-- Soelistijono
DALAM satu kesempatan pada sebuah acara yang digagas Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi), di Jakarta, belum lama ini, seorang pengusaha penerbitan mengutarakan pandangannya tentang perkembangan perbukuan terkini. IA mengungkap dampak perkembangan dunia internet yang sudah begitu dalam merasuki bisnis perbukuan, terutama buku-buku umum, seperti novel dengan berbagai variannya.
Ia mengemukakan kini semakin banyak individu atau badan usaha yang juga memasarkan buku lewat fasilitas internet, semacam i-Books pada Ipad, besutan Apple. Teknologi gadget yang melesat semakin canggih itu sangat memungkinkan siapa saja untuk menjual apa saja, termasuk buku maya.
Fitur e-book reader pada akhirnya memang memanjakan pengguna gadget untuk membeli buku maya yang bisa dinikmati, seperti yang ada pada buku print, mulai dari kover hingga isi bukunya. Dengan sentuhan jari tangan pada layar gadget, siapa pun bisa membaca beragam buku yang diinginkan.
Bagi yang doyan membaca buku, fasilitas teknologi itu tentu menggiurkan. Bayangan tentang kepraktisan muncul karena buku dalam jumlah banyak dapat dirangkum dalam satu genggaman (gadget). Keuntungan lain, harga per satuan buku yang terbeli lewat e-bookstore biasanya lebih murah jika dibandingkan dengan harga buku kertas. Sebuah 'perpustakaan pintar dan lengkap' telah muncul.
Unek-unek kawan tadi langsung mendapat perhatian yang hadir. Mereka juga sependapat bahwa sejak tiga tahun terakhir ini 'keleluasaan' mendapatkan buku telah terjadi. Tidak hanya dari toko yang menjual buku dalam bentuk print, dunia maya juga menyediakannya dengan leluasa.
Namun, dalam pertemuan itu, sebagian penerbit tidak menganggap kehadiran buku maya sebagai ancaman terhadap buku konvensional. Mereka melihat buku maya ialah salah satu hasil perkembangan teknologi yang tidak bisa dihindari. "Tidak lebih sebagai pelengkap industri perbukuan," kata seorang penerbit lainnya.
Argumentasi mereka mungkin benar karena kehadiran buku maya ternyata tidak diikuti penurunan penjualan buku konvensional. Sebagian besar penerbit masih beranggapan bahwa masyarakat masih lebih suka ke toko buku untuk memiliki buku konvensional.
"Membaca buku itu ada seni dan cita rasanya. Bisa disentuh langsung, dipegang, dan dibawa tidur. Coba jika membacanya lewat gadget, bisa-bisa gadgetnya jatuh," ujarnya diiringi tawa ringan.
Kendati demikian, sudah ada beberapa penerbit yang mengambil posisi ancang-ancang dalam menghadapi dan merespons kecanggihan teknologi internet itu. Meski masih dalam tahap uji coba, mereka juga menjual buku maya. Perkembangan buku maya, ujar mereka, tidak boleh diremehkan begitu saja.
Ihwal tentang 'serbuan teknologi' buku maya itu juga dialami Ikapi sebagai institusi. Dalam satu kesempatan, Ketua Ikapi Jaya, Evi Efrizal Sinaro, menuturkan pengalamannya saat mendapat kontrak dari perpustakaan pusat TNI Angkatan Darat.
Ikapi Jaya waktu itu diminta memenuhi kebutuhan perpustakaan TNI-AD dengan buku konvensional. Namun ada permintaan tambahan, yakni pihak AD diizinkan memindai buku-buku yang dipesan itu untuk dimasukkan ke website mereka. Tujuannya mulia, agar seluruh anggota TNI-AD bisa mengunduh buku koleksi perpustakaan mereka lewat gadget.
Evi pun mengakui inilah yang masih menjadi dilema. Di satu sisi, sebagai wadah berkumpulnya penerbit, Ikapi punya tanggung jawab moral melindungi kepentingan anggota dan penulis. "Bagi kita, ini hal yang baru karena belum diatur dalam undang-undang. Bagaimana sisi legalitasnya, tentang hak penulis dan hak penerbit," imbuh Evi.
Satu lagi permasalahan perbukuan (nasional) muncul. Belum kelar urusan tentang pembajakan buku kertas, kini Ikapi dihadapkan pada ranah baru dunia maya yang 'menyerang' perbukuan nasional. Buku, menurut Evi, tidak hanya masalah transaksi fisik. Di situ ada unsur hak kekayaan intelektual yang mengikutinya dan sudah seharusnya dihargai dan diatur. (M-3)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 7 April 2013
No comments:
Post a Comment