Sunday, April 21, 2013

[Jendela Buku] Karya Sastra Motivasi dan Selera Pasar

PASAR buku di Tanah Air dalam lima tahun terakhir ini boleh dibilang lebih bergairah daripada yang sudah-sudah. Itu, seperti diakui beberapa pengurus Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi), tidak terpengaruh oleh kehadiran perangkat smartphone yang menyediakan layanan buku digital (e-book) dengan cepat dan mudah.

Penikmat buku lebih suka ke toko buku untuk mendapatkan judul buku yang diinginkan. Bahkan di beberapa daerah seperti Surabaya dan Yogyakarta, gairah perbukuan itu semakin dirasakan dengan bertambahnya judul buku yang diterbitkan penerbit lokal. Toko-toko buku pun mulai menjamur.

Dalam beberapa kesempatan, terlihat penerbit lokal lebih banyak menerbitkan karya-karya sastra seperti novel dengan beragam jenis. Alasannya, buku dalam bentuk novel saat ini lebih mudah dipasarkan dan semakin diminati masyarakat.

Dalam setahun, sekitar 8.000 judul buku bisa diterbitkan pelbagai penerbit di dalam negeri, baik penerbit besar maupun kecil, meski harus diakui, capaian angka itu masih jauh jika dibandingkan dengan negara lain yang masyarakatnya sudah melek baca.

Sebagai gambaran, di Amerika Serikat angka penerbitan buku sudah mencapai 80 ribu judul dalam setahun. Demikian juga buku-buku yang diterbitkan di negara-negara Eropa seperti Jerman, Inggris, dan Prancis, yang kuantitasnya mendekati angka yang diraih AS tersebut.

Bahkan di negara berkembang seperti Iran, Mesir, dan India, diperkirakan buku yang diterbitkan dalam setahun mencapai 60 ribuan judul. Di Mesir atau Iran, hal itu bisa terjadi karena negara tersebut dikenal sebagai surganya penerbit. Mereka bisa menerbitkan buku-buku tertentu tanpa harus membeli hak intelektual dari pengarangnya.

Tidak sedikit penerbit asal Indonesia yang berburu judul-judul buku tertentu. "Biasanya buku religius beraliran syiah yang banyak disediakan," kata salah seorang pengelola penerbitan di Jakarta yang tidak mau namanya ditulis.

Tak mengherankan, dari sekitar 8.000 buku setiap tahun yang dicetak penerbit lokal itu, sebagian besar ialah buku-buku terjemahan. Pihak penerbit beralasan masih sedikit penulis lokal yang menghasilkan karya-karya yang mereka anggap berbobot.

Persoalan kapasitas dan kualitas perbukuan tersebut bagaikan mengurai benang kusut. Mungkin hal itu disebabkan tingkat penghargaan terhadap penulis dari segi materi masih minim. Selain itu, penerbit mengaku menghadapi kesulitan untuk menjual buku-buku terbitan lokal.

Berimbas

Kondisi yang tidak menentu itu rupanya menghasilkan 'kompromi' antara penulis dan pihak penerbit. Pasar menjadi pertimbangan utama dan sudah seharusnya mereka layani dengan cerdas.

Nah, entah secara kebetulan, saat pasar lebih banyak menyerap karya-karya yang tergolong 'buku motivasi' dan religi, kehadiran karya sastra seperti roman Negeri 5 Menara (2009) karya Ahmad Fuadi terbitan Gramedia, Ayat-Ayat Cinta (2004) karya Habiburrahman El Shirazy yang diterbitkan penerbit Basmala dan Republika, langsung diserbu pembaca. Penjualannya mencapai sekitar 200 ribu eksemplar.

Negeri 5 Menara bercerita tentang kehidupan enam santri dari berbagai daerah yang menuntut ilmu di sebuah pondok pesantren di Ponorogo Jawa Timur dan berhasil mewujudkan impian masing-masing.

Dalam perspektif pembaca, buku tersebut sangat memotivasi atau menginspirasi bahwa siapa pun orangnya akan sulit untuk sukses tanpa diikuti kerja keras.

Buku lainya yang mendapat sambutan hangat dari pasar yaitu Laskar Pelangi (2005), karya Andrea Hirata yang diterbitkan Bentang Pustaka. Novel tersebut menceritakan kehidupan 10 anak dari keluarga miskin yang belajar (SD dan SMP) di sebuah sekolah di Belitung yang kondisi ekonominya sangat terbatas. Namun, keterbatasan yang ada tidak menjadikan mereka putus asa. Yang terjadi justru mereka terpacu untuk dapat melakukan sesuatu yang lebih baik.

Karya lain baru-baru ini misalnya Sepatu Dahlan. Novel ini bisa dianggap memotivasi pembaca setelah mengetahui kisah hidup seorang Dahlan Iskan, orang jelata yang sukses menjadi pengusaha dan menteri.

Novel itu mengajarkan dan memotivasi bahwa hidup miskin bukan berarti harus mengiba untuk dikasihani, melainkan harus dihadapi dengan kerja keras dan doa. Buku-buku yang dianggap bisa memotivasi dan mengarahkan pembangunan jiwa bagi pembaca ternyata mendapat sambutan luar biasa besar dari pasar.

Sebagai sebuah tren sekaligus peluang bagi pelaku industri perbukuan, hal itu tentu sah-sah saja. Meskipun dalam sejarah kesusastraan di Tanah Air, karya-karya yang dianggap sukses lahir tidak didasarkan pada harapan pasar, tetapi lebih pada idealisme sastra itu sendiri.

Karya sastra yang lahir waktu itu lebih menekankan karya yang bernapaskan perlawanan hingga kritik sosial. Tema dari karya sastra semacam itu tidak memiliki pretensi untuk memotivasi pembacanya atau menggiring orang untuk bersemangat, how to.

Coba tengok lagi karya sastra Bumi Manusia oleh Pramoedya Ananta Toer atau Merahnya Merah karya Iwan Simatupang, yang begitu kuat akan kesadaran eksotis dan memperbincangkan alegori bangsa yang runyam. Akan tetapi, sekarang pengarang sepertinya harus beradaptasi dengan permintaan pembacanya, dalam hal ini selera pasar. Tentu saja dua hal itu memiliki kelebihan masing-masing. Jika dulu tren karya sastra lebih memotret kondisi sosial dan bangsa secara kritis tanpa embel-embel, karya itu nantinya, laku atau tidak, sekarang banyak penerbit akan bersedia mencetak sebuah karya sastra yang sesuai dengan selera pasar.

Keuntungan dari kecenderungan perkembangan tren penulisan dan respons pasar tersebut tentu juga ada. Misalnya, orang awam yang tidak tahu tentang nilai sastra sekarang bisa dan mau membaca karya sastra. Sastra menjadi membumi, dibaca oleh khalayak seluasnya-luasnya.     (Soelistijono/M-2)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 21 April 2013

No comments: