Sunday, October 28, 2012

Sastra dan Dakwah

-- Beni Setia

LEBIH dari lima belas tahun lalu prosais Eddy D. Iskandar dan Penerbit Rosda pernah melansir dua buah kumpulan cerpen bertema dakwah islamiah. Cerpen yang dikemas dalam gaya populer, sesuai dengan gaya pengarang.

DENGAN kerangka baku: di setiap akhir cerpen dibuat kesimpulan atau semacam hikmah, yang menerangkan si cerita tersebut terkaitan dengan ayat Alquran ini dan Hadis itu. Rasanya, ada beberapa cerpen yang telah dipublikasikan lepas di media massa, lantas disikumpulkan bersama cerpen yang belum dipublikasikan, dan (tampaknya) kemudian diberi kesimpulan atau hikmah untuk melengkapi kesempurnaan dakwah.

Terlepas apa ilhamnya dan apa tafsirnya, pada dasarnya, cerpen-cerpen itu fiksi murni, yang selalu memberi kebebasan penafsiran bagi si pembaca dan apresiatornya. Apa yang ditulis pengarang sebagai sebuah kesimpulan bernilai Islami itu menjadi dominasi apresiasi yang sama sekali tidak pernah memercayai pemaknaan lain dari si pembaca dan apresiatornya?bahkan terkesan amat memaksakan tafsir baku. Dominasi pemaknaan yang bersikukuh dengan manpaat cerpen (berpola) dakwah islamiah, yang ditulis dengan spirit amal makruf nahi mungkar, yang bertolak dari keinginan kuat buat mengkongkritkan ide hikmah nash ayat Alquran dan Hadis.

Keutamaan dari kreativitas ingin meneguhkan dakwah yang bertolak dari usaha aktualisasi dan kontekstualisasi untuk mengukuhkan kehebatan ayat serta keutamaan agama. Landasan visi dan misi mulia yang menghalalkan cara yang tak menghormati kemandirian teks, yang merujuk pada kebebasan penciptaan si kreator dan sama sekali mereduksi kebebasan tafsir dan pemaknaan dari si pembaca dan apresiator. Meskipun, di beberapa aspek, kadang tidak menunjukkan keindahan komposisi yang menguarkan hikmah, tapi melulu sebuah konflik dan jalinan suspence (cerita) yang menyenangkan pembaca dengan tokoh menderita yang happy ending?lantas momentum itu dianggap semacam lentik khusnul khotimah berbuhul nash.

***

TERPIKIR itu dilema cerpen yang ditulis dengan tendensi, baik motifnya agama?tak hanya Islam?, atau yang sekuler bermotif ideologi politik atau sekadar kritik dan penyuluhan pembangunan. Ada dorongan untuk membuat sederetan peristiwa rekaan yang mengharu biru, dengan sekian tokoh boneka pemekat kontras hitam-putih tanpa dilengkapi dengan psikologi karakter serta habitat sosial-budaya-politik setting. Hanya untuk pemantik perhatian sebelum si pengarang mengatakan: inilah ciri seorang kader yang sesuai target ideologik, atau ketimpangan pembangunan itu?yang sejajar dengan terkadang dengan kehadiran kiai membaca ayat atau pastor mencutat firman. Tak ada konsekuensi sebab-akibat, pengaruh sosial-budaya-politik dari setting, serta pergulatan psikologik momen yang menyebabkan terjadinya perubahan sikap.

Semuanya diabaikan, karena yang dianggap penting oleh si pengarang itu justru cuma minat dari si pembaca sehingga teks dakwah atau propaganda itu lebih populer serta mengena dalam ujud tampilan seni pertunjukan, langsung atau rekaman?sederet peristiwa mengharu biru yang menjadi ancangan dari ledakan dakwah dan propaganda telanjang yang didedahkan. Sangat verbal sehingga agak mirip pagelaran dangdut atau musik rock sebelum panggung kampanye pemilu diisi si juru kampanye parpol, yang secara manipulatif mengharapkan penikmat yang berkerumun itu tranced oleh kalimat?kalimat sugestif?meski momen jual kibul ini biasanya ditinggalkan penonton.

Potensi reaksional akibat orang tidak mau disubordinasikan di bawah dominasi kebenaran tunggal akibat pemaknaan otoritarian diabaikan?bahkan sejak awal hal itu dianggap antipati. Jadi tak heran bila Danarto, sebagai seorang fiksionalis murni yang memanjakan fantasi?meski ia mendakwahkan nilai dan hikmah batiniah sufistik tanpa ada mengacu ke nash apa pun?, mendeskripsikannya sebagai distorsi. Ledakan bom, yang disusul pengejaran teroris di tengah tranced konser musik?tak lagi sekadar satu letusan pistol seperti yang dinyatakan Sartre. Di titik ini, Danarto menyikabarkan pola penulisan fiksi bertendens sastrawiah: dimulai dengan si pengarang terobsesi tendens, berupa nash, firman, visi-misi ideologi dan antiideologi, atau hanya serapah.

Obsesi itu membuat ide terinternalisasi, memicu terjadinya diskursus batín yang terjabar ke sekian kemungkinan yang bisa ditelusuri?sehingga pengarang menemukan keleluasaan dan kebebasan buat berfantasi dan mengempati tokoh?, dan konsentristik pada sosok ujud rekaan yang terukur dan terkendali.

Adanya faktor keleluasaan dalam membebaskan fantasi itu menyebabkan Danarto, dalam Adam Ma?rifat atau Berhala, misalnya, menggarisbawahi hikmah tanpa terkesan sedang berdakwah mengsiumbar fatwa. Mungkin juga karena ada displin dan kecermatan dalam mengsihadirkan fakta-fakta, yang dijadikannya ruang untuk mengembangkan eksistensi kejadian dan tokoh dengan fantasi yang teramat kuyup diempati.

Ihwal yang mesilahirkan kegemilangan prosa dari sastrawan kelas dunia. Seperti terlihat dari Pramudya Ananta Toer dalam tetralogi Bumi Manusia ataupun Keluarga Gerilya, Boris Pasternak dalam Dr Zhivago, Arthur Koestler dalam Gerhana Tengah Hari, Aleksander Solzhenitsyn dalam Sehari dalam Kehidupan Ivan Danisovich atau Gulag Archiperlago, Ellie Wiessel dalam Malam atau Judges, Ignazio Silone dalam Roti dan Anggur, misalnya. Yang memicu diskusi tafsir justru karena tidak ada diikuti catatan pengarah si pengarang. Maksa memandu penafsiran demi prespektif nilai!

***

PADA akhirnya, semua kembali pada etos dan kreativitas dari si bersangkutan: apakah cuma mengejar setoran dengan produktif mengarang, atau justru mengabaikan kuantitas dengan intens menggulati ide penulisan?dan didukung cakrawala referensial fakta-fakta, wawasan pemikiran, serta kualitas empati yang mampu mengawal fantasi sehingga semua terhadirkan utuh. Di situ kita tak lagi membaca makna dari teks fiksi yang artifisial membuat gebrakan sebelum letusan pistol, ledakan bom, dan huru-hara mengejar teroris, tapi sudah pertemuan sastrawi antara rasa dan rasa?seperti yang dikatakan sebuah puisi kecil Walt Whitman.

Sekaligus teks Francois Muariac, Jalinan Ular Berbisa serta Simfoni Pastorale--bahkan Da Vinci Code Dan Brown, Satanic Verses Salman Rusdhie, ataupun Langit Makin Mendung Kipanjikusmin?benar-benar tak boleh dimaknai dengan puritanitas nilai Katolik dan Islam. Karena hikmah dari teks-teks ada dalam nuansa gradasi, telah bergeser dari logika biner yang bila (teks) tak ada mendakwahkan Katolik, pasti anti-Christ dan bila tak mendakwahkan Islam, pasti anti-Muhammad. Semuanya mutlak jadi mungkin karena berada di wilayah otonomi sastra. Tapi mungkinkah?

Karena ide otonomi teks di wilayat abu-abu sastra itu mungkin hanya ada ketika ilham menyinari si pengarang, saat ide penulisan itu diperkaya dalam diskursus batini di awal dan selama penulisan. Suatu kondisi setengah sadar dengan risiko individual, padahal ketika teks ditersuratkan serta dipublikasikan: tak ada lagi otonomi subjektif (kreativitas), yang ada malah otonomi resepsi yang menyebabkan si setiap tanda bisa ditafsirkan secara merdeka dengan teknik uthak-athik gathuk tak terbatas. Karena itu proses kreatif (penulisan) harus selalu bermula dari pemilihan serta pemilahan sengaja?sadar akan keberadaan si calon pembaca dan apresiator?, meski bisa dihiasi letusan improvisasi tak sadar. Memang! n

Beni Setia, Pengarang

Sumber: Lampung Post, Minggu, 28 Oktober 2012

[Buku] Politik...

Judul : Politik Otentik: Manusia dan Kebebasan dalam Pemikiran Hannah Arendt

Penulis : Agus Sudibyo

Penerbit : Marjin Kiri, Tangerang

Cetak : 2012

Tebal : xxvi + 240 halaman

POLITIK menjelma kata berbusa makna saat digunakan oleh berbagai pihak dengan perbedaan referensi. Kata ini laris tapi rawan mengalami pendangkalan jika sekadar ditempatkan di ranah kekuasaan, birokrasi, negara, konstitusi. Politik memang mengesankan mekanisme penguasaan dan perintah. Pemahaman baku atas politik menjadi basis kehidupan kolektif untuk pengaturan dan peran. Politik juga mengandung ironi atas kekalahan dan kepatuhan. Politik mirip ?kamus? bertaburan klaim-klaim paradoks dan kontradiktif.

Politik bisa suci dan kotor. Politik dalam penggunaan kata dan amalan mengandung seribu kemungkinan dalih. Pamrih atas politik menjelaskan tentang gapaian legitimasi makna. Manusia bergerak di politik seperti mengonstruksi diri di pusaran kepentingan. Manusia mengartikan politik tapi tergantung dari ketakstabilan kondisi dan nilai. Manusia dalam politik adalah pelaku, saksi, korban. Politik menderetkan adegan dan pesan tanpa kekekalan. Manusia selalu menghendaki mendaku politik meski sering luput.

Hannah Arendt sebagai pemikir filsafat politik justru mengajak kita mengembalikan arti politik ke ?rumah refleksi?. Politik merujuk ke gairah menghidupkan. Penjelasan politik dalam kategori-kategori penguasaan, pemaksaan, kekerasan ditampik oleh Hannah Arendt. Pembakuan politik itu bisa membunuh, melukai, menghinakan. Hannah Arendt mengingatkan tentang politik autentik mengandung hasrat dan amalan deliberatif. Politik menganjurkan manusia bergerak di selebrasi kebebasan. Politik mesti menjadi sulut bagi warga mengamalkan diri secara aktif dan kreatif di ruang publik-pluralistik. Politik adalah medium kebersamaan dalam keberagaman.

Penjelasan-penjelasan filosofis ala Hannah Arendt mungkin ?ejekan? untuk lakon politik di Indonesia. Politik otentik adalah idealitas di langit. Para elite di Indonesia hampir alpa dengan kemuliaan dan kehormatan. Konsekuensi politik malah memunculkan aib-aib: korupsi, candu jabatan, diskriminasi, inskonstitusional.

Politik berwajah buruk. Kaum politik tampak sibuk mengurusi pamrih-pamrih pragmatis berdalih amanat publik. Politik dijalankan di jalan-jalan kotor dan berlubang. Ironis! Hannah Arendt memberi seruan bahwa politik berlangsung dalam interaksi manusia. Politik tidak memusat ke manusia-tunggal. Politik ada dan bergerak di tindakan interaktif.

Hannah Arendt moncer di dunia filsafat melalui publikasi serial buku The Origin of Totalitarianism, On Revolution, The Human Condition. Tokoh ini mengalami hidup di masa-masa dramatis saat Nazi menguasai Jerman. Hannah Arendt menjadikan memori itu sebagai rujukan untuk eksplanasi filsafat politik. Keputusan pindah ke Prancis dan Amerika Serikat semakin memberikan alasan politis-filosofis bagi agenda menerangkan situasi dunia abad XX dengan hasrat ?perubahan?. Pemaknaan dan amalan politik di dunia telanjur di kubangan noda dan trauma. Hannah Arendt berikhtiar ?mengembalikan? politik ke jelmaan-jelmaan konstruktif: politik autentik.

Politik autentik adalah politik berdalil kebebasan, kesetaraan, koeksistensi di ruang hidup pluralistik. Politik mesti partisipatoris: mengundang dan menggairahkan orang terlibat tanpa dominasi. Penjelasan-penjelasan ini jarang terjadi di Indonesia. Politik sering mendustai dan mengecewakan. Pemahaman politik di realitas Indonesia memang menjauh dari politik autentik. Pesismisme publik membesar oleh lakon-lakon destruktif kaum politik menggunakan seribu dalih. Mereka tampak menjalankan politik, tapi sengaja membuat rusak dan dosa.

Kehadiran buku tentang pemikiran-pemikiran politik Hannah Arendt oleh Agus Sudibyo seperti sengatan atas situasi Indonesia. Politik bermakna kebebasan belum usang untuk diajukan sebagai referensi mengurusi Indonesia. Pemilu, korupsi, rebutan kekuasaan, arogansi partai politik terus mengingatkan kelambanan atau kegagalan mengamalkan politik autentik. Kita belum rampung melihat ulah kaum elite politik menguras Indonesia dan mendustai misi demokrasi. Mereka sengaja menjerat kita ke politik mengandung dosa sepanjang masa. Begitu.

