Sunday, April 07, 2013

Kita Perlu Hari Bahasa Indonesia

-- Mihar Harahap

HARI Puisi Indonesia (HPI) pada 15 November 2012 di Pekan Baru sudah dideklarasikan Sutadji Calzoum Bachri dan kawan-kawan dari berbagai daerah. Acara itu dihadiri Guburnur Riau, Rusli Zainal. Tak lama, pada 24 Maret 2013 di Bukit Tinggi dimaklumatkan pula Hari Sastra Indonesia (HSI) atas prakarsa Taufiq Ismail dan kawan-kawan, di antaranya turut menghadiri HPI. Acara ini disahkan Wamendikbud, Wiendu Nuryanti. Sementara itu, Wowok Hesti Prabowo, juga mendeklarasikan HSI di Solo.

Mungkin seniman tari, musik, teater, lukis, ukir dan multi media tak mau tinggal. Mereka bergabung untuk mendeklarasikan Hari Kesenian Indonesia (HKI). Belum lagi budayawan di daerah-daerah, pun mendeklarasikan Hari Kebudayaan Indonesia (HAKI) agar bisa menampung semua cabang kesenian, termasuk sastra. Lalu, kita mengusulkan pendeklarasian Hari Bahasa Indonesia (HBI) yang pasti diperlukan negara dan bangsa Indonesia, apalagi para sastrawan, seniman atau budayawan tersebut.

Terus terang, banyak hal prinsip perlu diperdebatkan terkait deklarasi-deklarasian ini. Pertama, mengapa HPI dan HSI dideklarasikan di kota kecil, tidak di Jakarta, Surabaya atau Medan sebagai kota terbesar di Indonesia? Sebab, persoalan tempat menjadi signifikan bila ingin mendeklarasikan sesuatu atas nama Indonesia dalam era reformasi ini. Kita merasa kota kecil bukanlah lokasi ideal. Meski Bukit Tinggi memiliki nilai sejarah, tapi tidaklah serta-merta dapat dijadikan alasan pembenaran pemilihan tempat.

Kedua, apakah peserta sudah mewakili daerahnya? Apakah korum peserta sudah mewakili Indonesia? Kalau belum, berarti deklarasi dianggap gagal,ditunda. Terbukti, peserta tidak mewakili seluruh provinsi, kabupaten, kota di Indonesia. Malah lebih banyak Jakarta dan orang setempat, sedangkan beberapa provinsi/kabupaten/kota lainnya hanya seorang-seorang saja. Anehnya, tanpa perhitungan, kabarnya maklumat itu telah disahkan Wamendikbud. Akibatnya, muncullah berbagai tanggapan daerah yang menolak.

Ketiga, apa konsep dasar, latar pemikiran, sehingga kelahiran Abdoel Moeis ditetapkan sebagai tanggal dan bulan HSI? Kalau tak berhasil menemukan tanggal terbit pertama Balai Pustaka (BP), lalu mengapa berani-beraninya panitia kecil menetapkan tanggal dan bulan kelahiran Abdoel Moeis. Bukankah hal ini berarti bahwa HSI gagasan Taufiq yang sudah disahkan itu, telah gagal meletakkan dasar pemikirannya. Jadi, bukan BP, melainkan entah apa, terlalu dipaksakan, padahal penelitiannya belum selesai.

Keempat, lain halnya deklarasi HPI gagasan Sutardji. Latarnya jelas, Sumpah Pemuda (SP). Contoh bait 1 : “Indonesia dilahirkan oleh puisi yang ditulis secara bersama-sama oleh para pemuda dari berbagai wilayah tanah air. Puisi pendek itu adalah Sumpah Pemuda. Ia memberi dampak yang panjang dan luas bagi imajinasi dan kesadaran rakyat nusantara. Sejak itu pula sastrawan dari berbagai daerah menulis dalam bahasa Indonesia, mengantarkan bangsa Indonesia meraih kedaulatan sebagai bangsa yang merdeka."

