Sunday, April 14, 2013

[Jendela Buku] Teladan Kepemimpinan yang Tercampak

-- Soelistijono

Kisah-kisah tragis dan sangat memalukan kini sedang dipertontonkan bangsa ini. Dari ujung timur hingga barat di negara yang seharusnya makmur ini minim ditemukan jiwa kenegarawanan dan kepemimpinan yang bisa dijadikan anutan.

"KAMI menggoyangkan langit, menggempakan darat, dan menggelorakan samudra agar tidak jadi bangsa yang hidup hanya dari 2,5 sen sehari. Bangsa yang kerja keras bukan bangsa tempe, bukan bangsa kuli. Tapi bangsa yang rela menderita demi pembelian cita-cita."

Ungkapan sarat makna itu dulu pernah disampaikan Presiden pertama RI Sukarno pada saat-saat bangsanya masih menghadapi cengkeraman kolonialisme-imperialisme Belanda.

Tidak juga asal bunyi, ucapan yang diikuti dengan konsistensi sikap dan tindakan teguh Sukarno dalam menyikapi derita rakyatnya sebagai akibat buruk penjajahan itu berhasil memompa semangat bangsanya untuk melawan. Itulah salah satu kelebihan jiwa kepemimpinan Sukarno yang akan selalu dikenang rakyatnya dengan mengubah nasib dari bangsa terjajah menjelma menjadi bangsa merdeka untuk menentukan nasibnya sendiri.

Tidak hanya Sukarno, sebab tak sedikit pula pemimpin di negeri ini yang lahir dan besar pada masa-masa sulit, pra dan era revolusi. Mereka mampu menorehkan tinta emas perjuangan dan jiwa kepemimpinannya pada jejak perjalanan bangsa ini. Muhammad Hatta dengan jiwa kenegarawanan dan kesederhanaannya, intelektualitas Muhammad Natsir yang terbungkus dengan nasionalismenya yang tinggi dan juga kesederhanaan hidupnya, Agus Salim yang tak henti-henti menuangkan pemikirannya lewat surat-surat kabar hingga dikenal masyarakat internasional dan dilanjutkan dengan kiprah diplomasinya yang gemilang dalam mempertahankan negaranya yang masih muda serta dirongrong kekuatan kolonialisme. Ada juga RA Kartini yang berani mengkritik penguasa Belanda lewat surat-suratnya yang inspiratif dan emansipatif bagi perempuan kepada sahabat-sahabatnya di Belanda.

Masih banyak lagi tokoh bangsa seperti Supomo, Sultan Hamengkubuwono IX, M Yamin, yang dalam melaksanakan roh kepemimpinannya selalu mengedepankan kepentingan rakyatnya. Di kalangan nonsipil, Panglima Sudirman yang dengan penuh keberanian dan strategi gerilyanya mengusir tentara Belanda hingga Jenderal Hoegeng yang menjadi polisi sesungguhnya.

Mereka adalah sosok-sosok pencerah yang terasa pas dihadirkan pada saat Indonesia dewasa ini sedang mengalami krisis moral kepemimpinan yang serius. Buku berjudul Pemimpin yang Dirindukan yang ditulis oleh SB Pramono dan Dessy Harahap terbitan Grafindo ini bagaikan pelepas dahaga dalam menghadapi Indonesia di era sekarang yang kering keteladanan dari para pemimpinnya. Pembaca pun seperti diajak untuk merenungkan kembali tentang makna sebuah kepemimpinan yang sejati. Kita bisa terhenyak, apa yang mereka lakukan adalah wujud dari nilai-nilai mutiara kasih untuk bangsa dan negaranya. Apa yang mereka punya dalam memimpin bangsanya adalah semangat pengabdian tulus tanpa pamrih jauh dari angan busuk mengejar kekayaan yang selalu mengelilingi aura setiap kekuasaan itu sendiri.

Inspiratif

Ada sebuah anekdot yang dikisahkan pada buku ini yang cukup menggelitik. Kepada Guntur, putranya, Sukarno mengatakan, kalau sekadar wanita cantik, ia tak perlu perantara karena ia bisa mendapatkan parasnya yang selangit dan gratis. Cerita itu bermula saat seorang tamu datang ke Istana Merdeka dan berminat membeli tongkat komando milik Sukarno. Sang tamu menyodorkan angka yang fantastis dan untuk menambah daya pikat tawarannya ia menyatakan sanggup mendatangkan wanita cantik sebagai pengganti tongkat. Tentu saja tawaran yang kurang ajar itu ditolak, meski Sukarno jauh dari jenis lelaki yang terpejam matanya melihat wanita cantik (hal.2).

