-- Riki Utomi
SEBAGAI sarana komunikasi paling lazim dan mendasar yang dimiliki manusia, bahasa mampu mewujudkan berbagai bentuk aktivitas dan keperluan. Dengan bahasa, di samping dapat mencermati dunia, manusia juga akan mendapatkan kemudahan dalam menjalani kehidupan dan mengatasi problematika hidupnya. Hal itu dimungkinkan karena bahasa memiliki daya gugah yang mewarnai (memengaruhi) kejiwaan (psikologi) manusia. Saat menyaksikan acara dialog di layar televisi, misalnya, kita sering terseret ikut “merasakan”: apakah ikut berfikir, meresapi, menghayati, atau sebaliknya, tidak menyetujui dan ingin menyangkalnya. Pendek kata, kita telah kena teror oleh kata-kata (bahasa) yang digunakan dalam dialog itu.
Memang, bahasa bersifat arbitrer (mana suka). “Bahasa bersifat semena-mena,” kata Ferdinand de Saussure. Akan tetapi, kemanasukaan itu—menurut hemat penulis—tetaplah memiliki batas-batas atau rambu-rambu (tertera dalam kaidah) sehingga bahasa itu memungkinkan dapat digunakan secara langgeng. Sekalipun kaitan antara penanda dan hal ikhwal yang ditandai berjalan mana suka, karena pilihan-pilihan terhadap bahasa sangat terbuka bebas, justru membuat setiap orang tidak bebas untuk mengubah bahasa. Artinya, kelanggengan itu sebenarnya hanya terjadi pada sistemnya, bukan pada sifatnya.
Situasi, politik, dan kekuasaan sering secara semena-mena membuat sifat bahasa berubah. Perubahan (sifat) bahasa itu ada kalanya menguntungkan, tetapi tidak jarang pula merugikan, bergantung pada pengelolaannya. Slogan-slogan dalam kampanye, misalnya, mungkin karena hanya dimaksudkan sebagai pemanis bibir (asal orang tertarik), umumnya sangat bombastis. Mungkin mereka tidak menyadari bahwa slogan-slogannya itu telah memberi pengaruh kejiwaan masyarakat yang setiap saat dapat muncul menjadi kebencian jika slogan-slogan itu tidak terealisasi (karena memang tidak mungkin diwujudkan). Sekadar contoh, slogan Segalanya untuk Rakyat. Bagaimana mewujudkannya? Mungkinkah ia (pemilik slogan) dapat melupakan keluarganya sama sekali? Kalaupun ia dapat menjelaskan bahwa anak, istri, dan saudara-saudaranya adalah bagian dari rakyat, penulis yakin, masyarakat tetap tidak dapat menerimanya.
Pengelolaan bahasa secara hati-hati dan tidak sembrono pernah dilakukan oleh pemerintah di era Orde Baru. Berkat kejeliannya dalam memanfaatkan hasil penelitian Fuad Hasan (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan waktu itu), pemerintah Orde Baru berhasil melakukan pelabelan terhadap kelompok/organisasi sosial-politik, seperti kontra revolusi, setan desa, dan anti pembangunan.
Sekalipun belum dibuktikan kebenarannya, langkah pemerintah Orde Baru itu berkemungkinan besar terkait dengan hasil penelitian Fuad Hasan tentang perbedaan antara kita dan kami berdasarkan modus kebersamaan dan dampaknya secara eksistensial. Dalam disertasinya itu (“Kita dan Kami: An Analysis of Two Basic Modes of Togetherness”), Fuad Hasan menulis sebagai berikut.
Kita mengandaikan sebuah modus kebersamaan yang dialogis untuk membuat eksistensi manusia bisa tumbuh dengan baik, sedangkan kami merupakan modus kebersamaan yang tidak dialogis karena ia berbasis pada konflik. Modus kebersamaan yang meng-kami akan mengandaikan adanya mereka, yaitu pihak luar yang bukan kami dan karena itu harus diperangi. Modus kebersamaan semacam ini hanya tetap kukuh selama sesuatu yang diposisikan sebagai mereka tetap ada. Jika sosok mereka itu tidak ada, maka runtuhlah basis kebersamaan yang meng-kami itu.
Mungkin itulah sebabnya bahasa-bahasa “bengis” (istilah Agus R. Sarjono) di era Orde Baru seperti yang disebut di muka itu mendapat permakluman masyarakat. Bahkan, karena dikait-kaitkan dengan modus kebersamaan yang meng-kami, orang atau kelompok/organisasi sosial-politik yang dicap sebagai kontra revolusi, setan desa, dan anti pembangunan itu seolah-olah juga menjadi musuh masyarakat. Upaya pelenyapan kelompok-kelompok itu, dengan demikian, mendapatkan pembenaran.
Di samping mengelola bahasa-bahasa “bengis”, pemerintah juga piawai mengelola bahasa yang santun. Kreativitasnya telah melahirkan slogan-slogan, seperti Dua Anak Cukup, Narkoba Merusak Masa Depan, dan Wajib Belajar Sembilan Tahun. Ketiga slogan itu pun—menurut pengamatan penulis—sangat membantu pemerintah dalam melaksanakan program-programnya.
Slogan yang paling melegenda bagi bangsa ini adalah Ganyang Malaysia! Teriakan sang orator ulung (Soekarno, Presiden RI pertama) itu benar-benar memiliki daya gugah yang luar biasa sehingga melahirkan simpati rakyat Indonesia untuk ikut melawan Malaysia.
Begitulah bahasa. Bahasa menyimpan daya gugah dengan sempurna. Jika tidak dikelola dengan baik, bahasa bisa menjadi dajjal. Dan sebaliknya, jika dikelola dengan baik, bahasa bisa menjadi malaikat. Mungkin di sini pulalah letak urgensi anjuran para pihak (pemerintah) agar kita tidak mencampur-adukkan bahasa (terutama dengan bahasa asing) itu. Fakta menunjukkan bahwa sebagaian besar orang Indonesia tidak memiliki kemampuan berbahasa asing (Inggris dan Arab sekalipun) dengan baik. Penggunaan kosakata/istilah asing secara semena-mena, dengan demikian, berpeluang besar menciptakan ketidakpahaman.
Bahasa, apa pun itu, sesungguhnya tidak mengenal kaya-miskin. Label kaya-miskin hanya layak disandang oleh penggunanya. Dalam hal ini, penggunaan kosakata/istilah asing secara sembarangan, membuktikan adanya “kemiskinan” itu. Untuk itu, yang diperlukan adalah kreativitas mencipta kata-kata, bukan meminjam kata-kata (asing). Kita bersyukur memiliki bahasa sendiri: bahasa Indonesia. Banyak negara yang sampai hari ini (terpaksa) meminjam bahasa orang lain sebagai bahasa nasionalnya.
Sebagai penutup, marilah kita renungkan petuah dari Kahlil Gibran, pujangga besar Lebanon berikut: “Kata-kata tidak mengenal waktu. Kamu harus menuliskannya atau mengucapkannya, dengan menyadari keabadiannya.” n
Riki Utomi, Sastrawan Muda Riau
Sumber: Riau Pos, Minggu, 7 April 2013
SEBAGAI sarana komunikasi paling lazim dan mendasar yang dimiliki manusia, bahasa mampu mewujudkan berbagai bentuk aktivitas dan keperluan. Dengan bahasa, di samping dapat mencermati dunia, manusia juga akan mendapatkan kemudahan dalam menjalani kehidupan dan mengatasi problematika hidupnya. Hal itu dimungkinkan karena bahasa memiliki daya gugah yang mewarnai (memengaruhi) kejiwaan (psikologi) manusia. Saat menyaksikan acara dialog di layar televisi, misalnya, kita sering terseret ikut “merasakan”: apakah ikut berfikir, meresapi, menghayati, atau sebaliknya, tidak menyetujui dan ingin menyangkalnya. Pendek kata, kita telah kena teror oleh kata-kata (bahasa) yang digunakan dalam dialog itu.
Memang, bahasa bersifat arbitrer (mana suka). “Bahasa bersifat semena-mena,” kata Ferdinand de Saussure. Akan tetapi, kemanasukaan itu—menurut hemat penulis—tetaplah memiliki batas-batas atau rambu-rambu (tertera dalam kaidah) sehingga bahasa itu memungkinkan dapat digunakan secara langgeng. Sekalipun kaitan antara penanda dan hal ikhwal yang ditandai berjalan mana suka, karena pilihan-pilihan terhadap bahasa sangat terbuka bebas, justru membuat setiap orang tidak bebas untuk mengubah bahasa. Artinya, kelanggengan itu sebenarnya hanya terjadi pada sistemnya, bukan pada sifatnya.
Situasi, politik, dan kekuasaan sering secara semena-mena membuat sifat bahasa berubah. Perubahan (sifat) bahasa itu ada kalanya menguntungkan, tetapi tidak jarang pula merugikan, bergantung pada pengelolaannya. Slogan-slogan dalam kampanye, misalnya, mungkin karena hanya dimaksudkan sebagai pemanis bibir (asal orang tertarik), umumnya sangat bombastis. Mungkin mereka tidak menyadari bahwa slogan-slogannya itu telah memberi pengaruh kejiwaan masyarakat yang setiap saat dapat muncul menjadi kebencian jika slogan-slogan itu tidak terealisasi (karena memang tidak mungkin diwujudkan). Sekadar contoh, slogan Segalanya untuk Rakyat. Bagaimana mewujudkannya? Mungkinkah ia (pemilik slogan) dapat melupakan keluarganya sama sekali? Kalaupun ia dapat menjelaskan bahwa anak, istri, dan saudara-saudaranya adalah bagian dari rakyat, penulis yakin, masyarakat tetap tidak dapat menerimanya.
Pengelolaan bahasa secara hati-hati dan tidak sembrono pernah dilakukan oleh pemerintah di era Orde Baru. Berkat kejeliannya dalam memanfaatkan hasil penelitian Fuad Hasan (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan waktu itu), pemerintah Orde Baru berhasil melakukan pelabelan terhadap kelompok/organisasi sosial-politik, seperti kontra revolusi, setan desa, dan anti pembangunan.
Sekalipun belum dibuktikan kebenarannya, langkah pemerintah Orde Baru itu berkemungkinan besar terkait dengan hasil penelitian Fuad Hasan tentang perbedaan antara kita dan kami berdasarkan modus kebersamaan dan dampaknya secara eksistensial. Dalam disertasinya itu (“Kita dan Kami: An Analysis of Two Basic Modes of Togetherness”), Fuad Hasan menulis sebagai berikut.
Kita mengandaikan sebuah modus kebersamaan yang dialogis untuk membuat eksistensi manusia bisa tumbuh dengan baik, sedangkan kami merupakan modus kebersamaan yang tidak dialogis karena ia berbasis pada konflik. Modus kebersamaan yang meng-kami akan mengandaikan adanya mereka, yaitu pihak luar yang bukan kami dan karena itu harus diperangi. Modus kebersamaan semacam ini hanya tetap kukuh selama sesuatu yang diposisikan sebagai mereka tetap ada. Jika sosok mereka itu tidak ada, maka runtuhlah basis kebersamaan yang meng-kami itu.
Mungkin itulah sebabnya bahasa-bahasa “bengis” (istilah Agus R. Sarjono) di era Orde Baru seperti yang disebut di muka itu mendapat permakluman masyarakat. Bahkan, karena dikait-kaitkan dengan modus kebersamaan yang meng-kami, orang atau kelompok/organisasi sosial-politik yang dicap sebagai kontra revolusi, setan desa, dan anti pembangunan itu seolah-olah juga menjadi musuh masyarakat. Upaya pelenyapan kelompok-kelompok itu, dengan demikian, mendapatkan pembenaran.
Di samping mengelola bahasa-bahasa “bengis”, pemerintah juga piawai mengelola bahasa yang santun. Kreativitasnya telah melahirkan slogan-slogan, seperti Dua Anak Cukup, Narkoba Merusak Masa Depan, dan Wajib Belajar Sembilan Tahun. Ketiga slogan itu pun—menurut pengamatan penulis—sangat membantu pemerintah dalam melaksanakan program-programnya.
Slogan yang paling melegenda bagi bangsa ini adalah Ganyang Malaysia! Teriakan sang orator ulung (Soekarno, Presiden RI pertama) itu benar-benar memiliki daya gugah yang luar biasa sehingga melahirkan simpati rakyat Indonesia untuk ikut melawan Malaysia.
Begitulah bahasa. Bahasa menyimpan daya gugah dengan sempurna. Jika tidak dikelola dengan baik, bahasa bisa menjadi dajjal. Dan sebaliknya, jika dikelola dengan baik, bahasa bisa menjadi malaikat. Mungkin di sini pulalah letak urgensi anjuran para pihak (pemerintah) agar kita tidak mencampur-adukkan bahasa (terutama dengan bahasa asing) itu. Fakta menunjukkan bahwa sebagaian besar orang Indonesia tidak memiliki kemampuan berbahasa asing (Inggris dan Arab sekalipun) dengan baik. Penggunaan kosakata/istilah asing secara semena-mena, dengan demikian, berpeluang besar menciptakan ketidakpahaman.
Bahasa, apa pun itu, sesungguhnya tidak mengenal kaya-miskin. Label kaya-miskin hanya layak disandang oleh penggunanya. Dalam hal ini, penggunaan kosakata/istilah asing secara sembarangan, membuktikan adanya “kemiskinan” itu. Untuk itu, yang diperlukan adalah kreativitas mencipta kata-kata, bukan meminjam kata-kata (asing). Kita bersyukur memiliki bahasa sendiri: bahasa Indonesia. Banyak negara yang sampai hari ini (terpaksa) meminjam bahasa orang lain sebagai bahasa nasionalnya.
Sebagai penutup, marilah kita renungkan petuah dari Kahlil Gibran, pujangga besar Lebanon berikut: “Kata-kata tidak mengenal waktu. Kamu harus menuliskannya atau mengucapkannya, dengan menyadari keabadiannya.” n
Riki Utomi, Sastrawan Muda Riau
Sumber: Riau Pos, Minggu, 7 April 2013
No comments:
Post a Comment