Bandung Mawardi, Pengelola Jagat Abjad Solo

Sumber: Lampung Post, Minggu, 28 Oktober 2012

Teater, Tiga Karya Satu Cinta

-- W Halim

DUNIA teater banyak memberikan sumbangsih kepada kemerdekaan ekspresi dan aktualisasi nilai-nilai budaya. Di tiap pengadaban jaman, teater selalu memerankan fungsinya sebagai media akulturasi kebudayaan. Dan sejak lama berlangsung pada masanya, orang-orang berkerumun memasuki bandar-bandar dan kampung tempatan guna menyaksikan pertunjukkan teater seperti Wayang Parsi, Drama Keliling, Abdoel Moeloek, Komedie Stamboel, Makyong dan sebagainya. Bahasa Melayu menjadi bahasa populer (lingua franca) di Nusantara. Catatan sejarah juga menyebutkan cikal bakal perkembangan teater modern berangkat dari pertunjukkan tradisi rumpun Melayu. Meski eksistensi teater Melayu sempat tergerus bianglala perkembangan seni tetapi semangat kreatif ber-teater masih tetap akan berlanjut. 

Hingga pertengahan tahun ini, pementasan teater dan pertunjukan seni seolah bergiliran menghadirkan konsep dan kemasannya menarik minat perhatian. Dalam seni teater, setidaknya terdapat tiga karya menyeruak tentang kebaruan eksplorasi tema adaptasi cerita rakyat ataupun hikayat tradisi. Ketiga karya teater yang memperlihatkan tafsir ulang Hikayat tradisi menurut konteks kekinian dan berikut eksplorasi kreatif pada karya teater Melayu Riau.

Hikayat Puyu-puyu
Adaptasi mantra ‘’Syair Ikan Terubuk’’ disutradarai oleh Hang Kafrawi disulam menjadi karya yang mengangkat problem sosial masyarakat, khususnya permasalahan di Pulau Padang, Teluk Meranti. Dalam syair alegori (kiasan) ‘Terubuk’ memiliki kekuasaan yang besar sedangkan ‘Puyu-puyu’ dikiaskan hanya memiliki kekuasaan kecil. Disebutkan terubuk mewakili kerajaan Melaka dan Johor sedangkan Puyu-puyu mewakili Siak (dikisahkan berada di Teluk Meranti). Pada intisari pementasan akhirnya terjadi penolakan Puyu-puyu terhadap Terubuk, dikarenakan hidup di dua alam berbeda. Naskah dan pertunjukan ini memilih teater adalah ruang penyadaran. Karya sastra selalu berbuah disembarang musim. ‘’Karya sastra dapat dijadikan rujukan sepanjang zaman. Seorang seniman atau pun sastrawan, menciptakan karya-karyanya berdasarkan tanda-tanda peritiwa yang terjadi di lingkungannya’’ (Hang Kafrawi: 2012).

Pola pertunjukkan yang ditaja Teater MARA berlangsung di teater tertutup Anjung Seni Idrus Tintin. Dikemas segar dan menarik lewat plot-plot adegan tragedi berikut parodi. Menyampaikan muatan peristiwa sosial melalui adaptasi naskah tradisi menurut konteks kekinian. Garapan dengan 11 orang pemain teater muda berbakat, didukung oleh tata lampu dan musik ritmik (RnB). Tujuan pementasan disuguhkan secara kreatif sebagai penawar dalam sengkarutnya kompleksitas persoalan sosial. Dan berdasarkan keterangan di pasca pertunjukan tercatat sekitar 700-800 penonton telah menikmati suguhan yang ditawarkan Teater Mara (sekarang telah berubah Teater Matan).
   
Melodi Pengakuan    
Adaptasi legenda ‘’Lancang Kuning’’ disutradarai oleh Rina Nazaruddin Entin ini menempatkan perempuan ke dalam narasi berikut sublimasi penokohan di dalam legenda Melayu Riau. Menceritakan seorang perempuan bernama Zubaidah. Perempuan lugu yang  setia kepada suami, dan pada akhirnya (menjadi) korban kekejaman tokoh panglima (nakhoda kapal). Masing-masing tokohnya memberikan kesaksian; Zubaidah (Rehulina Sinuhaji), Panglima Umar (Ekky Gurin Andika), Panglima Hasan (Fedli Azis), Datuk Laksemana (Rian Harahap), Bomo (Rinaldi) dan Inang (Mimi Suriani). Kesaksian-kesaksian yang bermula dikisahkan seperti dongeng pengantar tidur seorang ibu kepada anaknya (Wirna sari dan Della Pratiwi). Pengakuan kesaksian diri Zubaidah, ketika dijadikan tumbal dari peluncuran kapal Lancang Kuning ditafsirkan bahwa tokoh perempuan Zubaidah berpaling dari cinta Panglima Hasan ke Panglima Umar dan bersetia rela berkorban demi maklumat negerinya atas tenggelamnya kapal ‘Lancang Kuning’. ‘’Ini hanya sebuah tawaran dan tafsir Saya tentang legenda Lancang Kuning. Lancang Kuning tidak menginginkan darah, tapi manusia jahatlah yang menginginkannya, dalam hal ini Panglima Hasan yang bersubahat dengan Bomo,’’ (Rina NE: 2012).

Produksi pentas kedua (TBY Lampung; 2011 dan Idrus Tintin: 2012) ditaja oleh Teater Selembayung ini berlangsung di Teater Tertutup Anjung Seni Idrus Tintin. Dalam Melodi Pengakuan; para aktor memerankan penghayatan tokoh-tokohnya secara maksimal lewat monolog di atas trap-trap terpisah dengan koreografi gerak teatrikal. Panggung terasa penuh kesaksian pengakuan tokoh. Panggung di tata menjauhi kesan artifisial dan dramatik. Artistik bersifat multi set menerjemahkan setting alur cerita (kekinian dan lampau). Tata Musik mengawal emosi tokoh secara teatrikal. Kerja keras produksi dalam tiga hari pertunjukannya telah berhasil mendatangkan kurang lebih mencapai 1500 orang turut menyaksikan Melodi Pengakuan.

Peri Bunian
Adaptasi kumpulan naskah Peterakna pada episode ‘’Peri Bunian’’ disutradarai oleh Kunni Masrohanti ini menuturkan cikal bakal munculnya Raja Kecil, sebagai pendiri dan Sultan pertama kerajaan Siak Seri Indrapura. Menghadirkan kisah asal muasal  lahirnya Raja Kecil dan Dewi Menohra yang menjalin hubungan asmara mistis dengan Sultan Johor bergelar Marhum Mangkat Dijulang Mansyur Syah II. Melalui perantaraan ‘Cik Apong’ dalam melalui persetubuhan dua alam berbeda maka terlahirlah Raje Kecik.   ‘’Inilah karya seni dan pertunjukkan yang dapat menghibur penonton, bila ada perbedaan pemaknaan tentu akan membuatnya terus dibicarakan sepanjang masa’’. (Kunni: 2012).

Produksi pentas ditaja oleh Komunitas Rumah Sunting ini memberikan ex-trance mendalam kepada penonton melalui trik pemanggungan, tata rias serta talenta karakter pemainnya yang kuat. Produksi dipersiapkan dengan matang dari waktu yang panjang. Naskah berat mengenai Peri Bunian diolah secara ringan sedemikian mungkin dalam gaya set panggung hampir mendekati gaya panggung teater tradisi konvensional. Dilengkapi tata sound dan tata lampu menurut acuan standar boardcast. Pertunjukan ini mampu meraih jumlah penonton sebanyak 800 orang dari berbagai pelosok daerah.

Ketiga karya berkehendak mengurai gumpalan tafsir-tafsir lampau demi menguatkan indentitas hikayat legenda Melayu Riau ke dalam karya seni. Selama ini manifestasi nilai dan penggalian budaya melewati Seni Teater cenderung dimanfaatkan sebagai alat medium prasyarat pelestarian seni budaya.. Dikarenakan Teater mengandung ragam bentuk seni seperti gerak, bahasa, tanda, lambang-lambang, kostum, irama/musik berikut naskah pertunjukan. Sesungguhnya dunia teater sejatinya adalah ruang gerak kreatif tanpa melalui prasyarat-prasyarat mengikat. Menghadirkan teater memerlukan pengayaan dan kepekaan. Tiga karya tersebut telah mencoba menuangkan alternatif dengan membingkai pertunjukkan melalui pengulangan tafsir atas mitos dan hikayatnya.

Mengkaji terlebih dahulu tentang posisi perbedaan antara suatu mitos dan suatu legenda. Suatu mitos adalah suatu cerita yang diciptakan, yang tengah coba mencari penjelasan tentang bagaimananya sesuatu. Suatu legenda tidak seluruhnya cerita yang dicipta, Ia adalah sejenis sejarah. Tentu saja ada banyak penciptaan dan mitos yang bercampur dengan suatu legenda, namun pada intinya suatu legenda selalu mengandung sekilas kebenaran historis. Yang paling adil untuk mitos ialah menempatkannya in brackets (di antara dua tanda kurung); in between, di antara fiksi dan fakta, sampai ada bukti di kemudian hari yang meniscayakan kebenaran historisnya. Sama seperti mitos ‘Kota Troy’, yang dulu dianggap hanya sebagai kota mitis buatan Homer (sek.800 SM) dalam karyanya yang terkenal Illiad & Odyssey, sampai tiba saatnya Heinrich Schliemann, seorang arkeolog Jerman, menemukan bukti historis dari reruntuhan kota itu di Negara Turki Modern pada akhir abad 19 M.

Adapun orang modern yang merevitalisasi mitos-mitos primitif lewat novel-novel, cerita-cerita pendek, atau pamflet-pamflet politik tidak dapat dikatakan bahwa mereka ‘hidup’ dalam mitos (living a mythical life), melainkan sebatas ‘meminjam’ mitos (borrowing myth). Mereka sesungguhnya tidak akan pernah mengapresiasi makna mitos, kecuali jika itu melayani kepentingan mereka. Jika seseorang gagal menemukan bukti kesejarahan dari suatu mitos, bukan berarti bahwa mitos itu lantas gagal mengada, atau tidak mengada. Kegagalan menemukan jejak historis mitos membuktikan bahwa kita saja yang gagal menemukannya. Tidak soal apakah ada atau tidak ada bukti kesejarahan, suatu mitos sungguh-sungguh mengada sebagai mitos, dan mitos itu memiliki kekuatan dan hakikatnya tersendiri, yang tidak tergantung pada eksistensi material yang mungkin dipunyainya.

Hikayat menurut Rahman (Arasyid, dkk, 2008:19) menyatakan beberapa pengkaji dan budayawan Melayu kerap menyatakan bahwa wujudnya perubahan zaman, kepercayaan terhadap tradisi juga turut mengalami perubahan. Umpamanya, dari segi kosmologi kalau dahulu masyarakat Melayu lebih berpegang kepada tradisi mitos, kini ia digantikan oleh tradisi kosmologi yang bercorak material dan empiris. Namun, kenyataan dari pandangan para sarjana dan cendikia di atas tidak sepenuhnya berlaku di dalam realitas perkembangan dunia sastra Melayu tradisi.

Di dalam khazanah sastra Melayu tradisi, walaupun tidak dapat dikatakan terikat sepenuhnya, tetapi ia tidak pernah lepas secara mutlak dari arti dan fungsi makna filosofis wacana awal yang kerap menyertai karya-karya tradisi Melayu berkaitan hikayat sejarah, adab, dan perilaku kehidupan.

Satu di antara beberapa teks wacana itu adalah sebagai berikut: ‘’... Demikian bunyi titah yang mulia itu, bahwa ia merasakan rakyat minta agar bendahara perbuatkan hikayat serta sebarang karya seni kepada pujangga yang terlahir daripada masyarakat, bukan semata-mata peristiwa dan peraturan segala raja-raja, melainkan hendaklah segala peristiwa rakyat Melayu dengan istiadatnya sekali, supaya diketahui oleh segala anak cucu kita yang kemudian daripada kita, diingatkannya oleh mereka itu, syahdan beroleh faedah-lah ia daripadanya...’’ (SM).

Makna isi teks ini, di satu sisi menggambarkan keharmonisan hubungan penguasa, rakyat, dan cendikia dengan khazanah kesusastraan Melayu tradisi. Di sisi lain pula, petikan tersebut mengungkapkan betapa lihainya masyarakat Melayu menjaga budaya dan tradisi di sepanjang zaman melalui karya-karya tradisionalnya.

Pada tiga karya Hikayat Puteri Puyu-Puyu, Melodi Pengakuan dan Peri Bunian menjadi hasil resapan kreatornya guna mempertahankan satu sisi kecintaan mereka terhadap dunia Melayu dan tradisinya. Dan teater hanya sebagai alat penyampai semata;  setelah menyaksikan langsung pertunjukan ketiga karya, banyak hal bisa diserap dan menarik dari keseriusan para kreator yang mulai meninggalkan hal-hal konvensional. Fokus mereka terhadap eksplorasi karya sangat membanggakan, tapi kecintaan mereka untuk menunjukkan kemelayuannya sejati membuat para kreator gamang mengambil eksekusi terbaik bagi karyanya. Dalam Hikayat Puyu-puyu (Hang Kafrawi), konteks problem sosial yang aktual harus berakhir dengan ending cerita menggantung dan terasa sekali masih penuh kehati-hatian menjaga plot dan dialognya, tidak benar-benar lepas menjadi karya teater penyadaran. Melodi Pengakuan pun telah menjerumuskan kata untuk menerangkan banyak kisah-kisah kesaksian tokoh. Di Peri Bunian, kisah menarik tentang Raje Kecik terganggu dengan medium panggung tradisional, apabila dipentaskan pada teater arena (terbuka) pertunjukan ini pasti akan lebih menarik dan menantang.

Kecintaan kreator pada dunia teater melayu di Riau sudah sepatutnya mendapat apresiasi terbaik. Ditengah keringnya dukungan terhadap upaya-upaya produksi teater di Riau. Penonton juga telah merasakan cinta para kreator tersebut, apakah memang berbuah manis ataukah pahit. Khalayak publik harus tetap memberikan dukungan terbaik bagi karya-karya produksi Teater di Riau. Ibarat kita bersama-sama untuk memintal teater dan keragaman budaya berkesenian. Mengingat kembali sebuah pantun Melayu ‘’sehari selembar benang, lama-lama menjadi sehelai kain’’. n

W Halim, penulis lepas dan saat ini koordinator Kajian dan Advokasi Publik-Rupari dan aktif di komunitas Barupekan dan Metateater.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 28 Oktober 2012
 

Kancil Mencuri Timun; Potret Sastra Anak Indonesia

-- Indra KS

SASTRA anak dengan sastra orang dewasa tentunya berbeda, jadi orang tua harus selektif dalam memilihkan bacaan untuk anaknya. Jangan sampai orangtua salah memilihkan karena dapat berdampak buruk pada perkembangan anaknya. Perkembangan yang dimaksud diantaranya mencakup perkembangan fisikal, moral, intelektual, sosial, lingual, dan spiritual. Jadi orangtua hendaknya harus memilihkan bacaan atau buku yang baik.

Seperti dikatakan Winch (1991: 19) buku anak yang baik adalah buku yang mengantarkan dan berangkat dari kacamata anak. Dari kacamata anak pun harus diseleksi kembali, apakah isinya baik untuk perkembangan anak atau tidak. Sebagai contoh pada dongeng rakyat yang sangat populer khususnya di Jawa yaitu ‘’Kancil Mencuri Timun’’. Pada judul saja sudah kelihatan bahwa cerita tersebut tidak cocok untuk perkembangan anak, walaupun telah dikemas dengan kacamata anak. Kita tentunya tahu kalau mencuri merupakan tindakan yang tidak dibenarkan. Apakah orangtua ingin apabila anaknya kelak menjadi pencuri? Jawabannya tentunya tidak!

Dikatakan Nurgiyantoro (2004: 115) dongeng hadir terutama dimaksudkan untuk menyampaikan ajaran moral, konflik kepentingan antara baik dan buruk, dan yang baik pada akhirnya pasti menang. Pada dongeng ‘’Kancil Mencuri Timun’’ apabila merujuk pada ajaran moral tentunya tidaklah tepat karena secara tidak langsung mengajarkan mencuri. Dalam cerita tersebut diceritakan Kancil yang suka mencuri timun-timun Pak Tani. Apabila anak membaca tanpa diberikan penjelasan oleh orang tua bisa jadi anak menganggap kalau mencuri itu diperbolehkan. Seperti yang dilakukan oleh tokoh Kancil tersebut.

Untuk konflik kepentingan baik dan buruk tentunya sudah dapat dipahami, tokoh yang buruk jelas pada Kancil dan tentunya tidak boleh dicontoh. Pada poin yang terakhir dikatakan yang baik pada akhirnya pasti menang. Tetapi tidak pada dongeng ‘’Kancil Mencuri Timun’’ pada akhir cerita yang menang adalah Kancil, karena saat Kancil telah tertangkap dan dikurung oleh Pak Tani ia dapat meloloskan diri dengan tipudaya yang dilakukannya pada anjing yang disuruh berjaga oleh Pak Tani. Jadi sangat jelas kalau yang menang adalah yang buruk.

Menurut Lukens (1999: 10), sastra anak menawarkan dua hal utama, yaitu kesenangan dan pemahaman. Kalau dari segi kesenangan mungkin anak akan senang dan betah apabila membaca sendiri atau didongengi ‘’Kancil Mencuri Timun’’ karena dongeng ini memang menarik dengan tokoh utamanya yaitu Kancil. Binatang Kancil ini memang tidak terlalu akrab bagi telinga anak-anak tidak seperti ayam, kambing, kucing, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, anak menjadi tertarik dengan dongeng tersebut karena rasa ingin tahu anak cukup tinggi. Pada kenyataannya binatang Kancil ini memang langka. Jadi anak hanya dapat melihat kancil kalau pergi ke kebun binatang, itu pun tidak setiap kebun binatang ada.

Tokoh Kancil memang tokoh yang cerdik, tetapi kecerdikannya digunakan untuk hal yang tidak baik. Salah satunya seperti yang saya jelaskan sebelumnya yaitu mencuri. ‘’Kancil Mencuri Timun’’ masuk dalam sastra tradisional, jadi bentuknya berasal dari cerita yang telah mentradisi, tidak diketahui kapan mulainya dan siapa penciptanya, dan dikisahkan secara turun temurun secara lisan. Tetapi karena dongeng ini takut hilang atau diklaim negara tetangga sekarang telah banyak dongeng yang dibukukan.

Kalau dari segi pemahaman tanpa bimbingan orang tua anak akan kurang memahami tentang perilaku Kancil pada dongeng tersebut. Apakah sifat Kancil itu baik apakah tidak, jadi orangtua di sini harus menjelaskan kalau sifat Kancil itu tidak patut dicontoh karena suka mencuri dan berbohong. Sedangkan perbuatan mencuri atau berbohong merupakan perbuatan dosa. Apabila anak telah diberikan penjelasan tentunya Ia akan tahu kalau perbuatan Kancil itu tidak baik dan tidak patut dicontoh.

Di Jepang orangtua sangat hati-hati dalam memberikan bacaan kepada anaknya, karena mereka tahu risiko yang akan diperoleh apabila tidak memberikan bacaan yang baik kepada anaknya akan berpengaruh buruk bagi perkembangannya. Jadi kalau dongeng ini ada di  Jepang saya yakin tidak akan laku karena mengajarkan tentang mencuri. Oleh karena itu, wajarlah kalau banyak oknum di pemerintahan yang saat ini korupsi karena yang diperdengarkan waktu kecil dongeng ‘’Kancil Mencuri Timun’’.

Dari sisi negatif dongeng ini tentunya ada sisi positifnya yang antara lain menambah perbendaharaan dongeng rakyak Indonesia. Jadi dongeng ini tetap ada manfaatnya dan harus didongengkan kepada anak-anak dengan syarat harus didampingi orangtua dengan memberikan pengertian-pengertian kepada anak. Supaya anak tidak salah jalan dalam memahami dongeng tersebut. Ataupun orangtua dapat memberikan dongeng Kancil dengan judul lain. Misalnya ‘’Kancil dan Keong’’ itu akan lebih baik karena ada pelajaran yang dapat diambil dari dongeng tersebut.

Dari setiap dongeng memang ada pesan yang ingin disampaikan kepada pembaca atau pendengar. Jadi dongeng tidak hanya untuk sekedar hiburan atau pengantar tidur saja. Di Indonesia banyak sekali bertebaran dongeng-dongeng yang sangat variatif. Tinggal orangtua dapat memberikan dongeng yang baik atau tidak. Kalau dongeng yang sekiranya kurang mendidik orangtua harus senantiasa mendampingi dan memberikan penjelasan tentang hal-hal yang perlu dicontoh ataupun hal-hal yang tidak patut ditiru.

Oleh karena itu, peran orangtua sangatlah penting dalam memilihkan bacaan untuk anak. Supaya generasi kita menjadi generasi yang baik perilakunya karena melalui sastra, anak memperoleh pendidikan untuk menunjang perkembangannya. Jadi karakter anak tumbuh salah satunya dari apa yang dibacanya. Kalau bacaannya baik anak akan menjadi baik dan kalau bacaannya buruk perilaku anak juga akan buruk. n

Indra KS, Lahir di Desa Tanggeran pada 5 Oktober 1989. Saat ini tercatat sebagai mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) di Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP). Bergiat di Komunitas Penyair Institute (KPI) dan Tunas Kata (TK). Bermastautin di Desa Tanggeran, Kecamatan Somagede, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 28 Oktober 2012
 

[Jejak] P Ramlee, Di Mana Kan Dicari Ganti

P RAMLEE bernama lengkap Teuku Zakaria bin Teuku Nyak Puteh, dilahirkan di rumah neneknya di Pulau Pinang pada 22 Maret 1929, tepat di kesyahduan Idul Fitri. Ayahnya bernama Teuku Puteh Teuku Karim (1902-1955), seorang perantau dan ahli pelayaran yang berasal dari pekan Lhokusemauwe di Aceh, Indonesia. Sedang Bundanya, Che Mah binti Hussin berasal dari Kubang Buaya, Seberang Perai.

P Ramlee mendapat pendidikan awal di Sekolah Melayu Kampung Jawa dan kemudian di Sekolah Francis Light, Pulau Pinang sampai kelas lima. Beliau melanjut pengajiannya ke Penang Free School dan sejak kecil cenderung menunjukkan bakatnya ke arah nyanyi dan drama. Pendidikannya pernah terhenti saat pendudukan Jepang di Malaya dan beliau mencari rezeki sebagai budak pejabat (peon) di sebuah kilang timah, dan kemudian memasuki sekolah tentera Jepang (Kaigun).

Di sinilah P Ramlee berpeluang mempelajari serba sedikit bahasa dan lagu-lagu Jepang, selain berdamping rapat dengan anggota tentara laut Jepang. Sikapnya yang rajin dan peramah disukai oleh ramai tentera laut Jepang. Saat perang usai P Ramlee melanjutkan pendidikannya di Penang Free School sehingga ke kelas tujuh. Selain senang seni, Dia juga gemar olahraga dan 1939 menjadi starter utama tim sepakbola Penang Free School.

Sayang, P Ramlee yang begitu tersohor berumur pendek akibat serangan jantung secara tiba-tiba di kediamannya di Taman Forlong (sekarang Taman P Ramlee) pada usia 45 tahun. Jasadnya disemayamkan di perkuburan Islam, Jalan Ampang, Kuala Lumpur.

Dalam hidup berumahtangga, P Ramlee pernah tiga kali menikah. Istri pertamanya adalah Junaidah dan bercerai pada 1954. Kemudian menikah dengan Norizan 6 Februari 1955 dan bercerai pada 1961. Di tahun yang sama, tepatnya 21 November menikah pula dengan Saloma dan hanya dipisahkan oleh kematian.

P Ramlee mempunyai banyak anak namun anak kandungnya hanya tiga orang hasil dari pernikahannya dengan Junaidah. Anak-anaknya banyak membantu dalam kerja kreatifnya seperti menjadi penyanyi latar kanak-kanak (lagu ‘’Tolong Kami Bantu Kami’’ dari film Tiga Abdul) dan pelakon kanak-kanak tambahan (Sazali yang berlakon sebagai anak pekerja ladang dalam Anak Bapak).

Lagu pertama ciptaan P Ramlee adalah ‘’Azizah’’ dan ditulis pada 1945 yang ditujukan khas buat gadis idamannya, Azizah. P Ramlee pertama kali membawa lagu ‘’Azizah’’ di depan publik pada Juni 1948. Tanpa disadari, kemerduan suaranya telah sampai ke telinga BS Rajhans, seorang sutradara film dari Shaw Brothers yang terkenal di Singapura. Tawaran yang akhirnya mengubah keseluruhan nasibnya. Sutradara itu mengajaknya ke Singapura untuk bekerja di studio Jalan Ampas (Malay Film Productions/MFP) sebagai penyanyi latar dalam film arahannya. Beliau hijrah ke Singapura pada usia 19 tahun.

P Ramlee juga terkenal sebagai komposer, penulis lirik dan penggubah lagu. Inilah yang meletakkan beliau sebagai seniman serba bisa yang sukar ditandingi artis lainnya. Semasa hayatnya P Ramlee mencipta kira-kira 1.000 lagu. Instrumen musik terawal yang dipelajarinya ialah biola, ukulele dan piano. Dalam mencipta lagu-lagunya, P Ramlee gemar menerapkan pelbagai rentak musik. Rentak Melayu tradisional seperti inang, asli, zapin, masri dan joget adalah pilihannya. Berselang-seli dengan rentak tradisional, P Ramlee menyelipkan tempo waltz, rumba, cha-cha, twist, timur tengah, Cina, dan Hindustan mengikut kesesuaian babak dalam film-filmnya. Kisah-kisah dalam lagunya adalah berkisar kepada melodi cinta, rancak, lucu, dan romantis.

Salah satu kelebihan P Ramlee ialah beliau mampu menyampaikan sendiri lagu-lagu ciptaannya secara bersolo atau berduet dengan penyanyi lain seperti Saloma dan Normadiah. Ini menjadikan lagu-lagunya meninggalkan kesan lebih mendalam kepada penonton.

P Ramlee memang telah berpulang namun nama dan karya-karyanya tetap kekal hingga hari ini. Inilah seniman serba bisa yang dikenal hingga ke pelosok-pelosok kampung Asia Tenggara. Bagi Riau, terutama masyarakat pesisir, nama dan karya-karya P Ramlee memberi inspirasi dan selalu mengajak untuk mengenang masa kejayaannya di masa lalu.(fed/berbagai sumber)

Sumber: Riau Pos, 28 Oktober 2012

Saturday, October 27, 2012

Menikmati Perjalanan Sastra Putu Wijaya

-- F Akbar

PUTU Wijaya yang kita kenal sebagai sastrawan mempunyai nama yang cukup panjang, yaitu I Gusti Ngurah Putu Wijaya. Dari namanya itu dapat diketahui bahwa ia berasal dari Bali. Putu memang dilahirkan di Puri Anom, Tabanan, Bali pada tanggal 11 April 1944.

    Pada masa remaja ia sudah menunjukkan kegemarannya pada dunia sastra. Saat masih duduk di sekolah menengah pertama di Bali, ia mulai menulis cerita pendek dan beberapa di antaranya dimuat di harian Suluh Indonesia, Bali. Ketika duduk di sekolah menengah atas, ia memperluas wawasannya dengan melibatkan diri dalam kegiatan sandiwara. Setelah selesai sekolah menengah atas, ia melanjutkan kuliahnya di Yogyakarta, kota seni dan budaya.

    Di Yogyakarta, selain kuliah di Fakultas Hukum, UGM, ia juga mempelajari seni lukis di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), drama di Akademi Seni Drama dan Film (Asdrafi), dan meningkatkan kegiatannya bersastra.

    Dari Fakultas Hukum, UGM, ia meraih gelar sarjana hukum (1969), dari Asdrafi ia gagal dalam penulisan skripsi, dan dari kegiatan berkesenian ia mendapatkan identitasnya sebagai seniman.

    Selama bermukim di Yogyakarta, kegiatan sastranya lebih terfokus pada teater. Ia pernah tampil bersama Bengkel Teater pimpinan W.S. Rendra dalam beberapa pementasan, antara lain dalam pementasan Bip-Bop (1968) dan Menunggu Godot (1969). Ia juga pernah tampil bersama kelompok Sanggar Bambu. Selain itu, ia juga (telah berani) tampil dalam karyanya sendiri yang berjudul Lautan Bernyanyi (1969). Ia adalah penulis naskah sekaligus sutradara pementasan itu. Naskah dramanya itu menjadi pemenang ketiga Sayembara Penulisan Lakon yang diselenggarakan oleh Badan Pembina Teater Nasional Indonesia.

    Setelah kira-kira tujuh tahun tinggal di Yogyakarta, Putu pindah ke Jakarta. Di Jakarta ia bergabung dengan Teater Kecil dan Teater Populer. Di samping itu, ia juga bekerja sebagai redaktur majalah Ekspres. Setelah majalah itu mati, ia menjadi redaktur majalah Tempo (1971-1979). Bersama rekan-rekannya di majalah Tempo, Putu mendirikan Teater Mandiri (1974). Pada saat masih bekerja di majalah Tempo, ia mendapat beasiswa belajar drama di Jepang (1973) selama satu tahun.

    Namun, karena tidak kerasan dengan lingkungannya, ia belajar hanya sepuluh bulan. Setelah itu, ia kembali aktif di majalah Tempo. Pada tahun 1975 ia mengikuti International Writing Program di Iowa, Amerika Serikat. Setelah itu, ia juga pernah menjadi redaktur majalah Zaman (1979-1985).

    Ia juga mempunyai pengalaman bermain drama di luar negeri, antara lain dalam Festival Teater Sedunia di Nancy, Prancis (1974) dan dalam Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985). Ia juga membawa Teater Mandiri berkeliling Amerika dalam pementasan drama Yel dan berpentas di Jepang (2001). Di samping itu, Ia juga pernah mengajar di Amerika Serikat (1985-1988).

    Karena kegiatan sastranya lebih menonjol pada bidang teater, Putu Wijaya pun lebih dikenal sebagai dramawan. Sebenarnya, selain berteater ia juga menulis cerpen dan novel dalam jumlah yang cukup banyak, di samping menulis esai tentang sastra. Sejumlah karyanya, baik drama, cerpen, maupun novel telah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, antara lain bahasa Inggris, Belanda, Prancis, Jerman, Jepang, Arab, dan Thailand.

    Gaya Putu menulis novel tidak berbeda jauh dengan gayanya menulis drama. Seperti dalam karya dramanya, dalam novelnya pun ia cenderung mempergunakan gaya objektif dalam pusat pengisahan dan gaya stream of consciousness dalam pengungkapannya. Terhadap karya-karya Putu itu, Rachmat Djoko Pradopo (dalam Memahami Drama Putu Wijaya: Aduh, 1985) memberi komentar bahwa Putu berani mengungkapkan kenyataan hidup karena dorongan naluri yang terpendam dalam bawah sadar, lebih-lebih libido seksual yang ada dalam daerah kegelapan. Di samping itu, Putu juga menjadi sutradara film dan sinetron serta menulis skenario sinetron.

    Film yang disutradarainya ialah film Cas Cis Cus, Zig Zag, dan Plong. Sinetron yang disutradarainya ialah Dukun Palsu, PAS, None, Warteg, dan Jari-Jari. Skenario yang ditulisnya ialah Perawan Desa, Kembang Kertas, serta Ramadhan dan Ramona. Ketiga skenario itu memenangkan Piala Citra.

    Karyanya berupa drama ialah Dalam Cahaya Bulan (1966), Lautan Bernyanyi (1967), Bila Malam Bertambah Malam (1970), Invalid (1974), Tak Sampai Tiga Bulan (1974), Anu (1974), Aduh (1975), Dag-Dig-Dug (1976), Gerr (1986), Edan, Hum-Pim-Pah, Dor, Blong, Ayo, Awas, Los, Aum, Zat, Tai, Front, Aib, Wah, Hah, Jpret, Aeng, Aut, dan Dar-Dir-Dor.

    Sedangkan dalam bentuk novel diantaranya Bila Malam Bertambah Malam (1971), Pabrik (1976), Stasiun (1977), Keok (1978), Sobat (1981), Lho (1982), Telegram (1972), Tiba-Tiba Malam (1977), Pol (1987), Terror (1991), Merdeka (1994), Perang (1992), Lima (1992), Nol (1992), Dang Dut (1992), Kroco (1995), Byarpet (1995), Cas-Cis-Cus (1995), dan Aus (1996). Dalam bentuk cerpen terkumpul di sejumlah buku diantaranya bertajuk Bom (1978), Es (1980), Gres (1982), Klop, Bor, Protes (1994), Darah (1995), Yel (1995), Blok (1994), Zig Zag (1996), dan Tidak (1999). Karya esainya terdapat dalam kumpulan esai Beban, Kentut, Samar, Pembabatan, Klise, Tradisi Baru, Terror Mental, dan Bertolak dari yang Ada.

    Penghargaan yang telah diterimanya ialah sebagai berikut: 1967 Pemenang ketiga Lomba Sayembara Penulisan Lakon Badan Pembina Teater Nasional Indonesia (drama Lautan Bernyanyi). 1971 Pemenang Sayembara Mengarang Roman DKJ (novel Telegram).

    1975 Pemenang Sayembara Mengarang Roman DKJ ( novel Stasiun). 1980 Penerima SEA Write Award dari Kerajaan Thailand 1991-1992 Penerima Profesional Fellowship dari The Japan Foundation Kyoto, Jepang.

    Sekarang, Putu Wijaya masih terbaring sakit yang cukup serius. Namun kepada setiap wartawan budaya yang menengoknya Putu mwnuturkan semangatnya untuk terus menggeluti dunia sastra. "Inilah dunia saya yang sesungguhnya," ujar Putu, pelan.

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 27 Oktober 2012

Monday, October 22, 2012

Bumi Manusia dalam UWRF 2012

-- Saut Poltak Tambunan

‘MEMILIH’ adalah kata sederhana, tetapi setiap keterbatasan selalu harus berhadapan pada sepatah kata yang sangat biasa dalam keseharian ini.  ‘Memilih’, itulah yang dihadapi oleh Panitia UWRF ke IX Tahun 2012 (Ubud Writers and Readers Festival 2012) atas ribuan naskah puisi (kebanyakan adalah puisi), cerpen, novel dan essai dari hampir 300 penulis asal seluruh Indonesia.

Bekerja keras dalam bingkai tematik ‘Bumi Manusia’, panitia dan dewan kurator menetapkan 15 penulis sesuai quota. Ternyata penulis potensial  tidak hanya terkonsentrasi di Jakarta, sebab daerah luar Jakarta bahkan luar Jawa pun mempunyai penulis-penulis handal.

Ke 15 penulis terpilih dihadirkan pada UWRF yang berlangsung tgl 3-7 Oktober 2012 lalu di Ubud Bali. Di antaranya mewakili puisi 5 orang, cerpen 5 orang, novel 4 orang dan essai 1 orang. Terdiri dari 4 wanita dan 11 pria. Pada UWRF 2012 terdapat keterwakilan penulis dari provinsi yang baru kali ini terpilih.

Mereka yang terpilih adalah Arif Fitra Kurniawan (Semarang), Benazir Nafilah (Sumenep), Mugiya Syahreza Santoso (Bandung), Budi Saputra (Padang), Muhary Wahyu Nurba (Sulawesi Selatan), Amanche Franck OE Ninu (Kupang), Olyrinson (Pekanbaru), Niduparas Erlang (Tangerang), Guntur Alam (Bekasi), Astina Triutami (Jakarta), Aprilia RA Wayar (Papua), Ayi Jufridar (NAD). Indah Darmastuty (Solo), Sunlie Thomas Alexander (Pangkal Pinang) dan Bandung Mawardi (Solo).

Ratusan penggiat sastra ditampilkan sebagai pembicara dalam berbagai diskusi dan art performance, meski dalam buku panduan hanya tercatat 135 nama (termasuk mantan Presiden Timor Leste Ramos Horta). Selain 15 penulis terpilih, dihadirkan  juga 26 peserta Indonesia yang diundang khusus untuk menjadi pembicara, moderator dan interpreter.

Meski para penulis kita terkendala pada kemampuan berkomunikasi dalam bahasa asing, mereka tampil percaya diri di tengah penggiat sastra dari manca negara. Di celah berbagai acara, Saut Poltak Tambunan mengisinisiasi pertemuan para penggiat sastra dari Indonesia dan sepakat untuk menerbitkan antologi bilingual untuk diluncurkan pada UWRF 2013.

Tahun 2008 UWRF menerbitkan antologi karya penulis terpilih dengan judul Reasons for Harmony, tahun 2010 berjudul Harmony in Diversity, tahun 2011 Cultivate The Land With In dan tahun 2012 berjudul Voices of The Archipelago.

Satellite Event di Jakarta
Untuk menerussebarkan gema UWRF 2012, antara tgl 9-12 diselenggarakan satellite event di 5 kota, yaitu Jakarta, Banda Aceh, Kupang, Makassar dan Banjarmasin. Sekaligus untuk mensosialisasikan thema UWRF ke-10 tahun 2013 ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’.

Satellite Event di Jakarta diselenggarakan tanggal 9 Oktober 2012 di Newseum Café Jl Veteran, menggandeng Komunitas Sastra Kedailalang sebagai partner local. Hadir sebagai pembicara Ruby J Murray (perempuan pengarang dari Australia), Hanna Fransisca (sastrawan 2010 pilihan Tempo) dan Saut Poltak Tambunan (novelis senior dan kurator UWRF 2012).

Dihadiri oleh seratusan penggiat sastra, diskusi dengan thema sastra di Indonesia dan Australia itu  berlangsung menarik, dipandu oleh moderator Frieda Amran dan interpreter Tina K.  Hanna Fransisca sempat didaulat untuk membacakan salah satu puisinya. Astina Triutami hadir mewakili 15 penulis  terpilih untuk meluncurkan buku antologi bilingual Voices of The Archipelago.

Masita Riyani tampil sebagai pembaca puisi pada penghujung acara, dilengkapi dengan musikalisasi puisi oleh Jodhi Yudono dan kawan-kawan.

Satu pertanyaan yang mencuat di tengah diskusi adalah kurangnya festival sastra di Jakarta. Kurnia Effendi dari komunitas Kedailalang menjelaskan bahwa beberapa kali sudah pernah diupayakan, tetapi belum sebaik UWRF.

Jakarta, 10 Oktober2012


Sumber: Oase Kompas.com, Senin, 22 Oktober 2012

Sunday, October 21, 2012

Sekolah Tinggi Seni Riau: Menuju Visi yang Radikal

-- Bayu Arsiadhi

MENGINGAT perhatian dunia yang sedang tertuju pada: terorisme, kemiskinan dan penyakit, populasi migran tanpa harapan, sistem pendidikan yang amburadul, perampasan budaya, penjajahan dan eksploitasi, pemanasan global, sistem komunikasi dan komputer berkecepatan tinggi, kekayaan korporasi raksasa, trafficking, perjuangan kesetaraan gender/persamaan hak, penelitian internasional yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Dari latar belakang permasalahan-permasalahan sosial yang monumental tersebut, universitas di Riau dan di kota-kota lain yang menawarkan musik sebagai program studi akan terlihat aneh, bahkan tidak ada kaitan secara langsung. Kami lebih memusatkan energi pada pelatihan pemain-pemain dan komposer untuk pasar yang kian waktu kian berkurang dan sempit bagi musik seni, tradisi, orkestra, jazz dan banyak lagi. Program musik pendidikan lebih banyak mempersiapkan siswa untuk mengajar band, paduan suara, grup musik tradisi di sekolah-sekolah tanpa henti mereplikasi repertoar yang sama atau mirip atau membuat materi pop dengan bantuan komputer. Sedangkan teori dan sejarah berdasarkan superioritas musik Barat dan mata kuliah yang terkait (seperti pelatihan telinga dan analisis harmonik) tetap menjadi sesuatu yang istimewa di jenjang sarjana.

Sementara program bagi calon guru musik, terus menekankan kinerja berbasis metode di atas segalanya. Ada sedikit ruang khas yang dapat membantu siswa menjadi informan, musisi yang bijaksana dan guru yang dapat menghubungkan apa yang mereka pelajari tentang musik dan pendidikan ke dunia yang lebih luas seperti, studi filsafat, kajian budaya, sosiologi, sejarah, budaya populer atau bidang seni lainnya. Namun pada akhirnya, tujuan siswa cenderung pada pelatihan keterampilan profesional mengabaikan perannya yang akan menjadi warga-musisi terdidik yang mampu mengatasi masalah dunia nyata dan situasi yang melibatkan keunikan, ketidakpastian dan konflik nilai. Penekanan dalam program sarjana musik terus terjadi dalam taraf penerima pasif, reproduksi pengetahuan ahli dan kurangnya keterlibatan intelektual dalam dunia sosial musik.

Sempitnya tujuan dan misi tidak hanya nampak pada kurikulum kita, tapi juga dalam isolasi sosial oleh program studi musik dengan fakultas dan disiplin ilmu lain. Karena itu dosen dan mahasiswa sering kurang informasi tentang (atau hanya tidak tertarik pada) isu-isu saat ini dan perdebatan akademik yang lebih luas dalam universitas (misalnya, departemen yang akan mendanai penelitian dan program-program yang ditakutkan akan merusak gagasan pendidikan publik), sementara mahasiswa lama terlalu banyak memusatkan konten sumber daya mereka pada beberapa elit dan mengabaikan massa. Di lain pihak, akademisi dari disiplin ilmu lain kadang-kadang terlibat dalam perdebatan artistik yang lebih luas dalam ruang publik. Umumnya juga, karena keterlibatannya di ruang-ruang pemerintahan, suatu fakta yang membuat rentan saat penghematan anggaran dan reformasi pendidikan. Program studi musik lebih memilih untuk tetap tiarap, menghindar dari politik.

Meskipun ada yang beranggapan bahwa mahasiswa musik akan membenci isolasi sosial dan merasa kurang kebebasan untuk mempertanyakan dan menantang otoritas, maka lebih banyak yang memilih status quo, karena mampu membawa mereka lepas dari kekacauan dan ketidaknyamanan realitas. Pada akhirnya, guru-guru musik di SMU harus menanggung sikap lari dari kenyataan ini, karena nilai mata pelajaran musik sering terlalu tinggi dibanding dengan mata pelajaran lain, sehingga memberi keyakinan guru-guru pelajaran lain, bahwa musik adalah pelajaran yang tidak memerlukan banyak belajar dan kerja keras untuk mencapai sukses ditambah lagi kelas-kelas pertunjukan musik dianggap sebagai pengalihan perhatian dari mata pelajaran lain yang merepotkan. Jika menanyakan mahasiswa mengapa memilih studi musik dan respon yang biasa diperoleh ‘’karena menyenangkan’’ dan ‘’persiapan kerja’’ ketimbang pendapat bahwa musik adalah sesuatu yang benar-benar penting bagi masyarakat atau tantangan intelektual. Tentu saja, mahasiswa musik bukanlah satu-satunya yang melihat kampus hanya sebagai tempat untuk mendapatkan pengalaman pelatihan dan kejuruan belaka. Emberley (1996) mengamati, banyak mahasiswa yang hanya ingin ‘’informasi praktis untuk memperoleh pekerjaan’’. Pasif intelektual dan konservatisme adalah sesuatu yang biasa di perguruan tinggi.

Jika program studi sarjana musik akan mewujudkan mandat mereka untuk mendidik, tidak hanya melatih siswa, maka ada baiknya untuk mengkonfrontasikan ideologi-ideologi pelatihan yang menyenangkan dan kejuruan dari awal, terutama dalam kuliah sejarah dan pengantar teori yang selalu memakai pendekatan pembelajaran tradisional dalam kaitannya mengisi pikiran siswa dengan fakta-fakta. Dalam kuliah mereka, mahasiswa harus ditantang untuk berpikir musik sebagai konsep yang berkembang dan terbuka yang dipengaruhi oleh politik, agama, sosial, ilmu pengetahuan dan humaniora lainnya, bukan sebagai koleksi terisolasi dari fakta-fakta, tokoh, atau metode yang harus diterima secara pasif, dihafal, lalu dimuntahkan (tanpa melalui olah pikir dan rasa). Siswa juga harus diingatkan terus-menerus bahwa metode dan teknik merupakan capaian tertentu (harus ada timbal-balik di antaranya); bahwa capaian tersebut tidak harus atau selalu menjadi musikal; lebih lanjut, pencapaian juga selayaknya membawa mereka sebagai individu yang memandang pentingnya refleksi, diskusi dan evaluasi.

Seperti saran saya dalam artikel singkat ini, salah satu cara yang mungkin dapat dipertimbangkan untuk menghidupkan kembali pendidikan musik adalah dengan rekonseptualisasi, di mana permasalahan moral, etika, budaya dan politik datang lebih dahulu di hadapapan para siswa, menantang mereka menyadari potensi dirinya agar dapat berkontribusi pada perbaikan nilai-nilai masyarakat. Hal ini juga melibatkan memperkenalkan kepada siswa keragaman mosaik musik yang ada, sambil membantu mengembangkan suara-suara kritis mereka sehingga dapat berpartisipasi cerdas dalam membentuk nilai-nilai musik dan humanis lainnya. Untungnya, Sekolah Tinggi Seni Riau (STSR) kini membuat terobosan dengan diversifikasi mata kuliah sebagai investasi di masa depan dan mulai menghidupkan kembali pendidikan tinggi musik dengan ide-ide segar para dosen, khususnya di bidang musik Melayu, sosiologi dan filsafat. Singkatnya, mari kita lanjutkan untuk mengajar siswa dengan apa yang telah dilakukan sebelumnya, namun ada banyak hal yang lebih penting, memungkinkan mereka untuk membuat apa yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Con anima. n

Bayu Arsiadhi, dosen luar biasa di Sekolah Tinggi Seni Riau (STSR) dan Sendratasik Universitas Islam Riau

Sumber: Riau Pos, Minggu, 21 Oktober 2012
 

Membangun dengan Sastra Anak

-- Edi Sarjani

AKHIR November 1862, Abraham Lincoln merasa kurang percaya saat ia mengetahui perang saudara di Amerika selama empat tahun antara lain disebabkan oleh sebuah karya sastra. Sebaliknya banyak orang percaya, Uncle Toms Cabin, sebuah roman karya Harriet Beecher Stowe, memberikan pengaruh yang dalam pada diri masyarakat Amerika yang terlibat dalam perang bersejarah itu. Realitas imajiner seperti termanifestasi dalam realitas konkret. ‘’Jadi kamu, perempuan kecil yang menyebabkan perang besar ini?’’ ujar Lincoln, Presiden AS itu, saat ia bertemu Stowe di Gedung Putih.

Tidak peduli apa yang dipercaya orang Amerika, tetapi jelas karya seni, sastra dalam hal ini, turut berperan dalam pembentukan sebuah peradaban. Uncle Toms Cabin yang sejak abad ke-19 telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia hanya sebuah contoh. Dalam bahasa Indonesia, roman itu disadur ke dalam bahasa Belanda oleh Tartusi pada 1969. Hasil saduran berjudul Pondok Paman Tom yang diterbitkan Balai Pustaka mencantumkan keterangan ‘’bacaan anak-anak umur 13-16 tahun’’.

Bagi generasi pada masa itu dan dekade berikutnya, Pondok Paman Tom menjadi salah satu warna yang memengaruhi dunia sastra modern di Indonesia. Namun, pada saat yang sama, bahkan hingga hari ini, sastra anak di Indonesia justru belum mendapat perhatian yang cukup. Belum ada penulisan sejarah sastra anak, apalagi memaknai cerita anak dalam sebuah zaman. Sebuah kelalaian yang dapat menjadi kesalahan karena menafikan dunia imajinasi anak sebagai satu hal yang tak penting dalam sejarah sastra, dalam pendidikan, dan perkembangan budaya. Sastra anak bukanlah sumber dalam wacana kebudayaan kita.

Sementara itu, sejarah sastra Indonesia sejak mula ia dianggap ada, sebenarnya juga diisi oleh sub-genre anak ini. Balai Pustaka, penerbit yang muncul sebagai akibat dari politik etis pemerintah kolonial Hindia Belanda dan dianggap sebagai perintis lahirnya sastra modern Indonesia, sejak tahun-tahun awalnya sudah menerbitkan beberapa karya sastra khusus untuk anak-anak.

Kita cukup tahu, pada masa-masa itulah Pujangga Baru memiliki pengaruh penting dalam wacana sastra dan kebudayaan, bahkan politik. Namun, kita tidak menemukan tempat di mana dunia imajiner anak, dalam bentuk literernya, ikut terlibat dalam polemik itu. Tentu berawal dari anggapan, dunia anak bukanlah bagian dari dunia ‘dewasa’ para pemikir elite itu.

Tidak ada argumentasi yang cukup kuat menjelaskan mengapa sastra anak dipinggirkan dari diskursus kebudayaan kita, dari perhitungan sejarah pendidikan, politik, seni dan seterusnya. Apakah ini akibat lain dari kolonialisme Belanda? Atau karena dunia anak dianggap bukan variabel penting dalam perjalanan dan pembentukan adab serta kebudayaan sebuah bangsa?

Sebuah rintisan yang mencoba memaknai secara lebih baik sastra anak baru dilakukan pada 1976 oleh Riris K Sarumpaet dalam bukunya, Bacaan Anak-anak. Sarumpaet membahas hakikat, sifat, corak bacaan anak-anak, serta minat anak pada bacaan. Pada masa itu, betapa pun tidak diperhitungkan dalam wacana besar, menurut Sarumpaet, sekurangnya lima penerbit komersial cukup serius menerbitkan berbagai karya sastra anak-anak, seperti Indra Press, Balai Pustaka, Djambatan, Gunung Mulia dan Pustaka Jaya.

Namun, kenyataan secara luas tetap memperlihatkan, studi atau pendalaman terhadap peran, posisi, atau fungsi sastra anak dalam masyarakat masih sangat minim. Pengarang-pengarang yang begitu dedikatif pada jenis sastra ini tidak pernah tercatat dalam deretan pengarang utama negeri ini. Sastrawan macam Aman, Julius Sijaranamual, Toha Mohtar, Dwianto Setyawan, misalnya, bukanlah nama-nama yang dirasa pantas dijajarkan dengan nama-nama bertinta emas, seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Chairil Anwar atau Pramoedya A Toer.

Dalam sejarahnya, sastra anak sebenarnya memiliki peran yang cukup penting dalam membentuk watak seseorang yang berimbas pada cara berpikir hingga perilakunya dalam kehidupan dewasanya. Jangan sampai kita mengalami kegalauan dan kerancuan terhadap diri kita sendiri hanya karena kita telah ‘membunuh’ sastra anak sebagai masa lalu kita. Imajinasi anak-anak yang terpasung atau terbunuh adalah sebuah kematian prematur dari kemampuan fantasional, ide-ide dan visi kita pada masa berikutnya; kematian inti dari sebuah kebudayaan.

Pembelajaran sastra pada anak-anak penting dilakukan karena pada usia ini anak mudah menerima karya satra, terlepas itu masuk akal atau tidak. Oleh karena itu anak-anak mudah untuk menerima nilai-nilai kemanusiaan adat istiadat, agama, kebudayaan yang terkandung dalam karya sastra. Sehingga sastra dapat merangsang anak-anak berbuat sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan, adat istiadat agama dan budaya. Selain itu anak-anak akan lebih peka terhadap lingkungan karena dalam dirinya tertanam nilai-nilai kemanusiaan. Melalui karya sastra anak-anak sejak dini bisa melakukan olah rasa, olah batin dan olah budi sehingga secara tidak langsung anak-anak memiliki perilaku dan kebiasaan untuk membedakan sesuatu yang dianggap baik ataupun buruk melalui proses apresiasi dan berkreasi dengan karya sastra.

Burhan Nurgiyantoro (2005) sebenarnya pernah mencatat, bagaimana kontribusi sastra anak dalam perkembangan emosional, intelektual, imajinasi, rasa sosial, rasa etis, serta religiusitas dari seseorang atau sebuah komunitas. Namun, penelitian seperti itu yang begitu minimnya sangatlah tidak memadai untuk mengetahui dari mana sebenarnya gairah penemuan, daya kreatif, perkembangan sebuah bahasa, wawasan multikultural, hingga sebuah nasionalisme itu bersemi. Sastra anak adalah salah satu sumber terpenting untuk kesadaran itu.

Kapan kesadaran ini akan muncul? Ketika dunia imajinasi kita kini hanya dipenuhi oleh materi-materi dan pragmatisme yang membuat visi kita berjangkauan sangat pendek? Apalagi pemerintah sebagai pemeran utama juga hampir tidak menolehkan perhatian dan kebijakan di masalah ini. Apakah harus menunggu kenyataan di mana kita sadar bahwa sumur imajinasi kita yang dahulu tanpa dasar kini telah mendangkal oleh timbunan materi, hedonisme, dan pragmatisme? Bukan kita yang menderita, tapi anaklah yang sensara. Memdidik dengan sastra yang menanamkan moral sejak dini itu merupakan cara  untuk membangun karakter bangsa ini. n

Edi Sarjani, peminat sastra dan bermastautin di Kota Bertuah Pekanbaru

Sumber: Riau Pos, Minggu, 21 Oktober 2012
 

[Jejak] Muhammad Salim, Transliterasi Sureq Galigo

DUNIA kesusastraan Sulawesi Selatan tengah berduka. Muhammad Salim, transliterator atau penerjemah dan penafsir Sureq Galigo atau hikayat Bugis Kuno yang sudah diakui sebagai salah satu karya sastra terpanjang di dunia, meninggal dunia. Salim meninggal dalam usia 74 tahun di kediamannya, Jalan Adipura I Lorong 3C Nomor 31, Makassar, setelah menunaikan Salat Maghrib.

Di mata orang-orang yang terlibat dalam proyek transliterasi dan penerjemahan Sureq Galigo, Salim memiliki dua teladan dalam pekerjaan besar itu. Pertama, beliau orang yang konsisten dalam bidangnya dan kedua, beliau disiplin dalam waktu dan pekerjaan.

Selain sebagai penerjemah, Salim adalah penafsir yang sangat bagus. Sayangnya, hingga saat-saat terakhir, Salim belum memberikan nama murid yang akan meneruskan keahliannya tersebut. Murid yang bisa membaca Sureq Galigo banyak. Tapi sulit menemukan penafsir seperti beliau. Tak aneh jika selama ini para peneliti dari berbagai perguruan tinggi di dalam maupun luar negeri menemui dan belajar kepada Salim.

Salim lahir di Sidenreng Rappang (Sidrap), Sulawesi Selatan, pada 4 Mei 1936. Pengalaman menulis dan menerjemahkan dalam aksara lontarak ke huruf latin terasah sejak Salim duduk di bangku pesantren di Allakuang, Sidrap. Di sana, ia terbiasa menerjemahkan naskah berbahasa Arab ke dalam bahasa Bugis dengan huruf lontarak.

Semasa hidupnya, Salim pernah bekerja sebagai Kepala Dinas Kebudayaan Sidrap, anggota staf Dinas Permuseuman dan Kepurbakalaan, dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin dan peneliti di Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan. Karya yang sudah lahir dari tangannya adalah transliterasi dan terjemahan 12 jilid Sureq Galigo karya Arung Pancana Toa, Lontarak Sidenreng, Lontarak Soppeng/Luwu, Budhistihara, Pappaseng dan Lontarak Enrekang. Naskah yang disebutkan terakhir tengah dikerjakan sebelum Salim berpulang.

Salim juga berperan penting sebagai penasihat teks untuk produksi teater internasional ‘’I La Galigo’’, yang pentas di beberapa negara. Dalam rangkaian acara teater ‘’I La Galigo’’, yang akan pentas di Makassar sebelum kepergiannya, direncanakan Salim berbicara dalam seminar dan memberikan kuliah umum. Sayang, rencana ini tak bisa terwujud. Salim dikebumikan di tanah kelahirannya, Sidrap.

M Salim adalah bukti hidup bahwa penghargaan datang bukan karena gelar dan jabatan, tetapi karena karya berkelanjutan. Hampir sepanjang hidup ia menekuni ‘’lontarak’’, naskah kuno beraksara Bugis-Makassar. Dia menghidupkan dan memaknainya kendati ini kerja sunyi tanpa banyak imbalan.

Lontarak adalah kehidupan Salim. Aktivitas menyalin lontarak ke huruf Latin (transliterasi) lalu menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia (translasi) ibarat menu hariannya. Dalam sehari ia menghabiskan dua hingga tiga jam untuk menyalin lontarak, termasuk Lontarak Enrekang, proyek yang baru dia mulai.

Meski demikian, yang membuat nama Salim diperhitungkan hingga mancanegara tentulah Sureq Galigo. Dia terpilih dalam Proyek Transliterasi dan Terjemahan Sureq Galigo yang digagas Universitas Leiden, Belanda, tahun 1987. Ia mulai bekerja tahun 1988 dan membutuhkan waktu 5 tahun 2 bulan untuk menerjemahkan hikayat penciptaan peradaban manusia di Sulsel itu.

Naskah ‘’I La Galigo’’ di Universitas Leiden memiliki tebal sekitar 6.000 halaman. Arung Pancana Toa-lah yang memberikan naskah ini kepada orang Belanda, BF Matthes. Naskah di Leiden termasuk kisah paling lengkap kendati belum sepenuhnya selesai. Sebenarnya masih banyak lontarak yang terserak dan belum ditemukan.

Tidak mudah menerjemahkan ‘’I La Galigo’’, karya sastra terpanjang yang berabad-abad ‘tertidur’. Salim tak sekadar membaca teks, tetapi juga konteksnya. Galigo merupakan karya sastra yang khas dengan pola pengejaan lima-lima, seperti: i-la-ga-li-go dan sa-we-ri-ga-ding. Melalui pergulatannya, Salim menemukan Sureq Galigo juga menggunakan bahasa Bugis klasik dan Sanskerta, contohnya pada Sangiangserri yang artinya Dewi Padi. ‘’Dalam Sanskerta, dikenal Sang Hyang Sri, yang juga Dewi Padi.’’

Dalam penerjemahan, ia membutuhkan tiga kamus sekaligus, yakni bahasa Bugis-bahasa Belanda lama, bahasa Belanda lama-bahasa Melayu lama, dan bahasa Melayu lama-bahasa Indonesia. Penerjemahan Galigo memang melelahkan. Ruang kerja di rumah panggungnya berupa bilik. Sejak pukul 08.00 hingga 17.00 ia menekuni aksara kuno. Di sebelah meja kerja, ada kasur untuk Salim beristirahat sewaktu-waktu.

Nama Salim ikut mendunia bersama ‘terbangunnya’ I La Galigo. Mata dunia memandangnya seakan dia baru muncul. Padahal, jauh sebelumnya ia sudah tenggelam dalam dunia lontarak. Lahir dan besar di Pangkajene, Sidenreng Rappang, Sulsel, ia terbiasa membaca lontarak.

Pada masa lalu masyarakat menuliskan kisah dalam aksara lontarak. Apa pun bisa diceritakan; ilmu perbintangan, hubungan suami-istri, silsilah keluarga, pantangan, doa-doa, hingga nyanyian. Salim kecil belajar membaca lontarak dari neneknya. Kemampuan ini terasah saat ia masuk pesantren di Allakuang, Sidenreng Rappang (Sidrap). Dia bergurukan KH Muhammad Yafie dan Muhammad Abduh Pabbajah. Murid-murid di sini terbiasa menerjemahkan Al Quran dalam bahasa Arab ke bahasa Bugis. Semuanya ditulis dalam huruf lontarak. (fed)

Sumber: Riau Pos, Minggu, 21 Oktober 2012

Temu Sastrawan MPU kian Merosot

-- Isbedy Stiawan Z.S.
TEMU Sastrawan Mitra Praja Utama (MPU) yang digagas sastrawan dan pegiat sastra di Banten 8 tahun silam, belakangan ini kian merosot, baik kualitas acara atau penyelenggaraan maupun pesertanya.

Banten menggagas event ini berniat agar munculnya dialog tentang pertumbuhan sastra(wan) dari masing-masing provinsi yang tergabung dalam MPU: Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, dan NTT.

Selain itu, berlangsungnya dialog ihwal perkembangan/pertumbuhan kehidupan bersastra serta permasalahannya di 10 provinsi ini. Misalnya, bagaimana saat "berhadapan" dengan pemerintah. Atau bagaimana pandangan pemerintah pada seniman.

Dari gagasan ini, digelar Temu Sastrawan MPU. Lalu dijabarkan di Bali dengan sangat apik, serta "dipatenkan" di Jawa Barat. Inilah masa ideal dari event Disbudpar se-MPU.

Banten mengawali kegiatan ini sebagai milik sastrawan yang difasilitasi pemerintah, lalu dicoba di Bali dan dilanjutkan di Jawa Barat. Ternyata berhasil, meskipun tarik-menarik "kepentingan" masih terjadi.

Tarik-menarik yang saya maksud adalah satu sisi satrawan ingin event ini murni sebagai panggung ekspresi, sementara bilah lain dari pemerintah bagaimana kegiatan ini mesti sepenuhnya ditangani sendiri: dari penguasaan-pengeluaran anggaran, pemilihan sastrawan, sampai menyusun tema dan merancang penampilan.

Akibat dari cara itu, Temu Sastra MPU sejak Jawa Tengah mulai berubah. Lalu di Jawa Timur, event ini benar-benar milik Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, dan sastrawan seakan menjadi pengantin/penggembira.

Lebih parah lagi, peran sastrawan lebih sedikit dibanding kuantitas dari pihak pemerintah. Terutama, apabila event tandang, kadang sastrawan hanya seorang dan dari birokrat bisa lebih empat orang. Tegasnya, birokrat justru menguasai event ini.

Pada akhirnya, pertemuan ini menjadi kendaraan pesiar bagi sebagian birokrat, sementara sastrawan adalah alat dari kendaraan tersebut. Sungguh menyedihkan: maksud hati menabur dan menyuburkan kehidupan bersastra, silaturahmi antarsastrawan, tetapi ?salah asuh? oleh tangan yang salah.

Tampaknya Temu Sastrawan MPU yang sudah berjalan ketujuh kalinya ini, semakin merosot, baik dari penyelenggaraan sampai penyampaian materi (performance art) para penampil. Tidak bisa dipungkiri, banyak penampil yang belum paham ruang dan suasana pangggung. Hal ini disebabkan karena bukan ?ahlinya? melainkan pemilihan peserta yang asal comot.

Menyedihkan, misalnya saat Temu Sastrawan MPU VII di Yogyakarta yang berlangsung 15?17 Oktober 2012, di Hotel Brongto, tidak satu pun sastrawan Yogyakarta dilibatkan. Tengoklah bunga rampai yang diterbitkan dengan pencetakan lumayan bagus, tak ada sastrawan semisal Raudal Tanjung Banua, Joko Pinurbo, Mustofa W. Hasyim, Boedi Ismanto S.A., Iman Budi Santosa, Sunlie Thomas Alexander, Mahwi Tawar, Indrian Koto, Komang Ira, Dyah Merta, dan banyak lagi.

Begitu pula dari Jawa Tengah, tanpa hadirnya Triyanto Triwikromo, Wijhan Warekh, Sosiawan Leak, dan sebagainya. Masih baik dari Jawa Timur: ada Tjahyono Widarmanto. Begitu pula DKI Jakarta, selain Zeffry Alkatiri, Chairil Gibran Ramadhan, Ahmadun Yosi Herfanda, dan Sihar Ramses Simatupang, munculnya Masyarakat Sastra Jakarta benar-benar menyita waktu penampilan dari tim yang selalu membawa ?pasukan? terbanyak ini.

Pada putaran ketujuh ini juga, tanpa kehadiran tiga provinsi: Bali, NTB, dan NTB semakin kuat indikasi bahwa Temu Sastrawan MPU ini sudah pantas dihabiskan saja. Ini memang pilihan paling ekstrem. Kecuali pada pergelaran- pergelaran berikutnya, format acara dan undangan peserta yang akan hadir mesti diperbaiki kembali.

Sebab, acara ini adalah pertemuan sastrawan, sastrawan di sini adalah individu. Jadi bukan kelompok atau grup yang untuk penampilan pun harus bersama-sama di panggung. Akibat format seperti ini, sastra akhirnya dimusikalisasikan ataupun diteaterikalkan.

Ke depannya, penampilan sastrawan di panggung Temu Sastrawan MPU ini kembalikan kepada asalnya. Biarkan sastrawan hadir sebagai individu dengan kekuatannya masing-masing. Biarkan karya sastra menemui publiknya melalui hantaran sang sastrawannya.

Kemudian kalau dari pertemuan ini menghendaki sastra dapat dinikmati atau dibaca di kalangan lebih luas?semisal pelajar atau mahasiswa?maka semestinya pihak tuan rumah sudah jauh-jauh hari mengabarkan di media-media. Ataupun sebarkan undangan ke sekolah maupun kampus.

Jangan menyembunyikan kegiatan ini dari publik, sekiranya dari penyelenggaraan ini kita berniat memasyarakatkan sastra, ?menularkan? kehendak menjadi sastrawan kepada masyarakat umum dalam hal ini pelajar dan mahasiswa. Inilah yang terjadi di Yogyakarta, alih-alih sastrawan bahkan kalangan media pun tidak menahu ada kegiatan ini.

Sungguh ironi bukan? Kita selalu menuding bahwa pembaca sastra minim, tak ada orang yang menyukai membaca sastra. Tetapi, kita tak pernah melakukan publikasi atas peristiwa sastra. Karena yang menyelenggarakan ini adalah pemerintah, mestinya mereka yang menyebarkan informasi ini baik lewat selebaran, baliho, spanduk, dan berita di media cetak/elektronik.

Sayang kalau kegiatan ini hanya dari dan untuk sastrawan. Saya melihat ini yang terjadi dalam beberapa event Temu Sastrawan MPU. Sastrawan yang bicara, ditanggapi oleh sastrawan lagi. Sastrawan yang tampil di panggung, ditonton oleh sastrawan lainnya. Laiknya beronani: perkawinan inses.

Lalu, soal nama kegiatan. Seingat saya di Banten sebagai penyelanggara perdana, kegiatan ini tanpa ada kata ?nusantara? di tengah-tengah Temu Sastrawan MPU. Begitu pula di Bali dan Jawa Barat. Tetapi begitu masuk Jawa Tengah sebagai penyelenggara mulai ada tambahan ?nusantara? sehingga berbunyi Temu Sastrawan Nusantara MPU. Entah di Jawa Timur, tapi di Lampung dalam berbagai pemberitaan telah dihilangkan. Dan muncul lagi di Yogyakarta.

Benar jika pertanyaan aneh dari peserta, ihwal kata nusantara. Nusantara berarti dari Sabang-Merauke, bahkan negara jiran, seperti Malaysia, Singapura (yang Melayu), Brunei, dan Thailand (yang Melayu) acap menggunakan Nusantara untuk beberapa acara sastra.

Beberapa kegiatan sastra yang menggunakan nusantara, seperti Pertemuan Sastrawan Nusantara (PSN) yang diikuti Indonesia, Malaysia, Brunei, Singapura, dan Thailand (yang melayu). Lalu Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) yang melibatkan Indonesia, Malaysia, Brunei, Singapura, dan Thailand (melayu). Satu lagi yang digelontorkan oleh sastrawan Malaysia, yakni Pertemuan Sastrawan Nusantara Melayu Raya (Numera).

Apakah Mitra Praja Utama (MPU) yang hanya melibatkan 10 provinsi?Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, dan NTT?layak disebut Nusantara. Apatah lagi ada pertanyaan ngelantur MPU itu apa dan kenapa hanya tidak lebih dari 10 provinsi yang mengikuti kegiatan ini?

Dia lupa, MPU adalah suatu wadah yang diinisiasi para gubernur di 10 provinsi ini, untuk bekerja sama dalam bidang ekonomi, sosial, pembangunan, pariwisata, kebudayaan, dan sebagainya.

Oleh sebab itu, pada pergelaran tahun depan nama ini pertama-tama mesti dipertegas. Kemudian jumlah sastrawan yang diundang, apakah masih 5 orang setiap provinsi dan 1 (atau 2) dari birokrat. Sehingga setiap kontingen berjumlah 7 orang. Selama ini terbalik: sastrawannya cukup 2 orang, sementara dari birokrat adalah 5 orang atau 3 sastrawan 4 birokrat, bahkan Provinsi Lampung tahun ini mengirim 2 sastrawan, tapi birokratnya 3 orang; 2 sastrawan lagi ditanggung oleh Dewan Kesenian Lampung (DKL).

Sialnya beberapa acara ini, saya hanya berangkat seorang dan didanai oleh DKL?bukan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Lampung. Sampai pada Temu Sastrawan MPU di Jawa Timur yang mengirim seorang Alexander G.B., dan 2 orang dari birokrat.

Ini boleh jadi terjadi juga dengan provinsi lain. Malah lebih memprihatinkan, event di Yogyakarta kali ini tanpa 3 provinsi: Bali, NTB, dan NTT.

Semoga Temu Sastrawan MPU berikutnya, dapat dikembalikan ke format yang lebih ideal. Akhir kata, ?kembalikan Temu Sastrawan MPU kepada sastrawan!? untuk memelesetkan ?kembalikan Indonesia kepadaku!? Tabik.

Isbedy Stiawan Z.S., sastrawan

Sumber: Lampung Post, Minggu, 21 Oktober 2012

[Buku] Perempuan Jelita di Balik Kejayaan Majapahit

Data buku

Gayatri Rajapatni: Perempuan di Balik Kejayaan Majapahit

Earl Drake

Ombak, Yogyakarta, 2012

xx + 192 hlm.


IMPERIUM Majapahit memiliki sejarah yang membanggakan?yang tidak saja terdiri dari warisan gemilang yang diturunkan kepada Indonesia modern, tetapi juga drama dan kontroversi?yang sulit dipahami tanpa memeriksa keterlibatan dan peran para tokoh utamanya. Tujuan buku Gayatri Rajapatni. Perempuan di Balik Kejayaan Majapahit ini adalah menjelaskan siapa saja orang-orang ini, apa motivasi mereka, bagaimana mereka saling berinteraksi, dan apa yang mereka capai. Kisah ini dituturkan dari sudut pandang lima tokoh yang dimunculkan secara krononogis; Putri Gayatri Rajapatni; suaminya, Raden Wijaya; mahapatihnya, Gadjah Mada; putri sulungnya, Ratu Tribuwana; dan sang cucu, Raja Hayam Wuruk.

Cakupan periodenya terentang dari 1289 (ketika ancaman kerajaan Mongol mendorong orang-orang Jawa menyatukan negeri-negeri di kepulauan Indonesia yang serba terserak) sampai 1365 (ketika kejayaan Majapahit diabadikan dalam syair agung Nagarakrtagama).

Gayatri adalah putri bungsu Kertanagara, sang raja agung dari Singasari. Begitu lahir, sang putri sudah diberi gelar Dyah Dewi Gayatri Kumara Rajassa. Namun, semaca kecilnya ia memilih dipanggil Gayatri saja karena baginya gelar tidak berarti apa-apa. Baru ketika dewasa ia memandang pentingnya gelar ?Rajapatni? (istri raja) yang diberikan suaminya sang raja kepadanya (hal 2).

Buku ini menuturkan kisah Majapahit dari sudut pandang Gayatri, sosok di istana yang mengenal dan membimbing nyaris seluruh sejawat laki-laki pada zamannya, termasuk Mahapatih Gadjah Mada yang gesit dan berkehendak kuat. Earl Drake, sejarawan mantan Duta Besar Kanada di Indonesia percaya bahwa semasa hidupnya yang panjang itu, Gayatri?yang awalnya terilhami oleh sosok sang ayah yang bervisi besar, mengalami kesusahan lantaran ritual-ritual esoterik, dihantam serbuan negeri seberang, tertangkap tentara musuh, terlibat hubungan asmara dengan iparnya, serta intrik-intrik dan pembunuhan dalam istana?menunjukkan keberanian yang teguh dan kesetiaan kepada prinsip-prinsip yang dijunjungnya, kecerdasan luar biasa, dan kepribadian penuh kasing sayang. Bertindak dalam lingkaran keraton yang didominasi laki-laki, dengan cerdik dan licinnya ia mendorong para lelaki yang berkuasa itu agar melaksanakan visi-visi religius dan politik ayahnya yang jadi martir itu, mendiang suaminya, dan dirinya sendiri, serta menyatukan pulau-pulau seantero Indonesia yang saling terpisah.

Kisah ini dituturkan dalam bentuk novel sejarah yang dilengkapi dokumen dan keterangan tambahan tempat sumber-sumber kesusastraan klasik sering dicantumkan. Dengan menggunakan format penulisan ini, cerita dan sumber-sumber kunonya yang tak dikenal dapat akses oleh pembaca awam.

Periode pertama mengetengahkan peranan penting Gayatri dari 1289, ketika pertama kali sang ayah menyatukan Nusantara, sampai ke pemerintahan sang suami, menantu, dan putrinya, yang semuanya penuh peristiwa penting hingga kematiannya pada usia 76 tahun (1350). Adapun periode kedua, memakai sudut pandang sang putri, Ratu Tribuwana, untuk menyaksikan warisan sang ibunda serta bagaimana putranya, Raja Hayam Wuruk, membangun kerajaan hingga puncak kejayaannya dengan bermodalkan warisan keluarga. Cerita berakhir pada 1365 ketika Prapanca merampungkan mahakaryanya, syair-syair pujaan terhadap dinasti Gayatri, hanya beberapa saat sebelum dinasti tersebut menemui senjakalanya.

Buku ini mengemukakan sejumlah alasan untuk mengagumi Gayatri sebagai pemimpin yang berani dan bijak, yang meningkatkan pemahaman keagamaan lintas-iman, mendorong perkembangan kesenian, dan merintis sebuah peranan yang lebih bermakna bagi perempuan.

Pada akhirnya, Gayatri adalah sosok paling menarik dalam sejarah Indonesia klasik. Dengan kisah tentang Gayatri ini tersua kabar bahwa Majapahit tidak hanya dibangun oleh tokoh laki-laki, tapi juga pahlawan perempuan bernama, Gayatri Rajapatni.

Benni Setiawan, blogger buku

Sumber: Lampung Post, Minggu, 21 Oktober 2012

Saturday, October 20, 2012

Mengenang Sides Sudyarto DS (1942-2012)

-- Donny Anggoro

Sides terserap pada Rayakultura juga di Lesbumi yang merupakan wadah seniman NU.

Sides Sudyarto DS (dok/ist)

PUKUL 12 siang, penyair Shinta Miranda meneleponku. Mas Sides wafat, katanya. Aku tersentak. Segera kutanya beberapa kawan yang mungkin tahu dengan tepat alamatnya untuk melayat. Dapat. Aku bersiap.

Tapi aku teringat sedang mengawasi para tukang bangunan yang sebentar lagi sedang menyelesaikan renovasi rumahku. Tak jadi melayat, seperti kaset rekaman yang diputar kembali, pikiranku terkenang pada pertemuan bersama Sudiharto, nama asli Sides dalam diskusi “Meja Budaya“ di PDS HB Jassin TIM tiap Jumat sore.

Dari Shinta aku mendapat info pemakaman Sides tak banyak dikunjungi kawan sastrawan yang sempat datang, karena seperti aku tengah terjebak tugas masing-masing yang tak bisa ditinggal di tempat jauh. Yang kudengar, sahabat yang sempat datang Ahmadun Y Herfanda, Shinta Miranda, dan Naning Pranoto, rekan terdekat Sides yang selama enam tahun terakhir bersama menggerakkan komunitas Rayakultura.

Di media massa pemberitaan perihal kepergian Sides juga sepi. Kalau ada hanya tiga media online yang menulis, itu pun terlalu singkat tanpa menjelaskan sebab kepergiannya. Aku mendapat info Sides yang kukenal humoris sempat dirawat di rumah sakit karena paru-parunya terganggu.

Setelah pulih ia masih sempat ke sana-kemari mengadakan pertemuan sambil membagikan buku terbarunya, Kritik atas Puisi-Puisi Indonesia yang diterbitkan terbatas oleh Rayakultura. 9 Oktober, subuh, jantung penyair kelahiran Banjaranyar, Tegal, 14 Juli 1942 melemah dan ia pergi menghadap Sang Pencipta.

***

Aku mengenal Sides pertama kali pada tahun 2005 tatkala diajak bergabung ke “Mata Bambu” komunitas sastra yang beranggotakan Manaek Sinaga, Arie MP Tamba, Maroeli Simbolon, dan Henny Purnamasari. Ketika aktivitas “Mata Bambu” menyurut, kami masih sering bertemu di PDS HB Jassin menggiatkan gelaran diskusi “Meja Budaya” tiap Jumat bersama Martin Aleida, Endo Senggono, dan lainnya.

Tahun 2008 sampai pertengahan 2012 aku sudah jarang bertemu, terutama ketika aktivitas “Meja Budaya” mulai meredup. Di tengah kondisi fisiknya yang menyurut, Sides terserap pada Rayakultura juga di Lesbumi yang merupakan wadah seniman NU.

Sebagai penulis senior yang sudah berkiprah sejak 1970-an dengan menulis sajak, novelet, dan cerpen di berbagai media massa antara lain Sastra, Horison, Budaya Jaya, Ulumul Quran, Suara Pembaruan, Sinar Harapan dan Republika, Sides tak terlalu banyak menerbitkan karya tunggal.

Buku puisinya Sajak Tiang Gantungan (IndonesiaTera) malah terbit sekitar tahun 2003 dengan rentang yang sangat jauh dengan bukunya Kebatinan yang terbit di era 1980-an. Disusul kumpulan cerpen Salat Lebaran di Kamp Konsentrasi (Serambi, 2006) dan sebuah buku kiat menulis novel yang diterbitkan Yayasan Obor Indonesia pada 2009.

Enam tahun terakhir ia mendirikan Rayakultura bersama Naning Pranoto, karyanya mengalir deras walau diterbitkan terbatas, seperti Penyair dan Pemikir (Puisi dan Filsafat), Manusia dan Bahasa, Universitas dan Revolusi dan terakhir Kritik atas Puisi Puisi Indonesia.

Di sini ia giat menggelar lomba penulisan cerpen remaja dan seminar penulisan kreatif, selain sempat menerbitkan tabloid gratis pendidikan yang berumur pendek. Belum buku yang katanya masih dalam proses seperti tentang sastra Amerika Latin yang sampai kini belum sempat terbit. Esai lainnya ia publikasikan di laman internet Rayakultura.

Walau sampai kini kerap diembuskan banyak sastrawan terkemuka di pelbagai diskusi bahwa sastra Indonesia sedang krisis kritik, Sides seolah membantah dengan elegan, yaitu menerbitkan banyak buku kritik sehingga menguatkan dugaan bahwa asumsi sastrawan kita sendiri perihal minimnya kritik sastra sebenarnya akibat tak saling mengenal, sibuk dengan dunianya sendiri sehingga “malas” mengamati kondisi sastra di sekitarnya.

Dalam diskusi “Meja Budaya” ia pernah berujar, “Kritik harus ada karena masalah perbedaan pengalaman. Jika hendak dicari mengapa sastra kita jalan di tempat sebenarnya akibat ketiadaan kritik sastra. Anggapan bahwa kritik sastra adalah parasit karya kreatif sangat naif, padahal mereka lupa sebenarnya ada kritikus pertama bagi karya sastra, yaitu penulisnya sendiri.”

Perkataannya itu kemudian ia tuliskan kembali di pengantar buku terakhirnya Kritik atas Puisi Indonesia, sebuah buku tipis yang mengulas puisi penyair terkemuka seperti Rendra, Sitor Situmorang, Goenawan Mohamad, Ahmadun Y Herfanda, Chairil Anwar, sampai penyair yang nyaris jarang dibicarakan macam Armaya, Anas Ma’roef, Dharmadi, Elanda Rosi, dan Klara Akustia.

Di buku ini kritiknya begitu selektif dan tak ambisius bak “ensiklopedi sastra” ala Korrie Layun Rampan yang menurutku terlalu banyak membicarakan nama daripada karya di buku Angkatan Sastra 2000 sehingga buku itu menurutku gagal total sebagai telaah persis ujaran yang bergaung di seni musik, “the singer not the song”. Ya, kita akhirnya lebih mampu mengingat nama sastrawan daripada karya.

Ciri khas buku kritiknya selain analisis, cenderung fokus pada satu persoalan, tak berusaha mengumpulkan terlalu banyak hal, bak ujaran Remy Sylado di buku 123 Ayat Seni, Sides memahami menulis sebagai misi kenabian yaitu pewarta sekaligus sikap hidup sehingga ia sendiri tak jadi “manusia tanggung”, yaitu menulis semata untuk uang.

Sides yang juga menyukai wayang, sadar karyanya cenderung ditolak penerbit arus utama, seperti puisi dan esai kritik. Ia pernah berkata padaku dengan optimistis jika karya itu sudah selesai tulis, anggap sajalah sudah terbit.

Bertahun lalu ia pernah bertandang ke PDS HB Jassin sambil membawa manuskrip novelnya setebal 1.000 halaman! Dedikasi Sides di dunia sastra sangat tinggi karena selain tetap menulis karya kreatif, buku esainya seolah mengingatkan kembali pentingnya kritik sastra.

Walau pengalamannya di media massa cukup banyak, antara lain pernah jadi reporter seni budaya dan politik internasional di Kompas dan redaktur majalah anak, Bobo sosok Sides bak tokoh mini dalam sastra kita: ia dikenal, tapi banyak juga yang belum mengenalnya.

Ini mungkin disebabkan dirinya yang tak masuk poros komunitas budaya arus utama macam Salihara (d/h TUK) atau Bentara Kompas, di samping karyanya belakangan tak ia publikasi di media cetak arus utama. Ketika banyak sastrawan lainnya seperti komentar Budi Darma cenderung jadi “politikus ambisius” dengan terlalu sering “berkampanye” menguatkan diri sebagai “sastrawan”, sibuk ingin masuk atau “mencela” poros komunitas budaya tertentu, sosok Sides seolah menguatkan falsafah Mo Yan peraih Nobel Sastra kali ini yaitu “tugas penulis, ya, menulis”.

Selamat jalan, Sides.

Tangerang Selatan, Oktober 2012.

Donny Anggoro
, anggota Lembaga Bhinneka, Surabaya.

Sumber: Sinar Harapan, Sabtu, 20 Oktober 2012

Sastra Hijau dan Eksistensi Bumi

-- Naning Pranoto

BUMI terancam kehancuran yang luar biasa. Ancaman kehancuran timbul akibat ulah manusia yang mengeksplorasi bumi tanpa perhitungan hingga menghancurkan lingkungan hidup yang sudah melebihi batas toleransi. Eksplorasi bumi dengan berbagai motif ekonomi sulit dikendalikan karena dilakukan oleh pihak-pihak yang kuat dan berkuasa di dunia. Keadaan seperti itu tidak bisa dibiarkan. Bagaimanapun, bumi yang hanya satu itu harus diselamatkan. Sebab kehancuran bumi berarti kehancuran seluruh warga dunia. Umat manusia belum terlambat untuk menyelamatkan bumi, di mana kita semua berada dan hidup di dalamnya.

    Tentu tidak mudah, sebab memang tidak ringan perjuangan untuk menyelamatkan bumi kita. Kita masih berhak untuk memiliki optimisme, sebab di dunia ini, di berbagai negara, masih banyak warga bumi yang memiliki kesadaran untuk berpartisipasi dalam gerakan penyelamatan bola dunian yang sangat kita cintai ini. Sudah tiba waktunya bagi setiap warga dunia, baik selaku individu ataupun lembaga (instituasi) bergerak, bekerja secara serius dan efektif, sesuai dengan kapasitas dan potensinya masing-masing.

    Langkah-langkah nyata, mulai dari gerak preventif hingga kuratif perlu secera dilancarkan secara saksama dan berkesinambungan. Satu di antara langkah nyata itu adalah gerakan penyadaran (conscientization), sejak aksi lokal, nasional, regional hingga bertaraf global.

    Salah satu upaya penyelamatan melalui proses penyadaran bisa dilancarkan melalui gerakan budaya (cultural) terutama dengan memanfaatkan kekuatan sastra. Kelebihan dan keunggulan sastra, ia memiliki potensi yang ampuh dalam menyadarkan hati nurani manusia sejagat, tanpa harus bernada menggurui atau propaganda yang terlalu bombastis. Sehububungan dengan pemikiran itulah, kami sosialisaikan Gerakan Sastra Hijau.

    Yakni, sastra yang menawarkan inspirasi dan ajakan untuk menyelamatkan bumi. Antara lain menjaga kehijauan lingkungan secara berkesinambungan, khususnya terhadap hutan tropis kita, berikut melestarikan cadangan air tanah. Selain itu juga merawat dan mengembangkan kehijauan desa, kota, pulau-pulau dan semua benua yang ada di dunia. Sastra Hijau telah menjadi gerakan sastra di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Australia, Jepang, Cina dan beberapa negara di Eropa seperti Swedia, Swiss, Inggris, Belanda dan Jerman. Di Indonesia gerakan Sastra Hijau masih sangat minim, oleh karena itu perlu digerakkan. Sastra Australia, khususnya puisi, telah menyajikan Sastra Hijau sejak awal Abad 19 yang mereka sebut Era Sastra Kolonial. Puisi mereka dikenal pula dengan sebutan bush poetry dan penyairnya disebut bush poet. Kata bush jika diterjemahkan secara harafiah adalah semak-semak. Dalam kenyataannya bush adalah hutan ringan khas Australia yang ditumbuhi aneka cemara, aneka gum, tanaman obat dan bunga serta aneka ilalang dialiri sungai-bunga berair bening. Bush selain dihuni bushman, juga sebagai arena jelajah alam dan berkemah bagi warga Australia yang umumnya pemuja alam.

    Bush poetry dipelopori oleh Henry Lawson (1896 1922), Banjo Paterson (1864-1941) dan Dorothea Mackellar (1885-1968). Puisi-puisi karya ketiga penyair ini dijadikan bacaan wajib bagi pelajar tingkat dasar hingga pendidikan atas di Negeri Kanguru. Juga digubah menjadi lagu. Bahkan puisi karya Banjo Paterson yang berjudul Walzting Matilda menjadi lagu rakyat yang sangat populer. Bahkan dianggap sebagai lagu kebangsaan tak resmi dan dijadikan ilustrasi musik beberapa film Australia, hingga membuat lagu ini mendunia.

    Gerakan Sastra Hijau di Amerika Serikat ditandai dengan terbitnya novel-novel yang menyuarakan alam. Pelopornya William Faulkner (1897-1962), sastrawan agung yang mengaku dirinya hanya sebagai petani yang gemar menulis. Padahal ia diakui dunia sebagai mahaguru bagi banyak sastrawan di muka bumi ini. Dalam novelnya yang berjudul Big Woods, ia mengecam keserakahan manusia dalam mengendalikan dan mengubah alam. Novel yang ditulisnya tahun 30-an kini dianggap menjadi pencerah era kelam perusakan alam.

    Salah seorang sastrawati yang menjadikan senafas dengan Faulkner antara lain Annie Dillard. Ia pun tampil dengan novel-novel genre sastra hijau. Antara lain, novelnya yang berjudul The Living jadi national best-seller, bercerita tentang keindahan dan kesuburan bumi. Tapi, juga menyajikan pandangan yang realistis tentang penderitaan lahan pertanian. Sastrawati pemenang Pulitzer Prize kelahiran 30 April 1945 ini, adalah dosen bahasa Inggris di Universitas Wesleyan, juga menulis puisi, esai dan melukis. Semua karyanya berisikan misi hijau untuk menyelamatkan Planet Bumi.

    Amerika Serikat juga punya penyair agung yang diakui sebagai pelopor puisi hijau yang menyuarakan alam. Dialah Emily Dickinson (1830-1886), perempuan lembut berpena "api" dalam mengecam para perusak alam. Sejak ia menggoreskan penanya untuk menulis puisi dalam usia pra-remaja, Emily telah menunjukkan bahwa dirinya adalah sahabat alam, kembaran bumi yang bernafas aroma flora melagukan kidung burung-burung dan kupu-kupu.

    Baginya, Tuhan sebagai Sang Pencipta merupakan sumber kekuatan dan telaga inspirasi untuk berkarya. Di Inggris, gerakan Sastra Hijau digebrak oleh Brian Clarke, seorang wartawan yang dikenal suka memancing perdebatan seputar isu tentang pencemaran lingkungan . Ia pun menulis novel berjudul The Stream, mendapat penghargaan Natural World Book Prize Britain. Alur novel tidak sangat lugas, menyajikan tentang kisah pilu dan ngenes dampak dari limbah-limbah industri yang mencemari sungai-sungai pengair lahan pertanian. Betapa kejamnya limbah industri.

    Ia tidak hanya merusak lahan pertanian dan tanamannya, tapi juga memunahkan aneka ikan, cacing penyubur tanah, burung-burung pemakan hama padi dan kawanan serangga indah penghias alam. Artinya, juga siap memusnahkan manusia. Novel The Stream benar-benar menantang kita untuk berupaya mengubah limbah industri yang ganas dan kejam menjadi limbah yang ramah lingkungan.

    Tapi, bagaimana caranya? Jawabannya: Sastra Hijau harus terus bergerak dan berkembang di seluruh muka bumi, ditulis oleh pena-pena yang punya nurani menyelamatkan eksistensi bumi. Mari, kita mulai menulis puisi atau fiksi hijau, dengan sepenuh hati!

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 20 Oktober 2012

Friday, October 19, 2012

Media Massa, Berbangsa, dan Spirit Kebudayaan

-- Sihar Ramses Siamtupang


SENI dan kebudayaan di Indonesia belum diimbangi dengan ruang di media massa.

"Mereaktualisasi, merevitalisasi rubrik kebudayaan agar rubrik kebudayaan yang sudah ada lebih menarik, bergizi, dan berkualitas, agar bisa turut mengawal tegaknya kebudayaan Indonesia di tengah perkembangan zaman yang mengglobal."

Barisan kalimat di atas adalah keputusan yang mengemuka dalam forum Temu Redaktur Kebudayaan Se-Indonesia 2012, di Jakarta, tanggal 9-11 Oktober 2012 yang diikuti oleh utusan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang dan para redaktur kebudayaan dari 33 cabang di 32 provinsi.

Para peserta berhasil membeberkan persoalan antara lain halaman yang memadai untuk media massa, dari yang memiliki halaman budaya, peristiwa kebudayaan yang hanya mendapat porsi kecil di koran atau pun majalah, hingga yang mampu mengisi halaman utama, misalnya dimuat di halaman satu koran harian.

Problem seni dan kebudayaan di Indonesia hingga sekarang nyatanya belum diimbangi dengan keberadaan dan ruang di media massa, baik media cetak maupun elektronik.

Padahal, peristiwa kebudayaan semisal adat istiadat, tradisi, ranah kearifan lokal dalam arti luas, serta peristiwa kebudayaan dalam artian kesenian berbagai dimensi dan genre seperti tari, seni rupa, kesusastraan dan beragam genre seni rupa kontemporer lainnya, memerlukan media untuk disampaikan ke masyarakat.

Perspektif insan pers terhadap peristiwa kebudayaan, termasuk "mengakalinya", menjadi penting dihadirkan di tengah gelanggang arena politik, sosial, hingga kemanusiaan dan kebangsaan yang aktual.

Peristiwa orasi kebudayaan, pementasan teater, peluncuran puisi, kerap kali berhubungan dengan kondisi aktual yang ada di masyarakat. Hal yang menarik adalah bahwa banyak kearifan tema dari teks-teks kesenian masih berguna untuk tema aktual kebangsaan dari masalah hak asasi manusia, antikorupsi, bahkan memerangi kemiskinan.

Sekadar menyebutkan peristiwa kesenian yang masih aktual, pementasan Teater Syahid di Gedung Kesenian Jakarta memberikan perspektif lain untuk isu di masyarakat luas. Sinar Harapan pada tulisan terbitan tanggal 5 Oktober, misalnya, mengangkat judul "Cerita Para Nelayan" yang 'kalah'.

Nusantara yang katanya kaya hasil alam nyatanya tak dirasakan manfaatnya oleh nelayan. Hidup mereka tergambarkan miskin. Nelayan-nelayan tradisional beberapa minggu tidak bisa melaut akibat ketiadaan solar dan cuaca yang buruk—sebuah potret realitas nelayan Indonesia yang dihadirkan dalam panggung teater.

Dalam dimensi yang lebih luas, sebagaimana yang diungkapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M Nuh dalam orasi pembukanya, tren peradaban ada tiga skenario, yaitu pertempuran peradaban, benturan peradaban sebagaimana dinyatakan oleh Samuel Huntington dalam teorinya Clash of Civilizations, dan terakhir adalah converse peradaban, seperti spektrum cahaya warna pelangi (warna merah-jingga-kuning-hijau-biru-nila-ungu) yang bila digabungkan justru akan menghasilkan warna cahaya putih. Kebudayaan dunia memberikan spektrum kepada kebudayaan lokal di belahan bumi.

Menangkap fenomena dan visi kebudayaan lokal, media massa juga memegang peranan penting di tengah arus global. Menyuarakannya, menyosialisasikannya, dan memublikasikannya ke masyarakat luas. Dengan demikian, kehadiran seorang Rasinah atau komunitas bissu di Sulawesi Selatan, dapat hadir tak hanya di Taman Ismail Marzuki tapi juga di dunia.

Bahkan "Sureq Galigo" atau "La Galigo" kembali aktual, dari sebuah kitab dari masyarakat di wilayah Sulawesi Selatan kuno.

Bukan hanya sebatas dipentaskan oleh sutradara Amerika Robert Wilson, diadaptasi oleh Rhoda Grauer, tapi juga memberikan narasi baru tentang sebuah sumbangan kosmologi lain dari masyarakat tradisi yang dibeberkan oleh media massa.

Acara yang diprakarsai oleh kerja sama Kemendikbud dan PWI Pusat ini, selain memprogramkan peningkatan kualitas wartawan kebudayaan, juga mengusahakan adanya sekolah jurnalisme kebudayaan.

Salah satu poin rekomendasi pertemuan lainnya adalah memberikan arahan tentang sikap media massa, bahwa "Sikap membabi buta dan silau terhadap kebudayaan asing di sembarang tempat dan waktu, hanya akan menjadikan masyarakat Indonesia kehilangan martabat kebudayaannya. Mencintai kebudayaan Indonesia dengan cara mengamalkan nilai-nilai kegunaan dan nilai-nilai luhurnya secara rasional merupakan cara kita menyelamatkan Tanah Air Indonesia dan seisinya."

Simbol dan Definisi Seni

Sebagaimana dikatakan salah satu penyaji dalam acara ini, budayawan Radhar Panca Dahana tentang apa yang dilakukan para pelaku seni dan kebudayaan adalah usaha membongkar dan memperbarui simbol.

Lebih jauh dia ungkapkan bahwa kehidupan manusia sebagai homo ludens dan homo faber (makhluk bermain dan makhluk berkarya) adalah usaha memperjuangkan simbol. Simbol-simbol inilah yang menyatukan komunitas manusia dalam identitas kebangsaan, lebih jauh identitas kesukuan, bahkan identitas dalam bentuk lagu, bendera, bahkan dasar negara.

Di konteks lain, Temu Redaktur Kebudayaan ini mendapat sumbangan dari kehadiran budayawan Goenawan Mohamad yang menawarkan pembebasan definisi kesenian. Seni, sebagaimana yang dianut di periode romantisme, kerap dikaitkan dengan dulce et utile - pendapat Horace.

Anggapan itu dibebaskan atau dibongkar, salah satunya oleh Marchel Duchamp yang berasal dari Prancis dan penggerak aliran dadais, juga pergerakan surealisme yang menghasilkan karya “Fountain” (atau "Air Mancur" berupa media urinoir berbubuh tanda tangannya.

Karya yang mulanya ditolak dalam sebuah kurasi pameran itu, kemudian menjadi salah satu tawaran lain tentang medium seni yang dapat dipungut dari berbagai objek untuk sebuah permaknaan kesenian.

Sumber: Sinar Harapan, Jumat, 19 Oktober 2012