Sunday, April 07, 2013

[Tifa] Perempuan dalam Pesona Dunianya

-- Iwan Kurniawan
Menapaki usia ke-77 membuat Huang Fong semakin mendapatkan kesempurnaan dalam melukis. Ia mengusung gaya realistis untuk mematangkan eksistensinya.

SIANG itu, pelukis Huang Fong terlihat santai duduk di sebuah kursi. Meski katup matanya sudah terlihat berkeriput, panggilan jiwa untuk melukis seakan tak pernah lekang.

Lelaki tua itu sudah mengenyam asam garam kehidupan. Memasuki usia senja, ia tetap produktif menghadirkan karya-karya bercorak Bali yang kental dengan nilai-nilai dan estetika.

Pada pameran tunggal di Geleri Nasional, Jakarta, 1-7 April, Fong menghadirkan 77 karya bernuansa realistis (realis). Jumlah itu sengaja disesuaikan dengan umurnya. “Semua karya saya selalu berakar pada cinta kasih ibu. Ini bukan porno! Kalau ada yang terangsang, berarti dia harus belajar lagi dari air susu ibunya,” tutur Fong sedikit berfilosofi, sore itu.

Ada yang menarik dari arti namanya. Dalam bahasa Mandarin, huang berarti ‘kuning’ dan fong berarti ‘angin’. Ia pun dijuluki sebagai 'Si Angin Kuning'. Kuning merupakan warna yang diagungkan dalam falsafah Timur.

Bila dicermati, karya-karya goresan tangan Fong di atas kanvas memang lekat dengan rekaman sosial masyarakat Bali. Ia mampu mengeksplorasi daya ‘magis’ untuk merespons kehidupan perempuan dan aktivitasnya ke dalam karya.

Tengok saja karya berjudul Istirahat (35x35 cm). Lukisan itu begitu lekat dengan potret seorang ibu muda. Dalam karya tersebut, seorang perempuan sedang duduk di kursi bambu sambil tertidur pulas.

Objek perempuan itu tidak berbaju dan hanya kain yang menutupi bagian bawahnya. Lukisan itu begitu khas sehingga dapat mengingatkan pengunjung pada kehidupan perdesaan di Bali sekitar 1930-an.

Selain objek yang menghadirkan buah dada perempuan itu, Fong menambahkan corak batik Bali dalam kain yang menjadi latar belakang objek utama. Ada pula pola bunga-bunga yang semakin mencuatkan nuansa alamiah dalam karya berbahan cat air itu.

Selain Istirahat, ada pula objek perempuan karya Fong lainnya yang digambarkan sedang tertidur pulas. Karya-karya itu terlihat pada Keindahan Kain Kuning (80x100 cm), Si Buntet Tidur Lelap (50x75cm), Wayang Sulastri (50x65cm), Harumnya Anggrek (100x150 cm), Dewi Santi (Tidur Anggrek) (65x80 cm), dan Ni Gusti Dewi Cek (100x150 cm).

“Saya membiarkan model-model tertidur. Di saat tertidur, barulah saya melukis. Saya tak menyembunyikan model-model ini dari istri saya (Go Liang),” tutur ayah tiga anak itu sambil mengerutkan dahinya.

Lelaki kelahiran Genteng, Banyuwangi, Jawa Timur, 14 April 1936 itu terlahir dengan nama Oei Ping Liang. Ia keturunan Tionghoa yang hijrah ke Bali pada 1963. Ia mengaku mendalami kebudayaan Bali selama hidup di Pulau Dewata itu.

Peristiwa

Terlepas dari 'kenakalan' dalam menghadirkan karya-karya setengah telanjang, bahkan tanpa sehelai benang menutupi tubuh perempuan, Fong juga menghadirkan objek penari yang lekat dengan ritus nan gemulai.

Itu cukup menarik karena dia mencoba mengabadikan tarian-tarian khas Bali di atas kanvas.

Lihat saja karya Tari Bali 1 (60x45 cm), Tari Manukrawa 2 (60x45 cm), Gerakan Tari Bali 1 (sketsa, 60x45 cm), dan Gerakan Tari Bali 2 (sketsa, 60x45 cm). Ada juga empat lukisan wajah Ida Bagus Made, yaitu Membuat Topeng (80x100 cm), Kehilangan (90x135 cm), Sedang Melukis (80x100), dan Ida Bagus Made Poleng (80x100). Cukup rapi.

Serial Ida Bagus Made itu bertahun 1980-an. Ada yang menarik karena pada karya berjudul Kehilangan, misalnya, Made digambarkan sedang duduk sambil mengangkat tangan kiri di pipinya. “Pada era 80-an, Made pernah kehilangan puluhan lukisan. Saya melukis peristiwa itu dalam lukisan ini,” ungkap Fong.

Made (1915-1999) merupakan seorang pelukis realis asal Bali. Fong sempat bertemu sekaligus bergaul dengan pelukis senior itu. Tak hanya itu, Hendra Gunawan, Affandy, Anton Huang, dan Don Antono Blanco juga sempat menjadi gurunya.

Kurator Suwarso Wisetrotomo mengatakan karya-karya Fong, terutama potret perempuan, lebih banyak pengubahan dan pengolahan bagian wajah hingga bagian dada. “Fong memilih model yang memiliki wajah keibuan. Ia mengubah pada bagian-bagian tertentu tanpa menghilangkan karakter keibuan objek,” ujarnya.

Fong mampu menghadirkan lukisan wajah, aktivitas di pasar, hingga kegiatan para perempuan di pura. Dia menunjukkan teknik yang berkualitas. Sayangnya, hampir beberapa karya terlihat mirip sehingga membuat pengunjung gampang bosan berlama-lamaan di depan karya 'Si Angin Kuning'. (M-1)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 7 April 2013 

No comments: