Saturday, April 27, 2013

Mempertanyakan Nasib Sastrawan

-- Humam S. Chudori

BEBERAPA waktu yang lalu, salah seorang penyair menceritakan keluhan tentang tulisan-tulisannya tidak muncul di media cetak. Ia berpesan agar mempertimbangkan cerpen saya yang akan dikirim ke media itu. Pasalnya, media yang dimaksud hanya akan memuat cerpen trend tertentu. Artinya, jika saya tidak mengubah pola penulisan yang dikehendaki redakturnya, jangan harap cerpen saya akan dimuat.

    Memang media itu, belakangan hanya memuat tulisan yang kurang variatif. Hanya memublikasikan cerpen bergaya bahasa, alur, teknik penceritaan dan penulisan yang nyaris sama. Kendati tema yang disuguhkan beda. Cerpen yang muncul lebih diwarnai cerpen prosa liris.

    Benar. Adalah redaktur menentukan tulisan yang layak muat menurut ukuran mereka. Jika sebuah tulisan dianggap layak muat oleh redaktur, maka tulisan itu bisa muncul di media tersebut.Apakah tulisan itu akhirnya mubazir, tidak dipahami pembaca, atau ha-nya sekedar agar redakturnya bisa dianggap mampu mengikuti trend penulisan mutakhir. Tak penting lagi.

    Kalau benar analisa kawan saya itu, terasa ada sesuatu yang aneh. Karena salah satu fungsi media massa adalah pelayan masyarakat dari semua lapisan. Itulah sebabnya media massa yang mengkhususkan untuk pembaca tertentu tak seharusnya dimasalahkan.

    Semua yang dianggap penting dan layak diberitakan akan dipublikasikan. Entah itu politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, olahraga dan lain-lain. Nah, kalau media massa itu hanya memuat fiksi dengan pola penulisan tertentu, memang, sah-sah saja redaktur berbuat demikian. Tetapi, menjadi pertanyaan apakah media massa hanya menjadi bacaan kalangan tertentu?

    Sebagai pelayan masyarakat seharusnya sebuah media massa tidak hanya menyodorkan tulisan dalam format tertentu. Karena pembaca media cetak, pasti beragam. Beragam pendidikan, latar belakang, usia, serta profesinya. Seperti halnya media (massa) elektronik. Dalam menayangkan acara ia tidak memilih trend tertentu. Mulai dari kartun hingga berita. Tak ada yang dipilih-pilih.

    Berbagai jenis musik pun ditayangkan. Tak hanya musik untuk konsumsi kaum muda. Namun, juga golongan untuk kaum tua hingga anak-anak. Musik cadas hingga keroncong. Karena sebagai pelayan masyarakat, tidak sepatutnya sebuah media massa memihak.

    Diantara berbagai cabang kesenian, agaknya, memang nasib seniman sastra (baca: sastrawan) yang paling tragis. Bagaimana tidak, seorang sastrawan (entah itu penyair, cerpenis, esais, maupun novelis) yang media ekspresinya hanya media (massa) cetak dan buku tidak bebas berekspresi di beberapa tempat. Berbeda dengan seniman lain. Bidang kesenian lain, musik misalnya. Meskipun tempat ekspresinya terbatas. Namun, mereka punya hak untuk memasyarakatkan karyanya di beberapa media. Sebuah lagu umpamanya, boleh ditampilkan di beberapa panggung. Bisa ditayangkan di beberapa media. Bahkan dengan format yang sama.

    Demikian dengan kesenian lainnya. Sebutlah, seni lukis. Kesenian ini punya hak untuk memamerkan karya yang sama di beberapa tempat. Padahal yang dipamerkan lukisan yang sama. Mereka tidak haram menyampaikan ekspresi keseniannya di beberapa tempat. Bahkan akhir-akhir ini sebuah sinetron dapat ditayangkan berkali-kali di beberapa media elektronik.

    Beda dengan sajak atau cerpen misalnya. Sebuah sajak atau cerpen agaknya, dianggap haram jika dimuat lebih dari satu media cetak, sehingga tidak jarang ada penyair atau cerpenis terkena kartu kuning, bahkan kartu merah bila diketahui memublikasikan sebuah karya pada dua atau tiga media cetak. Padahal, kadang-kadang, belum tentu suatu kesengajaan jika seorang sastrawan mempublikasikan karyanya lebih dari satu media.

    Jika seorang penyair mengirim sajak ke sebuah media cetak. Dan sudah cukup lama tak dimuat. Mungkin penyair yang bersangkutan beranggapan sajak tersebut tak layak muat di media tersebut. Wajar jika penyair kemudian mengetik ulang dan mengirimkan ke media lain.

    Celakanya (?) jika ternyata media yang dianggap tidak akan memuat sajaknya itu ternyata memuatnya. Padahal ada media lain terlanjur memuat sajak yang sama. Jika yang terjadi demikian, seringkali, sang penyair dianggap tidak fair. Lantaran mengirim sajak yang sama di lebih dari satu media cetak.

    Diakui atau tidak, sampai saat ini, belum ada kejelasan kapan sebuah karya sastra bisa dimuat atau tidak. Tidak ada batasan waktu yang pasti. Bahkan tidak jarang sang redaktur tidak memberitahukan apakah tulisannya akan dimuat atau tidak. Ini dapat dipahami, karena banyaknya naskah yang harus diseleksi redaktur. Namun, akibatnya sang penulis terpaksa mengalami nasib kurang menguntungkan. Nasib sastrawan menjadi tidak jelas. Tidak sedikit yang dianggap tidak punya etika.

    Tanpa ada pembatasan terhadap jenis karya sastra, sesungguhnya nasib sastrawan sudah mengenaskan. Apalagi jika sastrawan dipaksa mengikuti selera redaktur seperti yang pernah disampaikan teman saya. Padahal setiap sastrawan mempunyai ciri khas dalam berkarya. Seorang cerpenis tak bisa dipaksa menulis dengan gaya bertutur dengan pola tertentu sebagaimana cerpenis lain. Demikian pula dengan penyair. Sebab setiap sastrawan punya ciri khas yang tidak sama.

    Sebagaimana cabang kesenian lain. Dalam jalur yang sama pun bisa tidak mungkin bisa sama. Karya-karya Rhoma Irama tak mungkin sama dengan karya yang dihasilkan Caca Handika meski sama-sama beraliran dangdut. Lagu-lagu Koes plus tentu beda dengan lagu karya Bimbo. Meski keduanya pop.

    Begitu juga dengan sastra. Sajak-sajak Sapardi Djoko Damono beda dengan Sutardji Calzaum Bahri. Cerpen Ahmad Tohari beda dengan karya Putu Wijaya atau Umar Kayam. Lantas bagaimana mungkin cerpenis dan penyair harus menulis dengan pola yang sama? Jika dipaksakan, bukankah itu hanya mempersempit ruang gerak sastrawan?

    Atau barangkali karena eksistensi seorang sastrawan kurang penting di masyarakat? Jika kita menganggap demikian, kita perlu mawas diri. Sebab diakui atau tidak, keberadaan sastrawan sebagai pencerah batin masyarakat masih diperlukan. Apalagi dalam masyarakat kita yang carut marut, tak lagi peduli dengan moral, etika, atau budi pekerti. Masalahnya apakah masyarakat pembaca mau menerimanya atau tidak?
  
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 27 April 2013

No comments: