-- Wita Lestari
SAAT ini perempuan Indonesia sudah banyak yang bereksplorasi dan bereskpresi dalam dunia kepenulisan. Terlepas dari apakah mereka terinspirasi oleh RA Kartini yang jago menulis, yang jelas mereka sudah pasti beberapa langkah lebih maju dari Putri Bupati Jepara itu dalam hal keterbukaan berpikir dan bersikap.
NAOMI Wolf, seorang feminis asal Amerika, menyebut Abad 20 sebagai era gegar jender, era kebangkitan perempuan. Gaung kebangkitan ini terus berkembang di berbagai aspek kehidupan. Kaum perempuan yang sebelumnya mengalami subordinasi, represi, dan marjinalisasi di berbagai bidang dalam sistem patriarki, kini bisa mempertanyakan dan menggugat ketidakadilan itu, semisal dalam dunia kepenulisan.
Karya perempuan penulis yang marak bermunculan pada dekade belakangan ini secara umum dapat dikategorikan dua kelompok. Pertama, karya penulis perempuan yang secara sadar mengangkat tubuh dan seksualitas sebagai persoalan serius. Kedua, karya penulis perempuan yang tidak secara khusus bergelut dengan soal-soal keperempuanan meskipun tokoh utamanya mungkin perempuan.
Yang termasuk golongan pertama antara lain: Ayu Utami, Dinar Rahayu, Nova Riyanti Yusuf, dan Djenar Maesa Ayu. Golongan kedua antara lain: Laksmi Pamuntjak, Linda Christanty, Nukila Amal, dan Dewi Lestari.
Kemunculan kelompok pertama dimotori oleh Ayu Utami dengan novel Saman pada tahun 1998 (walaupun gaya penulisan seperti itu sebelumnya sudah diperkenalkan oleh Oka Rusmini) yang menimbulkan kontroversi. Dalam sejarah sastra Indonesia, kehadiran Ayu Utami memberikan sentuhan baru persoalan seks dalam sastra. Hal tersebut terkait dengan keberaniannya dalam menulis seksualitas secara eksplisit dan dalam.
Karyanya menjadi trend setter bagi perempuan penulis lainnya. Misalnya, dalam sebuah wawancara, pemenang sayembara penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta 2004, Dewi Sartika menyatakan bahwa novelnya, Dadaisme, dipengaruhi cara menulis Ayu Utami.
Novel Saman sendiri sebenarnya tidak hanya mengangkat seksualitas. Bila kita membaca dengan jeli, hal yang lebih kental ditonjolkan dalam novel ini adalah nuansa politisnya. Novel ini berisi gugatan terhadap kekuasaan Orde Baru yang militeristis dan sangat patriarkis.
Meminjam terminologi Mikhail Bakhtin, novel itu mengandung hetroglossia, keragaman, layaknya sebuah karnaval. Novel itu berkisah tentang pemogokan buruh, kolusi pengusaha perkebunan dengan militer lokal, penyiksaan aktivis, fenomena gaib, sekaligus mempertanyakan iman Katolik, dominasi lelaki atas perempuan, seksualitas dan cinta, dibalut bahasa yang indah dan eksploratif.
Pada kenyataannya kontroversi yang terjadi atas terbitnya sebuah karya sastra lebih sering terjadi karena ketidaksiapan masyarakat dan penguasa (politis, spiritual, dan moralis) dalam menanggapi ekspresi individu yang berbeda. Kita cenderung terbiasa dengan keseragaman, sehingga saat terjadi sesuatu yang bertentangan dengan tata nilai kolektif, hal itu menjadi masalah.
Menengok ke belakang, penulis perempuan zaman dulu menggunakan nama samaran, dari masa RA Kartini hingga Selasih. Pemakaian nama samaran ini dimaksudkan untuk meloloskan diri dari ancaman hukum adat atau pemerintah kolonial.
Sekarang ini walaupun perempuan penulis tidak lagi menggunakan nama samaran, namun potensinya belum diakui sungguh-sungguh dengan tangan terbuka. Menurut Nenden Lilis, perempuan penulis asal Bandung, banyak tuduhan-tuduhan tak terbukti yang dialamatkan kepada perempuan. Apabila karyanya dimuat, atau mendapat penghargaan, pasti dikait-kaitkan sebagai karya orang dekatnya. Isu yang muncul adalah bahwa perempuan tersebut memiliki hubungan khusus dengan redakturnya atau pemberi penghargaan itu.
Penulis perempuan juga kerap direndahkan peranannya dalam dunia kesusasteraan karena topik yang diangkat biasanya hanya seputar persoalan psikologis. Ada anggapan bahwa perempuan lebih sensitif daripada laki-laki, karena itu perempuan tidak bisa mengangkat topik-topik yang lebih luas. Dalam hal ini, Nenden Lilis berkomentar dengan tegas, "Sensitif itu bukan persoalan jenis kelamin, tapi itu tergantung kepada individu masing-masing. Coba lihat puisi karya Sapardi Djoko Damono, pemilihan diksi-diksinya sangat lembut dan halus."
Menurutnya, jika kita mau membuka mata sebenarnya tidak ada pembagian kerja secara seksual dalam sastra. Artinya, tidak relevan mengatakan perempuan harus menulis apa dan lelaki boleh menulis apa. Juga sangat tidak beralasan mengaitkan sebuah karya dengan kehidupan pribadi penulisnya, karena baik buruknya sebuah karya sastra hanya layak diukur dengan parameter yang berkaitan dengan sastra pula.
Fenomena yang terjadi belakangan ini sebenarnya merupakan reaksi atas represi terhadap perempuan oleh tata nilai yang serba-patriarkis. Kehadiran karya ‘para sastrawati' ini justru menyemarakkan khazanah sastra kita.
Sisi positif bangkitnya perempuan-perempuan penulis, menurut Ayu Utami, perempuan bisa memanfaatkan momen ini agar kebangkitan ini berlanjut. Sedangkan menurut Nova Riyanti Yusuf, pembaca akan mendapat pilihan bacaan yang lebih variatif.
Sementara sisi negatifnya, menurut Ayu, penerbit cenderung menganggap penulis perempuan sebagai komoditi yang laku di pasar. "Jadi, tetap saja perempuan dianggap sebagai obyek," kata Ayu kepada Jurnal Nasional beberapa waktu lalu di Jakarta. Namun, Nova Riyanti Yusuf berpendapat perempuan penulis jangan takut untuk tetap bereksplorasi dan berekspresi untuk sesuatu yang baru selama itu positif.
Nova Rianti Yusuf adalah perempuan penulis yang novelnya, Mahadewa dan Mahadewi laris manis di pasaran. Penulis yang juga dokter ahli jiwa dan legislator ini mengatakan, posisi perempuan dalam khasanah sastra Indonesia cukup kuat dan menjadi mata angin arah sastra Indonesia. Nova cukup bangga karena hal tersebut tidak terjadi di negara tetangga. "Di Malaysia (misalnya) tidak ada karya sastra perempuan yang mencuat," ujar Nova saat ditemui Jurnal Nasional di Jakarta beberapa waktu lalu.
Posisi perempuan penulis, menurut Nova, pada awalnya memang mengalami marjinalisasi. Keberadaan para perempuan penulis sering dikaitkan dengan laki-laki di dekatnya. "Fenomena tersebut akan hilang dengan sendirinya jika si perempuan bisa mempertahankan kualitas dan di dalam tulisannya ada pesan kuat yang disampaikan," ujar Nova. Nova juga berpendapat bahwa pandangan negatif itu dapat ditepis jika perempuan terus-menerus produktif dan memunculkan ide-ide kreatif yang baru.
Nova mengatakan, gaya penulisannya sendiri yang dinilai banyak pihak cukup berani merupakan bentuk euforia terhadap kebebasan mengungkapkan kegelisahan. "Dalam posisi trans ternyata kita lebih bebas mengekspresikan kegundahan terhadap masalah-masalah sosial yang ada," tutur Nova.
Menurut Nova, setiap generasi masing-masing tegak berdiri di atas permasalahannya. Realitas sosial, politik, dan ekonomi yang melingkupinya sangat berpengaruh. Ia mengibaratkan keberanian para perempuan penulis menggambarkan permasalahn secara eksplisit seperti waduk yang tidak ada saluran keluarnya. "Pro dan kontra dapat membuat suatu karya lebih hidup," katanya.
Nova berpendapat, pada hakekatnya setiap penulis itu berbeda, entah itu gaya bahasa, tema yang disampaikan atau cara bertutur. Psikoanalisa dalam artian latar belakang juga berpengaruh, baik itu latar belakang keluarga, pendidikan. "Misalnya saya, dengan latar belakang medis saya memperkuat tulisan saya dengan psikiatri, ilmu yang saya pelajari," kata penulis novel Threesome ini.
Penggemar JK Rowling dan Paulo Coelho ini mengartikan seksualitas sebagai insting. "Bila kita benar-benar menghayati proses menulis, hal tersebut akan keluar begitu saja," katanya.
Ia juga tidak menampik pro dan kontra atas karyanya. "Jika suatu karya sudah dilempar kepada publik, merupakan hak prerogatif pembaca untuk menilainya," ujar Nova.
Nova yang mulai belajar menulis sejak SD ini mengatakan, untuk saat ini ia menyublimasikan tulisannya, sehingga lebih bersifat kontemplatif. Hal tersebut berhubungan dengan spiritualitas Nova yang semakin matang. "Menulis adalah proses pembelajaran yang tiada henti. Mencari gaya penulisan adalah proses yang tidak akan pernah mencapai tahapan baku," kata Nova. n
Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 21 April 2013
SAAT ini perempuan Indonesia sudah banyak yang bereksplorasi dan bereskpresi dalam dunia kepenulisan. Terlepas dari apakah mereka terinspirasi oleh RA Kartini yang jago menulis, yang jelas mereka sudah pasti beberapa langkah lebih maju dari Putri Bupati Jepara itu dalam hal keterbukaan berpikir dan bersikap.
NAOMI Wolf, seorang feminis asal Amerika, menyebut Abad 20 sebagai era gegar jender, era kebangkitan perempuan. Gaung kebangkitan ini terus berkembang di berbagai aspek kehidupan. Kaum perempuan yang sebelumnya mengalami subordinasi, represi, dan marjinalisasi di berbagai bidang dalam sistem patriarki, kini bisa mempertanyakan dan menggugat ketidakadilan itu, semisal dalam dunia kepenulisan.
Karya perempuan penulis yang marak bermunculan pada dekade belakangan ini secara umum dapat dikategorikan dua kelompok. Pertama, karya penulis perempuan yang secara sadar mengangkat tubuh dan seksualitas sebagai persoalan serius. Kedua, karya penulis perempuan yang tidak secara khusus bergelut dengan soal-soal keperempuanan meskipun tokoh utamanya mungkin perempuan.
Yang termasuk golongan pertama antara lain: Ayu Utami, Dinar Rahayu, Nova Riyanti Yusuf, dan Djenar Maesa Ayu. Golongan kedua antara lain: Laksmi Pamuntjak, Linda Christanty, Nukila Amal, dan Dewi Lestari.
Kemunculan kelompok pertama dimotori oleh Ayu Utami dengan novel Saman pada tahun 1998 (walaupun gaya penulisan seperti itu sebelumnya sudah diperkenalkan oleh Oka Rusmini) yang menimbulkan kontroversi. Dalam sejarah sastra Indonesia, kehadiran Ayu Utami memberikan sentuhan baru persoalan seks dalam sastra. Hal tersebut terkait dengan keberaniannya dalam menulis seksualitas secara eksplisit dan dalam.
Karyanya menjadi trend setter bagi perempuan penulis lainnya. Misalnya, dalam sebuah wawancara, pemenang sayembara penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta 2004, Dewi Sartika menyatakan bahwa novelnya, Dadaisme, dipengaruhi cara menulis Ayu Utami.
Novel Saman sendiri sebenarnya tidak hanya mengangkat seksualitas. Bila kita membaca dengan jeli, hal yang lebih kental ditonjolkan dalam novel ini adalah nuansa politisnya. Novel ini berisi gugatan terhadap kekuasaan Orde Baru yang militeristis dan sangat patriarkis.
Meminjam terminologi Mikhail Bakhtin, novel itu mengandung hetroglossia, keragaman, layaknya sebuah karnaval. Novel itu berkisah tentang pemogokan buruh, kolusi pengusaha perkebunan dengan militer lokal, penyiksaan aktivis, fenomena gaib, sekaligus mempertanyakan iman Katolik, dominasi lelaki atas perempuan, seksualitas dan cinta, dibalut bahasa yang indah dan eksploratif.
Pada kenyataannya kontroversi yang terjadi atas terbitnya sebuah karya sastra lebih sering terjadi karena ketidaksiapan masyarakat dan penguasa (politis, spiritual, dan moralis) dalam menanggapi ekspresi individu yang berbeda. Kita cenderung terbiasa dengan keseragaman, sehingga saat terjadi sesuatu yang bertentangan dengan tata nilai kolektif, hal itu menjadi masalah.
Menengok ke belakang, penulis perempuan zaman dulu menggunakan nama samaran, dari masa RA Kartini hingga Selasih. Pemakaian nama samaran ini dimaksudkan untuk meloloskan diri dari ancaman hukum adat atau pemerintah kolonial.
Sekarang ini walaupun perempuan penulis tidak lagi menggunakan nama samaran, namun potensinya belum diakui sungguh-sungguh dengan tangan terbuka. Menurut Nenden Lilis, perempuan penulis asal Bandung, banyak tuduhan-tuduhan tak terbukti yang dialamatkan kepada perempuan. Apabila karyanya dimuat, atau mendapat penghargaan, pasti dikait-kaitkan sebagai karya orang dekatnya. Isu yang muncul adalah bahwa perempuan tersebut memiliki hubungan khusus dengan redakturnya atau pemberi penghargaan itu.
Penulis perempuan juga kerap direndahkan peranannya dalam dunia kesusasteraan karena topik yang diangkat biasanya hanya seputar persoalan psikologis. Ada anggapan bahwa perempuan lebih sensitif daripada laki-laki, karena itu perempuan tidak bisa mengangkat topik-topik yang lebih luas. Dalam hal ini, Nenden Lilis berkomentar dengan tegas, "Sensitif itu bukan persoalan jenis kelamin, tapi itu tergantung kepada individu masing-masing. Coba lihat puisi karya Sapardi Djoko Damono, pemilihan diksi-diksinya sangat lembut dan halus."
Menurutnya, jika kita mau membuka mata sebenarnya tidak ada pembagian kerja secara seksual dalam sastra. Artinya, tidak relevan mengatakan perempuan harus menulis apa dan lelaki boleh menulis apa. Juga sangat tidak beralasan mengaitkan sebuah karya dengan kehidupan pribadi penulisnya, karena baik buruknya sebuah karya sastra hanya layak diukur dengan parameter yang berkaitan dengan sastra pula.
Fenomena yang terjadi belakangan ini sebenarnya merupakan reaksi atas represi terhadap perempuan oleh tata nilai yang serba-patriarkis. Kehadiran karya ‘para sastrawati' ini justru menyemarakkan khazanah sastra kita.
Sisi positif bangkitnya perempuan-perempuan penulis, menurut Ayu Utami, perempuan bisa memanfaatkan momen ini agar kebangkitan ini berlanjut. Sedangkan menurut Nova Riyanti Yusuf, pembaca akan mendapat pilihan bacaan yang lebih variatif.
Sementara sisi negatifnya, menurut Ayu, penerbit cenderung menganggap penulis perempuan sebagai komoditi yang laku di pasar. "Jadi, tetap saja perempuan dianggap sebagai obyek," kata Ayu kepada Jurnal Nasional beberapa waktu lalu di Jakarta. Namun, Nova Riyanti Yusuf berpendapat perempuan penulis jangan takut untuk tetap bereksplorasi dan berekspresi untuk sesuatu yang baru selama itu positif.
Nova Rianti Yusuf adalah perempuan penulis yang novelnya, Mahadewa dan Mahadewi laris manis di pasaran. Penulis yang juga dokter ahli jiwa dan legislator ini mengatakan, posisi perempuan dalam khasanah sastra Indonesia cukup kuat dan menjadi mata angin arah sastra Indonesia. Nova cukup bangga karena hal tersebut tidak terjadi di negara tetangga. "Di Malaysia (misalnya) tidak ada karya sastra perempuan yang mencuat," ujar Nova saat ditemui Jurnal Nasional di Jakarta beberapa waktu lalu.
Posisi perempuan penulis, menurut Nova, pada awalnya memang mengalami marjinalisasi. Keberadaan para perempuan penulis sering dikaitkan dengan laki-laki di dekatnya. "Fenomena tersebut akan hilang dengan sendirinya jika si perempuan bisa mempertahankan kualitas dan di dalam tulisannya ada pesan kuat yang disampaikan," ujar Nova. Nova juga berpendapat bahwa pandangan negatif itu dapat ditepis jika perempuan terus-menerus produktif dan memunculkan ide-ide kreatif yang baru.
Nova mengatakan, gaya penulisannya sendiri yang dinilai banyak pihak cukup berani merupakan bentuk euforia terhadap kebebasan mengungkapkan kegelisahan. "Dalam posisi trans ternyata kita lebih bebas mengekspresikan kegundahan terhadap masalah-masalah sosial yang ada," tutur Nova.
Menurut Nova, setiap generasi masing-masing tegak berdiri di atas permasalahannya. Realitas sosial, politik, dan ekonomi yang melingkupinya sangat berpengaruh. Ia mengibaratkan keberanian para perempuan penulis menggambarkan permasalahn secara eksplisit seperti waduk yang tidak ada saluran keluarnya. "Pro dan kontra dapat membuat suatu karya lebih hidup," katanya.
Nova berpendapat, pada hakekatnya setiap penulis itu berbeda, entah itu gaya bahasa, tema yang disampaikan atau cara bertutur. Psikoanalisa dalam artian latar belakang juga berpengaruh, baik itu latar belakang keluarga, pendidikan. "Misalnya saya, dengan latar belakang medis saya memperkuat tulisan saya dengan psikiatri, ilmu yang saya pelajari," kata penulis novel Threesome ini.
Penggemar JK Rowling dan Paulo Coelho ini mengartikan seksualitas sebagai insting. "Bila kita benar-benar menghayati proses menulis, hal tersebut akan keluar begitu saja," katanya.
Ia juga tidak menampik pro dan kontra atas karyanya. "Jika suatu karya sudah dilempar kepada publik, merupakan hak prerogatif pembaca untuk menilainya," ujar Nova.
Nova yang mulai belajar menulis sejak SD ini mengatakan, untuk saat ini ia menyublimasikan tulisannya, sehingga lebih bersifat kontemplatif. Hal tersebut berhubungan dengan spiritualitas Nova yang semakin matang. "Menulis adalah proses pembelajaran yang tiada henti. Mencari gaya penulisan adalah proses yang tidak akan pernah mencapai tahapan baku," kata Nova. n
Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 21 April 2013
No comments:
Post a Comment