Sunday, April 14, 2013

Perempuan, Sastra, dan Politik

PERGERAKAN perempuan dalam memaknai kesusastraan di Indonesia semakin mendapat tempat. Boleh dibilang mereka telah berposisi sama, sejajar dalam ranah keterlibatannya pada dunia sastra di Tanah Air.

Seperti diakui Fatin Hamama, salah satu sastrawati yang sangat merasakan kesetaraan itu. Perempuan yang sempat mengecap pendidikan teologi di Universitas Al Azhar Kairo, Mesir (1988-1990), itu mengakui dulu terkadang perempuan Indonesia masih menemukan kendala dalam berkiprah di dunia sastra. Entah mengapa, semua itu ia rasakan sudah tiada.

“Saya pernah meluncurkan buku Papyrus, perempuan sudah mendapatkan tempat. Dan di era sekarang ini lebih terbuka lagi,” ujarnya dalam sebuah perbincangan di Jakarta.

Era sekarang, sastrawati yang mendapatkan tempat di publik sudah terbilang banyak. Sebut saja, NH Dini, Ayu Utami, Fira Basuki, Asma Nadia, hingga Helvy Tiana Rosa. Berbagai novel hingga cerita pendek mereka cukup menyita perhatian pemerhati kesusastraan.

Lalu, apakah perempuan bisa berpolitik lewat karya-karyanya? Tentu saja Fatin menyiratkan itu sah-sah saja. “Bagi saya, politik masuk ke sastra adalah lumrah. Yang tidak lumrah, sastrawan masuk ke dunia politik praktis. Sebab, itu yang membuat sikap independensinya hilang,” tutur Fatin, serius.

Sebagai gambaran, kumpulan surat-surat RA Kartini yang terangkum pada buku Habis Gelap Terbitlah Terang merupakan cerminan dari pandangan politik (perempuan) ke ranah sastra. Nah, optimisme politik sastra RA Kartini itu juga sering disebut sebagai tonggak emansipasi perempuan Indonesia.

Pramudya Ananta Toer melukiskan semangat egalitarianisme RA Kartini dengan baik dalam Panggil Aku Kartini Saja. Sosok RA Kartini memang telah menjadi ikon emansipasi yang mampu memberikan perubahan mendasar pada dunia perempuan sampai saat ini.

Namun, apakah sosok Kartini masih bisa diadopsi hingga sekarang? Mari kita renungkan bersama.

Toety Heraty, dalam sebuah kesempatan, pernah mengatakan gerakan perempuan yang mendunia telah menggugah kesadaran perempuan secara luas. Pengaruh tokoh RA Kartini, pada awal abad ke-20, misalnya, menjadi bukti kuat.

Perlawanan perempuan yang disampaikan lewat karya sastra, baik puisi, novel, maupun cerpen, sudah berlangsung lama. Sekadar mengambil contoh, sebuah puisi karya Fatin yang baru ia selesaikan berjudul Rusa Istana, misalnya, cukup berdimensi politik. Dia begitu jeli untuk mengungkapkan lirik dalam bait demi bait lewat bahasa yang sederhana dan mudah dicerna.

Puisi itu mengisahkan sebuah cerita tentang rusa-rusa yang ada di taman Istana Bogor. Sebenarnya, ‘rusa’ itu sebagai metafora untuk menyentil kepedulian penguasa.

“Sastra yang berpolitik itu sah-sah saja. Beberapa puisi saya tanpa disadari mengusung tentang politik dan sosial,” akunya.

Terlepas dari pergaulan sastra oleh perempuan, penghargaan terhadap sastrawati oleh kelompok sastra tertentu telah berlangsung dalam beberapa tahun terakhir ini.

Kekuasaan

Sejarah mencatat bahwa sastrawan secara umum pada masa lalu kerap dimanfaatkan oleh penguasa. Seorang sastrawan dengan karya sastranya bisa saja 'dipesan' sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan.

Sebut saja Empu Prapanca, seorang pujangga pada masa Majapahit yang dipekerjakan di istana oleh Hayam Wuruk. Ia menulis banyak cerita atau syair tentang kebaikan atau kehebatan sang raja. Itu menunjukkan bahwa sebuah karya sastra sangat mungkin dijadikan alat politik untuk memperkukuh kekuasaan penguasa.

Bagaimana dengan keberadaan sastrawati saat ini? Justru yang banyak ditemukan ialah karya-karya yang bertema perlawanan, bukan hanya tentang kekuasaan, melainkan juga ketidakadilan yang ada di masyarakat.

Setahun lalu, novel Dari Rue Saint Simon ke Jalan Lembang karya NH Dini cukup memberikan oase dalam kepengarangan perempuan di Tanah Air.

Dalam halaman 30 novel tersebut tertulis ‘Secara singkat, aku selalu memperkenalkan diri sebagai pengarang atau novelis.... Aku tidak berpretensi sebagai seorang sastrawati. Orang-orang lain, termasuk cendekiawan, yang mengenakan sebutan itu terhadap diriku'.

Kutipan dalam novel tersebut cukup menggugah. Pasalnya, NH Dini mencoba untuk tak mau terpatok pada julukan dan campur tangan orang-orang yang mau melabelinya dengan suatu julukan tertentu. Tindakan itu ia ungkapkan sebagai bentuk independensinya.

Begitu pula dengan novelis masa kini Ayu Utami yang begitu ‘nakal’ dengan mengangkat tema feminisme. Lewat novel Pengakuan: Eks Parasit Lajang, dia mencoba menghadirkan tokoh A, seorang perempuan yang melepaskan keperawanan di usia 20. Sebuah petualangan dan pengungkapan soal revolusi perempuan yang sangat tajam.

Tak dapat dimungkiri, di balik nama-nama besar dalam dunia kepengarangan perempuan yang sukses, sebenarnya banyak yang masih merangkak. Banyak penyair perempuan yang sering nongkrong di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, menulis, mencetak, dan menjual buku-buku terbitan penerbit independen secara bebas.

Terlepas dari itu, kini kita bisa tersenyum karena karya-karya sastrawati sudah banyak mewarnai ranah susastra di Tanah Air. Di balik itu semua, perjuangan para sastrawati itu patut dihargai, bahkan pantas mendapat perhatian serius dari semua pihak demi kemajuan dunia sastra di Tanah Air. Mereka tetap teguh untuk berkarya, memperjuangkan martabat untuk eksis menjauhi campur tangan kekuasaan yang cenderung manipulatif. (Iwan Kurniawan/M-1)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 14 April 2013

No comments: