-- Riza Multazam Luthfy
SEPATU menyimpan berbagai identitas diri. Dari yang sederhana hingga paling luks sekalipun. Identitas-identitas tersebut melekat seiring laju perjalanan kehidupan manusia yang semakin kencang. Dahulu kala, penggunaan sepatu ditengok dari satu sudut pandang saja, yaitu berdasarkan fungsi. Siapapun yang memakai sepatu pada umumnya bertujuan untuk melindungi kaki dari ancaman duri, paku, pecahan kaca atau benda berbahaya lainnya yang bisa mengakibatkan seseorang terluka saat berjalan. Selain itu, sepatu juga dimanfaatkan untuk menghindarkan tubuh, utamanya kaki, dari kebekuan saat musim dingin tiba. Dengan kulit atau bahan baku lainnya, sepatu dipercaya mampu mengusir bengalnya kedinginan dan menghadirkan bulir-bulir kehangatan.
Namun demikian, menggelindingnya bola waktu nyatanya menunjukkan kegunaan sepatu kian beragam. Sepatu tak lagi melulu sebagai pelindung kaki. Lebih dari itu, sepatu telah dilegitimasi menjadi simbol kemapanan, kesopanan, serta profesionalitas.
Harga diri sepatu pun meningkat, sebab menjelma menjadi lambang gengsi kehidupan. Itulah mengapa, guna menopang penampilan dan meyakinkan orang lain bahwa dirinya adalah eksekutif sejati, maka seorang perempuan memerlukan simbol-simbol kebudayaan (ikon) yang membungkus tubuhnya sepanjang hari, di antaranya mode sepatu hak tinggi dengan ujung sempit. (Sidik Jatmika, 2009: 138). Dengan mengenakan sepatu tersebut, niscaya kesan rendah perempuan dengan sendirinya akan hilang.
Mengenai harga diri sepatu ini, Darmawijaya (1994) mencatat bahwa Michael Jordan pernah dijanjikan mengantongi kompensasi sangat tinggi bila bersedia memakai sepatu Nike dalam pertandingan bola basket. Betapa hanya dengan menempel pada kaki pemain basket dunia, derajat sepatu juga turut melambung. Berbanding terbalik dengan apa yang dialami Sadisah, seseorang bermatapencaharian penjahit sepatu. Ia menjahit sepatu tersebut di Tangerang dengan menghabiskan waktu sekitar dua minggu dan dituntut bekerja ekstra keras selama 10 jam saban hari untuk bisa membeli sepatu yang biasa dijahitnya. Demikianlah, dengan mudahnya pemakai sepatu Nike memperoleh gengsi tinggi, namun begitu sulit bagi para pembuatnya untuk meraih gengsi tersebut.
Penyalahgunaan Sepatu
Meski terkesan remeh, fakta berkoar bahwa dalam sepatu terkandung kekuatan besar yang tak boleh dipandang sebelah mata. Sayangnya, kelebihan yang melekat pada sepatu justru kerap disalahgunakan. Misalnya, demi kepentingan pragmatis, sepatu dimanfaatkan para penguasa untuk melindas rakyat. Pada saat itulah sepatu berperan sebagai simbol kekuasaan.
Pada 1997, dengan sisa-sisa kekuatan Orde Baru, gerakan penyeragaman masih jadi momok menakutkan bagi masyarakat, karena menyelundup ke hampir segala sendi kehidupan, tak terkecuali kehidupan anak-anak. Betapa tidak! Upaya menyeragamkan segala-galanya yang berhubungan dengan kehidupan anak-anak mencapai puncaknya dengan adanya penyeragaman sepatu sekolah. Hal ini diwujudkan dengan terbitnya Keputusan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang merekomendasikan sepatu berlogo Organisasi Siswa Intra-Sekolah (OSIS) untuk dipakai oleh murid-murid baru. Sesuai rencana, sepatu bermerek OSIS tersebut akan dijadikan sepatu nasional (sepnas), dengan target semua murid Sekolah Dasar di seluruh Indonesia.
Sepatu yang dipasok PT Aryo Nusa Pakarti dengan harga Rp21.000 tersebut dinilai terlalu mahal dan memberatkan wali murid. Padahal, dengan kualitas yang sama sepatu semacam itu bisa didapat di Cibaduyut dengan harga Rp10.000. Meski perusahaan milik cucu pertama Presiden Soeharto, Ary Sigit, tersebut berjanji menyumbang Gerakan Nasional Orang Tua Asuh (GN-OTA) untuk tiap 10 pasang yang terjual, sorotan luar biasa tetap datang dari berbagai pihak.
Syukurlah, gerakan penyeragaman sepatu sekolah tersebut dibatalkan. Didorong berbagai pertimbangan dan masukan, akhirnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mencabut surat rekomendasi ’bisnis sepatu sekolah’ yang diberikan ke PT Aryo Nusa Pakarti.
Ikhtiar penyalahgunaan sepatu juga begitu nampak ketika sepatu dinobatkan sebagai simbol kekejaman. Hal itu diwakili oleh sosok bengis sepatu lars militer, yang merupakan lambang kekerasan serta produk dari pemerintahan tiran. Aksi-aksi kekerasan sengaja dirancang guna menyajikan teror kepada rakyat; berlangsung secara sistematik dan struktural dengan mendayagunakan sepatu lars militer selaku pendukungnya.
Anneline Marie Frank, gadis keturunan Yahudi yang hidup pada masa Perang Dunia II, begitu cemas ketika di tempat persembunyiannya mendapati suara derap sepatu lars militer Nazi. Sungguh, hanya dengan mendengar suara yang ditimbulkan sepatu tersebut, Anne bisa menggigil ketakutan. Dalam dirinya terdapat kekhawatiran, apabila ia beserta keluarganya ditemukan oleh para tentara Nazi. Untungnya, di bawah bayang-bayang sepatu lars militer, saksi peristiwa Holocaust tersebut tetap menulis kegelisahannya dalam buku harian. Meskipun kemudian ia tertangkap, ternyata diari tersebut berhasil diselamatkan, diterbitkan, dan diterjemahkan dalam banyak bahasa. Diari Anne dimasukkan dalam ribuan kurikulum sekolah menengah di seluruh dunia dan menjadi inspirasi tak henti bagi setiap pembaca.
Ilham dari Sepatu
Posisi sepatu tak ubahnya dengan pisau; pada suatu kali dipakai dalam keburukan, namun pada kali lain untuk perkara yang bermanfaat bagi kehidupan. Barang tentu hal itu tergantung pada siapa yang menggunakan. Tak ayal, selain menjadi simbol kekuasaan dan kekejaman, sepatu juga menjadi pemantik bagi lahirnya konsep arsitektur dan karya sastra.
Di tangan arsitek handal, sepatu mengilhami tercetusnya konsep arsitektur yang mengagumkan. Philip K Hitti (1970) dalam bukunya yang tersohor, History of Arabs, melanting notasi bahwa konsep arsitektur sepatu kuda yang kelak menjadi keistimewaan muslim-Barat merupakan salah satu ciri khas bidang arsitektur Spanyol-muslim. Sistem arsitektur itu merebak pada bangunan-bangunan di utara Suriah, Ctesifon, juga tempat-tempat lain.
Tapak lancip, penanda penting arsitektur Barat-Gotik, muncul pertama kalinya dalam arsitektur Islam pada Masjid Umayyah dan Istana Amrah. Beberapa jenis corak lingkaran sepatu kuda lainnya di Barat masyhur dengan sebutan lengkungan Moor. Di semenanjung utara terdapat kombinasi antara tradisi Kristen dan muslim sehingga muncul suatu corak berciri khas penggunaan tapak dan kubah sepatu kuda. Para arsitek Mudejar mengantar seni campuran ini menggapai puncak keindahan dan kesempurnaan serta menjadi gaya nasional Spanyol.
Sepatu juga mendermakan inspirasi bagi Khrisna Pabichara dalam menganggit novel Sepatu Dahlan. Novel yang diangkat dari memoar Dahlan Iskan dalam menapaki terjalnya kehidupan sampai berhasil merengkuh kesuksesan. Di dalamnya digambarkan bagaimana beratnya perjuangan menteri BUMN tersebut untuk memiliki sepatu dan mengejar mimpi-mimpi lainnya. Begitu akrabnya telinga masyarakat dengan profil tokoh satu ini, didukung dengan penggarapan penulis yang serius dan intens, muncul animo luar biasa dari masyarakat dengan membelinya di toko-toko buku, sehingga dalam waktu singkat novel tersebut mengetam label Best Seller.
Ada fenomena menarik ketika novel tersebut diluncurkan di Bundaran Hotel Indonesia (HI), Jakarta. Pada waktu itu, Dahlan melempar sepatu yang ia pakai. Aksi pelemparan sepatu itu merupakan bentuk penolakan terhadap sepatu rakitan luar negeri. Usai melempar sepatu, Dahlan mengawali Gerakan Sepatu untuk Anak Indonesia dengan membagikan secara gratis sekitar 1.000 sepatu untuk anak-anak Sekolah Dasar di seluruh sudut Jakarta. Entah, apa yang dilakukan memang berasal dari lubuk hati terdalam, bertujuan pencitraan, ataukah dalam rangka membuat novel tersebut laris manis di pasaran. Yang pasti, respon masyarakat sangat berbeda bila dibandingkan ketika rencana penyeragaman sepatu OSIS dijalankan. n
Jogjakarta, 2012
Riza Multazam Luthfy, menulis puisi, cerpen dan esai. Karya-karyanya bertebaran di beberapa media. Cerpennya juga tergabung dalam antologi Negeri Sejuta Fantasi (2012). Kini melanjutkan studi di program Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 21 April 2013
SEPATU menyimpan berbagai identitas diri. Dari yang sederhana hingga paling luks sekalipun. Identitas-identitas tersebut melekat seiring laju perjalanan kehidupan manusia yang semakin kencang. Dahulu kala, penggunaan sepatu ditengok dari satu sudut pandang saja, yaitu berdasarkan fungsi. Siapapun yang memakai sepatu pada umumnya bertujuan untuk melindungi kaki dari ancaman duri, paku, pecahan kaca atau benda berbahaya lainnya yang bisa mengakibatkan seseorang terluka saat berjalan. Selain itu, sepatu juga dimanfaatkan untuk menghindarkan tubuh, utamanya kaki, dari kebekuan saat musim dingin tiba. Dengan kulit atau bahan baku lainnya, sepatu dipercaya mampu mengusir bengalnya kedinginan dan menghadirkan bulir-bulir kehangatan.
Namun demikian, menggelindingnya bola waktu nyatanya menunjukkan kegunaan sepatu kian beragam. Sepatu tak lagi melulu sebagai pelindung kaki. Lebih dari itu, sepatu telah dilegitimasi menjadi simbol kemapanan, kesopanan, serta profesionalitas.
Harga diri sepatu pun meningkat, sebab menjelma menjadi lambang gengsi kehidupan. Itulah mengapa, guna menopang penampilan dan meyakinkan orang lain bahwa dirinya adalah eksekutif sejati, maka seorang perempuan memerlukan simbol-simbol kebudayaan (ikon) yang membungkus tubuhnya sepanjang hari, di antaranya mode sepatu hak tinggi dengan ujung sempit. (Sidik Jatmika, 2009: 138). Dengan mengenakan sepatu tersebut, niscaya kesan rendah perempuan dengan sendirinya akan hilang.
Mengenai harga diri sepatu ini, Darmawijaya (1994) mencatat bahwa Michael Jordan pernah dijanjikan mengantongi kompensasi sangat tinggi bila bersedia memakai sepatu Nike dalam pertandingan bola basket. Betapa hanya dengan menempel pada kaki pemain basket dunia, derajat sepatu juga turut melambung. Berbanding terbalik dengan apa yang dialami Sadisah, seseorang bermatapencaharian penjahit sepatu. Ia menjahit sepatu tersebut di Tangerang dengan menghabiskan waktu sekitar dua minggu dan dituntut bekerja ekstra keras selama 10 jam saban hari untuk bisa membeli sepatu yang biasa dijahitnya. Demikianlah, dengan mudahnya pemakai sepatu Nike memperoleh gengsi tinggi, namun begitu sulit bagi para pembuatnya untuk meraih gengsi tersebut.
Penyalahgunaan Sepatu
Meski terkesan remeh, fakta berkoar bahwa dalam sepatu terkandung kekuatan besar yang tak boleh dipandang sebelah mata. Sayangnya, kelebihan yang melekat pada sepatu justru kerap disalahgunakan. Misalnya, demi kepentingan pragmatis, sepatu dimanfaatkan para penguasa untuk melindas rakyat. Pada saat itulah sepatu berperan sebagai simbol kekuasaan.
Pada 1997, dengan sisa-sisa kekuatan Orde Baru, gerakan penyeragaman masih jadi momok menakutkan bagi masyarakat, karena menyelundup ke hampir segala sendi kehidupan, tak terkecuali kehidupan anak-anak. Betapa tidak! Upaya menyeragamkan segala-galanya yang berhubungan dengan kehidupan anak-anak mencapai puncaknya dengan adanya penyeragaman sepatu sekolah. Hal ini diwujudkan dengan terbitnya Keputusan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang merekomendasikan sepatu berlogo Organisasi Siswa Intra-Sekolah (OSIS) untuk dipakai oleh murid-murid baru. Sesuai rencana, sepatu bermerek OSIS tersebut akan dijadikan sepatu nasional (sepnas), dengan target semua murid Sekolah Dasar di seluruh Indonesia.
Sepatu yang dipasok PT Aryo Nusa Pakarti dengan harga Rp21.000 tersebut dinilai terlalu mahal dan memberatkan wali murid. Padahal, dengan kualitas yang sama sepatu semacam itu bisa didapat di Cibaduyut dengan harga Rp10.000. Meski perusahaan milik cucu pertama Presiden Soeharto, Ary Sigit, tersebut berjanji menyumbang Gerakan Nasional Orang Tua Asuh (GN-OTA) untuk tiap 10 pasang yang terjual, sorotan luar biasa tetap datang dari berbagai pihak.
Syukurlah, gerakan penyeragaman sepatu sekolah tersebut dibatalkan. Didorong berbagai pertimbangan dan masukan, akhirnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mencabut surat rekomendasi ’bisnis sepatu sekolah’ yang diberikan ke PT Aryo Nusa Pakarti.
Ikhtiar penyalahgunaan sepatu juga begitu nampak ketika sepatu dinobatkan sebagai simbol kekejaman. Hal itu diwakili oleh sosok bengis sepatu lars militer, yang merupakan lambang kekerasan serta produk dari pemerintahan tiran. Aksi-aksi kekerasan sengaja dirancang guna menyajikan teror kepada rakyat; berlangsung secara sistematik dan struktural dengan mendayagunakan sepatu lars militer selaku pendukungnya.
Anneline Marie Frank, gadis keturunan Yahudi yang hidup pada masa Perang Dunia II, begitu cemas ketika di tempat persembunyiannya mendapati suara derap sepatu lars militer Nazi. Sungguh, hanya dengan mendengar suara yang ditimbulkan sepatu tersebut, Anne bisa menggigil ketakutan. Dalam dirinya terdapat kekhawatiran, apabila ia beserta keluarganya ditemukan oleh para tentara Nazi. Untungnya, di bawah bayang-bayang sepatu lars militer, saksi peristiwa Holocaust tersebut tetap menulis kegelisahannya dalam buku harian. Meskipun kemudian ia tertangkap, ternyata diari tersebut berhasil diselamatkan, diterbitkan, dan diterjemahkan dalam banyak bahasa. Diari Anne dimasukkan dalam ribuan kurikulum sekolah menengah di seluruh dunia dan menjadi inspirasi tak henti bagi setiap pembaca.
Ilham dari Sepatu
Posisi sepatu tak ubahnya dengan pisau; pada suatu kali dipakai dalam keburukan, namun pada kali lain untuk perkara yang bermanfaat bagi kehidupan. Barang tentu hal itu tergantung pada siapa yang menggunakan. Tak ayal, selain menjadi simbol kekuasaan dan kekejaman, sepatu juga menjadi pemantik bagi lahirnya konsep arsitektur dan karya sastra.
Di tangan arsitek handal, sepatu mengilhami tercetusnya konsep arsitektur yang mengagumkan. Philip K Hitti (1970) dalam bukunya yang tersohor, History of Arabs, melanting notasi bahwa konsep arsitektur sepatu kuda yang kelak menjadi keistimewaan muslim-Barat merupakan salah satu ciri khas bidang arsitektur Spanyol-muslim. Sistem arsitektur itu merebak pada bangunan-bangunan di utara Suriah, Ctesifon, juga tempat-tempat lain.
Tapak lancip, penanda penting arsitektur Barat-Gotik, muncul pertama kalinya dalam arsitektur Islam pada Masjid Umayyah dan Istana Amrah. Beberapa jenis corak lingkaran sepatu kuda lainnya di Barat masyhur dengan sebutan lengkungan Moor. Di semenanjung utara terdapat kombinasi antara tradisi Kristen dan muslim sehingga muncul suatu corak berciri khas penggunaan tapak dan kubah sepatu kuda. Para arsitek Mudejar mengantar seni campuran ini menggapai puncak keindahan dan kesempurnaan serta menjadi gaya nasional Spanyol.
Sepatu juga mendermakan inspirasi bagi Khrisna Pabichara dalam menganggit novel Sepatu Dahlan. Novel yang diangkat dari memoar Dahlan Iskan dalam menapaki terjalnya kehidupan sampai berhasil merengkuh kesuksesan. Di dalamnya digambarkan bagaimana beratnya perjuangan menteri BUMN tersebut untuk memiliki sepatu dan mengejar mimpi-mimpi lainnya. Begitu akrabnya telinga masyarakat dengan profil tokoh satu ini, didukung dengan penggarapan penulis yang serius dan intens, muncul animo luar biasa dari masyarakat dengan membelinya di toko-toko buku, sehingga dalam waktu singkat novel tersebut mengetam label Best Seller.
Ada fenomena menarik ketika novel tersebut diluncurkan di Bundaran Hotel Indonesia (HI), Jakarta. Pada waktu itu, Dahlan melempar sepatu yang ia pakai. Aksi pelemparan sepatu itu merupakan bentuk penolakan terhadap sepatu rakitan luar negeri. Usai melempar sepatu, Dahlan mengawali Gerakan Sepatu untuk Anak Indonesia dengan membagikan secara gratis sekitar 1.000 sepatu untuk anak-anak Sekolah Dasar di seluruh sudut Jakarta. Entah, apa yang dilakukan memang berasal dari lubuk hati terdalam, bertujuan pencitraan, ataukah dalam rangka membuat novel tersebut laris manis di pasaran. Yang pasti, respon masyarakat sangat berbeda bila dibandingkan ketika rencana penyeragaman sepatu OSIS dijalankan. n
Jogjakarta, 2012
Riza Multazam Luthfy, menulis puisi, cerpen dan esai. Karya-karyanya bertebaran di beberapa media. Cerpennya juga tergabung dalam antologi Negeri Sejuta Fantasi (2012). Kini melanjutkan studi di program Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 21 April 2013
No comments:
Post a Comment