Ada 3 hal yang dikemukakan bait ini. Satu, SP adalah puisi yang ditulis bersama- sama. Dua, SP berdampak positif terhadap imajinasi bangsa Indonesia. Tiga, SP merupakan momentum sastrawan menulis dalam bahasa Indonesia. Kesan kita, bahwa bahasa Indonesia adalah komitmen bangsa dan tanah air yang telah menyejarah, memersatukan dan mestinya kita konsisten. Cuma, pernyataan SP itu puisi, menyentakkan kita, sebab tak terpikirkan sebelumnya. Barangkali Teks Proklamasi juga puisi.

Jika demikian, lalu mengapa tidak tanggal 28 Oktober 1928 dijadikan sebagai HPI atau kelahiran Muhammad Yamin, sastrawan yang justru banyak terlibat dalam SP? Termasuk Amir Hamzah. Mengapa mencatut nama Chairil Anwar yang baru anak kemarin dalam sejarah SP? Bukankah Muhammad Yamin dan Amir Hamzah banyak berjasa terhadap bahasa Indonesia ketika itu. Adapun Chairil Anwar adalah menjelang dideklarasi kannya kemerdekaan negara dan bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Jadi, kalau SP dijadikan landasan dasar ideal HPI bahkan dinyatakan puisi karya bersama, maka logikanya hari lahir SP, mestinya dijadikan sebagai HPI. Atau kelahiran Muhammad Yamin ataupun Amir Hamzah. Itu baru namanya konsisten kepada SP seper ti komitmen para pendahulu. Karena itu, kita setuju latarnya SP, tetapi bukan HPI, juga HSI, melainkan HBI. Sebab bahasa Indonesia adalah bahasa negara, bahasa bangsa, bahasa sastra/seni/budaya, bahasa kebanggaan dan bahasa identitas orang Indonsia.

Kelima, Sutardji Calzoum Bachri deklarasikan HPI mengacu kelahiran Chairil An war karena Chairil konsisten pada SP. Taufiq Ismail deklarasikan HSI mengacu kelahiran Abdoel Moies karena Abdoel konsisten terhadap perjuangan bangsa, pahlawan nasional dan karyanya sangat monumental. Wowok Hesti Prabowo deklarasikan HSI mengacu kelahiran Pramoedya Ananta Toer. Alasan, karena Pramoedya nominator pemenang hadiah nobel sastra dan karyanya mengandung semangat kebangsaan. Siapa lagi?

Tampak, ketiga deklarasi ini tak sama dalam memandang para tokoh sastra untuk ditetapkan sebagai hari kelahiran puisi atau sastra Indonesia. Belum lagi daerah lain, memunculkan nama-nama semisal Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, Merari Siregar dan sebagainya. Atau memilih salah satu nama tokoh diantara ketiga deklarasi tersebut. Akan tetapi, bagaimana pula dengan seniman dan budayawan lain yang juga akan mengajukan nama-nama tokoh, termasuk nama-nama harinya. Karena itu, buatlah lebih umum.

Yang umum, kita usulkan HBI. Dasar pemikiran SP, satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa yakni Indonesia yang bersifat satu kesatuan.Tanggal dan bulan HBI, 1). 28 Oktober 1928 atau 2). bila diambil dari kelahiran tokoh SP adalah Muhammad Yamin ataupun Amir Hamzah. Kedua nama ini tak diragukan lagi, tokoh sastra, tokoh organisasi pemuda dan pahlawan nasional. Sayang, betapa tragis kematian Amir. Ia dibunuh, dipenggal batang lehernya oleh algojo, karena dendam masyarakat terhadap Sultan Langkat.

Tempat deklarasi boleh pilih antara Jakarta, Surabaya atau Medan. Pelaksana seharusnya pemerintah pusat (Mendikbud dan jajaran terkait) dengan mengundang utusan tiap provinsi. Utusan itu, merupakan pilihan gubernur atas usul bupati atau walikota yang terdiri dari bahasawan, sastrawan, seniman, budayawan, perguruan tinggi dan lembaga, baik negeri maupun swasta. Deklarasi termaktub dalam lembaran negara, disosialisasikan, diperingati oleh presiden dan dirayakan seluruh masyarakat Indonesia. Semoga.

Mihar Harahap, kritikus sastra dan dosen, berdomisili di Medan.

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 7 April 2013

No comments: