-- Ahan Syahrul Arifin
BERTEPATAN dengan peringatan Hari Pahlawan 10 November 2011, pada akhirnya Presiden ke-2 Republik Indonesia Mr. Sjafruddin Prawiranegara ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Ketetapan yang diperoleh dari proses panjang nan berliku untuk orang yang jasa dan pengabdianya begitu besar bagi eksistensi NKRI. Utamanya, karena keberaniaan dan inisiatifnya mengambil langkah jitu menyelamatkan republik melalui pembentukan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) pada saat hampir seluruh pimpinan negara berhasil ditawan Belanda dan Sekutu di Yogyakarta.
Akan tetapi, keterlibatannya dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang dikategorikan tindakan makar membuat peranannya yang besar di awal-awal kemerdekaan baru diakui sekarang.
Dalam tulisan ini, penulis bermaksud mengenang kiprah Mr. Sjaf dalam meletakkan fondasi dasar perekonomian Indonesia. Sebab, selama ini stigma kita selalu mengarah pada Hatta yang dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia dan kita juga sering menunjuk jari pada sang begawan ekonomi Soemitro Djojohadikoesoemo atau Widjojo Nitisastro sang penasihat ekonomi Orde Baru sebagai peletak dasar arsitektur pembangunan ekonomi Indonesia.
Tanpa mengurangi sedikitpun pengaruh dan pencapaian ketiga tokoh di atas dalam menata perekonomian Indonesia, cakrawala pandangan tersebut perlu sedikit kita geser untuk melihat kiprah dan pemikiran Mr. Sjafruddin Prawiranegara. Hal ini berkenaan dengan beberapa buah pikiran ekonomi Mr. Sjaf yang sangat visioner berpihak pada kemakmuran, berorientasi pada pembangunan manusia, dan tentunya lebih taktis dan praktis. Dawam Rahardjo menyebutnya lebih pragmatis.
Hal ini dikarenakan posisinya sebagai seorang teknokrat yang harus lebih realistis dan mampu mengurai konsepsi pemikiran dalam bentuk kebijakan yang menyejahterakan masyarakat. Dari pengalamannya hidup dalam dunia birokrasi serta pemahamannya terhadap ideologi dan kecakapannya memahami nilai-nilai agama. Mr. Sjaf melihat bahwa masalah pembangunan bukan hanya soal ekonomi-material saja, melainkan juga faktor kebudayaan.
Maka, mari kita lihat beberapa buah pikiran strategi pembangunan ekonomi yang disampaikan saat menjabat pertama kali sebagai gubernur bank sentral. Buah pikiran dalam konteks kekinian masih relevan untuk dijadikan acuan dalam skema kebijakan ekonomi.
Pertama, perlunya membangun sektor pertanian sebagai tulang punggung industrialisasi. Gagasan soal rancang bangun industrialisasi ini membuatnya berpolemik dengan Soemitro Djojohadikoesoemo. Menurut Mr. Sjaf, jika industrialisasi dilakukan, harus berpijak pada sektor pertanian dan sumber daya alam karena pembangunan ekonomi harus disesuaikan pada realitas keadaan bangsa, di mana hampir 63% penduduk Indonesia menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian.
Kedua, perlunya stabilitas moneter sebagai basis pertumbuhan. Selain itu, dalam soal anggaran pemerintah lebih baik menerapkan anggaran yang berimbang dalam pembangunan. Bukan anggaran defisit, di mana pembiayaan pembangunan didapat utang luar negeri.
Ketiga, soal modal asing apakah diperlukan atau tidak. Sebagai ekonom yang rasional Mr. Sjaf berpendapat modal asing tetap diperlukan dan harus tetap diundang untuk melakukan investasi. Namun, yang perlu diketahui bahwa maksud pinjaman bukan utang yang dilakukan pemerintah seperti yang selama ini dijalankan.
Kala itu pendapatnya juga membuat berpolemik dengan Soemitro Djojohadikoesoemo dan kelompok nasionalis yang menginginkan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing. Mr. Sjaf menentang pendapat ini karena menganggap sumber daya manusia Indonesia belum mampu secara profesional menangani perusahaan-perusahaan besar, yang selama ini menjadi mesin pertumbuhan ekonomi. Karena itulah, Mr. Sjaf berpendapat perlunya untuk melakukan Indonesianisasi manajemen perusahaan asing dengan menyiapkan tenaga-tenaga profesional yang dididik baik di dalam maupun luar negeri. Mr. Sjaf menolak langkah nasionalisasi karena pengambilalihan badan-badan usaha asing ke nasional secara sepihak, dan dilakukan tanpa persiapan akan dapat menimbulkan kemerosotan produksi.
Keempat, memberdayakan usaha kecil melalui kredit perbankan. Gagasan ini, praksisnya diimplementasikan melalui skema KIK/KMP yang baru diterapkan atas arahan ekonom UI Widjojo Nitisastro pada saat Orde Baru.
Kelima, meletakkan dasar-dasar kebijakan bank sentral, terutama gagasan mengenai independensi bank sentral yang baru dilaksanakan pada akhir 1990-an, sebuah upaya menjaga stabilitas moneter dan inflasi. Sehingga ia mendapat julukan The Guardian of Monetary Stability. Fase menjabat sebagai gubernur bank sentral istilah tersebut muncul ketika gagasan dan kebijakan kontroversial mengenai devaluasi uang pada 1950an yang bertujuan mengendalikan inflasi dan moneter, yaitu yang kita kenal dengan istilah “gunting Sjafruddin”. Dan tentunya ketika yang juga sangat penting adalah ketika menerbitkan ORI (Oeng Republik Indonesia) pada 1946.
Keenam, gagasan lain yang menarik dikemukakan oleh Mr. Sjaf, yaitu mengenai penolakannya mengenai bunga bank yang disebut riba. Menurutnya, bunga bank yang wajar dan tidak eksploitatif diperbolehkan sebagai imbal hasil pemakaian uang. Pandangan ini tentu berseberangan dengan para penganut ekonomi Islam yang mengharamkan bunga bank. Dalam konteks ini, Mr. Sjaf berpandangan bahwa perkreditan harus didasarkan pada pembangunan yang adil. Begitu pula dalam perdagangan, beliau mengenalkan sistem fair-trade (perdagangan yang adil), di mana pembagian keuntungan dan pemanfaatan yang adil antara produsen, pedagang, dan konsumen.
Landasan pokok pikiran Mr. Sjaf tidak bisa dilepaskan dari pemahamannya bahwa kemakmuran dan kesejahteraan hanyalah sarana untuk mencapai tujuan moral dan spritual. Sedangkan teori ekonomi hanyalah alat untuk mencapai itu tujuan yang utama. Kesadaran religius adalah fondasi utama konsepsi pembangunan ekonomi Mr. Sjaf yang perannya sangat sentral di awal-awal pascakemerdekaan.
Ahan Syahrul Arifin, Analis kebijakan publik dari UI
Sumber: Lampung Post, Rabu, 28 Desember 2011
No comments:
Post a Comment