-- Abdul Kadir Ibrahim
Pembuka Kalam
Telah menjadi sejarah besar, Kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang, yang pusat pemerintahannya antara lain di Pulau Galang Besar, Ulu Sungai Carang, Bintan (dalam wilayah Kota Tanjungpinang sekarang). Di antara Sultan (Raja) yang terbilang adalah Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Ri’ayat Syah (Sultan Mahmud Syah III). Sultan ini telah ditabalkan menjadi Yang Dipertuan Besar (Sultan) sejak berusia sekitar dua tahun. Baginda memerintah dalam masa 1761-1812.
Tentang pengabdian, kejuangan, kepahlawanan dan jasa luar biasa Baginda kepada bangsa dan negara telah ditulis khusus dalam sebuah buku yang berjudul Sejarah Kejuangan dan Kepahlawanan Sulotan Mahmud Ri’ayat Syah Yang Dipertuan Besar Kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang (1761-1812), yang diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Lingga, tahun 2012. Buku itu disusun dalam rangka pengusulan Baginda menjadi Pahlawan Nasional dari Kepulauan Riau. Sebuah kerja besar oleh Bupati Lingga, H Daria beserta jajarannya, yang didukung oleh semua pihak, sehingga berkas berkaitan dengan Baginda dapat diusulkan kepada Gubernur Kepulauan Riau.
Tentu, Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau dibawah kepemimpinan Gubernur HM Sani dan Wakil Gubernur HM Suryarespationo, tampaknya dengan sepenuh pikiran dan hati atas nama rakyat Kepulauan Riau hendak mengusulkan dan memperjuangkan Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Ri’ayat Syah menjadi Pahlawan Nasional. Dalam rangka itu pulalah sehingga Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau melaksanakan “Seminar Pemberian Gelar Pahlawan Nasional Sultan Mahmud Ri’ayat Syah” di Aula Kantor Gubernur, Tanjungpinang, Rabu, 27 Februari 2013. Suatu yang pasti, bahwa seminar tersebut merupakan serangkaian beberapa seminar yang sudah dilaksanakan menyangkut jasa yang luar biasa Baginda kepada bangsa dan negara.
Dalam tulisan ini, saya mengaitkan Sultan Mahmud dengan buku yang ditulis oleh Haji Abdul Malik, yang berjudul Menjemput Tuah Menjunjung Marwah, Komodo Books, 2012 (xix + 614 hlm). Tulisan dalam buku ini, sebelumnya sudah kita baca di Harian Pagi Batam Pos, terbitan setiap Ahad. Dapat kita pahamkan sebagai latar alur tulisannya boleh dikatakan seluruhnya berlatar tanah negeri yang semasa dahulu dinamakan Kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang (yang kini di Indonesia antara lain bernama Provinsi Riau, Kepulauan Riau, Kalimantan Barat dan Jambi. Di Malaysia terdiri dari beberapa negeri bagian, yang antara lain Johor. Dan, satu negara lagi, yakni Temasik-Singapura).
Eloknya adalah Malik tak sekedar melihat kepada perkara-perkara atau hal-ihwal besar untuk menjadi “tumpahan tinta” tulisannya, melainkan juga yang kecil, ringan, sederhana dan di sekeliling kita. Misalnya, tentang bakau, terbitnya buku ataupun diskusi. Tapi ketika kita bersua dalam tulisannya, maka semuanya menjadi atau sebagai karya besar untuk bangsa tercinta, Indonesia dan sesiapa saja di dunia.
Abdul Malik, dalam satu di antara tulisannya dalam buku ini, menjelaskan bagaimana penghormatan dan penghargaan Sultan Mahmud Ri’ayat Syah kepada perempuan atau sang istri di dalam hidup dan kehidupan. Pahamilah dalam tulisannya yang berjudul “Karya Elok di Negeri Molek” (hlm. 318-328), “Dilema Membawa Bencana” (hlm.185-188), “Sumpah Setia dan Marwah” (hlm.173-176) dan “Menjunjung Marwah Memegang Amanah” (5-8).
Menjadi jelaslah ketika disebutkan Kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang, antara lain dapat kita kait-eratkan dengan Sultan Besar dan berjasa luar biasa bagi bangsa dan negeri (negara) Indonesia-Malaysia-Singapura, yakni Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Riayat Syah (Sultan Mahmud Syah III). Niscayalah sebagai Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Ri’ayat Syah (Sultan Mahmud Syah III) sejak kanak-kanak—dilantik menjadi Sultan ketika berusia dua tahun pada tahun 1761—sudah tertanam jati-diri Melayu, yakni budaya, adat-istiadat Melayu dan agama Islam.
Dia dibimbing dan dibina oleh Yang Dipertuan Muda Riau III Daeng Kamboja, kemudian Yang Dipertuan Muda Riau IV Raja Haji—yang keduanya sebenarnya ayah saudaranya sendiri—juga oleh ibu-ibu saudaranya dan rajara-rama Melayu sebagai penguasa seleretan di bawah Sultan. Dalam dirinya mengalir darah Melayu-Bugis.
Dengan jati-diri semacam itulah sehingga ia berhasil tegar melalui masa kanak-kanaknya yang yatim-piatu dan berperan dalam mengemban jabatan Yang Dipertuan Besar Sultan Kerajaan Melayu Riau-Lingga-Johor dan Pahang beserta daerah-daerah takluknya. Adat-istadat, budaya Melayu dan agama Islam, telah merasuki darah-nadinya sehingga ia dapat melalui berbagai tantangan dan rintangan yang datang untuk merempuh dan memporak-porandakan kerajaan. Sehingga pada akhirnya dalam jiwa-raganya tumbuh dan berkembang begitu kukuh dan gigih keinginan, kemauan, semangat dan daya juang bagi membangun dan memajukan kerajaan dalam upaya mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya.
Keimanan, marwah dan kedaulatan di atas segala-galanya, meski jiwa-raga jadi taruhannya tiadalah mengapa! Dia sadar betul kedudukannya sebagai Sultan, yang bermakna sebagai “wakil Tuhan di muka Bumi” yang mesti menegakkan agama Islam yang bagaimanapun ancaman dari bangsa penjajah. Kesemuanya sebagai berjuang di jalan Allah.
Tersebab itulah semangat dan jiwa patriotnya pun ditunjukkan kepada penjajah Belanda, sehingga ia dengan pasukan Kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang beserta sekutunya berhasil memukul kalah Belanda. Dengan kata lain Belanda tiada pernah berhasil membinasakannya dan juga menaklukkan Kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang sebagai kenyataan sebagaimana lazimnya negeri jajahan. Semangat dan daya juang fi sabilillah sejatinyalah melekat pada jiwa raga sang sultan kita ini. Ia habiskan seluruh usianya untuk perjuangan bagi bangsa, baik dalam memajukan pembangunan dan kejayaan maupun berhadapan dengan penjajah Belanda dan selanjutnya ada pula Inggris.
Jika Sultan Mahmud melakoni dirinya dan pasukan kerajaan sebagai pejuang fi sabilillah, sungguh dapat dipahamkan. Karena gelar Sultan merupakan gelar kepala negara, kepala pemerintahan, pemimpin tertinggi dalam perkembangan dunia Islam. Semangat Islam. Kerana itu, pengabdian kepada negeri dan masyarakat dalam rangka mencapai ridha Allah, menjadi perkara mustahak dan tiada dapat ditawar-tawar sebagai harga mati.
Tersebab itulah Sultan Mahmud pun membangun pusat kerajaan yang memberi peluang sedemikian luas untuk tumbuh dan berkembangnya kehidupan beragama, berbudaya dan menghasilkan peradaban, yang dikenal dengan tamadun Melayu. Ulu Riau dibangun, kemudian hijrah ke Lingga, dan semakin diperluas di Pulau Penyengat, yang bermula ketika pulau itu dijadikan sebagai maskawin pernikahannya dengan Engku Puteri Raja Hamidah binti Raja Haji.
Cinta Malik kepada Bahasa
Nyatalah sejak Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Ri’ayat Syah (Sultan Mahmud Syah III), pembinaan bahasa di pusat pemerintahan kerajaan, yakni di Lingga sudah dimulai sebegitu rupa. Pembinaan itu semakin menampakkan ujudnya, ketika Pulau Penyengat dijadikan sebagai Pulau Maskawin-nya dengan Engku Puteri Raja Hamidah dan membangun pulau itu sehingga menjadi kota.
Lingga pada akhirnya dikenal sebagai Bunda Tanah Melayu dan Penyengat sebagai Indera Sakti. Adalah orang-orang Melayu selepas Sultan Mahmud itu, muncul sebagai penjaga, pengawal dan pembina bahasa Melayu sehingga ianya bermartabat sebagai bahasa ucap (lisan) dan aksara (tulisan). Kita sangat mengenal Raja Ali Haji, Haji Ibrahim Orang Kaya Riau dan Aisyah Sulaiman Riau. Selepas itu ada sedikit leret nama antara lain Raja Hamzah Yunus, Hasan Junus sehingga anaknya Raja Malik Hafrizal. Ada Rida K Liamsi, Sutardji Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah, BM Syamsuddin dan Abdul Malik.
Dari 121 judul tulisan dalam buku sebagaimana disebutkan di muka, kita dapat menangkap dan memahami bahwa Haji Abdul Malik adalah seorang intelektual Melayu, yang tidak bisa tinggal diam dengan dunia kata-kata, tulis-menulis, karang-mengarang. Sebelum inipun ia sudah menerbitkan tulisan kolomnya yang telah disiarkan terlebih dahulu oleh beberapa harian, berjudul Memelihara Warisan yang Agung, Akar Indonesia, 2009 (xviii + 268 hlm, yang merangkum 57 judul tulisan). Dari judulnya, sejak semula kita sudah dapat menangkap dan memahami serta memaknainya, bahwa ianya sebagai “keagungan budaya Melayu” yang berfaedah dan bermanfaat bagi anak bangsa dan negara.
Cinta Abdul Malik kebada budaya, bahasa dan bangsa, amat jelas dapat dilihat, dirasakan dan dimaknakan dari seluruh tulisannya dalam buku ini. Ini menjadi mustahak, karena semua orang sudah tahu—tapi apakah sudah mengamalkannya, kita tiada tahu—bahwa bahasa menunjukkan bangsa, mencitrakan budi pekerti, akhlak dan ketauladanan dalam beragama dan bermasyarakat, sehingga orang dapat dikatakan memberi manfaat dan faedah kepada sesiapa saja, rahmata al lil alamin.
Tentang bahasa, budi pekerti diteroka oleh Abdul Malik di dalam beberapa judul tulisannya. Sebagian besar disandarkan kepada karya Raja Ali Haji baik Bustan al-Katibin, Kitab Pengetahuan Bahasa ataupun Gurindam Dua Belas. Mengapa bahasa? Karena, satu di antara yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya, terutama dengan binatang, adalah karena manusia mempunyai bahasa.
Dengan bahasalah manusia bisa berhubungan sosial, berinteraksi, berkomunikasi dan bergaul secara baik dalam berbagai-bagai bidang di seluruh penjuru dunia. Bahasalah yang menjadikan manusia dapat menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, berkebudayaan dan berperadaban. Dengan bahasalah manusia dapat memaknai dirinya sebagai makhluk dan sekaligus sebagai pengabdi kepada Sang Pencipta, Tuhan Yang Maha Kuasa, Allah SWT.
Bahasa Melayu, sudah dikenal sejak berabad lampau. Hampir seluruh kawasan Nusantara dan sekitarnya menjadikan bahasa itu sebagai bahasa percakapan di dalam suatu kelompok (suku) atau dengan kelompok (suku-bangsa) lainnya. Tetapi, pada akhirnya bahasa itu mendapat tempat, laman dan laluan yang luas dan luar biasa, yakni di Kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang beserta daerah-daerah takluknya.
Adalah Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Ri’ayat Syah dengan dibantu oleh beberapa pembesar kerajaan yakni Yang Dipertuan Muda, Raja-raja, Bendahara, Punggawa dan sebagainya, sebagai penguasa Kerajaan Melayu yang memberi perhatian dan membuat kebijakan dalam pentadbiran pemerintahan untuk melakukan pemuliaan dan pembinaan terhadap bahasa dan sastra Melayu.
Maka tak mengherankan bila Sultan Mahmud Syah III pada gilirannya mengangkat Raja Ja’afar bin Raja Haji sebagai salah seorang “juru tulis” Wakil Sekretaris di dalam istana Kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang. Di samping itu, seorang lagi saudara sepupunya, yakni juga anak Raja Haji yang bernama Raja Ahmad. Dialah yang memulai menulis Tuhfat al-Nafis, yang selanjutnya diselesaikan oleh anaknya, Raja Ali Haji.
Sehingga dengan begitu kita pada bagian ini, tidak menguraikan tentang perjalanan asal-muasal bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa percakapan di dalam suatu masyarakat, sehingga bahasa Melayu menjadi bahasa lingua franca Nusantara.
Saya hendak mendedahkan sepintas-kilas secara pantas dan patut adanya bahasa Melayu sebagai bahasa yang tumbuh, berkembang dan mendapat pembinaan sebegitu rupa di dalam kawasan Kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang (Johor-Riau-Pahang dan Lingga) dan kawasan-kawasan takluknya.
Masa yang kita khususkan di sini, adalah sejak tahun 1787-1812 tatkala pusat kerajaan dimaksud berada di Lingga, dibuka dan dijadikannya Pulau Penyengat sebagai sebuah kota yang lengkap dengan sarana dan prasarananya oleh Yang Dipertuan Besar, Sultan Mahmud Ri’ayat Syah (Sultan Mahmud Syah III). Buah dari perjuangan selama 1787-1812 tersebut, pada akhirnya menjadikan Lingga dan Pulau Penyengat sebagai pusat tamadun Melayu, khasnya dalam bidang bahasa dan sastra Melayu.
Terkait uraian di atas, dapat kita pahamkan pula bahwa, bahasa dan sastra merupakan bagian penting dalam kebudayaan Melayu. Dengan demikian dapat kita maknai juga bahwa kebudayaan tersebut pada semula-jadinya sebagai pula jati diri di dalam kawasan Kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang serta daerah-daerah takluknya.
Kerajaan Melayu ini, berkait erat pula dengan kerajaan-kerajaan Melayu di Pulau Sumatera, sejak abad ke-7 dan sehingga abad ke-11. Pada akhirnya, Kerajaan Melayu Riau-Lingga-Johor dan Pahang sudah dikenal luas sejak Kerajaan Bintan yang berpusat di Pulau Bintan (1150-1158) dan di Temasik/Singapura (1159-1384).
Selanjutnya berpusat di Malaka (1384-1511), berlanjut lagi ke Bintan, ke Kampar dan ke Johor (1511-1673). Sejak tahun 1673, berpusat di Ulu Sungai Carang, Pulau Bintan—yang kawasannya sangat luas, meliputi kawasan beberapa tempat di Sungai Siak dan Sungai Kampar sampai ke Pulau Tujuh atau Natuna, mulai dari Trengganu sampai ke Bangka. (Lihat Hasan Junus: Raja Haji Fisabilillah Hannibal dari Riau, 2000). Sungai Carang itu, kemudian dikenal sebagai Ulu Riau. (Lihat Haji Buyong Adil: Sejarah Johor, 1971).
Kerajaan Melayu yang besar dan luas itu, akhirnya mengukuhkan pusat pemerintahannya di Ulu Sungai Carang atau Sungai Riau, sejak Tengku Sulaiman dilantik menjadi Sultan Kerajaan Melayu Riau-Lingga-Johor dan Pahang (4 Oktober 1722 M), yang bergelar Sultan/ Yang Dipertuan Besar Sulaiman Badrul Alam Syah. Menyusul wafatnya Sultan Sulaiman (1760), maka dilanjutkan oleh anaknya Sultan Abdul Jalil Muazam Syah (1760-1761), yang tidak berumur panjang, wafat, sehingga digantikan oleh anaknya yang masih usia kanak-anak sekitar sembilan tahun yakni Raja Ahmad dengan gelar Sultan Ahmad Ri’ayat Syah (1761), tetapi usianya tidak panjang, mangkat dalam tahun itu juga. Maka digantikan oleh adiknya yang bernama Raja Mahmud yang bergelar Sultan/ Yang Dipertuan Besar Mahmud Ri’ayat Syah (selalu disebut juga sebagai Sultan Mahmud Syah III). (Haji Buyong Adil, 1971).
Syahdan, ketika Kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang serta daerah-daerah takluknya, dibawah Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Riayat Syah, kerajaan ini mencapai puncak kejayaan, baik dalam ketahanan (kedaulatan), kebudayaan, agama, ilmu pengetahuan, sosial dan ekonomi (kemakmuran dan kesejahteraan).
Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Ri’ayat Syah adalah Raja atau Sultan Melayu yang kawasannya sangat luas, yang telah meletakkan dasar di Lingga sebagai pusat pengembangan agama dan tamadun Melayu, khususnya dalam bidang bahasa dan sastra. Dari Lingga, beliau kemudian membuka dan menetapkan Pulau Penyengat sebagai bagian pusat pemerintahan Kerajaan Melayu dan sebagai pusat pengembangan kebudayaan Melayu, khasnya bahasa dan sastra.
Tersebab jasanyalah, Kerajaan Riau dikenal sebagai tempat asal-muasal bahasa Indonesia yang tanah airnya adalah Pulau Penyengat. Di pulau itulah, lahir Bapak/Pahlawan Nasional Bahasa Melayu-Bahasa Indonesia, Raja Ali Haji dengan karyanya di bidang bahasa: Bustanun Katibin (1857) dan Kitab Pengetahuan Bahasa (1858) serta Gurindam Dua Belas (1847). Sultan Mahmud semasa menjadi Yang Dipertuan Besar, dibantu oleh Yang Dipertuan Muda Riau III Daeng Kamboja (1745-1777), Yang Dipertuan Muda Riau IV Raja Haji (1777-1784), Yang Dipertuan Muda Riau V Raja Ali (1784-1806) dan Yang Dipertuan Muda Riau VI Raja Jaafar (meninggal dunia tahun 1831).
Kejayaan dan kebesaran Kerajaan Melayu Riau-Lingga-Johor dan Pahang semasa dipimpin oleh Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Riayat Syah (Sultan Mahmud Syah III) sejak tahun 1671—beliau wafat di Lingga pada 12 Januari 1812 (dibaca satu dua satu satu delapan satu dua: mistik!)—sehingga era sekarang, baik di Indonesia, maupun Malayasia dan kawasan ASEAN lainnya—menurut pengamatan saya—masih lagi dicari tokoh Melayu sehebat beliau.
Meski demikian, di lain pihak, kita patut merasa bangga dan bersyukur, karena sekitar 1 (satu) abad kemudian, di belahan lain di Nusantara, lahir “Putra Fajar”, ianya bernama Soekarno (lahir 6 Juni 1901)—yang dikenal dengan nama Bung Karno. Ia adalah Pahlawan Proklamator bersama Bung Hatta, dan sekaligus sebagai pahlawan nasional. Ini bermakna, bahwa beliau sebagai Bapak Pejuang dan Pendiri bangsa dan negara Indonesia dan bahkan memberi andil besar bagi berdiri dan merdekanya beberapa negara di Asia-Afrika!
Senaraian di atas, pada intinya sebagai menjelaskan betapa banyak dan luasnya apa-apa yang sudah menjadi pangkal-tolak, lantai pijak bagi Haji Abdul Malik di dalam merayau-rayau wawasan intelektualnya, estetiknya sehingga mewujudkan tulisan yang begitu beragam, tersergam dan sanggam! Kemampuannya mengungkai dan menguraikan yang kecil-kecil menjadi manfaat dan faedah yang besar, menempatkan karya tulisanya perlu dicari, dimiliki dan dibaca. Kesemuanya bernas!
Hal tak kalah penting, Abdul Malik telah memberi tahu secara tidak langsung kepada kita bahwa sebenarnya ia telah menjadi penugung-sambung tiada terputus dengan jasa-budi Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Riayat Syah, sehingga lahirlah penulis Raja Ahmad, Engku Puteri Raja Hamidah, Raja Ali Haji, Haji Ibrahim Orang Kaya Riau dan lain-lain sehingga sampai kepada nama-nama termuda dewasa ini, Tiara Ayu Karmita (lahir 26 September 1999). Dan, kiranya saya tak salah mengatakan bahwa di rantau Melayu ini Abdul Malik adalah termasuk yang produktif melahirkan karya tulis. (bersambung)
Abdul Kadir Ibrahim, akrab disapa Akib. Sastrawan asal Provinsi Kepulauan Riau, tepatnya Natuna ini telah menghasilkan banyak karya yang dimuat di berbagai media massa. Bermastautin di Kota Tanjungpinang.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 7 April 2013
Pembuka Kalam
Telah menjadi sejarah besar, Kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang, yang pusat pemerintahannya antara lain di Pulau Galang Besar, Ulu Sungai Carang, Bintan (dalam wilayah Kota Tanjungpinang sekarang). Di antara Sultan (Raja) yang terbilang adalah Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Ri’ayat Syah (Sultan Mahmud Syah III). Sultan ini telah ditabalkan menjadi Yang Dipertuan Besar (Sultan) sejak berusia sekitar dua tahun. Baginda memerintah dalam masa 1761-1812.
Tentang pengabdian, kejuangan, kepahlawanan dan jasa luar biasa Baginda kepada bangsa dan negara telah ditulis khusus dalam sebuah buku yang berjudul Sejarah Kejuangan dan Kepahlawanan Sulotan Mahmud Ri’ayat Syah Yang Dipertuan Besar Kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang (1761-1812), yang diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Lingga, tahun 2012. Buku itu disusun dalam rangka pengusulan Baginda menjadi Pahlawan Nasional dari Kepulauan Riau. Sebuah kerja besar oleh Bupati Lingga, H Daria beserta jajarannya, yang didukung oleh semua pihak, sehingga berkas berkaitan dengan Baginda dapat diusulkan kepada Gubernur Kepulauan Riau.
Tentu, Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau dibawah kepemimpinan Gubernur HM Sani dan Wakil Gubernur HM Suryarespationo, tampaknya dengan sepenuh pikiran dan hati atas nama rakyat Kepulauan Riau hendak mengusulkan dan memperjuangkan Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Ri’ayat Syah menjadi Pahlawan Nasional. Dalam rangka itu pulalah sehingga Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau melaksanakan “Seminar Pemberian Gelar Pahlawan Nasional Sultan Mahmud Ri’ayat Syah” di Aula Kantor Gubernur, Tanjungpinang, Rabu, 27 Februari 2013. Suatu yang pasti, bahwa seminar tersebut merupakan serangkaian beberapa seminar yang sudah dilaksanakan menyangkut jasa yang luar biasa Baginda kepada bangsa dan negara.
Dalam tulisan ini, saya mengaitkan Sultan Mahmud dengan buku yang ditulis oleh Haji Abdul Malik, yang berjudul Menjemput Tuah Menjunjung Marwah, Komodo Books, 2012 (xix + 614 hlm). Tulisan dalam buku ini, sebelumnya sudah kita baca di Harian Pagi Batam Pos, terbitan setiap Ahad. Dapat kita pahamkan sebagai latar alur tulisannya boleh dikatakan seluruhnya berlatar tanah negeri yang semasa dahulu dinamakan Kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang (yang kini di Indonesia antara lain bernama Provinsi Riau, Kepulauan Riau, Kalimantan Barat dan Jambi. Di Malaysia terdiri dari beberapa negeri bagian, yang antara lain Johor. Dan, satu negara lagi, yakni Temasik-Singapura).
Eloknya adalah Malik tak sekedar melihat kepada perkara-perkara atau hal-ihwal besar untuk menjadi “tumpahan tinta” tulisannya, melainkan juga yang kecil, ringan, sederhana dan di sekeliling kita. Misalnya, tentang bakau, terbitnya buku ataupun diskusi. Tapi ketika kita bersua dalam tulisannya, maka semuanya menjadi atau sebagai karya besar untuk bangsa tercinta, Indonesia dan sesiapa saja di dunia.
Abdul Malik, dalam satu di antara tulisannya dalam buku ini, menjelaskan bagaimana penghormatan dan penghargaan Sultan Mahmud Ri’ayat Syah kepada perempuan atau sang istri di dalam hidup dan kehidupan. Pahamilah dalam tulisannya yang berjudul “Karya Elok di Negeri Molek” (hlm. 318-328), “Dilema Membawa Bencana” (hlm.185-188), “Sumpah Setia dan Marwah” (hlm.173-176) dan “Menjunjung Marwah Memegang Amanah” (5-8).
Menjadi jelaslah ketika disebutkan Kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang, antara lain dapat kita kait-eratkan dengan Sultan Besar dan berjasa luar biasa bagi bangsa dan negeri (negara) Indonesia-Malaysia-Singapura, yakni Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Riayat Syah (Sultan Mahmud Syah III). Niscayalah sebagai Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Ri’ayat Syah (Sultan Mahmud Syah III) sejak kanak-kanak—dilantik menjadi Sultan ketika berusia dua tahun pada tahun 1761—sudah tertanam jati-diri Melayu, yakni budaya, adat-istiadat Melayu dan agama Islam.
Dia dibimbing dan dibina oleh Yang Dipertuan Muda Riau III Daeng Kamboja, kemudian Yang Dipertuan Muda Riau IV Raja Haji—yang keduanya sebenarnya ayah saudaranya sendiri—juga oleh ibu-ibu saudaranya dan rajara-rama Melayu sebagai penguasa seleretan di bawah Sultan. Dalam dirinya mengalir darah Melayu-Bugis.
Dengan jati-diri semacam itulah sehingga ia berhasil tegar melalui masa kanak-kanaknya yang yatim-piatu dan berperan dalam mengemban jabatan Yang Dipertuan Besar Sultan Kerajaan Melayu Riau-Lingga-Johor dan Pahang beserta daerah-daerah takluknya. Adat-istadat, budaya Melayu dan agama Islam, telah merasuki darah-nadinya sehingga ia dapat melalui berbagai tantangan dan rintangan yang datang untuk merempuh dan memporak-porandakan kerajaan. Sehingga pada akhirnya dalam jiwa-raganya tumbuh dan berkembang begitu kukuh dan gigih keinginan, kemauan, semangat dan daya juang bagi membangun dan memajukan kerajaan dalam upaya mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya.
Keimanan, marwah dan kedaulatan di atas segala-galanya, meski jiwa-raga jadi taruhannya tiadalah mengapa! Dia sadar betul kedudukannya sebagai Sultan, yang bermakna sebagai “wakil Tuhan di muka Bumi” yang mesti menegakkan agama Islam yang bagaimanapun ancaman dari bangsa penjajah. Kesemuanya sebagai berjuang di jalan Allah.
Tersebab itulah semangat dan jiwa patriotnya pun ditunjukkan kepada penjajah Belanda, sehingga ia dengan pasukan Kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang beserta sekutunya berhasil memukul kalah Belanda. Dengan kata lain Belanda tiada pernah berhasil membinasakannya dan juga menaklukkan Kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang sebagai kenyataan sebagaimana lazimnya negeri jajahan. Semangat dan daya juang fi sabilillah sejatinyalah melekat pada jiwa raga sang sultan kita ini. Ia habiskan seluruh usianya untuk perjuangan bagi bangsa, baik dalam memajukan pembangunan dan kejayaan maupun berhadapan dengan penjajah Belanda dan selanjutnya ada pula Inggris.
Jika Sultan Mahmud melakoni dirinya dan pasukan kerajaan sebagai pejuang fi sabilillah, sungguh dapat dipahamkan. Karena gelar Sultan merupakan gelar kepala negara, kepala pemerintahan, pemimpin tertinggi dalam perkembangan dunia Islam. Semangat Islam. Kerana itu, pengabdian kepada negeri dan masyarakat dalam rangka mencapai ridha Allah, menjadi perkara mustahak dan tiada dapat ditawar-tawar sebagai harga mati.
Tersebab itulah Sultan Mahmud pun membangun pusat kerajaan yang memberi peluang sedemikian luas untuk tumbuh dan berkembangnya kehidupan beragama, berbudaya dan menghasilkan peradaban, yang dikenal dengan tamadun Melayu. Ulu Riau dibangun, kemudian hijrah ke Lingga, dan semakin diperluas di Pulau Penyengat, yang bermula ketika pulau itu dijadikan sebagai maskawin pernikahannya dengan Engku Puteri Raja Hamidah binti Raja Haji.
Cinta Malik kepada Bahasa
Nyatalah sejak Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Ri’ayat Syah (Sultan Mahmud Syah III), pembinaan bahasa di pusat pemerintahan kerajaan, yakni di Lingga sudah dimulai sebegitu rupa. Pembinaan itu semakin menampakkan ujudnya, ketika Pulau Penyengat dijadikan sebagai Pulau Maskawin-nya dengan Engku Puteri Raja Hamidah dan membangun pulau itu sehingga menjadi kota.
Lingga pada akhirnya dikenal sebagai Bunda Tanah Melayu dan Penyengat sebagai Indera Sakti. Adalah orang-orang Melayu selepas Sultan Mahmud itu, muncul sebagai penjaga, pengawal dan pembina bahasa Melayu sehingga ianya bermartabat sebagai bahasa ucap (lisan) dan aksara (tulisan). Kita sangat mengenal Raja Ali Haji, Haji Ibrahim Orang Kaya Riau dan Aisyah Sulaiman Riau. Selepas itu ada sedikit leret nama antara lain Raja Hamzah Yunus, Hasan Junus sehingga anaknya Raja Malik Hafrizal. Ada Rida K Liamsi, Sutardji Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah, BM Syamsuddin dan Abdul Malik.
Dari 121 judul tulisan dalam buku sebagaimana disebutkan di muka, kita dapat menangkap dan memahami bahwa Haji Abdul Malik adalah seorang intelektual Melayu, yang tidak bisa tinggal diam dengan dunia kata-kata, tulis-menulis, karang-mengarang. Sebelum inipun ia sudah menerbitkan tulisan kolomnya yang telah disiarkan terlebih dahulu oleh beberapa harian, berjudul Memelihara Warisan yang Agung, Akar Indonesia, 2009 (xviii + 268 hlm, yang merangkum 57 judul tulisan). Dari judulnya, sejak semula kita sudah dapat menangkap dan memahami serta memaknainya, bahwa ianya sebagai “keagungan budaya Melayu” yang berfaedah dan bermanfaat bagi anak bangsa dan negara.
Cinta Abdul Malik kebada budaya, bahasa dan bangsa, amat jelas dapat dilihat, dirasakan dan dimaknakan dari seluruh tulisannya dalam buku ini. Ini menjadi mustahak, karena semua orang sudah tahu—tapi apakah sudah mengamalkannya, kita tiada tahu—bahwa bahasa menunjukkan bangsa, mencitrakan budi pekerti, akhlak dan ketauladanan dalam beragama dan bermasyarakat, sehingga orang dapat dikatakan memberi manfaat dan faedah kepada sesiapa saja, rahmata al lil alamin.
Tentang bahasa, budi pekerti diteroka oleh Abdul Malik di dalam beberapa judul tulisannya. Sebagian besar disandarkan kepada karya Raja Ali Haji baik Bustan al-Katibin, Kitab Pengetahuan Bahasa ataupun Gurindam Dua Belas. Mengapa bahasa? Karena, satu di antara yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya, terutama dengan binatang, adalah karena manusia mempunyai bahasa.
Dengan bahasalah manusia bisa berhubungan sosial, berinteraksi, berkomunikasi dan bergaul secara baik dalam berbagai-bagai bidang di seluruh penjuru dunia. Bahasalah yang menjadikan manusia dapat menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, berkebudayaan dan berperadaban. Dengan bahasalah manusia dapat memaknai dirinya sebagai makhluk dan sekaligus sebagai pengabdi kepada Sang Pencipta, Tuhan Yang Maha Kuasa, Allah SWT.
Bahasa Melayu, sudah dikenal sejak berabad lampau. Hampir seluruh kawasan Nusantara dan sekitarnya menjadikan bahasa itu sebagai bahasa percakapan di dalam suatu kelompok (suku) atau dengan kelompok (suku-bangsa) lainnya. Tetapi, pada akhirnya bahasa itu mendapat tempat, laman dan laluan yang luas dan luar biasa, yakni di Kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang beserta daerah-daerah takluknya.
Adalah Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Ri’ayat Syah dengan dibantu oleh beberapa pembesar kerajaan yakni Yang Dipertuan Muda, Raja-raja, Bendahara, Punggawa dan sebagainya, sebagai penguasa Kerajaan Melayu yang memberi perhatian dan membuat kebijakan dalam pentadbiran pemerintahan untuk melakukan pemuliaan dan pembinaan terhadap bahasa dan sastra Melayu.
Maka tak mengherankan bila Sultan Mahmud Syah III pada gilirannya mengangkat Raja Ja’afar bin Raja Haji sebagai salah seorang “juru tulis” Wakil Sekretaris di dalam istana Kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang. Di samping itu, seorang lagi saudara sepupunya, yakni juga anak Raja Haji yang bernama Raja Ahmad. Dialah yang memulai menulis Tuhfat al-Nafis, yang selanjutnya diselesaikan oleh anaknya, Raja Ali Haji.
Sehingga dengan begitu kita pada bagian ini, tidak menguraikan tentang perjalanan asal-muasal bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa percakapan di dalam suatu masyarakat, sehingga bahasa Melayu menjadi bahasa lingua franca Nusantara.
Saya hendak mendedahkan sepintas-kilas secara pantas dan patut adanya bahasa Melayu sebagai bahasa yang tumbuh, berkembang dan mendapat pembinaan sebegitu rupa di dalam kawasan Kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang (Johor-Riau-Pahang dan Lingga) dan kawasan-kawasan takluknya.
Masa yang kita khususkan di sini, adalah sejak tahun 1787-1812 tatkala pusat kerajaan dimaksud berada di Lingga, dibuka dan dijadikannya Pulau Penyengat sebagai sebuah kota yang lengkap dengan sarana dan prasarananya oleh Yang Dipertuan Besar, Sultan Mahmud Ri’ayat Syah (Sultan Mahmud Syah III). Buah dari perjuangan selama 1787-1812 tersebut, pada akhirnya menjadikan Lingga dan Pulau Penyengat sebagai pusat tamadun Melayu, khasnya dalam bidang bahasa dan sastra Melayu.
Terkait uraian di atas, dapat kita pahamkan pula bahwa, bahasa dan sastra merupakan bagian penting dalam kebudayaan Melayu. Dengan demikian dapat kita maknai juga bahwa kebudayaan tersebut pada semula-jadinya sebagai pula jati diri di dalam kawasan Kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang serta daerah-daerah takluknya.
Kerajaan Melayu ini, berkait erat pula dengan kerajaan-kerajaan Melayu di Pulau Sumatera, sejak abad ke-7 dan sehingga abad ke-11. Pada akhirnya, Kerajaan Melayu Riau-Lingga-Johor dan Pahang sudah dikenal luas sejak Kerajaan Bintan yang berpusat di Pulau Bintan (1150-1158) dan di Temasik/Singapura (1159-1384).
Selanjutnya berpusat di Malaka (1384-1511), berlanjut lagi ke Bintan, ke Kampar dan ke Johor (1511-1673). Sejak tahun 1673, berpusat di Ulu Sungai Carang, Pulau Bintan—yang kawasannya sangat luas, meliputi kawasan beberapa tempat di Sungai Siak dan Sungai Kampar sampai ke Pulau Tujuh atau Natuna, mulai dari Trengganu sampai ke Bangka. (Lihat Hasan Junus: Raja Haji Fisabilillah Hannibal dari Riau, 2000). Sungai Carang itu, kemudian dikenal sebagai Ulu Riau. (Lihat Haji Buyong Adil: Sejarah Johor, 1971).
Kerajaan Melayu yang besar dan luas itu, akhirnya mengukuhkan pusat pemerintahannya di Ulu Sungai Carang atau Sungai Riau, sejak Tengku Sulaiman dilantik menjadi Sultan Kerajaan Melayu Riau-Lingga-Johor dan Pahang (4 Oktober 1722 M), yang bergelar Sultan/ Yang Dipertuan Besar Sulaiman Badrul Alam Syah. Menyusul wafatnya Sultan Sulaiman (1760), maka dilanjutkan oleh anaknya Sultan Abdul Jalil Muazam Syah (1760-1761), yang tidak berumur panjang, wafat, sehingga digantikan oleh anaknya yang masih usia kanak-anak sekitar sembilan tahun yakni Raja Ahmad dengan gelar Sultan Ahmad Ri’ayat Syah (1761), tetapi usianya tidak panjang, mangkat dalam tahun itu juga. Maka digantikan oleh adiknya yang bernama Raja Mahmud yang bergelar Sultan/ Yang Dipertuan Besar Mahmud Ri’ayat Syah (selalu disebut juga sebagai Sultan Mahmud Syah III). (Haji Buyong Adil, 1971).
Syahdan, ketika Kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang serta daerah-daerah takluknya, dibawah Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Riayat Syah, kerajaan ini mencapai puncak kejayaan, baik dalam ketahanan (kedaulatan), kebudayaan, agama, ilmu pengetahuan, sosial dan ekonomi (kemakmuran dan kesejahteraan).
Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Ri’ayat Syah adalah Raja atau Sultan Melayu yang kawasannya sangat luas, yang telah meletakkan dasar di Lingga sebagai pusat pengembangan agama dan tamadun Melayu, khususnya dalam bidang bahasa dan sastra. Dari Lingga, beliau kemudian membuka dan menetapkan Pulau Penyengat sebagai bagian pusat pemerintahan Kerajaan Melayu dan sebagai pusat pengembangan kebudayaan Melayu, khasnya bahasa dan sastra.
Tersebab jasanyalah, Kerajaan Riau dikenal sebagai tempat asal-muasal bahasa Indonesia yang tanah airnya adalah Pulau Penyengat. Di pulau itulah, lahir Bapak/Pahlawan Nasional Bahasa Melayu-Bahasa Indonesia, Raja Ali Haji dengan karyanya di bidang bahasa: Bustanun Katibin (1857) dan Kitab Pengetahuan Bahasa (1858) serta Gurindam Dua Belas (1847). Sultan Mahmud semasa menjadi Yang Dipertuan Besar, dibantu oleh Yang Dipertuan Muda Riau III Daeng Kamboja (1745-1777), Yang Dipertuan Muda Riau IV Raja Haji (1777-1784), Yang Dipertuan Muda Riau V Raja Ali (1784-1806) dan Yang Dipertuan Muda Riau VI Raja Jaafar (meninggal dunia tahun 1831).
Kejayaan dan kebesaran Kerajaan Melayu Riau-Lingga-Johor dan Pahang semasa dipimpin oleh Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Riayat Syah (Sultan Mahmud Syah III) sejak tahun 1671—beliau wafat di Lingga pada 12 Januari 1812 (dibaca satu dua satu satu delapan satu dua: mistik!)—sehingga era sekarang, baik di Indonesia, maupun Malayasia dan kawasan ASEAN lainnya—menurut pengamatan saya—masih lagi dicari tokoh Melayu sehebat beliau.
Meski demikian, di lain pihak, kita patut merasa bangga dan bersyukur, karena sekitar 1 (satu) abad kemudian, di belahan lain di Nusantara, lahir “Putra Fajar”, ianya bernama Soekarno (lahir 6 Juni 1901)—yang dikenal dengan nama Bung Karno. Ia adalah Pahlawan Proklamator bersama Bung Hatta, dan sekaligus sebagai pahlawan nasional. Ini bermakna, bahwa beliau sebagai Bapak Pejuang dan Pendiri bangsa dan negara Indonesia dan bahkan memberi andil besar bagi berdiri dan merdekanya beberapa negara di Asia-Afrika!
Senaraian di atas, pada intinya sebagai menjelaskan betapa banyak dan luasnya apa-apa yang sudah menjadi pangkal-tolak, lantai pijak bagi Haji Abdul Malik di dalam merayau-rayau wawasan intelektualnya, estetiknya sehingga mewujudkan tulisan yang begitu beragam, tersergam dan sanggam! Kemampuannya mengungkai dan menguraikan yang kecil-kecil menjadi manfaat dan faedah yang besar, menempatkan karya tulisanya perlu dicari, dimiliki dan dibaca. Kesemuanya bernas!
Hal tak kalah penting, Abdul Malik telah memberi tahu secara tidak langsung kepada kita bahwa sebenarnya ia telah menjadi penugung-sambung tiada terputus dengan jasa-budi Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Riayat Syah, sehingga lahirlah penulis Raja Ahmad, Engku Puteri Raja Hamidah, Raja Ali Haji, Haji Ibrahim Orang Kaya Riau dan lain-lain sehingga sampai kepada nama-nama termuda dewasa ini, Tiara Ayu Karmita (lahir 26 September 1999). Dan, kiranya saya tak salah mengatakan bahwa di rantau Melayu ini Abdul Malik adalah termasuk yang produktif melahirkan karya tulis. (bersambung)
Abdul Kadir Ibrahim, akrab disapa Akib. Sastrawan asal Provinsi Kepulauan Riau, tepatnya Natuna ini telah menghasilkan banyak karya yang dimuat di berbagai media massa. Bermastautin di Kota Tanjungpinang.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 7 April 2013
No comments:
Post a Comment