang Biawak. Ada juga sejumlah puisi Hasan yang memang tidak terlalu produktif dilahirkannya. Begitu pula sejumlah hasil terjemahan Hasan terhadap puisi dan cerpen yang ditulis oleh sastrawan dunia. Hasan begitu bergembira ketika saya menyerahkan fotokopi kliping tulisannya itu.
Kebiasaan Hasan untuk menjalani hari-hari kreatifnya memang tak pernah berhenti. Ada saja yang ditulis Hasan sesuai kelebihan ilmu dan wawasan yang dimilikinya. Salah satu yang membuat Hasan memiliki keunggulan karena penguasaan beberapa bahasa seperti Spanyol, Prancis dan Inggris tentu saja. Saat saya hampir sehari-hari menemani Hasan -sebelum menikah- di kediaman sewaannya, paling sering Hasan melapalkan ucapan bahasa Prancis dan Spanyol yang begitu fasih. Belum lagi, Hasan secara spontan menerjemahkan karya-karya kreatif sastrawan dunia termasuk esai-esai pemenang Hadih Nobel Sastra.
Melalui hubungan baik dan korespondensinya para peneliti sastra di berbagai belahan dunia, Hasan selalu mendapatkan kiriman buku-buku terbaru atau suratkabar yang memuat cerita tentang perkembangan sastra dunia itu. Seingat saya, Hasan waktu itu berhubungan baik dengan Henry Chambert Loir di Prancis Jan Van Der Puten (Belanda) dan sejumlah peneliti sastra di negeri jiran Singapura dan Malaysia.
Saya jadi teringat ketika menghadiri Hari Sastra di Kuala Lumpur, Malaysia sekitar tahun 2000-an. Saya kebetulan bertemu dan berbincang dengan Henry Chammbert Loir yang menjadi salah seorang pembicara dalam acara itu. Saya menyampaikan ihwal Hasan Junus pada peneliti Prancis itu. Cerita kami pun menjadi intens saat membahas soal Hasan Junus. Memang pertemanan Hasan dan Henry sudah berlangsung sangat lama.
Begitulah Hasan selalu menulis perkembangan sastra di tanah air dan dunia yang dipublikasikannya melalui rubrik sastra Cakap Rampai-rampai atau Rampai di Riau Pos Minggu. Hasan pun sudah menerbitkan kumpulan Rampai itu dalam sejumlah buku yang diprakarsai oleh Riau Pos atau Yayasan Sagang. Saya masih ingat, setiap diumumkan pemenang Nobel Sastra, Hasan menulis tentang pemenang dan karya-karyanya. Apalagi sejak era internet, Hasan tentu lebih mudah lagi melakukan searching data yang begitu banyak.
Kicau Hasan melalui rubrik Rampai itulah laksana kicau burung tiung seri gading yang kini memasuki masa istirah. Setiap terbit, kicauan Hasan melalui esainya yang anggun dan berbunga-bunga karena ditulis dengan keindahan kata-kata yang mempesona. Banyak orang terkesima. Ketika Hasan sudah tiada, terasalah betapa sesungguhnya kita semua merindukan kicauan itu. Apalagi di saat belum tiada seorang pun dari generasi sastra kini yang mampu menggantikan keberadaannya.
Ketunakan Hasan memang tak sebatas bergelut dengan sastra modern. Penguasaan Hasan tentang naskah-naskah Melayu lama atau naskah kuno Melayu justru sudah ditekuninya sejak di kampung halamannya dulu. Bisa dimafhumi bila di rumah Hasan terjajar ratusan buku dan naskah kuno yang tersimpan di lemari ruangan kerjanya. Saya tak tahu persis bagaimana nasib koleksi buku Hasan itu kini. Pasalnya, banyak pihak yang berminat untuk menyelamatkan koleksi dan dokumen sastra Hasan.
Hasan tentu saja kini sudah menjadi salah satu tonggak perjalanan sastra di Tanah Melayu serumpun. Tentulah tak bakal ada lagi karya baru Hasan. Atau kicauan merdu si burung tiung. Namun karya-karya Hasan yang tersebar di berbagai majalah, suratkabar dan buku yang berhasil ditulis dan diterbitkan akan selalu menjadi kicauan berharga dalam perkembangan sastra di tanah air.
Tak begitu pasti, apa yang dilakukan pihak pemerintah Provinsi Riau melalui instansi terkait seperti Dinas Kebudayaan dan Pariwisata atau Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dalam memberikan perhatian terhadap karya-karya para sastrawan Riau termasuk Hasan Junus yang telah menempatkan Riau pada posisi yang ranggi dalam peta kesusastraan Indonesia. Pernah salah satu dinas itu mencetak ulang karya roman dan esai sejumlah sastrawan Riau. Namun, tak banyak yang tahu, bagaimana proses seleksi dan pertimbangannya sehingga tak semua karya sastrawan Riau yang berbilang generasi yang sempat tersentuh. Belum lagi, ke mana saja distribusi buku-buku itu dan bagaimana orang awam bisa mendapatkan atau mengaksesnya.
Bila perhatian terhadap karya-karya sastrawan Riau hanya sekadar melegetimasi proyek penerbitan buku, tentulah amat disayangkan bila negeri yang berjulukan Negeri Sahibul Kitab ini lama-kelamaan tenggelam dalam hingar-bingar dinamika kesusastraan di kota lain termasuk provinsi tetangga. n
Fakhrunnas MA Jabbar, sastrawan yang aktif dan produktif menghasilkan karya-karya berupa puisi, cerpen, esai dan banyak lagi. Karya-karyanya, selain dimuat dalam berbagai media massa juga sudah banyak yang dibukukan. Kini bermastautin di Kota Bertuah Pekanbaru.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 14 April 2013
TAK terasa, setahun sudah budayawan Hasan Junus berpulang kerahmatullah. Tepatnya 30 Maret 2012 sekitar pukul 23.00 WIB, tokoh yang identik dengan ‘Burung Tiung Seri Gading’ -judul naskah roman dan drama yang dikarang semasa hidupnya- itu menghembuskan napas terakhirnya. Hasan dilepas istri dan seorang putri kesayangan dan semua orang yang pernah menjalin kisah silaturahim dengannya.
Seseorang hadir di bumi kala disambut suara jerit tangis sang bayi namun ditingkahi senyum dan tawa manis kedua orangtua dan para kerabat di sekitarnya. Hasan pun mengalami metamorfosis yang sama. Galibnya sebuah perjalanan, ada saat datang dan ada pula saat pergi. Kepergian Hasan itulah yang selalu saja menyisakan rasa kehilangan dan sesegukan duka yang tak tahu kapan keringnya.
Terus terang, tak banyak orang yang kebetulan mengingat pasti tanggal setahun kepergian Hasan Junus ini. Seingat saya, salah seorang yang ikut gelisah karena merasa hampir kehilangan momennya adalah sastrawan dan penggiat teater, Fedli Azis. Kami pun sempat berbincang lewat dunia maya. Dan perbincangan itu pun berhasil mewujudkan sebuah acara bincang-bincang di DKR yang nyaris tanpa gendang dan palu yang berdentam-dentam.
Hasan yang semasa hidupnya tunak menggeluti dunia sastra di sejumlah kota memang sampai detik-detik terakhir berlabuh juga di tanah Melayu Riau. Memang bumi Riau ditengarai sejak dulu menjadi pusat bahasa dan kebudayaan Melayu serumpun yang sudah tahbiskan secara nyata di dalam Visi Riau 2020.
Tak ada hari tanpa sastra bagi Hasan. Pengabdiannya dalam dunia sastra berkelindan dengan jurnalistik sastra melalui keberadaannya selaku Pimpinan Redaksi majalah sastra Sagang bersama sejumlah seniman dan sastrawan lain di antaranya Armawi KH, Dantje S Moeis dan Zuarman Ahmad. Melalui tangan ketulusannya, majalah itu mampu bertahan selama puluhan dalam menggelorakan semangat Melayu lewat karya-karya puisi, cerpen, roman dan esai.
Hasan tak hanya sekadar memberikan laluan bagi para sastrawan lain dalam melabuhkan karyanya. Namun, Hasan sendiri sudah dikenal luas sebagai sastrawan Indonesia yang kreatif dengan melahirkan karya-karya sastranya yang bernilai tinggi. Sejumlah puisi, cerpen, esai dan karya terjemahannya sudah dipublikasikan sejak tahun 1960-an di tanah kelahirannya, Penyengat. Pada masa itu, Hasan bersama teman-teman sastrawan lain di antaranya Rida K Liamsi (nama pena Iskandar Leo), Eddy Mawuntu, Ibrahim Sattah, Sudirman Backry (abang Sutardji Calzoum Bachri) menerbitkan majalah sastra Jelaga, Solarium dan beberapa nama lagi.
Sejumlah cerpen Hasan juga sudah dimuat di majalah sastra Horison yang sangat bergengsi masa itu sebagai barometer sastra Indonesia. Saya sempat menemukan majalah Horison yang memuat karya Hasan di Perpustakaan Nasional satu dasawarsa silam. Waktu itu, saya mencari dokumen lama atau kliping tulisan yang berkaitan dengan pujangga Soeman Hs yang saya tulis ulang biografinya.
Salah satu cerpen Hasan yang berhasil saya temukan -dan dulu sangat dibanggakan Hasan sewaktu saya bercerita dalam pertemanan yang akrab- ada Perang Biawak. Ada juga sejumlah puisi Hasan yang memang tidak terlalu produktif dilahirkannya. Begitu pula sejumlah hasil terjemahan Hasan terhadap puisi dan cerpen yang ditulis oleh sastrawan dunia. Hasan begitu bergembira ketika saya menyerahkan fotokopi kliping tulisannya itu.
Kebiasaan Hasan untuk menjalani hari-hari kreatifnya memang tak pernah berhenti. Ada saja yang ditulis Hasan sesuai kelebihan ilmu dan wawasan yang dimilikinya. Salah satu yang membuat Hasan memiliki keunggulan karena penguasaan beberapa bahasa seperti Spanyol, Prancis dan Inggris tentu saja. Saat saya hampir sehari-hari menemani Hasan -sebelum menikah- di kediaman sewaannya, paling sering Hasan melapalkan ucapan bahasa Prancis dan Spanyol yang begitu fasih. Belum lagi, Hasan secara spontan menerjemahkan karya-karya kreatif sastrawan dunia termasuk esai-esai pemenang Hadih Nobel Sastra.
Melalui hubungan baik dan korespondensinya para peneliti sastra di berbagai belahan dunia, Hasan selalu mendapatkan kiriman buku-buku terbaru atau suratkabar yang memuat cerita tentang perkembangan sastra dunia itu. Seingat saya, Hasan waktu itu berhubungan baik dengan Henry Chambert Loir di Prancis Jan Van Der Puten (Belanda) dan sejumlah peneliti sastra di negeri jiran Singapura dan Malaysia.
Saya jadi teringat ketika menghadiri Hari Sastra di Kuala Lumpur, Malaysia sekitar tahun 2000-an. Saya kebetulan bertemu dan berbincang dengan Henry Chammbert Loir yang menjadi salah seorang pembicara dalam acara itu. Saya menyampaikan ihwal Hasan Junus pada peneliti Prancis itu. Cerita kami pun menjadi intens saat membahas soal Hasan Junus. Memang pertemanan Hasan dan Henry sudah berlangsung sangat lama.
Begitulah Hasan selalu menulis perkembangan sastra di tanah air dan dunia yang dipublikasikannya melalui rubrik sastra Cakap Rampai-rampai atau Rampai di Riau Pos Minggu. Hasan pun sudah menerbitkan kumpulan Rampai itu dalam sejumlah buku yang diprakarsai oleh Riau Pos atau Yayasan Sagang. Saya masih ingat, setiap diumumkan pemenang Nobel Sastra, Hasan menulis tentang pemenang dan karya-karyanya. Apalagi sejak era internet, Hasan tentu lebih mudah lagi melakukan searching data yang begitu banyak.
Kicau Hasan melalui rubrik Rampai itulah laksana kicau burung tiung seri gading yang kini memasuki masa istirah. Setiap terbit, kicauan Hasan melalui esainya yang anggun dan berbunga-bunga karena ditulis dengan keindahan kata-kata yang mempesona. Banyak orang terkesima. Ketika Hasan sudah tiada, terasalah betapa sesungguhnya kita semua merindukan kicauan itu. Apalagi di saat belum tiada seorang pun dari generasi sastra kini yang mampu menggantikan keberadaannya.
Ketunakan Hasan memang tak sebatas bergelut dengan sastra modern. Penguasaan Hasan tentang naskah-naskah Melayu lama atau naskah kuno Melayu justru sudah ditekuninya sejak di kampung halamannya dulu. Bisa dimafhumi bila di rumah Hasan terjajar ratusan buku dan naskah kuno yang tersimpan di lemari ruangan kerjanya. Saya tak tahu persis bagaimana nasib koleksi buku Hasan itu kini. Pasalnya, banyak pihak yang berminat untuk menyelamatkan koleksi dan dokumen sastra Hasan.
Hasan tentu saja kini sudah menjadi salah satu tonggak perjalanan sastra di Tanah Melayu serumpun. Tentulah tak bakal ada lagi karya baru Hasan. Atau kicauan merdu si burung tiung. Namun karya-karya Hasan yang tersebar di berbagai majalah, suratkabar dan buku yang berhasil ditulis dan diterbitkan akan selalu menjadi kicauan berharga dalam perkembangan sastra di tanah air.
Tak begitu pasti, apa yang dilakukan pihak pemerintah Provinsi Riau melalui instansi terkait seperti Dinas Kebudayaan dan Pariwisata atau Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dalam memberikan perhatian terhadap karya-karya para sastrawan Riau termasuk Hasan Junus yang telah menempatkan Riau pada posisi yang ranggi dalam peta kesusastraan Indonesia. Pernah salah satu dinas itu mencetak ulang karya roman dan esai sejumlah sastrawan Riau. Namun, tak banyak yang tahu, bagaimana proses seleksi dan pertimbangannya sehingga tak semua karya sastrawan Riau yang berbilang generasi yang sempat tersentuh. Belum lagi, ke mana saja distribusi buku-buku itu dan bagaimana orang awam bisa mendapatkan atau mengaksesnya.
Bila perhatian terhadap karya-karya sastrawan Riau hanya sekadar melegetimasi proyek penerbitan buku, tentulah amat disayangkan bila negeri yang berjulukan Negeri Sahibul Kitab ini lama-kelamaan tenggelam dalam hingar-bingar dinamika kesusastraan di kota lain termasuk provinsi tetangga. n
Fakhrunnas MA Jabbar, sastrawan yang aktif dan produktif menghasilkan karya-karya berupa puisi, cerpen, esai dan banyak lagi. Karya-karyanya, selain dimuat dalam berbagai media massa juga sudah banyak yang dibukukan. Kini bermastautin di Kota Bertuah Pekanbaru.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 14 April 2013
No comments:
Post a Comment