Ada lagi tentang derajat wahid kepemimpinan seorang Sultan Hamengkubuwono IX saat menghadapi Agresi Militer Belanda. Ketika dituduh bersekutu dengan pejuang saat Serangan Umum 1 Maret 1949, Sultan dengan cerdas dan berani menantang Jenderal Meyer, pimpinan pasukan pendudukan Belanda. Dengan tenang namun tegas Sultan menantang balik sang jenderal dengan mengatakan bahwa Belanda telah menghina keraton. "Jika Jenderal bermaksud berlaku tidak pantas terhadap keraton maka jenderal harus membunuh saya dulu." (hal.236) Kisah lain yang sangat sulit dijumpai saat ini terefleksikan pada diri Jenderal Hoegeng. Sejak bertugas di kepolisian daerah hingga puncak kariernya sebagai Kapolri, Hoegeng dengan tegas menolak segala aksi suap dan berperang dengan sungguh-sungguh memberantas perjudian. Tidak jarang dia harus berhadapan dengan aparat dan polisi anak buahnya yang menjadi backing. Sikap hidup sederhana, bersahaja dan memegang amanah tugas negara menjadikan Hoegeng sebagai polisi yang terus disegani hingga akhir hayatnya, bahkan tetap dirindukan hingga sekarang ini. Mungkin jika para pemimpin negeri ini mau meneladani jiwa kepemimpinan para tokoh-tokoh tadi bahwa seorang pemimpin adalah sesungguhnya abdi rakyat, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidaklah ada atau tidak sesibuk sekarang dalam melaksanakan tugasnya karena harus berhadapan dengan kleptokrat-kleptokrat busuk.

Satu lagi pelajaran yang patut dipetik setelah membaca buku ini ialah bahwa pemimpin sejati justru sering tidak diketahui keberadaannya oleh mereka yang dipimpinnya. Bahkan ketika misi atau tugas terselesaikan, seluruh anggota tim akan mengatakan bahwa merekalah yang melakukannya sendiri.

Nilai kepemimpinan bisa juga dinilai ketika seseorang menemukan visi dan misi hidupnya. Ketika terjadi kedamaian dalam diri dan membentuk bangunan karakter yang kokoh. Ketika setiap ucapan dan tindakannya mulai memberi pengaruh kepada lingkungannya. Dan ketika keberadaannya mendorong kemajuan dalam organisasinya, pada saat itulah seorang lahir menjadi pemimpin.

Namun, seiring perjalanan waktu, sangat disayangkan jika bangsa ini seperti tidak mau belajar dari tokoh-tokoh pendiri bangsa karena sibuk mempertahankan kekuasaannya hingga berburu materi demi alasan egoisme. Maka tak mengherankan jika saat ini di depan mata kita mencuat seabrek duka kemiskinan, tragedi kelaparan, konflik horizontal karena keraguan akan nilai-nilai kebangsaan yang pluralisme serta memudarnya rasa nasionalisme di mana-mana hingga terinjaknya harga diri sebagai sebuah bangsa. Lebih memalukan lagi, banyak perilaku koruptif yang dilakukan oleh para pemimpin sebagai cerminan ketidakpedulian akan nasib bangsanya.

Asa luhur yang dijadikan fondasi dan cita-cita pendiri bangsa ini, 68 tahun silam, semakin jauh wujudnya. Krisis kepemimpinan benar-benar sedang terjadi sekarang ini.

Sedikit catatan untuk buku ini ialah penyajiannya yang kurang runut. Tapi sebuah ikhtiar untuk menunjukkan kepada generasi penerus bahwa Indonesia sebenarnya punya tokoh-tokoh pemimpin berjiwa besar patut diapresiasi di tengah-tengah kondisi sosial yang kehilangan pegangan atas ketidakpercayaan terhadap minimnya jiwa kepemimpinan yang ada saat ini di elite-elite pemerintahan.

Sungguh sangat disesalkan jika pencitraan individualisme seorang pemimpin lebih mengemuka daripada peran hakiki memperbaiki nasib bangsanya yang semakin dekat ke tubir jurang kehancuran. (M-3)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 14 April 2013

1 comment:

Unknown said...

Terima kasih. Saya link ke akun LinkedIn. Malah saya baru tahu.-Dessy Harahap